"Saya ada urusan di sini nanti sore. Jadi kita punya banyak waktu sebelum itu."
Aku manggut-manggut. Ternyata ada urusan juga.
Di Bali, pikiranku pasti memikirkan pantainya. Tempat itu pasti tidak boleh terlewatkan saat berada disini. Namun ternyata, pikiranku salah.
Bersepeda di antara hamparan sawah lebih nikmat daripada berjalan di atas pasir dan air. Suasana yang masih asri benar-benar menenangkan. Sawah irigasi berkontur menjadi pemandangan alam yang menakjubkan. Sejenak aku seperti menjelajah ke zaman nenek moyang, tapi ini sangat menyenangkan.
Tidak terlalu banyak orang juga kendaraan selain sepeda dan kuda yang disediakan oleh pihak pengelola tempat wisata. Mobil hanya terlihat sese
Sambil berjalan menghampiriku, dia menyeringai. Langkah yang penuh maksud tersembunyi. "Sa-Mi-Ta." Ia menekankan nada bicaranya saat menyebut namaku. "Tidak ku sangka, bisa menemuimu secara langsung." "Eliza? apa yang kamu lakukan disini?" Aku sama sekali tidak membalas senyumannya. "Hanya berkunjung. Ke rumahmu. Hm..." Matanya menyisir penampilanku. Dari atas sampai bawah. "Menengok Ibumu." lanjutnya. Pikiranku berkecamuk. Kenapa dia menemui Ibu? Tiba-tiba Eliza tertawa. "Wah, seharusnya tadi kamu melihat raut keterkejutan Ibumu."
"Nggak usah." Aku menarik tangan Pak Daniel. Mencegahnya berjalan menuju dapur. "Mita. Cuma sebentar di sini." Akhirnya dia duduk. Di sampingku. Aku sama sekali tidak berani menatapnya. "Ada apa? Ceritakan padaku." Sangat gugup untuk mengatakannya. Di pangkuanku, aku terus memainkan jari-jemariku, berharap hal itu bisa mengurangi sedikit kegugupanku. "Pak," Aku menghela nafas. "Mita ingin, mulai sekarang, kita tidak usah bertemu lagi." Dia terdiam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku menunggu. Sampai merasakan dia mengalihkan pandangannya dariku.&n
6 tahun kemudian… **** "Sial! Aku harus bagaimana?" Kami hanya bisa terdiam, melihat Milen terus mondar-mandir di dalam ruang rapat dengan raut wajah depresi. "Kenapa dia ceroboh sekali?" Bagaimana tidak, sang sekretaris mengalami kecelakaan mobil menjelang keberangkatan mereka ke Jawa Tengah. Padahal harus mempersiapkan pembukaan cabang resort baru disana. Kini sebagian besar tanggung jawabnya turut berbaring di ranjang rumah sakit. Milen adalah bos yang santai tapi cerewet. Dia selalu menganggap para bawahannya adalah sahabat. Dia ceria hingga mudah akrab dengan seseorang. Namun tegas jika menyangkut pekerjaan, apalagi melihat seorang pegaw
Dia tidak banyak berubah. Maksudku dari segi penampilan. Tentu saja, penampilannya lebih matang dan dewasa. Kira-kira berapa umurnya sekarang? 6 tahun lalu 29, berarti sekarang 35 tahun. Apa dia sudah menikah? Ah dulu, pertama bertemu dengannya muncul pertanyaan yang sama di pikiranku. Kenapa sekarang juga begitu? Itu bukan urusanku. Mengetahui keadaannya baik-baik saja sudah cukup bagiku. Aku mengalihkan tatapanku dari cermin. Mematikan keran air bekas mencuci tangan, lalu ponselku berbunyi tepat setelah aku baru saja mengeringkan tanganku. "Ya, Mba?" "15 menit lagi." ucapnya
Hari yang melelahkan akhirnya tiba. Ballroom, sudah disiapkan sedemikian rupa untuk acara besar hari ini. Dan tempat ini, akan beroperasi penuh mulai besok. Itu kenapa aku menyebut hari melelahkan pasti dimulai dari sini. Aku mengikuti Milen yang sedang memilih-milih kursi. Padahal semuanya tampak sama saja. Kursi-kursi dilapisi kain berwarna putih dan disusun mengelilingi meja berbentuk bundar yang juga dilapisi kain berwarna senada. "Mau dimana sih, Mba?" "Kira-kira nanti Mr. Lambert duduk dimana ya?" Lagi, ucapan Milen tentang pria itu membuat aku memutar bola mata malas. "Mana Mita tahu. Mita ke belak
Mataku menyisir sekeliling. Melihat yang lainnya. Kini aku juga melihat Tuan James yang sudah berganti pasangan.Ya Samita, ini hanya permainan. Anggap saja, kau juga sedang menghormati atasanmu.Walau tidak secara langsung, namun memang kenyataannya sekarang pekerjaanku berada di bawah perintahnya. Tapi seandainya aku tidak setuju untuk ikut kesini… Aku tidak perlu bertemu dengannya.Ah sudahlah. Sudah terlanjur.Aku menarik nafas. Menegakkan punggung dan tidak berusaha untuk menjauh darinya lagi.Walau aku tidak bisa berdansa, tapi Pak Daniel yang bergerak pelan membuatku jadi mudah mengikutinya. 
"Pak Daniel?" tanyaku lagi. Walau aku sudah mendengarnya dengan jelas, aku merasa perlu memastikannya sekali lagi."Duh, Mit bahaya loh nge-rem mendadak."Aku mengerjap-ngerjap. "Eh, sorry Mba." Aku mulai melajukan mobil kembali."Kan, Mba bilang jangan kaget." Milen membenarkan posisi duduknya. "Kamu ngerasa Pak Daniel kasih lampu hijau buat Mba nggak sih, Mit?""Apa… yang Pak Daniel tanya kemarin itu…?"Milen kembali mengangguk cepat. "Iya. Kemarin kamu inget 'Kan Pak Daniel nanya kalau Mba punya waktu apa nggak. Ish, kayak ajakan kencan
Bagaimana mengembalikannya? Aku memperhatikan gulungan sweater berwarna hitam dalam paper bag plastik di dekapanku. Pakaian yang sudah dicuci dan disetrika. Setelah memastikan sudah bersih, wangi dan rapi, aku berhak untuk mengembalikannya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya sekarang. Aku canggung untuk menemuinya, apalagi setelah kejadian kemarin pagi yang sangat memalukan. Aish, nanti saja lah. Dia pasti tidak terlalu memerlukan sehelai sweater ini. Dia pasti memiliki segudang sweater lainnya. Baik, aku ak