"Mas, tidak berbohong?" Suara Rasti gamang. Sebenarnya ia begitu takut dengan pikirannya sendiri.
"Mana mungkin Mas berani berbohong, Sayang." Raihan segera menghampiri dan mengambil alih hadiah itu. "Memang ada-ada saja si Robbi, Mas sampai malu sendiri melihatnya hingga disembunyikan di sana biar kamu tidak usah lihat." "Ya." Rasti menjawab dingin. Ia keluar kamar dan membiarkan suaminya berganti pakaian. Rasti bolak balik di teras rumah, padahal matahari sudah terbenam dan langit menjadi gelap. Rasanya ia tidak bisa memendam perasaan yang kini menghantuinya. Rasti menghubungi Pak Salim, kebetulan ia memiliki kontak ponselnya karena memang pria itu adalah konsumen setia mereka dari dulu. [Rasti. Tumben sekali. Ada apa?] Pak Salim menjawab dengan nada ceria. Barangkali ia berharap ada kabar gembira tentang wanita pujaannya setelah beberapa kali mendapat sinyal bagus. [Eum ...] Ragu sekali Rasti menanyakannya. [Hadiah itu?] [Hadiah?] tanya Pak Salim. [Hadiah dari ibu.] [Oh, ya. Apa Bu Mayang meminta Rasti untuk memberikannya?] [Sebelumnya, Rasti ingin menanyakan isinya. Kata Pak Salim sebelumnya hadiah itu berisi celana pria?] Suara Rasti melemah. [Oh, ya. Benar.] [Apa itu seperti celana dalam?] Rasti berhati-hati, ia malu menanyakan itu. [Hahaha! Saya lihat mirip seperti itu.] Pak Salim tertawa geli. Ia pun tidak berpikir akan mendapatkan hadiah pertamanya sebuah celana dalam, mungkin karena harganya lebih murah. Rasti langsung menutup panggilan dan mencari kotak hadiah itu. "Di mana, Mas?" "Apa, Sayang?" "Hadiah itu!" "Untuk apa?" "Katakan saja!" Raihan sudah mengendus hal yang tidak baik dari cara Rasti mencarinya dan nada suara yang meninggi. "Mas simpan di laci." Brank! Laci itu terbuka dan tertutup dengan cepat. Rasti langsung berjalan dengan emosi yang menggebu-gebu, mengetuk pintu kamar ibunya. "Ya." "Apa itu?" Rasti menjatuhkan hadiahnya di atas kasur hingga tutupnya terbuka. Bu Mayang melirik pada Raihan yang juga menyusul di belakang. "Kamu tahu?" "Apa yang sebenarnya ingin ibu lakukan?" Mata gadis itu menatap nyalang. Menuduh dengan tatapan sinis. "Ti-tidak ada. Ibu hanya ingin memberikannya pada menantu ibu." "Apa tidak ada hadiah yang lebih baik selain itu?" Rasti masih tetap menghakimi. Raihan memegang kedua lengannya dari belakang, meminta Rasti untuk tenang. "Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Sayang," lirihnya pada Rasti. "Apa yang bisa dibicarakan, Mas?" Rasti menoleh. "Apa kamu kira aku masih bisa berpikir positif setelah semua ini? Semua keganjilan ini terlalu mencolok." Rasti meremas kepalanya yang sakit. "Apa jangan-jangan kalian?" "Tidak!" Raihan langsung menggeleng cepat. "Mari kita bicarakan ini di luar." Raihan tahu istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ia memapah gadis itu untuk keluar dan duduk di ruang tengah. Tidak berapa lama Bu Mayang ikut duduk menghadap keduanya. Menantu dan putrinya hanya diam. Bu Mayang tahu ia yang harus berbicara, sekarang. "Ibu hanya melihatnya dan berpikir itu bagus untuk hubungan malam kalian. Tidak ada apa-apa selain itu," jelas Bu Mayang. "Itu tidak perlu, Bu." "Iya, maaf, Rasti. Ibu hanya berpikir kamu akan senang saat Raihan mengenakannya." Wajah wanita itu tertunduk lesu. "Sudah." Raihan mengusap lembut puhu tangan Rasti. Wanita itu berdiri dan meninggalkan anak menantunya. Ia masih tertunduk lemah saat masuk ke dalam kamar. Rasti melenguh serba salah. Entah harus bagaimana sikapnya menyikapi semua hal ini. Sesuatu yang dianggap ibunya biasa justru membuat gadis itu tidak nyaman. "Ibu hanya terlalu menyayangi kamu," ujar Raihan lagi. "Tapi, ini tidak normal, Mas." "Ya, memang tidak biasa. Tapi, jangan terlalu keras pada ibu. Kasian, apa kamu pernah melihat beban yang ditanggungnya begitu