Kenneth menginjak pedal mobil lebih dalam. Baru saja ia mendapat telepon bahwa rumah kakaknya diserang oleh penyusup tak dikenal. Mobil Kenneth melaju kencang membelah jalanan Kota Springfield. Aaron yang saat itu ada bersamanya ikut fokus pada jalanan. Jantung Aaron serasa berhenti berdetak melihat cara Kenneth mengemudikan mobil yang seperti kesetanan.
Sesampainya di rumah kakaknya, Kenneth mendapati beberapa mobil polisi dan ambulans sudah mengepung rumah itu dengan cahaya warna merah dan biru.
Kenneth membanting pintu mobilnya, lalu berlari menerobos police line yang membentang mengelilingi lokasi kejadian. Ia mengabaikan teriakan beberapa petugas dan tangan-tangan yang mencoba menghentikannya. Sementara Aaron menunggu di luar area police line.
Beberapa petugas tampak sedang mengurus dua sosok jenazah. Kenneth menghampiri mereka dengan perasaan cemas. Ia berharap semoga saja bukan kakaknya. Namun, apa yang ia takutkan, benar-benar terjadi. Marc Larssen dan istrinya—Kamila—adalah jenazah yang ada dalam kantong-kantong berwarna hitam di hadapannya. Kedua orang yang sangat berharga bagi Kenneth telah tewas bersimbah darah.
"Di mana Michelle?! Bagaimana dengannya? Apa dia selamat?!" tanya Kenneth dengan emosi meluap-luap pada para petugas medis.
"Maaf, Sir. Kami tidak menemukan orang lain lagi di rumah itu."
"Di mana Michelle?" Kenneth mengacak rambutnya sambil menghela nafas.
.
.
Jenazah Marc dan Kamila telah dimasukkan ke dalam ambulans dan dibawa ke Rumah Sakit Springfield untuk keperluan autopsi. Kenneth dan Aaron pun telah meninggalkan lokasi kejadian.
Kenneth duduk terdiam di kursi penumpang, pandangannya lurus pada jalanan. Menerawang. Frustrasi karena telah berjam-jam dan ia belum mendapat kabar tentang keberadaan Michelle. Aaron menggantikan Kenneth mengemudi. Tujuan mereka sekarang adalah apartemen Aaron.
Ponsel Kenneth berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia menerima panggilan itu.
"Halo ..."
"..."
"Michelle?!"
"...."
"Bagaimana keadaannya sekarang?!"
"...."
"Baik, baik, aku ke sana sekarang."
"...."
"Aaron, rumah sakit! Michelle sudah ditemukan. Sekarang dia kritis!"
Di pertigaan pertama, Aaron memutar kemudi mobil, berbelok menuju Rumah Sakit Springfield.
_______
Saat ini Michelle telah dipindahkan dari emergency room ke ICU. Sebagian kepala dan wajah gadis kecil itu tertutup oleh perban. Beberapa alat penunjang nyawa dan pemantau tanda vital terpasang di tubuhnya.
Dari balik pintu ruangan itu Kenneth menatap putri Marc itu dengan perasaan campur aduk, kalut dan marah. Sudah lebih dari dua 24 jam ia tidak tidur. Aaron menghampiri sahabatnya dengan membawa segelas cokelat hangat.
"Kenneth, kau harus istirahat. Aku mengerti perasaanmu, tapi kau punya kewajiban. Kau tidak lupa 'kan?" Ia menyodorkan cokelat panas pada Kenneth.
Kenneth menghela nafas dan menerima cokelat pemberian Aaron. "Terima kasih, Aaron. Kau benar."
"Apa kau sudah siap untuk bertanggung jawab menjadi walinya?"
Kenneth tertunduk. "Aku harus siap."
"Kalau begitu kau harus menjaga dirimu. Bagaimana kau akan menjaganya kalau menjaga dirimu saja tidak bisa?” retoris Aaron.
Aaron benar. Sangat benar. Kenneth lalu duduk di kursi tunggu di lorong, menyesap coklat hangat. Menyandarkan bahu dan menutup matanya yang berkantung.
"Aku pernah membaca artikel, katanya cokelat bisa menurunkan stress," hibur Aaron.
_______
Dua orang dokter dengan diikuti perawat berjalan cepat memasuki ruang ICU tempat seorang pasien kecil dirawat. Di dalam ruangan itu seorang perawat tengah melakukan CPR pada pasien. Lalu dokter dan perawat yang baru saja memasuki ruangan itu menyiapkan defibrilator.
