"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya.
"Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya.
"Saya mau print out-nya," desak Evan.
Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan.
"Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.
Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama.
"Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.
Evan mendengkus kesal. "Sialan! Dia ngatain gue moody!" umpatnya setelah Hana meninggalkan ruangannya.
Evan meletakkan kembali print out yang diberikan Hana karena memang sebenarnya dia sudah membaca bahan meeting dengan Direktur Strategi Pemasaran via email yang dikirimkan Hana, ia hanya ingin mengerjai Hana saja.
Setengah jam kemudian, Hana mengetuk kembali ruangan Evan dan mengingatkannya untuk segera bersiap karena Direktur Strategi Pemasaran pun sudah menuju ruang rapat.
Evan dengan langkah lebarnya berjalan di depan, dengan Hana yang mengekorinya beberapa langkah di belakang. Begini lah posisi yang seharusnya menurut Evan. Seorang bawahan harusnya berdiri beberapa langkah di belakang atasan.
Indra, Direktur Strategi Pemasaran tiba hampir bersamaan dengan Evan. Evan yang sudah pernah bertemu dengan lelaki paruh baya itu menjabat tangannya sebelum mengambil posisi duduk. Yang tidak disangkanya, Indra menyempatkan untuk berbasa-basi dengan Hana. Evan bisa melihat ada rasa tidak nyaman dari Hana tapi wanita itu bisa menguasai keadaan dengan baik, tanpa membuat Indra marah atau merasa canggung.
Meeting yang berlangsung sekitar dua jam itu membuat Evan sedikit pusing dan ingin segera kembali ke dalam ruangannya. Sebelum ia beranjak, Evan masih sempat mendengar Indra mengatakan sesuatu pada Hana.
"Han, nanti kalau ada yang perlu diklarifikasi dari divisi saya, langsung kontak saya ya."
Hana tersenyum tipis lalu menjawab, "Nanti saya kontak Mbak Sita, Pak. Kan nggak mungkin saya ganggu kesibukan Pak Indra."
Indra kemudian terkekeh karena lagi-lagi mendapat penolakan secara halus dari Hana.
‘Murahan’.
Itu yang dipikirkan Evan saat melihat Hana masih bisa melemparkan senyumnya pada pria paruh baya yang seumuran ayahnya dan jelas-jelas sejak tadi menggodanya.
Hana melirik jam tangannya yang sudah menunjuk pukul empat sore. Sudah saatnya pulang, tapi Evan belum juga keluar dari ruangannya. Hana menimbang-nimbang apakah dirinya perlu izin terlebih dulu atau tidak. Apakah izin pulang masuk kriteria yang bagi Evan menjadi alasan pembenaran untuk Hana mengetuk ruangan Evan?
Tapi Hana juga yakin Evan akan mengamuk kalau ia tidak menemukan Hana stand by di tempatnya saat ia membutuhkan sesuatu.
Setelah menghela napas beberapa kali, dengan keengganan maksimal, Hana akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu ruang kerja Evan.
"Saya izin pulang ya, Pak, udah jam empat," ucap Hana.
Tanpa mendongak dari layar komputernya, Evan berdecak kasar. "Asisten mana yang pulang duluan sementara atasannya masih berkutat dengan kerjaan?"
"Hari ini saja, Pak. Saya minta izin pulang lebih dulu dari Pak Evan. Saya ada acara."
"Sama siapa?" tanya Evan yang kini menatap Hana dengan penasaran. "Sama Direktur Wasesa Group? Atau Direktur Strategi Pemasaran Cakrawangsa? Wah, kamu pasti sombong ya, bisa deket sama orang-orang penting."
Mendengar ucapan Evan yang kentara sekali menyiratkan ejekan, membuat Hana mengepalkan tangannya. "Van, aku bener-bener harus pulang cepet."
"Ini di kantor, bukannya kita udah sepakat, kita harus menghormati jabatan masing-masing. Rasanya nggak enak kamu manggil saya hanya dengan nama."
Hana mencoba mengatur deru napasnya yang sudah mulai tidak teratur. Ingin rasanya ia menarik kerah baju lelaki di hadapannya itu dan menamparnya dengan keras.
"Saya masih baru di sini, masih banyak yang perlu saya pelajari. Kamu harus stand by."
Tanpa menjawab ucapan Evan, Hana berlalu dan membanting pintu ruangan Evan dengan cukup kencang. Ia harus menemukan tempat lain di mana tidak ada orang yang melihatnya, saat ini sudut matanya telah basah, air matanya hampir tumpah, dan ia tidak ingin seorang pun melihatnya, terutama Evan.
