Rasti adalah anak satu-satunya yang tinggal bersama ibunya_Mayang. Setidaknya itulah yang Rasti tahu selama ini. Putri satu-satunya dari pasangan suami istri Bagus dan Mayang. Mereka hidup normal berdua, meski tanpa sosok ayah. Ibunya adalah seorang pekerja keras dan menolak untuk menikah lagi. Tidak ada yang aneh apalagi tidak normal. Sikap Mayang layaknya ibu yang lain pada putrinya. Namun, semenjak Rasti mulai mengenal seorang pria, sikap Mayang sedikit berbeda. Apalagi setelah pernikahan putrinya itu. Mayang berubah drastis, baik dari berpenampilan maupun sikapnya. Berkali-kali Rasti melihat sikap lembut tidak biasa yang ditunjukkan seorang ibu mertua untuk menantu lelakinya. Hal-hal yang bahkan bersifat sensitif kerap kali ditanyakan. Rasti semakin tidak mengerti saat ibunya sering mengenakan pakaian dinas seorang wanita bersuami, ikut menjerit saat malam, dan keramas pagi dengan semangat setiap harinya. Tepatnya saat Rasti telah melakukan hubungan suami istri bersama suaminya. Ada apa dengan perubahan sikap ibunya itu membuat Rasti tidak mengerti. Ia tidak bisa menuduh suaminya ada main dengan sang ibu karena setiap malam ia tidak pernah kehilangan pria itu disampingnya. Namun, sikap ibunya seolah ingin memerankan peran Rasti pada Raihan. Melayani suami layaknya seorang istri. Apa mungkin ibunya mencintai Raihan? Itu adalah pikiran terburuk yang dipikirkan Rasti sejak melihat perubahan sikap wanita yang melahirkannya itu. Lebih dari itu, Rasti menemukan sesuatu yang aneh dari dalam diri ibunya. Terutama setelah Rasti sering menemukan ibunya seperti berbicara pada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah kalau Mayang mencintai menantunya sendiri atau ada hal lain yang lebih buruk dari itu? Bisakah Rasti mengungkap rahasia yang sebenarnya ada pada ibunya? Ataukah justru pernikahan dia dengan Raihan harus kandas karena sikap ibunya yang semakin menjadi? Jangan lupa subscribe, like dan komen untuk membaca kisah selanjutnya.
View More"Rasti! Raihan sudah pulang!" Ibu berteriak dari depan. Rasti yang tengah mencuci perabot masak segera mengakhiri aktivitasnya dan mengeringkan tangan.
"Iya, Bu." Sejenak bibirnya tersenyum mesem, hatinya sedikit bergetar mengingat rasa tadi malam. Rasanya begitu indah dan menegangkan. Pengalaman baru yang hampir saja membuat jantungnya berhenti. Ia bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Tentu saja, malam-malam indah itu tidak perlu diketahui orang lain, terutama ibunya yang tinggal satu atap bersama mereka. "Mas, sudah---pulang?" Suara Rasti melemah saat melihat pemandangan asing di depannya. "Kamu pasti sangat lelah, Nak." Bu Mayang mengelap kening Raihan yang meneteskan keringat. "Bu----" Suara Rasti tertahan di udara. "Ambilkan Raihan minum!" tukas Bu Mayang tanpa menoleh. "Ya?" "Apa kamu tidak lihat suamimu kelelahan?" Matanya sedikit melotot saat menoleh pada Rasti, namun begitu lembut ketika kembali menatap menantunya. "Biarkan ibu yang bawa tasnya. Duduklah!" Rasti melihat sendiri ibunya meraih tangan Raihan dan mengajaknya duduk. "Kamu terlihat sangat lelah." Tangannya perlahan memijat kaki bagian atas pria itu. "Ibu!" teriak Rasti spontan bersamaan dengan gerak tubuh Raihan yang menjauh. "Kenapa kamu masih di sini? Cepat ambilkan minum! Menantu kesayangan ibu kelelahan." Senyumnya kembali mekar, beralih dengan lembut kembali pada Raihan. Pria itu hanya menatap heran pada Rasti yang juga kebingungan. Lalu, bergerak lambat menuju dapur untuk mengambilkan air minum seperti yang diperintahkan ibunya. "Bagaimana mungkin ibu---" Rasti termenung. Sikap ibunya menjadi sangat aneh. Sebenarnya keganjalan itu terjadi seminggu ini, tepatnya setelah hari pernikahannya dengan Raihan. "Suamimu kok cuma minta sekali sih, kan kurang." Pagi tadi ketika ibunya baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah dan terlihat semburat kemerahan dari wajahnya. Mirip pengantin baru yang masih terngiang-ngiang malam pertamanya. 