Share

The Punishment (2)

Daniel menoleh. Aku berjinjit agar bisa mengintip dari celah bahunya. 

Seorang pria berdiri tegak di belakang Daniel. Memperhatikan kami berdua tanpa ekspresi. Aku segera mendorong Daniel menjauh. Aku pun menggeser tubuhku. Menjaga jarak dengan Daniel. 

Apa orang itu melihat semua yang kami lakukan? Sepertinya iya. 

Aku tidak tahu siapa dia. Ini pertama kali aku melihatnya. Tapi sepertinya dia juga bukan orang asing atau seorang tamu karena bisa masuk begitu saja tanpa membunyikan bel rumah terlebih dahulu. 

"James?" 

Aku memperhatikan Daniel yang juga tampak terkejut dengan kedatangan pria itu. 

"Kenapa kau disini?" Daniel masih bertanya-tanya pada pria bernama James itu. 

James sepertinya sepantar Daniel. Berusia menjelang 30an. Badannya sedikit berisi. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Parasnya tidak bule seperti Daniel. Dia sepertinya orang asli Indonesia. 

"Ternyata hal ini yang membuatmu terus menunda kepulangan ke Australia?" James balik bertanya. 

Daniel memasukkan tangannya ke saku celana. Dia tampak tenang saat James menyinggung 'Hal ini' yang pasti merujuk pada kegiatan kami yang tidak sengaja James lihat barusan. 

Berbeda denganku. Aku langsung kikuk dan memilih untuk melanjutkan kegiatanku membereskan meja dapur dari sisa-sisa sampah masakan. Lebih baik aku diam saja.

Kami bertiga menoleh serempak ke arah pintu tempat ruang cuci yang terbuka. Ibu masuk ke dalam. Satu tangannya menyeret koper besar yang sudah bisa kutebak isinya adalah pakaian. 

"Tuan James?" Ibu terlihat sumringah. 

Aku membulatkan mata. Ibu juga mengenal orang itu? Aku terus memperhatikan Ibu yang berjalan mendekati James. Mereka tampak akrab dan berbincang sebentar kemudian Ibu melirik ke arahku. 

"Ganti baju dulu sana." suruh Ibu. 

"Hm." Aku mengambil koper yang tadi Ibu letakkan dekat pintu.  

"Dia...?" James heran melihat interaksiku dengan Ibu. 

"Oh dia anak perempuanku." jawab Ibu. 

Aku bisa melihat James melirik Daniel dengan tatapan yang penuh arti. Entah kenapa jantungku berdegup kencang. Akankah ia mengatakan sesuatu pada Ibu? 

Aku mencengkram gagang koper erat-erat. Menunggu siapa yang akan berbicara selanjutnya. Keheningan sepersekian detik begitu menegangkan. 

"Kita berbicara di kamarku, James." Akhirnya Daniel lah yang memecah keheningan. Ia menghilang menaiki tangga. Diikuti James yang melirikku sebentar kemudian berpamitan pada Ibu. 

**** 

"Ibu kenal orang itu. Siapa namanya? James?" tanyaku, setelah kembali ke dapur sehabis berganti baju. 

"Ya, Tuan James. Dia anak teman Ayahmu dulu. Berkat bantuannya juga Ibu mendapatkan pekerjaan disini."

"Oh." Aku manggut-manggut. "Lalu dia siapa Pak Daniel?"

"Asisten." jawab Ibu singkat. 

"Tuan James asisten Pak Daniel, tapi kenapa Mita baru lihat dia sekarang."

"Ibu nggak tahu. Mungkin Tuan James sibuk kerja. Udah sini bantuin Ibu nyusun piring di meja makan buat makan siang." 

Sambil meletakkan piring di meja makan aku sedikit berpikir. 

Daniel mempunyai seorang asisten? Apakah pekerjaannya bukan hanya seorang guru? Apa pekerjaannya yang lain di luar sana? 

Entahlah. Banyak yang aku tidak tahu tentang dirinya, selain nama dan tempat tinggalnya saat ini, juga pekerjaannya yang sekarang terlihat di mataku.

Aku tidak akan berani bertanya. Tidak. Itu terlalu privasi. 

Ponsel yang bergetar membuyarkan lamunanku. Lagi-lagi notifikasi dari grup kita berlima. 