Hana masuk ke dalam bilik kamar mandi. Untung saja sebagian besar pegawai sudah pulang, jadi ia bisa sedikit berlama-lama di dalam bilik kamar mandi itu untuk menuntaskan tangisnya.
Ia tidak akan memohon pada Evan seandainya hari itu bukan hari spesial untuknya.
Belasan tahun ia merayakan hari spesial itu seorang diri dan kini ia terpaksa melewatkan hari spesial itu.
"Selamat hari lahir, Ma. Maaf hari ini Hana nggak bisa masakin makanan kesukaan Mama," ucapnya lagi sambil menahan tangis.
Setiap tahunnya Hana selalu melewatkan dua hari terpenting di hidupnya untuk melakukan hal-hal yang disukai ayah dan mamanya. Pertama, hari lahir mamanya, dan kedua, hari lahir ayahnya. Di dua hari spesial itu, Hana akan masak makanan kesukaan ayah dan mamanya, kemudian melihat-lihat lagi album foto keluarganya beserta video-video yang direkam ayahnya semasa hidup.
Hana kembali ke mejanya setelah berhasil menghilangkan jejak-jejak tangisnya. Beberapa pegawai yang hendak pulang menyapanya saat melihat Hana masih berkutat di depan komputer.
Hana mendengkus kesal, setelah berjam-jam ia duduk di kursinya, tidak sekali pun Evan memanggilnya. Lalu untuk apa dia duduk di sana dan melewatkan hari lahir mamanya.
***
"Azka, anterin ini ke apartemen Hana!" perintah Rimbi pada anaknya.
Rimbi, yang merupakan kakak dari Letta—mama Evan—dan juga sahabat dari almarhumah Shanti—almarhumah mama Hana—tahu pasti kalau Hana akan menyendiri di apartemennya seperti biasanya. Kalau ada segelintir orang yang masih mengingat hari lahir Shanti, itu adalah Rimbi dan Letta.
Azka tiba-tiba teringat hari lahir almarhumah mama dari Hana setelah mamanya menyerahkan paper bag yang berisi satu kotak saus daging lada hitam dan dua toples nastar untuk diberikan pada Hana. "Hari lahir Tante Shanti ya, Ma?"
Rimbi mengangguk.
"Ya udah, aku anterin dulu," Azka kemudian pamit pada mamanya dan segera melajukan mobilnya menuju apartemen di kawasan Kuningan.
Saat Azka tiba di parkiran apartemen Hana, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Azka yakin Hana sudah berada di apartemennya, karena itu Azka langsung turun dari mobil dan menunggu Hana di lobby sembari ia mencoba menelepon Hana.
"Halo, Ka," sapa Hana saat menyadari siapa yang meneleponnya.
"Turun gih Han, aku di lobby, Mama nyuruh aku nganterin sesuatu buat kamu."
"Lobby? Lobby apartemen?"
"Iya lah, lobby mana lagi?" Azka tergelak mendengar suara bingung dari Hana.
"Tapi aku masih di kantor, Ka. Kamu titipin aja ke penjaga di bawah ya."
"Hah? Kamu masih di kantor? Kamu nggak lupa hari ini hari apa kan?"
Terdengar helaan napas dari Hana. "Nggak, Ka. Lagi ada kerjaan aja," jawab Hana lirih.
"Ok, kalo gitu. Aku jemput kamu ke kantor." Setelah mengucapkannya, Azka langsung menutup teleponnya dan kembali menuju mobil dengan membawa tentengan dari mamanya. Ia agak yakin kalau Evan yang menahan hana di kantor hingga malam. Ia tahu bagaimana tabiat adik sepupunya. Karena itu, ia menghubungi orang lain untuk meminta bantuan.
"Halo, Tante."
"Kenapa, Ka?"
"Tante, Tante Letta inget kan hari ini hari apa? Tapi Hana masih ada di kantor, Tante."
"Hah? Hana masih di kantor? Evan memang belum pulang juga sih. Ya udah tante telepon Evan dulu biar nyuruh Hana pulang."
"Makasih ya, Tan. Ini aku lagi dalam perjalanan ke kantor Om Ares buat jemput Hana."
"Iya, iya, tante pastiin begitu kamu nyampe sana, Hana udah ada di lobby kantor."
***
Dering ponsel Evan membuat lelaki itu menghentikan apa yang dikerjakannya. "Iya, Ma? Aku masih di kantor."
"Mama tau. Suruh Hana pulang sekarang!" perintah Letta dengan nada dingin.