'Apa maksud ibu? Tidak mungkin itu kan?' Rasti gamang sembari melihat dirinya yang hendak membersihkan diri setelah kegiatan baru mereka menjadi pasangan suami istri, semalam. "Lain kali, bermanja lebih sering, dia pasti akan tergoda kok, jadi nggak cuma sekali." "Mana cukup!" Ibunya kembali berbisik di telinga Rasti sebelum meninggalkannya mematung. "Apaan sih, Bu?" Rasti menjawab malu setelah memastikan arah pembicaraan ibunya. Bisa-bisanya wanita yang mengandungnya itu menggoda hal demikian. "Ibu menikmatinya," jawab Bu Mayang mengedipkan mata. Namun, seketika Rasti tersigap. 'Menikmatinya?' Lamunan Rasti seketika terhenti. Air yang tengah mengalir ke dalam gelas lekas dimatikan. Rasti berlari ke depan. Keganjilan terhadap sikap ibunya beberapa hari ini membuat hati wanita itu tidak tenang dan menduga-duga yang tak karuan. Seketika mata Rasti melotot, langkah kaki wanita itu terhenti tepat di hadapan keduanya. Ibu mertua dan menantu lelakinya. "Ibu!" sentak Rasti hingga membuat wanita berusia 42 tahun itu menoleh. "Apa yang Ibu lakukan?" "Kamu melihatnya seperti apa?" tanyanya balik. Tangan wanita itu masih berada di sana. Di dada Raihan yang terbuka. "Suamimu kegerahan dan ibu membantunya membuka kancing baju. Ini sedikit sulit," ujarnya santai. Rasti segera berbalik setelah merasakan dadanya bergemuruh kencang, matanya bahkan melotot tajam pada pria yang saat ini bergeming. Kelakuan ibu dan suaminya sudah berada dibatas wajar. "Rasti! Mana air minumnya?" Bu Mayang kembali menoleh pada putrinya yang menyentakkan kaki masuk ke dalam kamar. "Tidak perlu, Bu. Saya tidak haus." Raihan segera berdiri dan menyusul istrinya yang terlihat marah. Salah paham. Begitu yang terpikirkan Raihan. Rasti terduduk di meja rias. Kedua tangannya mencekal kencang kain kursi, entah perasaan apa yang mengguncang hatinya saat ini. Rasanya mustahil, ibunya mirip wanita penggoda yang mengancam keutuhan pernikahannya yang baru seumur jamur. Ia bahkan cemburu pada ibunya sendiri. Ibu yang telah melahirkan dan merawatnya hingga sebesar ini bahkan tanpa sosok seorang ayah. "Sayang." Raihan memeluk dari belakang. "Lepaskan aku!" Rasti menepis. Menyerongkan tubuh dan membuang wajah. "Kamu kok marah?" ujar Raihan. Wajah Rasti langsung berbalik tajam. "Kamu masih nanya, Mas?!" "Ya, aku pun bingung." Terlihat sekali kening Raihan yang berkerut, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Sikap mertuanya yang manis, hingga terlihat berlebihan dan membuat istrinya sendiri marah. "Kamu sadar nggak sih, Mas! Kalau kamu dan ibu itu---" Sungguh lidah Rasti kelu untuk meneruskan kata. Pikirannya beku saat memikirkan hal mengerikan itu. Mana mungkin ibu dan suaminya ada main? "Iya, sih, aku rasa perlakuan ibu sedikit berlebihan." Mata Rasti semakin terbuka, melihat Raihan yang tengah berpikir. "Dia seperti ingin menggantikan peranmu sebagai istriku." Detak jantung wanita itu terasa berhenti. 