[Yoon Jae’s POV]
Melbourne, 9 Juli 2007.
“Jae, barang-barangmu sudah kamu masukkan?” tanya Mama dari dalam taksi.
“Sudah kumasukkan semua, Ma,” kataku dari belakang bagasi taksi pada mama.
“Pastikan nggak ada yang tertinggal, ya.”
“Jennie, barangmu sudah kamu cek? Jangan sampai ada yang ketinggalan.”
“Sudah aku cek berkali-kali, Ma,” sahut Jennie.
“Oke, kalau gitu kita berangkat sekarang,” kata Papa.
Aku segera menutup pintu belakang taksi dan masuk ke dalam taksi duduk bersama adikku, Jen. Aku tidak percaya kalau sebentar lagi aku akan meninggalkan Melbourne. Melbourne sudah terasa seperti rumah bagiku. My comfort place, kalau bisa kukatakan. Meskipun aku lahir di Busan, Korea. Tapi, Melbourne adalah kota yang menyaksikan aku bertumbuh menjadi seperti sekarang ini.
Aku pindah ke Melbourne ketika aku berumur 3 tahun. Jadi, aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup di Korea dan bagaimana kebudayaan di Korea. Sementara sekarang, karena kakek sedang kritis, aku terpaksa harus pindah ke Busan. Karena mama harus merawat kakek agar tetap sehat. Aku tidak tahu apakah aku bisa beradaptasi di Busan. Karena jelas saja kehidupan di Melbourne dan Busan jauh berbeda.
Aku melihat ke luar jendela dan melihat salju turun dengan indah. Melihat In N Out, tempat aku biasa nongkrong dengan teman-teman sepulang sekolah. Melihat toko-toko yang nantinya dalam beberapa tahun tidak akan pernah kutemui lagi. Tidak sekalipun pernah terpikir bahwa suatu saat nanti aku akan meninggalkan Melbourne dan seluruh kenangan di dalamnya. Tapi, aku yakin suatu saat aku akan merindukan Melbourne.
* * * *
“Pa, kayaknya kita hampir terlambat, deh,” kata Mama tiba-tiba.
Aku langsung melihat jam di handphoneku. Jam 21:15. Sementara penerbangan kita akan terbang 15 menit lagi.
“Pak, apa bisa lebih cepat ya?” tanya Papa bertanya pada sopir taksi.
“Iya, Pak. Ini saya sudah percepat,” ucap supir taksi sedikit khawatir.
Jantungku pun mulai berdegup kencang sembari melihat jalanan di depanku. Sepertinya kita terlalu lama packing, batinku di dalam hati. Kalau kita terlambat lalu bagaimana sekolahku nantinya? Kan tidak lucu jika aku harus meliburkan diri di hari pertama aku masuk sekolah.
5 menit kemudian…
Aku melihat jam di handphoneku, jam menunjukkan pukul 21:20. Kami tidak punya banyak waktu tersisa. Kami sudah tiba di Tullamarine Airport. Segera setelah mama membayar ongkos taksi kami langsung bergegas masuk ke dalam bandara.
“Siapkan paspor sama boarding pass kalian sendiri, ya.”
“Kita nggak punya banyak waktu lagi,” kata Mama terengah-engah karena baru saja berlari.
Kami mengeluarkan paspor kami dan tiket penerbangan kami. Melihat antrian di depan kami rasanya jantungku seakan ingin jatuh ke tanah. Apakah nanti kita akan tertinggal? Semoga saja tidak akan terjadi. Setelah melakukan serangkaian pengecekan kami pun akhirnya masuk ke dalam pesawat juga. Rasanya seperti beban di dalam diriku sudah diangkat dan digantikan oleh kelegaan. Aku segera mencari tempat dudukku sesuai dengan yang tertera di tiket.
“Kita duduk di 26B sama 27B, Jen.”
“5 kursi lagi.”
“Ini.”
Aku dan Jen pun duduk di tempat duduk kami. Menaruh barang-barang kami di tempat yang sudah disediakan. Pramugari melakukan tugasnya untuk memberikan instruksi kepada penumpang. Aku dan Jen duduk di dalam diam memandang kosong entah kemana. Aku melihat sorot dari mata Jen sekilas. Jen tampak seperti sedang menerawang atau memikirkan sesuatu. Bahkan hanya dengan melihat matanya aku bisa tahu apa yang kurang lebih ia pikirkan saat ini. Sepertinya bukan hanya aku saja yang nantinya akan merindukan Melbourne tapi Jen juga.