Sashi : Mit, Ran, bab baru L*** udah up nih. 

Sashi memberikan sebuah link, agar kami langsung bisa membuka cerita yang dituju. Kebetulan, kami bertiga menjadi penggemar salah satu cerita dari platform pembuat novel online. Sayangnya cerita itu masih bersambung. Kami setia menunggu kelanjutannya dan akan saling bertukar kabar berita jika salah satu dari kami lebih dulu mengetahui munculnya kelanjutan novel itu. 

Aku meninggalkan Ibu sambil membuka link yang di berikan Sashi. Menuju kolam ikan di bagian samping rumah melalui pintu samping. Dari sini aku bisa melihat langsung bagian dapur dan ruang tamu di depan karena kolam berbatasan langsung dengan tembok-tembok kaca di sisi rumah itu. 

Aku duduk di pinggiran kolam. Suara gemericik air terdengar bagai musik. Ikan yang berwarna-warni tampak berenang kesana kemari tak tentu arah. 

Ah, seandainya aku bisa melihat pemandangan dan merasakan suasana seperti ini setiap hari di rumah. 

Aku mulai membaca. Mengernyit saat merasakan bagian baru cerita sedikit explicit. Ada bagian dimana penulis menceritakan adegan vulgar dengan gamblang. Dengan kata-kata sang penulis yang pintar, aku yakin yang membaca ikut hanyut dalam adegan itu. Membuatku sedikit merinding dan menelan ludah. 

Bagaimana sang penulis menceritakan adegan bercumbu, membuat pikiranku berkelana ke ciuman Pak Daniel tadi. Aku menyentuh bibirku dengan ujung jari. Sentuhannya masih terasa disana. 

Lalu adegan selanjutnya yang berakhir di tempat tidur… membuatku membayangkan...

Aish. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya sekarang adalah waktu yang salah untuk membacanya. Lebih baik aku melanjutkannya nanti malam saja. 

Clak! 

Aku beringsut mundur. Ikan-ikan itu sepertinya juga tidak suka aku berada disini. Aku mengelap wajahku dari cipratan air akibat salah satu ikan yang melompat dari air. 

Gatra : Udah Gue bilang jangan baca cerita begini. 

Notif kembali masuk di dalam grup. Aku terkikik. Sepertinya Gatra juga ikut membacanya. 

Sashi : Bacot! Nggak usah baca kalau nggak suka. 

Gatra : Mesum! 

Sashi : Heh, gelut yok! Gilang, maju! 

Gilang : Kok jadi Gue, beb? 

Gatra : Bebek! 

Sashi : Jadi Lo nggak mau ngebela Gue, Beb? Okeh. Diem Lo Gatra! 

Gilang : Bukan gitu. 

Aku : Ran, masak popcorn gih. Gue tunggu ya. Mumpung ada tontonan gelut gratis nih. 

Ranti tidak membalas pesanku. Sepertinya dia sedang sibuk membantu kedua orang tuanya yang memiliki toko kelontong. 

Suara dentingan membuat aku menoleh sejenak dari layar ponsel. Di ruang makan Pak Daniel dan Tuan James sudah duduk berhadapan menikmati kudapan. 

Aku masuk ke dalam kamar dan tidak keluar lagi sampai alarm waktunya pelajaran tambahan berbunyi. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat dan aku hanya menghabiskannya untuk sebuah telepon genggam. 

Sebelum keluar kamar, aku mengecas ponsel dan mengambil beberapa buku yang… Astaga. tugas dari Daniel belum sempat ku kerjakan. Bagaimana ini? Bisa-bisanya aku asyik dengan hal yang lain. Aku meringis. Panik. 

Haruskah aku mengerjakannya dulu sekarang? Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 7 malam. Tidak sempat. Sudah waktunya.

Apa aku benar-benar tidak bisa menghindar? Ya, tidak bisa. Sepertinya aku harus pasrah menerima apapun hukuman yang diberikan kali ini. Tamatlah riwayatmu, Mita.

Dengan langkah sangat pelan, aku berjalan keluar dari kamar. Memeluk erat tumpukan buku di dekapanku. Dari celah pintu yang kubuka, aku mencoba melihat suasana di dalam ruang dapur. Tempat biasanya kami belajar. 