berat?" Malam itu Raihan mendengar tangisan mertuanya lebih menyayat dan menyedihkan. "Tidak! Bukan berarti Mas membenarkan perilaku ibu. Hanya saja jangan terlalu keras padanya. Kamu percaya pada Mas. Diantara kami tidak pernah terjadi apapun." Rasti menoleh pada pria di sampingnya saat ini, menatap penuh selidik. "Bukankah terlalu mudah untukku percaya setelah banyak bukti?" "Kamu mencurigaiku?" "Seharusnya memang seperti itu, bukan?" "Rasti?!" Mata Raihan melebar. Rasti bangkit. "Rasanya seperti terlalu bodoh, jika aku harus tidak menaruh curiga." "Kamu mencurigai ibumu sendiri?" "Orang pertama yang harus aku curigai adalah kamu, jika memang benar ini terjadi. Seperti katamu, Ibu adalah wanita yang telah melahirkan dan membersamaiku selama ini. Terlalu banyak beban dan tekanan untuknya. Jika pun ia berubah itu artinya ada pihak lain yang sangat kuat mempengaruhinya." Alis Raihan berkerut, apa yang dimaksud oleh Rasti itu berarti ia mencurigai dirinya? Brugh! Pintu kamarnya terkunci dari dalam. Raihan melongo bingung karena ia yang kini menjadi kambing hitam dari semua masalah yang bahkan tidak dimengerti olehnya. Raihan terpaksa pergi dengan mobilnya. Berada di dalam rumah itu sendirian membuatnya serasa orang asing. Rasti mendengar suara mesin mobil suaminya meninggalkan halaman rumah. Ia sungguh ingin menghentikan kepergiannya, namun rasa cemburu dan marah menjadi satu. Tidak ada pilihan untuk menahan tidak pergi, berperang dengan pikiran sendiri membuat gadis itu kelabakan. Ia bahkan harus menekan rasa marah pada ibunya dan tetap memperlakukannya dengan baik. Malam berlalu, jarum jam terus bergerak ke kanan, Raihan masih belum pulang, padahal Rasti sengaja tidak mengunci pintu rumah agar saat kembali dia bisa masuk sendiri. Hati Rasti gelisah, mengingat pernikahannya baru saja seumur jamur, bagaimana mungkin harus kandas begitu saja. Belum lagi pandangan orang-orang terhadap keluarganya, nanti. Hati dan kepala gadis itu terasa pecah memikirkannya. Pagi menjelang, Raihan belum kunjung pulang. Ia masih menggunakan pakaian santai, bagaimana bisa pergi bekerja? Rasti semakin gelisah. Ibunya pun belum terlihat keluar dari kamar. Rasti masih tidak sanggup menekan egonya sampai harus mengetuk pintu itu dan meminta ibunya untuk keluar, membersihkan diri dan sarapan. Belum lagi toko kue milik mereka tidak dibuka sejak kemarin, bisa jadi banyak kue yang basi dan harus menanggung rugi. Rasti semakin serba salah. Terpaksa Rasti harus menunggu ibunya keluar dari kamar. Ibunya mungkin bisa menahan diri untuk tidak makan dan minum barang sehari, tapi untuk buang air kecil apalagi hajat besar mana bisa ditolerir. Dan dugaan Rasti benar, wanita yang menjadi ibunya itu keluar setelah pukul 09.00. Rasti yang mengintip sejak tadi segera masuk untuk mengambil kunci. Ia tetap memikirkan banyak hal, meski hati dan perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu membuka toko kue mereka, sosok sang ayah menjadi penguat hatinya saat ini. Toko peninggalan itu jangan sampai gulung tikar dan tutup, apalagi hanya itu lah tempat mereka mengais rezeki. "Di mana Bu Mayang?" Pak Salim menjadi pelanggan pertama Rasti hari ini. Ia tidak banyak membuat kue hanya beberapa saja yang dikuasainya, sisanya menjual yang sudah tersedia di dalam display. "Ibu---ibu sedang tidak enak badan, Pak." "Oh, ya. Kalau begitu bungkuskan aku kue ini." Pria itu menunjuk satu kue berukuran sedang. "Aku akan menjenguknya." Rasti hanya tersenyum kecil, ada baiknya memang ibunya bertemu dengan orang lain, mungkin saja ia bisa sedikit menenangkan pikiran dan perasaannya, gadis itu mengangguk setuju. Pak Salim bergegas dengan senang karena selain mendapat lampu hijau dari sang dambaan hati juga dari putri semata wayangnya, sikap Rasti