"Mama gimana sih, mana ada asisten pulang sebelum bosnya," jawab Evan sambil terkekeh.
"Evan! Hari ini hari lahir mamanya Hana. Yang dipunya Hana cuma kenangan sama mamanya. Mama nggak mau tau, kamu suruh Hana pulang sekarang juga!"
Evan terdiam setelah mendengar kata-kata mamanya, pantas saja tadi Hana membanting pintu saat ia tidak mengizinkannya pulang. Ia lantas merapikan barang-barangnya dan berniat pulang sekaligus menyuruh Hana pulang.
Saat keluar dari ruangannya, Evan menemukan Hana yang termenung di depan komputernya. "Han, kamu boleh pulang," ucapnya kemudian berlalu menuju lift.
Dalam beberapa detik saja, setelah mendengar ucapan Evan, Hana sudah berlari menuju lift dan beruntung, Evan masih menahan lift khusus VIP itu untuk Hana.
Tidak ada kata yang mampu diucapkan Hana, bahkan untuk sekadar berterima kasih, hatinya masih terlalu kesal dengan Evan, jadi ia memiliih diam.
"Mau kuanter?" tanya Evan.
"Nggak, makasih. Azka jemput aku," jawab Hana.
"Kamu mau ngapain memangnya?" tanya Evan penasaran. Apa yang harus dirayakan di hari lahir seseorang yang sudah tenang di alam lain?
"Harusnya aku bisa masakin makanan kesukaan mama, trus ngelihat album foto keluargaku, nonton video yang direkam ayahku. Aku cuma takut lupa sama orang tuaku. Kamu nggak tau rasanya takut ngelupain orang yang kamu sayang. Gara-gara kamu aku ngelewatin salah satu hari spesial dalam hidupku." Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, pintu lift terbuka dan Hana berlari menuju Azka yang sedang menunggunya.
"Lucu banget siiih." Vio yang menggendong sesosok bayi kecil tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi yang belum bisa membuka mata itu. "Boleh bawa pulang satu nggak? Kan masih ada satunya lagi.""Kalo dia laper, lo mau nyusuin?" Hana mendelik ke arah Vio."Ck! Lucu banget tau, Han." Vio dengan gemasnya mengecupi pipi bayi merah itu."Udah pengen ya?" tanya Hana menggoda Vio yang agak terlihat kaku menggendong bayi di tangannya.Vio mengedikkan bahu sebagai jawabannya.Saat keduanya tengah bermain-main dengan bayi kembar itu, Evan dan Azka masuk ke dalam kamar rawat dengan dua tote bag yang berlogokan salah satu minimarket. Hana memang meminta pada suaminya untuk dibelikan cemilan karena makanan dari rumah sakit hanya mampu mengganjal setengah ruangan di perutnya."Van, si twin siapa sih namanya? Astaga, udah setengah jam aku nanya ke Hana, katanya kamu yang bakal ngasih tau karena kamu ngelarang dia ngasih tau. Apaan coba?"Evan tersenyum pongah. Ia memang melarang Hana memberitahukan
Hana mengusap peluh yang mulai terasa di dahinya. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menyergapnya. Evan masih tertidur pulas di sebelahnya.Setelah mengatur napasnya beberapa saat dan sakit di perutnya tidak kunjung mereda, tangan Hana terpaksa menggapai suaminya untuk membangunkannya."Maaas.""Hmm?" Evan mendengar panggilan istrinya tapi matanya masih enggan untuk membuka."Mas, perutku mules."Barulah setelah mendengar itu, mata Evan membuka sempurna. "Kontraksi?"Hana hanya bisa kembali mengatur napasnya. Ini yang pertama untuknya, bagaimana ia bisa membedakan itu kontraksi palsu atau kontraksi yang sebenarnya."Aku bangunin Mama dulu ya."Sejak satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), semua anggota keluarga Evan sudah menginap di rumah Evan, mama papanya, termasuk Elga dan Elaksi. Euforia dan khawatir yang berlebihan adalah penyebabnya. Tapi Evan juga tidak memungkiri kalau ia membutuhkan kehadiran mamanya yang sudah berpengalaman menghadapi proses persalinan."Masih