Mereka terus berjuang untuk mengembalikan denyut jantung si pasien. Namun setelah beberapa kali usaha, sepertinya mereka harus menyerah. Monitor yang tersambung ke denyut jantung si pasien hanya menampakkan garis lurus.
Kenneth pasrah dengan keadaan Michelle. Dia tak tahu lagi. "Maafkan aku, Marc .... Maafkan aku, Kamila .... Aku tak bisa menepati janjiku untuk menjaga Michelle." Kenneth tertunduk, bersandar pada dinding lorong, di samping pintu ruang ICU. Tak ada air mata menetes, meski hatinya hancur.
_______
Satu bulan pasca insiden penyerangan di rumah Keluarga Larssen, Yuri, seorang rekan Kenneth, mendatangi Kenneth dan menyodorkan padanya sebuah catatan tentang kasus penyerangan pada keluarga Marc Larssen.
Kenneth membaca catatan itu dengan teliti.
Yuri memperhatikan mimik muka datar di hadapannya.
Pelaku dikenal sebagai 'Psycho X', bukan nama asli, diperkirakan berusia 19-22 tahun. Identitas tak terungkap.
Dikenal sebagai Psycho X karena selalu menjalankan aksinya dengan sadis.
Motif penyerangan : pelaku mengidap schizophrenia¹, memilih korban secara acak. Korban terakhir adalah keluarga Marc Larssen.
Pelaku ditemukan tewas bunuh diri di persembunyiannya 2 hari setelah melakukan penyerangan, penganiayaan dan pembunuhan terhadap korban terakhirnya.
Dengan demikian kasus dinyatakan telah selesai.
Tak ada sepatah kata pun terucap, baik oleh Kenneth maupun Yuri, hingga Yuri beranjak meninggalkan Kenneth.
"Terima kasih, Yuri." Dan satu kalimat itu saja yang akhirnya menutup pertemuan kedua rekan itu.
Yuri membalas dengan sebuah tepukan berat yang menguatkan di pundak Kenneth.
_______
Tujuh tahun berlalu sejak peristiwa naas di Springfield, tak pernah lagi ada yang menyentuh ataupun mengungkit tragedi itu. Dan Kenneth pun telah menjalani kehidupannya seperti biasa. Semua telah kembali normal, setidaknya itulah yang terlihat.
Dan sore itu, Kenneth menjalani salah satu rutinitas hariannya. Ia memarkirkan Lancer Evo-nya di tepi jalan, beberapa meter dari depan bangunan utama St. Angelo High School. Seperti biasa, ia datang sepuluh menit lebih awal. Ia tak suka membuat orang yang dijemputnya, yaitu adiknya yang bernama Nicky, harus menunggu, karena orang itu tak akan menunggu, melainkan kabur entah ke mana. Membuat Kenneth kalang kabut mencari. Kenneth keluar dari mobil hitam putih modifikasian—warna hitam pada bagian kap mesin, bagasi dan pintu, sisanya berwarna putih; spoiler sudah tidak orisinil, velg racing warna hitam doff 19 inchi; full bodykit dan beberapa aksesoris; serta suara knalpot yang menderu—, lalu duduk di atas kap mesin mobil itu sambil memeriksa notifikasi yang masuk. Selanjutnya ia terlihat diam dengan terus menatap layar ponsel, sambil sesekali mengusap layar ponselnya.
Dengan mobil modifikasian seperti itu ditambah rambutnya diwarnai putih keabu-abuan acak-acakan, Kenneth lebih terlihat seperti pembalap liar atau automania daripada desainer grafis. Bahkan Nicky pun tak tahu bahwa kakak freak pengoleksi sejumlah wanita itu mempunyai pekerjaan lain. Yang Nicky tahu, Kenneth itu freelancer desainer grafis yang suka kelayapan malam dan sesekali ikut balapan liar. Nicky tak ambil pusing soal pekerjaan kakaknya itu.
Suara riuh siswa-siswi yang keluar dari pintu depan bangunan utama sekolah tak sedikit pun mengusik ketenangan Kenneth. Ia bahkan tak peduli beberapa pasang mata gadis remaja tengah memperhatikannya dengan tatapan terpesona. Bukan hanya para siswi. Di sebuah kelas yang sudah sepi di lantai dua, seorang guru berkacamata 'Lisa Loeb' menatap kagum pemandangan elok di kejauhan yang hanya berlangsung tak lebih dari lima belas menit itu.
"Kenny!" Ah, si pirang keemasan itu membuat silau saja, mengganggu acara para wanita yang sedang mengagumi.