* * * *
Busan, 11 Juli 2007.
14:00 siang.
Aku terbangun dan mengerjap-ngerjapkan mataku. Tirai jendelaku terbuka lebar membuat sinar matahari masuk ke dalam mataku. Aku melihat jam yang ada di brankas dan kembali membenamkan diriku di dalam tempat tidur yang empuk. Rasanya punggungku akan patah saat itu juga. Pukul 14:00. Wah, sepertinya aku terlalu lelah karena penerbangan 13 jam. 13 jam memang bukan waktu yang singkat, jadi wajar saja jika aku mengalami jet lag. Aku mengambil handphoneku dan melihat jam yang tertera di handphone. Masih jam 13:00, aku belum sempat merubah jam dari jam Melbourne ke Korea.
Aku beranjak dari kasurku dan turun ke lantai bawah. Aku melihat Jen sedang membuat toast di dapur.
“Tumben kau sudah bangun?” tanyaku pada Jen.
“Aku nggak bisa tidur. Jadinya aku sarapan aja, deh.”
“Dasar tukang makan,” kataku meledeknya.
“Hey, dasar nggak tahu diri.”
Aku duduk di ruang tamu dan menyalakan TV. Aku sedikit kaget ketika melihat berbagai saluran televisi Korea. Rupanya aku hampir lupa kalau aku sudah berada di Busan sekarang dan bukan di Melbourne. Aku mengganti-ngganti channel TV yang lain dan tidak menemukan salah satu tontonan yang kusuka.
“Channel TV disini berbeda sama yang di Melbourne,” kata Jen seolah-olah tahu apa yang kupikirkan.
“Tch,” aku mendengus sebal.
“Oh ya, Papa sama Mama kemana?” tanyaku.
“Papa sama Mama tadi harus buru-buru ke rumah sakit.”
“Kenapa nggak ajak kita?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.
“Aku juga nggak tau.”
Sejak aku berumur 3 tahun, aku tidak pernah menjenguk kakek dan nenek. Baru kali ini aku datang lagi ke Busan setelah aku tinggal di Melbourne. Entah mengapa aku merasa ada penyesalan di dalam hatiku karena tidak datang ke Busan lebih awal. Dan, justru malah datang ke Busan ketika kakek sedang sakit kritis seperti saat ini. Aku berharap agar keadaan segera membaik. Agar kakek bisa melihat cucunya sudah pulang setelah bertahun-tahun tidak pulang. Pasti itu akan menjadi suatu hal yang menggembirakan bagi kakek.
Grrtt…Grrrt…
Aku melihat handphone Jen yang bergetar karena ada telepon masuk. Aku melihat nama yang tertera, ‘EBBIE’. Sepertinya teman Jen sudah ada yang kangen dengannya. Hmm, bagaimana dengan aku?
“Jen, ada telfon, nih,” kataku sambil memberikan handphone Jen padanya.
“Tunggu-tunggu!”
Jen pun segera meninggalkan toast yang ia buat dan mengangkat telfon dari Ebbie tersebut. Setelah mengambil handphonenya dariku ia pun melanjutkan memanggang toast yang ia bikin.
“Hai, Ebbie!”
“Yeah, aku sudah sampai di Busan sekarang.”
“Nope, aku belum kemana-mana. Holiday it’s not the reason I came here, Ebbie. Aku datang kesini buat menjenguk kakekku dan sekolah.”
“Oh ya, kamu keterima seleksi?!”
“Oh my God, congrats Ebbie! Hope you doing well without me there…”
Aku pun meninggalkan Jen yang sedang mengobrol dengan temannya di telefon. Aku memilih mandi agar aku merasa lebih segar dan tidak mengantuk. Kunyalakan shower dan memilih air yang dingin agar aku merasa sepenuhnya ‘bangun’. Aku tidak percaya dua hari lagi sudah masuk sekolah. Bisakah aku dapat teman baru nantinya? Semoga aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di Korea sini. Setelah aku keramas, membasuh semua badanku, dan setelah menggosok gigi aku pun segera memakai bajuku dan keluar dari kamar mandi dan melihat Jen masih sibuk mengobrol dengan Ebbie di telepon.