"Permisi, Pak." Ribka melongokkan kepala ke ruang atasannya setelah mendengar sahutan dari Evan yang mempersilakannya masuk."Kenapa, Rib?""Hana?"Evan hanya menunjuk dengan dagu posisi Hana yang sedang tidur di sofanya. Sejak kehamilan Hana, Evan sengaja mengganti set sofa di ruangannya dengan yang lebih besar agar Hana bisa tidur dengan nyaman.Apalagi kini kehamilan Hana menginjak tujuh bulan. Dengan perut sudah sebesar itu, sebenarnya Evan tidak tega membiarkan Hana masih bekerja, walau setengah hari kerja Hana hanya dihabiskan untuk tidur. Tapi ke-clingy-an Hana belum juga berkurang hingga Evan tidak mungkin membiarkannya di rumah sendiri."Kenapa nyari Hana?""Ada proposal yang nunggu approval Pak Evan. Dan belum di-review Hana. Tadi tim pengembangan 2 udah nanya hasilnya, Pak.""Langsung kirim ke saya aja, Rib. Biar saya periksa.""Nggak lewat Hana nggak apa-apa, Pak?""Lihat sendiri dia teler begitu." Evan terkekeh melihat Hana yang tertidur dengan nyaman tanpa merasa tergang
"Maaas, meluknya jangan kenceng-kenceng. Nanti dedeknya kegencet."Evan merenggangkan pelukannya meskipun rasanya masih belum rela."Gemes abisnya. Kamu jadi lebih enak dipeluk."Hana mendelik kesal. Pasti ada yang tersirat di balik ucapan suaminya itu. "Maksudnya aku gendutan? Jadinya empuk untuk dipeluk?""Ya ampun, jangan sensitif gitu dong, Han. Nanti kalo kamu kesel, baby-nya ikut kesel sama ayahnya gimana?"Hana mengerucutkan bibir karena kesal, tapi justru ditanggapi Evan sebagai kode untuk mencium bibir istrinya itu, yang semenjak kehamilannya sama sekali tidak pernah terpoles lipstik."Ya orang hamil memang gendutan, Sayang. Kalo nggak gendutan gimana lah, mesti kita periksain lagi ke dokter, apalagi kamu bawa dua baby di perut," ucap Evan setelah puas mengeksplorasi kelembutan bibir istrinya."Mas nggak akan ninggalin aku meskipun aku gendut kan?" tanya Hana tiba-tiba."Kok kamu jadi clingy banget sih sejak hamil?" tanya Evan sampai hampir terbahak. Tidak pernah terbayangkan
"Mbak Hana mikir apa?" tanya Bi Lastri yang memperhatikan Hana melamun sambil mengaduk lemon tea yang baru saja dibuatnya. "Jangan banyak pikiran, Mbak. Kasihan yang di perut."Hana tersenyum melihat kekhawatiran Bi Lastri padanya. Pasti mama mertuanya sudah mewanti-wanti ART di rumahnya untuk memperhatikannya.Ia memang sedang berpikir, tapi bukan masalahnya yang sedang menguasai pikirannya. Hari sebelumnya ia sempat mengobrol dengan Vio, dan curahan hati Vio tentang hubungannya benar-benar membuat Hana memutar otaknya.Dan inilah saatnya ia mencoba melakukan sesuatu untuk membantu hubungan sahabatnya."Bibi, minta tolong bawain minum sama cemilannya ke ruang tengah ya," ucap Hana, kemudian berlalu menyusul suaminya dan sepupu iparnya yang sedang mengobrol di ruang tengah."Mas, Arfindo udah punya cewek belum sih?" Kalimat pertanyaan pertama yang disampaikan Hana begitu menginjakkan kaki di ruang tengah membuat Evan mengernyitkan dahi."Ngapain nanyain Arfindo?"'Evan dan cemburunya.
"Jadi Evan nerima lo lagi?"Sudah beberapa minggu sejak keluarga Evan akhirnya tahu apa yang dilakukan Hana untuk menyelamatkan perusahaan. Hana sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Evan yang disangka Vio tidak akan terjadi.Hana mengedikkan bahu, karena dia sendiri juga bingung dengan apa yang diinginkan Evan. "Lo sama Kak Azka gimana?""Loh kok jadi ngomongin gue?""Ayolah Vi, gue butuh hiburan kisah cinta orang lain daripada kisah cinta gue.""Nggak ada apa-apa, Han. Jadi nggak ada yang perlu gue ceritain.""Hah? Serius? Waaah, Kak Azka mesti didorong nih."Hana meraih ponselnya dari dalam tas kemudian sibuk mengirim pesan pada Azka, sementara Vio menatap makan siang di depannya dengan malas padahal dia yang sejak pagi mendesak Hana untuk menemaninya makan siang di salah satu restoran kesukaannya.Keduanya larut dalam obrolan sampai Hana tidak sadar kalau makanannya sudah habis sementara makanan Vio bisa dibilang masih utuh."Makan yang bener, Vi.""Lo kayak nggak pernah