Kenneth mendongak dan tersenyum menyambut kedatangan bocah urakan berambut pirang pendek itu.
Menyebalkan! Ia langsung duduk di samping si tampan berambut putih keabuan, dengan sebelah tangan merangkul manja di leher pria itu. Dan pria itu tak terlihat keberatan, ia bahkan membalas dengan merangkul gadis pirang itu.
Keduanya terlihat berbicara singkat, lalu Kenneth beranjak dan memasuki mobil, duduk di belakang kemudi.
Nicky menoleh pada para perempuan yang belum selesai mengagumi sosok kakaknya, menyayukan mata dan menarik sebelah bibir asimetris. Semua orang tahu mimik wajah itu adalah hinaan. Kemudian adik Kenneth itu menyusul masuk ke dalam mobil.
.
.
Kenneth melajukan mobil dengan tenang menuju bandara.
"Aku senang akhirnya Aaron menyusul kita." Nicky menatap lurus pada jalanan. Ia terlihat bersemangat, wajahnya berseri secerah matahari musim panas.
"Kau senang?" Kenneth pun memperlihatkan ekspresi tak kalah bersemangat. Tak ada yang membuatnya lebih bahagia selain melihat adik satu-satunya itu bersemangat.
"Tentu saja. Dan setelah ini aku mau Aaron saja yang mengantar-jemput."
"Kenapa? Kau bosan denganku?"
"Bukan. Tapi kau merusak pemandangan di sekolah," cibir Nicky.
"Benarkah? Aku pikir malah sebaliknya."
"Kau terlalu percaya diri." Sebenarnya Nicky sedang membohongi dirinya sendiri. Ia tahu pasti bahwa kakaknya itu adalah idola di sekolahnya. "Mereka belum tahu belangmu saja!" maki Nicky. “Kau sengaja mencari perhatian, huh?”
Setelah tiga puluh menit berkendara lewat jalan tol, Kenneth dan Nicky sampai di bandara. Dan setelah kurang lebih sepuluh menit menunggu, pesawat Aaron pun tiba. Nicky sudah tak sabar untuk bertemu langsung dengan kakak barunya.
Tampak dari kejauhan, seorang pria berciri perpaduan Asia Timur - Melayu berjalan mendekat. Pria itu menggendong sebuah ransel.
"Aaron Lee ...!" Teriak Nicky dari jarak puluhan meter, hampir saja ia berlari ke arah Aaron yang baru tiba dari Springfield, kalau saja Kenneth tak menghentikan dengan menggenggam tangannya.
"Tidak usah drama! Santai saja."
"Ish!"
"Hai, Nicky, Kenneth, apa kalian sudah lama menunggu?" sapa Aaron dengan senyum lebar saat ia sudah sampai tepat di depan Kenneth dan Nicky, membuat mata sipitnya semakin sipit dan hampir menghilang.
Nicky menyentakkan tangan hingga terlepas dari genggaman tangan Kenneth. "Aaron!" lalu memeluk sahabat Kenneth yang berambut cepak itu, yang selama ini hanya dilihatnya melalui video call, atau sesekali saja ditemui, saat salah satu mengunjungi yang lain.
"Uh ..., Nicky, lepaskan! Kau membuatku sesak nafas." Aaron meronta menahan rasa canggung.
Setelah puas memeluk erat, Nicky melepaskan tubuh Aaron.
"Apa kalian sudah lama menunggu?" Aaron berbasa-basi.
"Tidak juga," jawab Kenneth, lalu berangkulan dengan Aaron sebagai simbol persaudaraan.
"Kau terlihat semakin tampan saja, membuatku iri. Berikan sedikit saja padaku." Setelah melepas rangkulannya, Aaron meninju pelan pundak Kenneth.
Kenneth tersenyum hambar. "Itu tidak lucu. Sudahlah, ayo cepat kita pulang," pungkasnya.
Ketiganya pun meninggalkan bandara dengan mobil hitam-putih kesayangan Kenneth.
_______
1. schizophrenia : gangguan kejiwaan yang membuat pengidapnya tidak bisa berpirkir, merasakan dan berperilaku dengan benar.