'Menggantikanku sebagai istri?' Pengalaman barunya tentang malam-malam yang ia habiskan dengan Raihan tadi malam hingga melihat ibunya keramas sebelum subuh memenuhi pikiran wanita itu sekarang. "Beberapa kali ibu mengambil alih tugas yang harusnya dilakukan olehmu. Tadi, kukira kamu yang datang dan tiba-tiba mengambil tas kerjaku. Aku yang masih merunduk membuka sepatu hampir saja memeluk dan mencium keningnya," papar Raihan mengingat. "Astaghfirullah, Mas!" Mata Rasti melotot. "Untungnya aku keburu sadar kalau itu ibu." Lanjutnya lagi. Rasti memegang dadanya yang semakin bergemuruh saat mendengar penjelasan suaminya. Memang terasa semakin ganjil sikap ibunya itu. Jika, mengingat hari-hari kebelakang, sesekali ibunya memang menampakkan rasa bahagia saat Rasti berbicara tentang Raihan, lelaki yang ia pacari satu tahun ini. Beberapa kali, wanita yang menjadi ibunya itu bahkan setia menunggu Rasti yang tengah menghabiskan waktu berdua berbicara melalui saluran telepon. Ibunya akan ikut tersenyum saat Rasti tersenyum. Ia bahkan akan ikut tertawa saat Raihan berkelakar. Tapi, saat itu sama sekali tidak ada rasa khawatir seperti yang terasa saat ini. Sejak kapan tepatnya sikap ibunya berubah seperti itu? Rasti bahkan tidak menyadarinya. 'Apa yang sebenarnya terjadi pada ibu?' batin Rasti meraba gamang. Ia mungkin tidak akan siap dengan dugaannya sendiri. Bersambung ...."Bagaimana?" Bu Nawang menyambut antusias kedatangan putranya yang baru pulang dari Bali. Ia sudah tahu kalau Bagus akan melamar Mayang lagi di sana untuk menjadikannya istri."Di tolak, Bu.""Apa? Ditolak? Si Mayang menolak anak ibu yang kaya raya ini?" Wanita tua itu tidak terima. "Apa dia sudah gila, beraninya menolak anakku? Si Mayang harus tahu banyak mengantri untuk menjadi istrimu, Bagus."Pak Bagus berjalan gontai menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Setelah mendengar penolakan kejam itu, Pak Bagus tidak lagi berani dekat-dekat dengan Mayang, ia insicure pada dirinya sendiri."Apa alasan dia menolakmu? Apa dia meminta agar semua hartamu di alihkan atas namanya?" Bu Nawang masih tidak percaya ada yang menolak keinginannya."Mayang bilang, Bagus bukan lagi tipe pria idamannya, Bu.""Dia tidak suka sama pria gendut, perut buncit dan berleher pendek ini." Pak Bagus melanjutkan dengan nelangsa."Apa? Dia berani mengatakan itu pada anak semata wayangku?" Bu Nawang mulai mem
"Hanya 2 tas saja, Bu. Nggak bisa lebih!" Rasti sudah mewanti-wanti ibunya untuk tidak membawa banyak barang, seperti saat mereka pergi ke kampung Raihan, sebelumnya."Iya. Kamu udah bilang 4 kali sama ibu, Rasti," jawab Bu Mayang tidak menoleh. Ia terlalu sibuk dengan packingan bajunya. Menyiasati bagaimana cara semua barang bawaannya masuk ke dalam 2 tas seperti yang dikatakan putrinya itu."Ini, dia pasti butuh dan lupa membawanya. Ini juga harus aku bawa, Bu Widia akan marah besar, jika aku tidak membawanya." Wanita itu berpikir untuk memasukkannya pada kemasan yang lebih kecil. Hingga pukul 23.00 wanita itu masih sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa pergi.Di rumahnya sudah sepi, suara Raihan dan Rasti pun tidak lagi terdengar. "Apa mereka udah tidur?" Bu Mayang menyelinap ke bawah kursi ruang tamunya. Perlahan ia berjongkok dan memicingkan sebelah mata. Mengintip dari lubang kancing yang menembus ke kamar anak menantunya."Arg!" Bu Mayang terkaget sampat terbentur kursi
