Share

Ex-Husband After Divorce
Ex-Husband After Divorce
Penulis: 5Lluna

Belum Berakhir

“Akhirnya,” gumam Lydia pelan sambil mengulum senyum, memegang map di tangannya.

Wanita berumur 25 itu mendonggak melihat pria yang duduk tepat di depannya. Pria dingin yang tidak punya begitu banya ekspresi selain marah, bingung, datar dan dingin. Oh dan mungkin puas karena sejuanya telah selesai.

“Senang bisa bekerja sama dengan anda Pak Reino.” Lydia mengulurkan tangan untuk menjabat lelaki yang kini berstatus sebagai mantan suaminya itu.

Reino tidak langsung menjabat tangan Lydia. Dia melihat tangan kurus itu terlebih dulu, sebelum akhirnya menjabatnya disertai dengan helaan napas lega.

“Saya harap ke depannya kita tidak perlu bekerja sama lagi,” jawab Reino dengan ketus dan ekspresi dinginnya yang khas.

Lydia sebenarnya kesal setengah mati dengan kelakuan Reino, tapi dia mencoba menahan diri. Bagaimana pun pria itu masih merupakan bosnya di kantor, jadi Lydia hanya bisa tersenyum saja.

“Uruskan pembayarannya secepat mungkin,” Lydia masih bisa mendengar seruan malas Reino pada si pengacara dari tempatnya berdiri.

Lydia pun hanya memandang pria itu dengan tatapan kesal. Walau sudah tak ada urusan apapun lagi, dia tidak perlu seketus itu kan? Padahal Reino duluan yang menawarinya.

Ponsel Lydia berdenting pelan. Ada pesan yang masuk dari akun banknya. Pesan yang menyatakan ada trasferan masuk senilai milyaran rupiah. Itu sudah cukup membuat Lydia tersenyum.

“Yang penting sekarang aku sudah bebas dan kaya raya,” gumam Lydia melangkah keluar ruang pengadilan dengan pasti. Dia sudah siap menyosong kehidupan yang baru.

***

“Pesan apapun yang kalian mau. Aku yang traktir,” teriak Lydia pada ketiga sahabatnya.

“Yakin nih?” tanya wanita bertubuh gemuk sedikit ragu dengan keputusan sahabatnya itu.

“Yakin banget 1000 persen. Aku habis dapat bonus besar soalnya, jadi pesan saja apa yang kalian mau,” jawab Lydia jemawa.

Mendengar hal itu, para sahabat Lydia ini tentu tidak lagi merasa sungkan. Kapan lagi mereka ditraktir di restoran fine dining sebuah hotel bintang lima.

“Eh, tapi tumben dapat bonus. Biasanya juga kamu selalu mengeluh karena bosmu pelit,” sahabat yang duduk di seberang Lydia ikut bertanya. Sedikit penasaran dengan sahabatnya yang sedang kaya itu.

“Intinya produk yang launching tahun lalu hasilnya bagus dan aku yang masih karyawan kontrak ini pun kebagian hasil,” jawab Lydia hiperbola.

“Bahkan harusnya aku sudah bisa mentraktir kalian dari sebulan lalu, tapi ada beberapa produk baru yang menyita perhatian satu kantor. Belum lagi kalau akhir bulan kami bagian keuangan selalu sibuk dan lembur, jadi gitu deh.”

Lydia menghabiskan waktu dengan bercerita panjang lebar tentang pekerjaannya. Hal yang selalu dilakukannya ketika berkumpul dengan para sahabat. Tapi sayangnya hal ini harus diinterupsi oleh dering telepon. Atau lebih tepatnya video call.

Mata Lydia membulat sempurna ketika mendapati nama mantan mama mertuanya tertera di layar. Dan karena tidak ada dari para sahabatnya yang tahu kalau sekarang dia adalah janda, Lydia harus menyingkir untuk menerima panggilan itu.

“Selamat malam waktu Jakarta, Ma,” Lydia refleks menyapa seperti biasanya. Dia sudah lupa kalau wanita akhir lima puluhan yang terlihat di layar ponselnya sudah jadi mantan mertua.

“Selamat siang waktu Denmark. Bagaimana kabar kalian?” mantan ibu mertuanya menyapa balik.