Setiap dukungan dari reader, adalah oksigen yang memberikan semangat bagi Bee untuk terus melanjutkan ceritanya sampai TAMAT. So, jangan lupa, comment, rate and vote❤️
Seorang remaja dengan rambut pendek pirang keemasan dan berperawakan kecil melangkah malas meninggalkan sekolahnya. Hoodie-nya basah kuyup. "Sial!" umpatnya. Bagaimana dia bisa lupa bahwa hari ini ia berulang tahun—yang ke-17 tepatnya? Tentu saja ia lupa, karena tidak pernah merayakannya. Dan sudah menjadi tradisi dalam 'gerombolannya', siapa pun yang berulang tahun akan mendapatkan kejutan paling manis dari teman-temannya. Kalau saja dia tidak lupa bahwa hari ini adalah 'judgement day', ia akan memilih membolos sekolah saja. Gara-gara perbuatan teman-temannya, Nicky jadi kemalaman. Tak nampak riuhnya para siswa saat menjelang malam hari, hanya sebagian siswa saja yang masih bertahan di sekolah melakukan kegiatan klub. Biasanya anak-anak klub basket, baseball, teater atau paduan suara yang masih sedikit meramaikan. Sudah seminggu Nicky pulang dengan berjalan kaki setelah aksi protesnya yang berbuntut perdebatan sengit antara dirinya, Kenneth dan Aar
"Kau? Yang waktu itu?" tanya Nicky ragu dan terselip rasa curiga. Diperhatikannya penampilan pemuda di hadapannya. Rambut hitam legam berkilau memantulkan cahaya matahari sore, menciptakan gradasi hitam-oranye. Rambut pemuda itu terikat di atas tengkuk, tetapi cukup banyak yang tak terikat, karena tak cukup panjang, dan dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya. Pemuda rambut hitam yang ditolong Nicky dua minggu yang lalu itu menatap dengan intens. "Benar. Aku hanya ingin berterima kasih, karena kau menolongku." Seharusnya tidak ada urusan di antara keduanya. Orang dari klinik tidak pernah menghubungi Nicky untuk urusan administrasi maupun yang lainnya. Jadi mau apa dia? "Aku?" "Ya, perawat di klinik itu mengatakan kau yang membawaku ke sana." "Baiklah. Terima kasihmu diterima. Aku harus pulang." jawab Nicky cuek sambil mulai melangkah. "Apa kau pulang sendiri? Jalan kaki?" si pemuda rambut hitam melangkah cepat menge
Matahari musim panas mulai bergeser dari titik tertinggi di hari itu, di pergantian musim, tanpa mengurangi panasnya. Perhatian Shoujin terus tertuju pada satu objek di air. Tanpa ia sadari, ia sendiri sedang menjadi objek perhatian beberapa pasang mata. Matanya terus mengikuti pergerakan objek yang meliuk-liuk lincah dan indah di atas ombak. Sesekali objek itu menghilang tergulung ombak, lalu muncul kembali ke permukaan air dan tangannya mengayuh di atas surfboard. Bergantian dengan temannya bermain di atas ombak. Sekarang ia tahu bagaimana Nicky mendapatkan kulit cokelatnya. Di bagian atas, lengan pakaian renang overall-nya tak sampai siku, sedangkan di bawah hanya setengah paha, membiarkan sengatan sinar matahari mengenai kulitnya. Sunblock pun tak sepenuhnya membantu menghalangi teriknya sengatan matahari di Palmline Beach. Sudah berapa lama Nicky menekuni surfing? Sepertinya Shoujin akan menanyakannya kapan-kapan. Sesekali Nic
Nicky pulang ke rumah dengan menumpang taksi, sementara Shoujin dengan sepeda motornya mengikuti di belakang. Hari sudah malam. Setelah membayar ongkos taksi, Nicky keluar dan berjalan dengan langkah berat menuju pintu rumahnya. Tak mempedulikan Shoujin yang mengkhawatirkannya. "Nicky!" panggil Shoujin seraya berlari. "Huhh ...?" "Aku yang membawamu keluar dari rumah ini, itu artinya aku juga harus mengantarmu pulang." "Kau sudah wengantarku, aku sudah sawai di ruwah. Wulanglah!" jawab Nicky sambil terus berjalan tanpa menoleh pada Shoujin. . . Sementara itu dari jendela kamarnya di lantai dua, Kenneth mengawasi tingkah laku adiknya dan temannya. "Kenneth ..." Aaron memasuki kamar Kenneth tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sudah kebiasaan. "Sstt ...." Kenneth menoleh sekilas pada Aaron sembari memberikan isyarat untuk tak bersuara. Aaron bergabung dengan Kenneth. Mendadak mereka menjadi stalker. Keduanya mengamati tingkah laku Nicky dan Shoujin. Sesekali terlihat Shoujin