menunjukkan sebuah support. Rasti mengecek ponsel dan hatinya sangat berharap kalau Raihan menghubungi. Cinta yang dalam pada laki-laki itu membuat marahnya begitu cepat pergi, belum lagi jika harus memikirkan pernikahannya, menurunkan sedikit ego mungkin akan membuat pernikahan dan keluarganya selamat. "Mas Raihan?" Mata Rasti berbinar senang, namun ia tetap menjaga nada suaranya. [Sayang, kamu dimana?] tanya pria itu. [Di toko.] [Maaf, aku tidak pulang.] Sunyi. Rasti masih menjaga gengsinya. [Sayang bagaimana kalau kita pergi berlibur berdua? Barangkali salah paham diantara kita bisa diatasi.] Rasti masih tidak menanggapi, suara darinya tetap sunyi. [Tidak apa-apa, jika kamu tidak mau. Ini memang ide Robbi. Sudah aku katakan kamu tidak mungkin setuju dengan ide dan meninggalkan ibu sendiri,] tukas Raihan menyela ucapannya sendiri. [Aku mau.] [Ya?] [Aku mau pergi liburan.] [Sungguh. Ini adalah berita yang bagus. Mas akan mengatur jadwal.] [Ya.] * Raihan mematikan panggilan menurunkan ponselnya pelan. "Bagaimana, Pak. Apakah istri Anda setuju?" Robbi masih menunggu, sebagai pemberi ide ia harus memastikan rencananya berhasil. "Dia mau." "Benarkah? Itu adalah cara yang jitu untuk mendamaikan dua sejoli yang sedang renggang." Robbi menepuk dadanya bangga. "Aku tidak yakin. Kamu harus bertanggung jawab sampai rencana ini tidak berbuntut rusuh!" Raihan memang masih ragu, Rasti sangat berat terhadap ibunya. Pergi berdua tanpa ibunya seperti hal yang mustahil. Bersambung ...."Bagaimana?" Bu Nawang menyambut antusias kedatangan putranya yang baru pulang dari Bali. Ia sudah tahu kalau Bagus akan melamar Mayang lagi di sana untuk menjadikannya istri."Di tolak, Bu.""Apa? Ditolak? Si Mayang menolak anak ibu yang kaya raya ini?" Wanita tua itu tidak terima. "Apa dia sudah gila, beraninya menolak anakku? Si Mayang harus tahu banyak mengantri untuk menjadi istrimu, Bagus."Pak Bagus berjalan gontai menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Setelah mendengar penolakan kejam itu, Pak Bagus tidak lagi berani dekat-dekat dengan Mayang, ia insicure pada dirinya sendiri."Apa alasan dia menolakmu? Apa dia meminta agar semua hartamu di alihkan atas namanya?" Bu Nawang masih tidak percaya ada yang menolak keinginannya."Mayang bilang, Bagus bukan lagi tipe pria idamannya, Bu.""Dia tidak suka sama pria gendut, perut buncit dan berleher pendek ini." Pak Bagus melanjutkan dengan nelangsa."Apa? Dia berani mengatakan itu pada anak semata wayangku?" Bu Nawang mulai mem
"Hanya 2 tas saja, Bu. Nggak bisa lebih!" Rasti sudah mewanti-wanti ibunya untuk tidak membawa banyak barang, seperti saat mereka pergi ke kampung Raihan, sebelumnya."Iya. Kamu udah bilang 4 kali sama ibu, Rasti," jawab Bu Mayang tidak menoleh. Ia terlalu sibuk dengan packingan bajunya. Menyiasati bagaimana cara semua barang bawaannya masuk ke dalam 2 tas seperti yang dikatakan putrinya itu."Ini, dia pasti butuh dan lupa membawanya. Ini juga harus aku bawa, Bu Widia akan marah besar, jika aku tidak membawanya." Wanita itu berpikir untuk memasukkannya pada kemasan yang lebih kecil. Hingga pukul 23.00 wanita itu masih sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa pergi.Di rumahnya sudah sepi, suara Raihan dan Rasti pun tidak lagi terdengar. "Apa mereka udah tidur?" Bu Mayang menyelinap ke bawah kursi ruang tamunya. Perlahan ia berjongkok dan memicingkan sebelah mata. Mengintip dari lubang kancing yang menembus ke kamar anak menantunya."Arg!" Bu Mayang terkaget sampat terbentur kursi