“I won’t never forget Melbourne, tho,” kata Jen pada Ebbie dengan tertawa.
“Okay, bye…”
Setelah Jen mematikan teleponnya dengan Ebbie aku langsung bertanya padanya.
“Missing Straya* already?” tanyaku padanya.
“Hahaha, you know me so well, Jae.”
“I know you so well, you know that right?”
“I know that Melbourne and Straya is our home. But, sometimes life is unpredictable,” kataku kepadanya.
You’re right. Aku nggak pernah kepikiran suatu saat kita harus pindah ke Busan.”
“Aku pun begitu. Tapi, mungkin Tuhan punya rencana kenapa kita harus kembali lagi kesini? Soon we will know about it.”
“I know that I can always share my story with you, Jae.”
“Sudah sepantasnya gitu, Jen. Kamu harus cerita apapun ke aku dan begitu juga aku.”
Siang itu kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang mengenai kenangan kami di Melbourne. Hal yang paling Jen ingat adalah aku selalu main Final Fantasy dengan Bill, Joy, dan Kevin sampai mama marah-marah padaku. Aku pun hanya bisa tertawa mendengarnya. Aku juga ingat ketika kita main ice skating bersama dan Jen jatuh. Akhirnya Jen pun harus mengalami patah tulang. Terkadang kenangan itu bukan untuk dilupakan namun untuk tetap dikenang. Dan, begitu pun dengan Melbourne. Melbourne akan tetap kukenang meskipun aku sudah sangat jauh dari Melbourne.
*Straya: Straya adalah Australian slang untuk 'Australia.' Orang Australia menggunakan slang ini untuk menyebut Australia.
1 Juni 2021 Sore hari, selalu menjadi jam-jam paling sibuk nan riuh di Busan. Hari ini pun masih sama seperti hari-hari lainnya. Stasiun kereta itu terlihat sangat penuh, dipenuhi oleh penumpang yang bersiap-siap akan kembali ke rumahnya masing-masing. Tak terkecuali bagi si wanita di usianya yang berada di kepala dua. Wanita itu terlihat berlarian mengejar sebuah kereta yang akan segera pergi. Beberapa orang melihatnya dengan tatapan aneh, namun ia tidak memedulikannya. Hal terpenting baginya adalah ia tidak ingin ketinggalan kereta itu. Ia berlarian seraya menenteng sebuah rangkaian bunga berwarna ungu di tangan kanannya. Begitu pintu kereta terbuka, ia langsung berdesak-desakkan dengan penumpang lainnya. Wanita itu menghembuskan napas lega begitu dapat masuk ke dalam kereta dengan selamat. Karena kereta itu sangatlah penuh, ia pun mengambil tempat duduk yang terdekat dengannya. Di sebelahnya, terdapat dua anak perempuan berseragam. Kedua anak tersebut mengingatkannya saat ia masi
[Park Hyunjae’s POV]Satu bulan berlalu ….“Sekali lagi, saya mengucapkan selamat kepada ke-sepuluh trainee yang berhasil dan lolos melewati acara survival show ini dengan baik. Kami akan menunggu debut kalian!” Begitu pembawa acara dari tayangan televisi mengumumkan keberhasilan kami, semua langsung bersiap untuk memegang gelas mereka masing-masing. Kami tersenyum memandangi satu sama lain.“Haruskah kita memulainya sekarang?” tanya manajer kami. “Cheers!”“Cheers!” ucap kami serempak. Kami langsung mendentingkan gelas kami satu sama lain dan meneguk minuman anggur itu bersamaan.“Bukankah ini pertama kalinya kita merayakan ini secara resmi?” tanya manajer kami.“Itu dapat dimaklumi. Kita ‘kan memang sedang sibuk untuk menyiapkan keperluan debut kita,” sahut Lee Dae sambil memegang gelas kosong di tangannya.“Jangan dengarkan dia, ya? Kalian juga harus bersenang-senang. Nikmatilah masa muda kalian, itu tidak akan datang dua kali.” Seperti biasa manajer kami selalu memberi nasihat ya