Sepi. Daniel tidak tampak duduk di salah satu kursi meja makan. Sepertinya dia belum turun. Namun ada suara samar orang mengobrol. Itu suara Ibu dan seorang laki-laki yang kutebak si Tuan James. 

Aku sedikit menggeser posisiku agar bisa melihat dari mana asal suara tersebut. Ada Ibu di dapur bersama Tuan James. Aku mencoba mendengarkan percakapan mereka. 

"Apa ada sesuatu yang terjadi Tuan?" 

"Tidak. Hanya insiden kecil di perusahaan dan sepertinya mengharuskan Daniel kembali ke Australia secepat mungkin."

"Apa Tuan tidak menginap disini?"

"Ada yang harus aku urus di Surabaya."

"Baik. Hati-hati di perjalanan." 

Suara langkah terdengar, kemudian pintu depan yang terbuka lalu menutup. 

Apa si James itu pergi? Sepertinya Tuan James tidak menceritakan apapun yang ia lihat tadi siang pada Ibu. Jika tuan James sudah menceritakannya Ibu pasti sudah menginterogasiku dari tadi. 

Aku keluar dari tempat persembunyian dan mendekati Ibu. 

"Pak Daniel belum turun?" tanyaku malas. Duduk di depan meja bar kecil. 

Ibu mengedikkan bahu. "Coba aja ke kamarnya." 

"Nggak mau. Mita tunggu aja disini." Berpikir aku harus memasuki kamarnya, membuatku merinding. 

"Kayaknya Pak Daniel lagi banyak pikiran." Ibu menduga-duga. 

"Mita tanya aja di w******p deh." Dalam hati, aku berdoa Daniel membatalkan jam pelajaran hari ini agar aku bisa mengerjakan tugas darinya dulu. 

"Nggak sopan." Ibu menusukkan tatapannya padaku. 

Aku mengerucutkan bibir. Dengan malas turun dari kursi, memeluk buku-bukuku dan mulai menempuh perjalanan ke lantai atas yang sengaja ku perlambat. 

Sesampai di depan pintu minimalis berwarna hitam. Aku berdiam dulu. Menghitung menit demi menit yang berlalu. Setelah kurasa sudah cukup lama, aku menarik nafas dan mulai mengetuk pintu. 

"Masuk." 

Aku mendorong pintu itu agar terbuka. Terlebih dulu memasukkan kepalaku ke dalam. 

Pak Daniel sedang duduk di bawah. Di atas lantai berlapis karpet berwarna putih. Bersandar di dipan kayu tempat tidurnya. Laptop berada di pangkuannya. Ia melepas kaca matanya begitu melihat kepalaku yang melongok di celah pintu. 

"Pak, jam belajar hari ini dibatalin?" harapku. 

"Kata siapa?"

Ucapannya membuat gelembung harapanku memecah. Hanya tersisa udara kosong. 

Daniel menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Apa? Apa dia menyuruhku duduk disana? Oh tidak, aku sedang menghindar untuk masuk ke kamarnya. Tapi sepertinya aku harus masuk. Dia memperhatikanku, menunggu. 

Aku mulai melangkah masuk. Tidak lupa menutup pintu di belakangku. Ini pertama kali aku masuk ke dalam kamarnya. 

Aku melihat sepasang sofa abu-abu yang mengelilingi meja bundar saat pertama kali masuk. Lalu tempat tidur di tengah ruangan yang di seberangnya ada rak dan televisi yang menempel di tembok. 

Di sisi paling ujung ada meja, sebuah komputer di atasnya, dan tirai panjang berwarna Abu-abu gelap menjuntai dari atas dinding sampai bagian bawah di belakang meja kerja. Aku tebak tirai itu untuk menutupi dinding kaca di belakangnya. 

Partisi berbentuk bingkai-bingkai kotak berwarna hitam dengan ukuran yang tidak beraturan membatasi setengah ruang tidur dengan ruang kerja. Terlihat simple dan tetap nyaman. 

Aku melepas sandal rumah sebelum naik ke atas karpet lalu duduk di sampingnya yang sudah kembali memperhatikan layar laptop setelah memastikan aku masuk. 

Karpet bulu putih ini benar-benar nyaman. Mungkin ini alasan Pak Daniel lebih memilih duduk di bawah padahal ada meja kerja dan sofa yang masih kosong. 

Dengan senyuman lebar, aku mengatakan kesalahanku. "Pak, maaf. Mita belum sempat ngerjain tugas dari Bapak." 