Sore itu, tak seperti biasanya, sepulang sekolah Nicky mendatangi Shoujin di Rhein’s, sesuai permintaan Shoujin. Di counter, di sebuah kursi yang bersebelahan dengan sebuah meja, Nicky menunggu temannya, yang menurutnya sudah seperti kakak baginya. Dengan seenaknya ia mengklaim orang sebagai kakaknya. "Tunggulah sebentar! Ada pesanan yang harus kuselesaikan dulu." "Oke, tidak masalah." Selang sepuluh menit setelah Shoujin kembali ke dapur, seorang karyawan Shoujin datang membawa nampan dengan segelas es teh lengkap dengan sedotan. Mengalihkan perhatian Nicky yang sedang tertunduk fokus pada permainan di ponselnya. "Silahkan tehnya, Nick." "Terima kasih, Karina," jawab Nicky dengan senyum tipis. Ia tak ingin memperlebar luka di bibirnya. Lalu kembali fokus pada ponselnya. "Nick, boleh aku duduk di situ?" tunjuk wanita berambut merah menyala dan berkacamata pada sebuah kursi kosong di sisi lain meja. Nicky mendongak sebentar, melihat wanita cantik yang memanggil namanya, menoleh p
Hampir satu jam Kenneth berdiam di dalam mobilnya yang terparkir beberapa meter dari sebuah club bermain pool di Palmline Beach, hingga terlihat olehnya seseorang keluar dari club itu. Kenneth mengawasi layar pada dasbor mobil yang menampakkan pergerakan laki-laki tadi. Si abu-abu memperbesar tampilan objek. Sekarang ia yakin bahwa laki-laki yang wajahnya tampak samar masih berhias lebam-lebam itu adalah targetnya. Target Kenneth terlihat menghampiri SUV berwarana mencolok, oranye. Kenneth bergegas mengambil pistol dari dalam dasbor mobil, keluar dari mobilnya, dan berjalan dengan cepat menuju targetnya sambil menyelipkan pistol ke pinggang belakang celana. Ia menarik pundak laki-laki itu dari belakang, membalik badannya, dan langsung menghadiahkan sebuah tinju telak ke wajah si target. Target Kenneth tersungkur. Sebelum si target bangun dan memberikan perlawanan, Kenneth sudah mengunci pergerakan laki-laki itu. Sebelah lutu
"Apa saja kegiatanmu hari ini?" tanya Kenny sambil bercermin, memastikan kemeja abu-abu gelapnya rapi dan rambutnya tak berantakan. "Aku hanya akan mengikuti kelas matematika dan Bahasa Spanyol hari ini. Setelah itu aku akan latihan di Palmline." jelas Nicky tanpa mengalihkan penglihatannya dari layar ponsel. "Kau serius mengikuti kompetisi itu?" "Tentu saja. Aku sudah jatuh cinta dengan olahraga ini. Kalau kau sendiri?" "Eer ... menyerahkan desain saja." "Kau akan bertemu klien atau semacamnya? Atau kembali pada kebiasaan lamamu, mengoleksi teman wanita?" satire Nicky pada saudara freak-nya yang akhir-akhir ini lebih sering mengurung diri di rumah. "Kau tidak harus percaya pada ucapanku. Fokus saja pada sekolah dan kompetisi!" Kenneth menghentikan kegiatannya di depan cermin di ruang keluarga. Ia menoleh pada adiknya, kalau tak sayang sudah lama bocah tomboi itu berakhir menjadi santapan singa yang biasa tampil menjadi lawan
"Tenanglah, Nicky! Aku di sini, dia tidak akan bisa menyakitimu." Beberapa menit Kenneth mendekap tubuh Nicky hingga adiknya itu lebih tenang. Kenneth merenggangkan dekapannya. "Tidak! Jangan tinggalkan aku!" refleks Nicky memeluk tubuh Kenneth dengan lebih erat, takut ditinggalkan. "Tidak, Nicky. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Kenneth. "Bajumu basah, harus diganti." Perlahan dan hati-hati Kenneth menyingkirkan kedua tangan Nicky dari punggungnya. Tak ingin membuat gerakan tiba-tiba yang bisa membuat Nicky panik lagi. Ia kemudian beranjak untuk mengambilkan Nicky pakaian ganti, tetapi tangan Nicky menahan pergelangan tangannya. “Aku hanya akan mengambilkanmu pakaian di lemari, kau harus mengganti pakaianmu yang basah itu.” Setelah Nicky melepas pergelangan tangannya, Kenneth mengambil sehelai kaos dari salah satu tumpukan pakaian di dalam lemari pakaian Nicky. “Gantilah pakaianmu!” Kenneth menyodorkan kaos itu pada Nicky.