[Kim Young Mi’s POV]Napasku menderu karena sehabis berlari. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dan tidak menemukan satu pun orang yang dapat kumintai pertolongan. Apakah perumahan orang kaya selalu sesepi ini? Perasaanku kian gelisah dan tak kunjung tenang, serasa ada yang mengganjal di dalam hatiku. Hanya ada satu orang yang dapat kupikirkan di dalam benakku saat ini.Kuhentikan langkahku dan memastikan alamat yang diberikan Jen benar. Aku bahkan sudah melewati gang ini dua kali. Mengecek setiap rumah yang ada, namun rumah yang ditujukan Jen hanya satu. Rumah dengan blok A bernomor 27. Apakah aku salah? Aku mendekati rumah yang sudah kulewati dua kali itu. Rumah itu sangatlah besar dan megah. T-tapi, mengapa di depan pagarnya ada sebuah bendera berwarna kuning yang menunjukkan seseorang baru saja meninggal?Aku berlari kecil ke arah rumah itu. Di depan rumah terdapat sebuah pos satpam kecil. Salah satu satpam itu menyadari kedatanganku dan langsung menghampiriku.“Apa kau sedang menca
[Yoon Jae’s POV]“Mengapa sampai sekarang mereka belum memberi kita asrama juga?”Lamunanku buyar, ketika salah satu dari mereka mulai mengoceh kembali. Oh astaga, aku hanya menginginkan sebuah istirahat yang tenang dan damai tanpa siapapun mengangguku. Dan, lagi-lagi mereka terus membahas mengenai hal yang sama. Aku sudah cukup lelah mendengar protesan dari mereka semua.Yeon Seok bangkit berdiri dan sekilas aku dapat melihat matanya mengerling padaku. Ia mendatangi trainee baru yang baru saja membuka suara itu dan mengcengkeram kerahnya.“Hei, anak baru, kau jangan berulah terus. Mereka tidak akan memberikanmu apa yang kita butuhkan selama kita tidak mengalami peningkatan apapun.”Salah satu teman Yeon Seok bersuara, “Kau seharusnya belajar dari kami. Bahkan sampai bertahun-tahun memendam di agensi sialan ini, mereka juga tidak akan pernah memberi kami asrama. Setidaknya hingga kita berhasil debut.”Seorang trainee yang baru saja protes itu langsung bergeming di tempatnya. Aku melih
[Kim Young Mi’s POV]Jari jemariku saling beradu di atas sebuah mesin ketik laptop milikku. Aku terus menerus melirik jam yang terletak di bawah laptop itu. Aku tidak memiliki banyak waktu, aku harus menyelesaikan pekerjaan ini tepat pukul enam malam ini. Jika aku terlambat barang semenit saja, maka itu akan berdampak besar kepada agensi.Alisku bertaut menunjukkan bahwa aku sangat berfokus untuk dapat menyelesaikan tugas ini hingga selesai. Kutulis subjek email dan tidak lupa mencantumkan sebuah file yang akan kukirim. Segera setelahnya, aku langsung menekan tanda enter dan email itu pun terkumpul kepada klien.Aku langsung menghembuskan napas sebagai bentuk kelegaanku. Kulirik kopi yang tersisa setengah cangkir di sebelahku. Kopi yang semula panas itu, sekarang sudah menjadi dingin. Kuhabiskan kopi itu dan bersiap-siap untuk pergi dari kantin milik agensi itu.Saat aku sedang memasukkan barang-barangku ke dalam tas, aku mendongak dan melihat dua wajah yang familiar dari kejauhan. Ku
[Park Hyunjae’s POV] “Silahkan lima belas peserta dengan penampilan individual terbaik untuk maju ke depan,” ucap pembawa acara itu sambil memberikan bahasa tubuh agar kami naik ke atas panggung.Sebelumnya, para juri sudah berdiskusi untuk menentukan lima belas peserta terbaik. Sisa peserta yang tidak lolos, disuruh untuk kembali duduk di bangku penonton bersama dengan para orang tua yang datang. Sekarang, tersisa seluruh lima belas peserta yang sebelumnya sudah dipanggil.Lee Dae dipanggil sebagai peserta pertama yang lolos. Ia selalu menjadi peserta terbaik, bahkan kesayangan para juri. Meski begitu, urutan awal ini adalah acak dan bukan ranking yang sesungguhnya. Sebelum aku pergi ke atas panggung, aku melihat ke arah kedua orang tuaku dan mereka menganggukkan kepala. Kami satu per satu berbaris di atas panggung. Aku berdiri mendekati ujung panggung, karena aku berada di urutan ke dua belas.Selama berada di atas panggung, aku merasa sangat gugup bukan main. Bagaimana jika aku ga