Aku sendiri tidak yakin ia akan memberikanku keringanan, apalagi kata Ibu mungkin suasana pikirannya sedang buruk. Tapi barangkali saja hal itu malah membuatnya tidak ingin berurusan denganku lebih lanjut saat ini. 

"Ujian 3 hari lagi. Apa kamu benar-benar tidak ada niat belajar?" tatapan datarnya malah membuatku semakin takut. 

Aku menggeleng. "Mita, bener-bener lupa, Pak. Mita kerjain sekarang deh." Aku buru-buru membuka buku tapi dia malah merebutnya dengan kasar.

Ah, sepertinya aku memang membuat kesalahan di waktu yang salah. Akankah ini malah memperburuk keadaan? 

"Kamu tahu konsekuensi nya 'kan?"

Ya Pak. Aku tahu. Sangat tahu. Tapi lidahku kelu. Aku tidak bisa menyahut apapun perkataannya saat ini karena takut. 

Aku menunggu, dengan degup jantung yang keras. 

Menunggu hukuman darinya. 

Hukuman kali ini, apa yang akan ia ambil? 

"Akh!" Tiba-tiba ia menarik kedua kakiku. Melebar ke sisi kiri dan kanan tubuhnya. Membuat dirinya sendiri terperangkap antara kedua kakiku. Ini dia. 

"Ini milikku." mulainya. 

Apa? Dia menginginkan kakiku? 

Aku menahan nafas saat dia mulai mendaratkan kecupan-kecupan singkat di punggung kaki kiri ku. Sialnya, tidak hanya disana. Dia mulai bergerak ke atas, ke atas tulang kering, semakin naik ke lututk, dengan intensitas kecupannya yang semakin cepat. 

Ujung jarinya menjepit ujung rok yang sedang kupakai. Sementara telapak tangannya yang sedari tadi menyentuh pahaku semakin bergerak naik, membuat rok yang kupakai juga bergerak naik. 

Sial! Seharusnya aku tidak memakai rok saat ini. 

Aku bergidik, saat bibirnya yang hangat kini ikut menyentuh pahaku. Seakan dia sedang menjelajah setiap inci kulit kakiku. 

Naik.

Terus naik. 

Aku menggigit bibir, jika tidak segera kuhentikan ini, aku tidak tahu dia akan terus naik sampai dimana. 

Aku hendak mendorong pundaknya tapi ternyata dia lebih dulu menghentikan aktivitasnya. Aku menunduk. Dari atas, aku bisa melihat kakiku yang benar-benar terbuka lebar dibuatnya. Rokku sebentar lagi terangkat sampai pinggang. Kakiku terekspos seluruhnya. Ini memalukan. 

Sementara punggung Pak Daniel terlihat naik turun dengan cepat, seakan nafasnya sedang memburu. 

Dia kembali duduk. Saat itu juga aku melihat iris matanya yang menggelap. Kenapa mata itu selalu menggelap saat kami sedang saling bersentuhan? 

Ia membalas tatapanku sebelum memejamkan matanya dan menstabilkan nafasnya. 

Dia mengecup bibirku singkat, meluruskan kakiku, merapikan rok ku yang tersingkap, kemudian tiba-tiba meletakkan kepalanya di atas kedua pahaku. Dia tidur menyamping dengan pahaku sebagai bantalnya. 

"Biarkan seperti ini sebentar." pintanya dengan suara serak. 

Aku terdiam. Masih membeku. Masih menetralkan perasaanku yang bergejolak akibat apa yang ia lakukan barusan. 

Jangan bilang, kalau dia hanya ingin tertidur di pangkuanku? Kenapa sih, dia harus membuatku terkena serangan jantung lebih dulu? Tapi akhirnya, dia hanya melakukan sesuatu yang diluar pikiranku. 

"Mit." 

"Hm?" Aku menyahut jengkel. 

"Saya akan memberikan apapun yang kamu minta, kalau kali ini hasil ujianmu memuaskan."

"Janji?" tanyaku senang. Seketika teralihkan dari kejadian barusan. 

"Hm. Janji." 

Itu ucapannya terakhir. Beberapa menit kemudian dia benar-benar tertidur pulas. Disaat itu, aku baru menyadari wajahnya yang tampak lelah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status