Share

Kabur

“Bagaimana bisa?” Lydia kembali memekik.

Perempuan itu baru saja terbangun ketika mendengar alarmnya berbunyi. Tapi begitu dia berbalik ke sisi ranjang yang satunya karena masih mengantuk, mata Lydia yang setengah terpejam bertumbukan dengan pemandangan yang selama ini dia pikir hanya akan ditemukan di film atau novel saja.

Dengan perlahan, Lydia mengalihkan pandangan matanya untuk melihat dirinya sendiri. Tanpa menyingkap selimut pun sebenarnya Lydia bisa merasakan dia tidak memakai apa-apa, tapi tetap saja dia mengintip ke dalam selimut dan nyaris saja memekik.

“Apa yang terjadi di sini?” guma Lydia seraya merambat naik untuk menyandar ke kepala ranjang.

“Jangan berisik.”

Suara bariton yang amat sangat dikenalnya, membuat Lydia tersentak. Wanita itu menoleh ke arah pria tadi dan terkejut setengah mati ketika pria yang tadi memunggunginya, kini berbalik menghadap dirinya.

“Oh, my God. Polar Bear,” pekik Lydia tertahan.

Lydia berjengit ketika pria itu kembali bergerak. Untungnya dia tidak sampai terbangun dan hanya bergumam pelan saja.

Tidak ingin berada di tempat itu lebih lama lagi, Lydia bergegas turun dari ranjang. Dia lalu memunguti pakaiannya, sambil sesekali berjengit karena Reino bergerak atau bergumam pelan.

“Oh, my God. Aku sebenarnya di mana sih?” gumam Lydia ketika dia berhasil keluar dari kamar dengan selamat.

Tidak ingin berlama-lama di tempat itu dan ketahuan si Polar Bear, Lydia segera berjalan tak tentu arah. Yang penting dia menjauh dulu dari tempat itu.

“Oh, Tuhan kenapa sakitnya baru terasa sekarang,” gumam Lydia ketika sudah duduk cantik di taksi online pesanannya. Nama Tuhan tak henti dia sebut.

“Kenapa, Mbak?” tanya si sopir taksi berpikir dia sedang diajak bicara.

“Gak ada apa-apa kok.”

Si sopir tidak menjawab lagi, tapi Lydia bisa melihat pria tua itu melihatnya dengan tatapan aneh dari rear view. Dan Lydia bisa menebak alasannya. Memangnya apa lagi yang dipikirkan orang melihat seorang wanita keluar dari hotel pagi-pagi begini dengan tergesa dan sedikit berantakan?

Wanita murahan yang menajajakan dirinya. Dan itu membuat Lydia refleks memeluk dirinya, menutup pahanya yang terbungkus rok di atas lutut lebih rapat. Menahan perih yang masih sangat terasa, bahkan hanya dengan pergerakan yang sangat kecil.

“Dasar alkohol sialan,” gumam Lydia lebih lirih lagi agar sopir itu tidak mendengar.

Lydia sudah mengingat apa saja yang terjadi semalam dan itu membuatnya tambah sakit kepala. Bagaimana bisa dia bisa menikmati semuanya ketika itu yang pertama kali? Bukankah harusnya terasa sakit?

It was wild and rough, but its good. Super good.

“Argh, Lydia. Berhentilah mengingat kejadian itu,” geramnya dalam hati.

“Berhentilah berpikir mesum dan lupakan kejadian itu. Itu hanya kesalahan yang tidak akan pernah terulang lagi,” lanjut Lydia masih dalam hati.

***

Reino menggeliat masih dengan mata terpejam. Rasanya sudah lama dia tidak tidur senyenyak ini dan dia harus mengakui kalau ini terjadi karena semalam dia ‘puas’. Sangat puas malah.

"Hei, ayo kita lakukan lagi," seru Reino tanpa mendapat sahutan.

"Apa kau mendengarku?" tanya pria tinggi besar itu, masih belum menyadari keheningan dalam kamar itu.

Reino beranjak duduk tuk kemudian mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Tidak ada tanda-tanda mantan istrinya itu ada di sana. Dia kemudian segera beranjak ke kamar mandi untuk melihat, tapi hasilnya nihil.

