Share

Ucapan Selamat

 “Ugh…” Lydia mengernyit kemudian meringis pelan menahan sakit saat bangkit dari toilet duduk, tuk kemudian berjalan ke wastafel.

 

 Setelah mencuci tangan, Lydia menatap pantulan dirinya di cermin. Dengan mata telanjang sekalipun bisa terlihat dengan jelas bintik-bintik merah di area lehernya. Tidak banyak sih, tapi ada satu hal yang paling mencolok.

 

 Di sekitaran pangkal leher Lydia, ada bekas serupa jari yang agak samar. Seolah dirinya pernah dicekik. Dan tak usah ditanya jejak jari siapa itu. Itu adalah milik Reino Andersen.

 

"Ini benar-benar gila. Bagaimana mungkin jadi seperti ini sih? Polar Bear itu nyaris memhunuhku."

 Lydia yang sudah teringat kejadian semalam, jadi merinding. Itu benar-benar malam yang panas dan brutal. Lydia harus ingat untuk menutupi ini sebentar sore, sebelum ibu dan adiknya pulang ke rumah.

 

 “Mau buang hajat aja menderita banget ya Tuhan,” gumam Lydia setelah berhasil kembali berbaring di ranjangnya.

 

 Sumpah demi apapun, Lydia merasa sangat kesakitan sekarang ini. Mana yang katanya surga dunia itu? Pada prosesnya memang enak, tapi kalau sesudahnya sakit begini jelas tidak menyenangkan lagi. Apalagi perut bagian bawah Lydia ikutan sakit.

 

 Lydia berpikir sebentar. Dia sedang menimbang, perlukah dia bertanya pada sahabatnya yang sudah lebih berpengalaman? Siapa tahu saja salah satu dari mereka tahu cara mengatasi rasa sakit ini. Soalnya besok dia sudah harus kembali bekerja lagi. Lydia tidak bisa izin sakit 2 hari tanpa surat keterangan dari dokter.

 

 “Tidak mungkin kan aku dapat pengantar dari dokter kandungan dengan keterangan ‘olahraga’ berlebihan?” gumam Lydia menutup wajahnya dengan bantal.

 

 “Astaga.” Lydia terlonjak kaget karena ponselnya berdering nyaring. Dan dia segera mengangkatnya.

 

 “Ya, halo Ma. Ada apa menelepon?”

 

 “LYDIA,” teriak sang mama keras sekali. Lydia sampai harus menjauhkan ponselnya dari kuping.

 

 “Astaga, Nak. Kamu semalam dari mana aja? Kenapa gak pulang? Kamu tahu betapa syoknya Mama waktu lihat kamar kamu kosong dan masih rapih banget? Mana Mama telepon dari kemarin, tapi kamu gak angkat. Tadi telepon ke kantor katanya kamu tidak masuk kerja.”

 

 “Mama bahkan hampir gak ngantor buat nyariin kamu. Kenzo juga nyaris mama suruh bolos kuliah buat nyari kamu. Bukannya balik telepon, malah kirim chat saja. Seolah gak ada apa-apa.”

 

 “Sorry, Ma,” ringis Lydia pelan. Dia benar-benar lupa menelepon balik ibunya itu. Untung saja Lydia sempat mengirim chat untuk mengabarkan kalau dia sudah di rumah.

 

 “Kamu ke mana saja semalam? Kemarin kan cuma izin lembur.”

 

 Lydia makin meringis karena kebohongan yang dia katakan kemarin. Dia tidak yakin akan diberi izin kalau bilang mau pergi club malam.

 

 “Habis lembur diajak makan bersama teman kantor, Ma. Acara divisiku gitu. Gak enak nolaknya,” jawab Lydia dengan kebohongan lain.

 

 “Terus kenapa gak pulang?”

 

 “Karena kemalaman, aku nginap,” jawab Lydia takut-takut.

 

 Andaikata sang mama menanyakan dia menginap di mana, Lydia pasti tak akan bisa menjawab lagi. Kalaupun dia bisa menjawab, mamanya bisa saja menelepon orang yang disebut namanya itu untuk konfirmasi. Dan kalau itu terjadi, nyawa Lydia bisa melayang.

 

 “Berterima kasihlah pada Erika karena mau menampungmu. Untung kamu punya teman yang baik.”

 

 “Mama menelepon Erika?” tanya Lydia sedikit bingung.