Rasti masuk ke dalam ruangan persidangan sesaat sebelum sidang di mulai. Raihan sudah duduk di sana bersama pengacaranya. Ia menoleh pada gadis itu yang hanya menunduk sambil berjalan hingga sampai ke tempat duduknya.Hakim memasuki ruangan sidang. Berkas perkara mulai dibacakan. Berkas tuntutan dari Rasti kosong. Ia tidak menuliskan apapun. Di matanya tidak ada kekurangan untuk suaminya itu.Rasti diminta untuk berdiri dan menjelaskan perasaannya secara langsung. Ia diberi kesempatan oleh hakim untuk mengungkapkan sendiri alasan dari penuntutannya. "Raihan adalah pria yang sangat baik. Itu alasan kenapa saya tidak menuliskan satu pun kekurangannya. Tapi, ada sesuatu yang tidak bisa saya ungkapkan pada halayak ramai mengenai gugatan perceraian ini. Saya dan Raihan sama-sama tahu alasannya. Saya sungguh minta, maaf," ucap Rasti menunduk. Tubuhnya terasa bergetar, ia bahkan meneteskan air mata di sana. Raihan yang tahu beratnya perasaan istrinya saat ini, sontak berdiri. Berkali-kali,
Pak Bagus duduk di samping ranjang ibunya. Ia tidak ingin kecolongan lagi, mungkin saja orang itu kembali. Sejak kejadian tadi malam, ia bahkan tidak bisa memejamkan mata. Menatap wajah ibunya yang sudah menua. Wanita di hadapannya bukanlah ibu yang sempurna, tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah cara siaga untuk melindungi diri dan anaknya. Setelah melihat fakta sesungguhnya, mungkin puluhan tahun ini, apa yang ibunya lakukan tidak semua atas kehendaknya sendiri."Bu." Bagus menggenggam tangan ibunya. Ia mengelusnya sembari mengenang masa-masa yang telah lalu. Ibunya memang berwatak keras, tapi di mata Pak Bagus tidak ada orang sebaik ibunya, seburuk apapun wanita itu memperlakukannya. Ia bisa hidup hingga saat ini semua karena jasa-jasanya yang tidak akan mungkin terbalas. Apalagi mereka hidup berdua sejak dulu. Melihat ibunya kerja keras untuk menghidupinya, Pak Bagus tidak pernah melihat wajah ayahnya sendiri, hingga kini."Bangunlah, Bu. Kita masih bisa memperbaiki keadaan ini
"Argh! Sial!" Dara menumpahkan emosinya. Ia tahu pengacara itu mengkhianatinya."Pecat Haikal, sekarang! Jadikan, dia gelandangan!" pekiknya lagi saat Zaki mengunjunginya. Kemudian, menceritakan kalau pengacara yang datang kemarin adalah pengacara ayahnya. "Anak bodoh! Kamu memang tol*l!"Zaki hanya diam saat dimaki ibunya, ia menyadari kebodohannya."Lalu, bagaimana dengan nenek tua itu. Apakah dia sudah mati?"Zaki masih diam. Mata Dara bergerak mengintai."Bukankah kamu telah menghabiskan waktu dengan sia-sia, Zaki?" tanyanya emosi.Anak lelaki itu sudah kecanduan. Minumannya adalah alkohol, dan ia tidak bisa melepaskan game online di tangannya. Zaki lupa akan tugas-tugasnya dari sang ibu."Benar-benar, kamu!" Dara menendang meja di depannya, pemisah antara mereka. Zaki sampai berdiri kaget. "Cari pengacara lain, sekarang! Aku harus keluar dari sini!"Zaki segera pergi. Ia yang tidak punya relasi dan hanya menghabiskan hidupnya untuk dunia game, bingung. Uangnya yang banyak itu, ti
Raihan dan Rasti pulang ke rumah, malam hari. Bu Mayang tidak banyak bertanya tentang kedatangan mereka yang terlambat. Ia seperti lelah setelah perjalanan jauh. Rasti mendapati ibunya dengan mata mengantuk dan langsung kembali ke kamar setelah membuka pintu."Ibu, sudah tidur lagi," ucap pelan Rasti sembari menutup kembali pintu kamar ibunya yang ia baru saja dibuka. Memastikan.Raihan mengangguk. Mereka duduk sebentar di meja tamu. Rasti mengambil air minum untuk suaminya itu. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu."Sidang perceraian kita akan digelar, 6 hari lagi." Raihan mulai membuka pembicaraan. Suaranya kecil dan nyaris hilang. Ia sama sekali tidak ingin duduk di depan meja hijau itu.Rasti terdiam. Sebenarnya, ia selalu mengingat hari itu, di setiap detiknya. Apalagi setelah masa-masa kebahagiaan bersama Raihan dan keluarganya. Wanita mana yang ingin melepaskan keberuntungan itu?"Aku ingin kamu mempertimbangkannya kembali, Rasti. Kita bisa hadapi masalah ibu sama-sama."
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments