Bagaimana mengembalikannya?
Aku memperhatikan gulungan sweater berwarna hitam dalam paper bag plastik di dekapanku. Pakaian yang sudah dicuci dan disetrika. Setelah memastikan sudah bersih, wangi dan rapi, aku berhak untuk mengembalikannya.
Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya sekarang. Aku canggung untuk menemuinya, apalagi setelah kejadian kemarin pagi yang sangat memalukan.
Aish, nanti saja lah. Dia pasti tidak terlalu memerlukan sehelai sweater ini. Dia pasti memiliki segudang sweater lainnya. Baik, aku ak
Add Ig Ana donk @anach_uu. Nanti kalau up bab baru atau cerita baru bakal di umumin di sana. yang mau di follow back DM aja, pasti Ana follback kok :*
Saat dia sedikit menjauh, aku langsung berlari keluar dari sana. Rasa takut membuatku sanggup berlari dengan cepat padahal kakiku gemetaran. Untung saja lift langsung terbuka beberapa saat kemudian setelah aku memencet tombol lift kebawah. Sebenarnya pria tua itu juga tidak mengejarku, tapi aku baru bisa menghembuskan nafas lega begitu masuk ke dalam lift. Merasa aman. Ternyata pria itu kurang ajar sekali. Apakah dia juga melakukan sesuatu pada Riska hingga akhirnya Riska membuat sedikit keributan? Aku takut itu yang memang terjadi mengingat ucapan pria itu yang menyebutkan seorang 'gadis muda'. Ah, tidak. Kuharap tidak. Setelah menyenderkan punggung, aku meraih pegangan besi di dinding lift yang terasa dingin. Sementara satu tanganku yang lain masih
Aku tidak tahu ini kebetulan atau bukan, tapi mungkin Pak Daniel memang punya masalah dengan orang tua itu lain dari permasalahan yang terjadi antara aku, Riska dan pria itu. Ternyata pria itu memang pembuat masalah. Sudah ah. Masa bodoh. Akibat memikirkan hal itu aku jadi lupa dimana memarkirkan mobil. Dimana ya? Oh disana. Aku ingat setelah memperhatikan sebentar deretan mobil di kanan kiri. Suasana parkiran sepi. Sudah biasa, pikirku sambil mencoba mengusir perasaan yang tiba-tiba berubah menjadi tidak enak. Entah kenapa, suasana hati
Pegangan paper bag ini seakan satu-satunya benda yang bisa ku andalkan sekarang untuk berbagi masalah, untuk berbagi ketakutan dan kekhawatiran ku.Dan bunyi denting lift begitu sampai di lantai yang ku tuju, menjadi satu-satunya bunyi yang kuharapkan tidak akan pernah terjadi.Dengan ragu-ragu aku melangkah keluar lift lalu menghampiri seorang wanita berpakaian formal yang berdiri di belakang salah satu meja kerja."Pak Daniel ada, Mbak?" tanyaku pada wanita itu."Ada Bu, di ruangannya."Hei, kenapa tidak bilang kalau tidak ada saja?
Yang perlu ku lakukan adalah lebih waspada terhadap keadaan sekitar. Menjauhi tempat sepi adalah hal yang paling penting. Mungkin saja mereka sedang memperhatikanku dari belakang, lalu akan menyerangku saat sedang lengah, seperti di parkiran waktu itu.Namun, sudah 24 jam berlalu, aku belum melihat pergerakan dari Pak Wang ataupun anak buahnya. Pak Wang juga belum menghubungiku kembali.Mungkinkah kemarin itu cuma gertakannya saja?Pak Wang hanya mengancam dan tidak sungguh-sungguh berniat melenyapkanku dari muka bumi?Benar, mungkin dia tidak berani melakukan tindak kriminal sebesar itu.Hingga malam ini, aku me
Akhirnya aku bisa melemaskan punggungku. Menyandarkannya pada sandaran sofa saat para polisi itu beralih kepada Riska sekarang. Para polisi yang datang bersama Pak Daniel saat kejadian itu. Aku harus memberikan beberapa keterangan dan menceritakan semua kejadian yang ku alami. Ternyata Pak Daniel juga berhasil mendapatkan bukti rekaman saat aku disergap di parkiran waktu itu karena salah satu kamera dashboard mobil merekam semuanya. Semua orang yang berhubungan dengan kejadian itu belum diperbolehkan pulang, termasuk Pak Daniel. Aku menoleh ke arah Pak Daniel yang duduk di salah satu sofa. Ternyata
Baiklah. Aku akan mendengarkan saja dan tidak akan berkomentar apapun. Apalagi saat itu tentang kehidupan Pak Daniel. “Ibu… meninggal saat melahirkan. Ayah bilang, jika saja saya tidak pernah datang ke dunia ini, mungkin Ayah masih bisa bersama Ibu saat ini. Beliau benar.” Tidak. Itu tidak benar. Aku mengernyit. Merasa ada sesuatu yang salah. Tuan Lambert menyalahkan anaknya sendiri atas kematian istrinya saat melahirkan Pak Daniel? Bagaimana bisa Tuan Lambert menyalahkan Pak Daniel bahkan sejak ia masih seorang bayi yang baru mengerti caranya bernafas? Itu alasannya kenapa Tuan Lambert bersikap kasar?
"Kamu mau lihat Mas Ari kerja di atas kursi roda?" Aku memberengut di depan layar ponsel yang menampilkan sosok Mas Ari di seberang sana. Sedang memperlihatkan wajah tidak percaya karena aku terus meneleponnya seakan aku menyuruhnya untuk cepat-cepat bekerja. "Bukan gitu…” sahutku. Ikut memberengut. “Ada apa? Ada yang bikin nggak betah disitu?” Mas Ari membenarkan posisi duduknya yang kurang nyaman, membuat kamera sedikit bergoyang. “Mit, orang kerja nggak boleh milih-milih tempat.” “Iya, iya… Mita juga ngerti. Bukannya nggak betah. Mita cuma takut-” Takut jatuh cinta lagi pada orang yang sama.
Cepat-cepat aku menarik tanganku. “Ma-maaf.” Wajahku terasa memanas. Tapi Pak Daniel malah tersenyum. Senyum lepas yang membuatku terpana. Tawa yang ia tahan untuk beberapa saat, akhirnya ia keluarkan juga. Aku semakin malu, tapi suara tawa yang terdengar renyah di telingaku, malah membuatku ikut tersenyum. Apalagi sudah lama aku tidak melihat senyumannya yang seperti itu. Bahkan sejak bertemu kembali, aku tidak bisa melihat yang lain selain raut wajah seriusnya itu. Mungkin karena hubungan kami juga sangat kaku. Kalau bisa dibilang, aku merindukan bagaimana kami dulu. Saat-saat itu… saat-saat dimana aku bisa santai berada di dekatnya. Membicarakan apa yang terjadi di hari-hariku dengannya. Membicarakan tentang sekolahku, tentang temanku. Bersandar di bahunya tan