Tanpa peduli kalau dirinya masih telanjang disertai morning wood yang belum mered, Reino membuka pintu kaca yang mengarah ke balkon. Bahkan dia membuka pintu kamar tuk melihat apakah perempuan yang ditidurinya semalam sedang berkeliaran disekitar kamar.

“Berani-beraninya dia meninggalkanku sendirian,” geram Reino kesal setengah mati.

Tidak ada sejarahnya Reino ditinggal tanpa kata-kata setelah bercinta. Adanya dia yang selalu meninggalkan teman tidurnya begitu terpuaskan. Baru kali ini Reino tertidur pulas setelah bercinta dan baru kali ini pula dia ditinggalkan. Jelas ini membuat harga dirinya jatuh dan egonya tersentil.

“Anda terlambat, Pak,” sambut sekretaris Reino begitu pria berwajah masam itu tiba di depan meja sekretarisnya.

Reino tidak menjawabnya dan langsung masuk ke ruangan dengan membanting pintu. Si sekretaris pun terperangah karenanya. Bisa dipastikan Reino sedang dalam mood yang sangat buruk dan sebagai sekretaris yang mengurusi bosnya, dia harus berhati-hati hari ini.

“Maaf, Pak. Apakah Pak Reino belum berganti pakaian?” tanyanya setelah memperhatikan bosnya itu lebih seksama lagi.

“Kalau kau tahu, pergi ambilkan aku pakaian yang baru,” hardik Reino benar-benar marah.

Wanita berumur akhir dua puluhan yang sudah setahun menjadi sekretarisnya itu, terbirit ke ruangan khusus yang ada dalam ruangan kerja Reino itu. Dia mengambil satu set pakaian baru yang selalu tersedia di sana dan meletakkannya di atas meja Reino dengan hati-hati.

“Apa kartunya sudah dikembalikan?” tanya Reino dengan mata terpejam, berusaha untuk menenangkan diri. Dia tidak mungkin bekerja dengan emosi tak stabil, apalagi seingatnya ada rapat pernting hari ini.

“Kartu... ah. Kalau kartu yang dipinjamkan ke divisi keuangan sudah kembali, Pak. Manajernya sendiri yang mengembalikan.”

“Kenapa bukan... siapa lagi namanya? Yang kuberi kartu itu kemarin?” tanya Reino sudah melupakan nama mantan istrinya. Padahal baru sebulan lalu mereka bercerai dan mereka juga bekerja di kantor yang sama.

“Lydia, Pak. Saya tadi sempat mendengar manajernya bilang dia sedang sakit. Mungkin kebanyakan minum alkohol?” jawab si sekretaris dengan nada tanya.

Reino mendesis kesal mendengar pernyataan itu. Alasan Lydia memang sakit, tapi bisa saja kan perempuan itu menghindar? Apa pengalaman kemarin setidak menyenangkan itu?

“Keluar,” bentak Reino pada sekretarisnya yang langsung putar balik.

Reino mulai mengganti pakaiannya dengan perasaan kesal dan gerakan kasar. Dia menatap tubuhnya sekilas dari pantulan kaca dan makin kesal lagi karenanya.

“Tubuhnya saja nyaris tak berlekuk dan sekarang dia menghindariku?” geram Reino.

“Dasar perempuan tak tahu untung. Harusnya dia bangga bisa naik keatas ranjang seorang Reino Andersen yang sempurna ini,” gerutu Reino tanpa henti selama berganti pakaian.

Reino menghela napas. Dia baru sadar kalau apa yang dilakukannya sejak tadi jelas sesuatu yang aneh. Untuk apa juga dia memikirkan wanita yang sudah jadi mantan istri?

Dan hei, seorang Reino Andersen sudah terbiasa one night stand. Jadi untuk apa memikirkan ini semua?

“Dia hanya salah satu dari sekian perempuan yang menghangatkan ranjangmu Reino, tidak perlu terlalu dipikirkan. Kamu akan melupakannya seperti biasa,” gumamnya pada diri sendiri.

"Tapi tidak. Rasanya aku tetap harus memberikan perempuan itu pelajaran karena sudah meninggalkanku begitu saja."

***To Be Continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status