Rasti masuk ke dalam ruangan persidangan sesaat sebelum sidang di mulai. Raihan sudah duduk di sana bersama pengacaranya. Ia menoleh pada gadis itu yang hanya menunduk sambil berjalan hingga sampai ke tempat duduknya.Hakim memasuki ruangan sidang. Berkas perkara mulai dibacakan. Berkas tuntutan dari Rasti kosong. Ia tidak menuliskan apapun. Di matanya tidak ada kekurangan untuk suaminya itu.Rasti diminta untuk berdiri dan menjelaskan perasaannya secara langsung. Ia diberi kesempatan oleh hakim untuk mengungkapkan sendiri alasan dari penuntutannya. "Raihan adalah pria yang sangat baik. Itu alasan kenapa saya tidak menuliskan satu pun kekurangannya. Tapi, ada sesuatu yang tidak bisa saya ungkapkan pada halayak ramai mengenai gugatan perceraian ini. Saya dan Raihan sama-sama tahu alasannya. Saya sungguh minta, maaf," ucap Rasti menunduk. Tubuhnya terasa bergetar, ia bahkan meneteskan air mata di sana. Raihan yang tahu beratnya perasaan istrinya saat ini, sontak berdiri. Berkali-kali,
Pak Bagus duduk di samping ranjang ibunya. Ia tidak ingin kecolongan lagi, mungkin saja orang itu kembali. Sejak kejadian tadi malam, ia bahkan tidak bisa memejamkan mata. Menatap wajah ibunya yang sudah menua. Wanita di hadapannya bukanlah ibu yang sempurna, tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah cara siaga untuk melindungi diri dan anaknya. Setelah melihat fakta sesungguhnya, mungkin puluhan tahun ini, apa yang ibunya lakukan tidak semua atas kehendaknya sendiri."Bu." Bagus menggenggam tangan ibunya. Ia mengelusnya sembari mengenang masa-masa yang telah lalu. Ibunya memang berwatak keras, tapi di mata Pak Bagus tidak ada orang sebaik ibunya, seburuk apapun wanita itu memperlakukannya. Ia bisa hidup hingga saat ini semua karena jasa-jasanya yang tidak akan mungkin terbalas. Apalagi mereka hidup berdua sejak dulu. Melihat ibunya kerja keras untuk menghidupinya, Pak Bagus tidak pernah melihat wajah ayahnya sendiri, hingga kini."Bangunlah, Bu. Kita masih bisa memperbaiki keadaan ini
"Argh! Sial!" Dara menumpahkan emosinya. Ia tahu pengacara itu mengkhianatinya."Pecat Haikal, sekarang! Jadikan, dia gelandangan!" pekiknya lagi saat Zaki mengunjunginya. Kemudian, menceritakan kalau pengacara yang datang kemarin adalah pengacara ayahnya. "Anak bodoh! Kamu memang tol*l!"Zaki hanya diam saat dimaki ibunya, ia menyadari kebodohannya."Lalu, bagaimana dengan nenek tua itu. Apakah dia sudah mati?"Zaki masih diam. Mata Dara bergerak mengintai."Bukankah kamu telah menghabiskan waktu dengan sia-sia, Zaki?" tanyanya emosi.Anak lelaki itu sudah kecanduan. Minumannya adalah alkohol, dan ia tidak bisa melepaskan game online di tangannya. Zaki lupa akan tugas-tugasnya dari sang ibu."Benar-benar, kamu!" Dara menendang meja di depannya, pemisah antara mereka. Zaki sampai berdiri kaget. "Cari pengacara lain, sekarang! Aku harus keluar dari sini!"Zaki segera pergi. Ia yang tidak punya relasi dan hanya menghabiskan hidupnya untuk dunia game, bingung. Uangnya yang banyak itu, ti
Raihan dan Rasti pulang ke rumah, malam hari. Bu Mayang tidak banyak bertanya tentang kedatangan mereka yang terlambat. Ia seperti lelah setelah perjalanan jauh. Rasti mendapati ibunya dengan mata mengantuk dan langsung kembali ke kamar setelah membuka pintu."Ibu, sudah tidur lagi," ucap pelan Rasti sembari menutup kembali pintu kamar ibunya yang ia baru saja dibuka. Memastikan.Raihan mengangguk. Mereka duduk sebentar di meja tamu. Rasti mengambil air minum untuk suaminya itu. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu."Sidang perceraian kita akan digelar, 6 hari lagi." Raihan mulai membuka pembicaraan. Suaranya kecil dan nyaris hilang. Ia sama sekali tidak ingin duduk di depan meja hijau itu.Rasti terdiam. Sebenarnya, ia selalu mengingat hari itu, di setiap detiknya. Apalagi setelah masa-masa kebahagiaan bersama Raihan dan keluarganya. Wanita mana yang ingin melepaskan keberuntungan itu?"Aku ingin kamu mempertimbangkannya kembali, Rasti. Kita bisa hadapi masalah ibu sama-sama."