“Baik,” jawab Lydia terlihat sedikit bingung. Rasanya ada yang aneh dengan pertanyaan wanita itu.

“Kamu ada di luar? Apa sedang makan malam dengan Reino?” tanya mantan ibu mertuanya melihat latar belakang tempat Lydia berdiri.

Mendengar mantan mama mertuanya bertanya soal Reino, membuat Lydia makin bingung. Mereka kan sudah bercerai sebulan lalu, mana mungkin bisa makan malam bersama.

“Reino gak bilang apa-apa ya, Ma?” tanya Lydia sedikit meragu.

“Memangnya apa yang perlu Mama tahu?” tanyanya bingung, namun senyuman segera merekah di wajahnya.

“Apa kamu hamil?” tanya mantan ibu mertua Lydia dengan wajah bahagia. Lydia sampai tidak tega mengatakan mereka sudah cerai.

“Bukan begitu, Ma. Aku belum hamil. Kami cuma-”

“Kami sedang merencanakannya, jadi Mama tidak perlu khawatir.”

Lydia terlonjak mendengar suara bariton yang sudah dikenalnya. Belum lagi hembusan napas yang terasa dekat dengan lehernya. Tanpa dilihat pun Lydia tahu siapa pemilik suara itu dan karena dia terasa dekat, Lydia jadi tidak berani berbalik.

“Oh, jadi kalian sedang kencan? Apa Mama mengganggu?” tanya perempuan itu dengan senyum mengembang, sama sekali tidak kecewa dengan pernyataan yang sebelumnya.

“Ya. Dan maaf karena aku telat ya, Sayang.” Reino mengecup pelan pipi Lydia, membuatnya membeku di tempat.

“Ck. Dasar kalian. Kalau begitu selamat kencan dan jangan lupa segera berikan cucu buat Mama dan Papa ya.” mantan ibu mertua Lydia segera mengakhiri telepon.

Begitu layar ponsel Lydia menghitam, senyum tipis di wajah Reino langsung memudar. Dia segera meneggakkan tubuh jangkungnya dan memandang Lydia dengan tatapan merendahkan seperti biasanya.

“Yang tadi itu apa, Pak?” tanya Lydia sudah mulai sadar dari keterkejutannya.

“Orang tuaku tidak tahu soal perceraian kita. Dan kamu wajib menyembunyikan,” jawab Reino datar.

“Tapi kita berdua kan sudah pisah, Pak. Akan-”

“Saya tidak mau tahu,” Reino memotong kalimat Lydia, kemudian segera melangkah masuk ke dalam resto.

Lydia memejamkan mata dengan kesal. Dia sedang mencoba mengatur emosinya agar tidak meledak di tempat umum seperti ini.

“Sabar,” gumamnya seraya melangkah masuk kembali ke resto.

Sayangnya, Reino yang duduk tak jauh dari mejanya membuat Lydia menghela napas. Dia tidak lagi emosi, tapi tetap saja menyebalkan melihat wajah datar Reino. Bahkan di depan seorang perempuan cantik nun seksi.

Lydia dengan mudah menebak perempuan itu adalah teman tidur Reino malam ini. Kalau wanita kesukaannya seperti itu, wajar saja sih Lydia selalu mendapatkan tatapan penuh penghinaan. Secara tubuhnya nyaris selurus papan.

“Apa kamu mengenal mereka?” tanya sahabat Lydia yang paling menawan.

“Yang pria itu bosku. Kalau yang perempuan aku tidak tahu,” jawab Lydia jujur.

“Seram sekali sih mukanya. Aku heran model setenar itu mau dengannya,” balas yang gemuk.

“Itu Reino Andersen. Wajar kalau semua perempuan mau dengannya, uangnya tak berseri,” jawab si cantik.

“I don’t care.” Lydia memilih untuk tak lagi menghiraukan bos sekaligus mantan suaminya itu. Toh mereka tidak akan lagi berhubungan selain urusan kantor.

Setidaknya itu yang dipikirkan Lydia selama berhari-hari kemudian. Namun siapa sangka kalau ternyata kenyataannya tidak seperti itu.

“Bagaimana bisa?” pekik Lydia dengan wajah horor, menatap pria yang berbaring telanjang di sebelahnya. Persis sama dengan dirinya.

***To Be Continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status