 

 “Tentu saja. Mama menelepon semua temanmu. Dan akhirnya tenang setelah menelepon Erika.”

 

 Lydia bernapas lega. Sahabatnya itu telah menyelamatkan dirinya. Lydia harus ingat menelepon sahabatnya itu untuk berterima kasih, setelah omelan ibunya selesai. Dan sekarang Lydia jadi tahu harus bertanya ke mana.

 

 “Thanks buat bantuannya semalam.”

 

 “Anytime. Tapi kau ke mana sih gak pulang ke rumah? Aku jadi harus bohong sama mamamu biar dia gak panik,” Erika yang penasaran langsung bertanya.

 

 “Gimana ya ngomongnya,” jawab Lydia tiba-tiba saja meragu untuk bertanya pada Erika.

 

 Kalau Lydia bertanya, itu berarti dia harus menceritakan banyak hal. Dan kalau Erika sangat kepo, bisa jadi pernikahan kontraknya pun terpaksa diceritakan. Padahal pada ibunya saja Lydia tidak pernah bercerita.

 

 Erika sih sama sekali tidak memaksa kalau sahabatnya itu tidak mau bicara, tapi Lydia jadi merasa bersalah karena sudah menyusahkan.

 

 “Aku katakanlah berbuat kesalahan semalam,” jawab Lydia ragu-ragu.

 

 “Biar kutebak. One night stand dengan orang asing?”

 

 “Kind of,” jawab Lydia dengan ringisan pelan. Sama sekali tidak kaget Erika bisa menebak dengan tepat.

 

 “Kok kind of? Kau udah punya pacar atau punya FWB?”

 

 “Nope. Aku belum punya pacar atau sejenisnya. Maksudku aku melakukannya dengan seseorang yang kukenal dan... begitulah.”

 

 “Begitulah bagaimana?”

 

 “Dia atasanku dan...”

 

 “Excuse me? Atasan?” Erika memotong kalimat sahabatnya itu.

 

 Lydia mengangguk, kemudian segera sadar kalau dia sedang menelepon dan Erika tidak bisa melihatnya.

 

 “CEO lebih tepatnya.”

 

 Lydia mulai menceritakan beberapa hal terkait pekerjaan. Para sahabatnya sudah tahu hal itu, tapi belum dengan dirinya yang dipanggil bos besar. Kemudian berlanjut ke pertemuan tak disengaja semalam.

 Oh, dan Lydia juga tentu tidak menceritakan adegan panasnya. Dia hanya bercerita soal bekas sidik jari di lehernya.

 

 “Sampai ada sidik jari?”

 

 “Ya. Dan aku juga kesakitan di bagian perut bawah dan di bagian bawah juga.”

 

 “Itu masih normal karena baru pertama kali, tapi sidik jari? It’s truly hard and rough. Tidak heran kalau perutmu sampai sakit. Dia gak kelainan kan?”

 

 “Kelainan seksual gitu? Kalau itu aku tidak tahu,” jawab Lydia jujur. Dia nyaris tidak pernah berinteraksi dengan Reino, bagaimana bisa dia tahu?

 

 “Kalau pun ada itu bukan urusanmu lagi. Kau berniat menghindarinya kan?”

 

 “Yah. Sebisa mungkin.”

"Ya udah. Artinya kau tidak perlu pusing dengan hal lain. Fokus saja pada dirimu sendiri."

"Kuharap juga bisa seperti itu," balas Lydia terdengar lesu sekali. " Soalnya dia kan bosku. Bukan tidak mungkin kami papasan lagi."

"Asal dia tidak mengajakmu bercinta seperti Mr. Grey di Fifty Shades."

"Jangan gila dong."

 

 Setelah pembicaraan lumayan panjang, Erika mengakhiri pembicaraan dengan menyuruh sahabatnya istirahat. Hanya itu saja, tidak ada lagi yang lain. Dan Lydia juga lupa memberitahu Erika untuk merahasiakan ini dari yang lainnya.

 

 Sayangnya Lydia melupakan satu hal. Hal seperti ini, nyaris tidak pernah menjadi rahasia diantara para sahabatnya. Itu juga yang dipikirkan oleh Erika saat mengirimkan pesan di grup chat mereka.

 

 “Astaga Erika,” teriak Lydia begitu membaca pesan teks sahabatnya itu.

 

 [Erika Bego: Congrats untuk Si Rata yang akhirnya berhasil melepas virginity.]

 

***To Be Continued***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status