[Im Aerum POV’s]
Seoul, 20 Maret 2010
Aku berjalan pulang dengan tubuh yang lunglai. Aku dapat mendengar suara perutku berbunyi. Kelelahan sehabis sekolah membuat perutku sangat lapar meronta-ronta ingin segera diberi makanan. Tapi, aku harus tetap berjalan setidaknya 1 kilometer untuk sampai ke rumah.
“Hmpph…” aku mendenguskan nafas dengan keras.
Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 7 tahun. Aku berharap papa, mama, dan juga kakakku ingat dengan hari spesial ini. Tapi… Aku tidak yakin apa mereka ingat dengan hari ulang tahunku ini. Tadi pagi saja rumah kosong melompong dan sepi, jadi aku harus berangkat ke sekolah sendiri. Kira-kira mereka semua ke mana ya tadi pagi? Kenapa meninggalkanku sendiri? Semoga nanti malam mereka akan merayakan ulang tahunku dan makan sup rumput laut bersama! Ah, andai mereka ingat…
Tak terasa aku sudah sampai di depan rumahku. Pintu rumahku ditutup. Padahal biasanya kalau mama ada di rumah pintunya akan dibuka. Tampak dari luarnya sih, rumahku sepi-sepi saja. Seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Apa Papa dan Mama belum pulang, ya? Kakiku menggiringku masuk ke dalam rumah yang gelap. Meskipun nampaknya mereka tidak ada di rumah dengan polosnya aku memanggil mereka.
“Appa… Eomma… Oppa…”
“Areum sudah pulang…”
Huft… Ternyata mereka memang bener-bener lupa sama hari spesial ini. Aku pun terduduk lunglai di depan TV dengan seisi rumah yang masih dalam keadaan gelap. Namun, tiba-tiba lampu rumahku menyala dan aku terkaget-kaget. Tak lama setelahnya muncullah mama, papa dan juga kakakku.
“Saengil chukka hamnida, saengil chukka hamnida, saengil chukka dear Areum… Saengil chukka hamnida!”
“Saengil chook ha hae, Areum!”
“Wooo! Happy Birthday Areum!”
Aku bangkit dari dudukku dengan sangat bersemangat. Tak kusadari senyum di mulutku mengembang. Kakakku membawa kue tart stroberi di tangannya dengan lilin angka 7 diatasnya. Ukurannya tidak besar dan tidak juga kecil. Aku pun segera meniup lilinnya.
“Hufff…” aku meniup lilin di depanku dengan bersemangat.
“Areum kira nggak ada yang ingat sama ulang tahun Areum.”
“Lihat tuh! Tandanya surprisenya kita berhasil,” kata kakakku sembari tertawa dengan puas.
“Ya sudah kalau gitu, yuk kita makan kue tartnya,” ajak mama.
“Areum mau ukuran yang paling gede!” kataku dengan mengacungkan piringku. Dan kita semua tertawa.
* * * *
“Areum, kamu ganti baju ya. Kita mau makan malam diluar malam ini,” kata Papa dengan senyum lebar.
“Wuihh… Makan dimana, Pa?” tanyaku
“Rahasia dong! Pokoknya kamu pakai baju yang bagus ya.”
“Oke, Pa.”
Aku pun bergegas pergi ke kamarku yang berada di lantai 2. Aku membuka lemariku lebar-lebar dan segera mencari baju paling bagus yang pernah kupunya. Ada beberapa baju yang menarik perhatianku. Ada dress warna merah, dress kuning kotak-kotak dan dress berwarna pink dengan motif bunga-bunga. Setelah kupikir-pikir sepertinya dress kuning ini cocok dengan mood-ku saat ini. Dan, akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan dress warna kuning itu.
Aku turun ke lantai bawah dan menyadari bahwa semuanya sudah siap kecuali aku. Aku pun bergegas masuk ke dalam mobil. Perjalanan dari rumah ke tempat tujuan kurang lebih 35 menit. Rumah kami memang bisa dibilang tidak berada di tengah kota, tapi berada di pinggiran. Di Seoul, harga rumah ataupun apartemen di tengah kota bisa gila-gilaan harganya. Sementara keluarga kami adalah keluarga yang sederhana . Tidak bisa dibilang berkelimpahan, tidak bisa dikata kekurangan juga, jadi berkecukupan atau sederhana adalah kata yang tepat.
Kami sampai di restoran kurang lebih pukul 6 malam. Tepat sekali dimana waktu makan malam dan sedang ramai-ramainya restoran. Aku pun segera turun dari mobil. Aku cukup kaget saat melihat restoran yang dipilih papa. Kalau kulihat dari bangunannya sepertinya restoran yang papa pilih adalah restoran mahal. Papa jarang sekali mengajak kami makan malam di restoran yang mahal seperti ini. Wajar saja jika aku sangat bahagia.
Saat aku masuk ke dalam restoran, semua mata memandang kearahku. Aku agak bingung dan merasa kikuk dilihat oleh orang yang tidak kukenal. Sebenarnya, ini sudah jadi hal yang biasa bagiku. Mama pernah bilang dari dulu aku bayi banyak orang yang memuji jika aku cantik. Bahkan dulu ada salah satu tetangga yang bilang gini “Areum cantik sekali ya… Semoga nanti anak saya secantik Areum”. Dan mama hanya bisa tersenyum. Bahkan kakak laki-lakiku pun juga dilahirkan dengan wajah yang terbilang tampan. Memang rasanya keluarga kami membawa genetika ini dari papa dan mama.
“Areum, kamu mau makan apa, Sayang?”
“Mmm, aku mau makan samgyeopsal!”
“Samgyeopsal, sup rumput laut, dan nasi 4 porsi ya,” kata Mama kepada pelayan.
“Oh iya. Papa hampir lupa buat ngasih hadiah papa ke kamu.”
“Tadaaa…”
“Appa… Ini kan boneka yang aku pingin dari lama. Kamsahamnida.”
Aku sangat senang akhirnya aku bisa mendapatkan boneka ini. Sepertinya, hari ini Tuhan sudah mengabulkan semua keinginanku. Bisa dibilang ini adalah hari yang paling baik di hidupku. Aku sangat sibuk melihat boneka yang kukagumi itu ketika suara mama memecahkan lamunanku.
“Areum, kalau sudah besar nanti mau jadi apa?”
“Areum mana pernah mikirin itu, Ma,” kata kakakku sedikit mengejek.
“Ah, selalu deh. Kayaknya Areum mau jadi penyanyi kalau sudah besar nanti.”
“Penyanyi? Wah, keren Areum. Kamu punya suara yang bagus loh…”
Mama tersenyum mendengarkan responku dan aku pun ikut tersenyum. Omong-omong soal cita-citaku yang ingin jadi penyanyi, aku memang sedari kecil sangat suka menyanyi. Banyak saudara dan juga orang yang memuji suaraku. Tapi, aku masih tidak terlalu pede dengan suaraku sendiri. Tak lama pelayan datang kearah meja kami dan kami pun menikmati perayaan ulang tahunku yang sederhana ini dengan gembira.
* * * *
Sehabis makan malam dari restoran, aku menghabiskan malamku di dalam kamar. Aku membaca buku cerita bergambar di dalam kamar. Selain punya hobi menyanyi aku juga punya hobi membaca buku. Saat sedang fokus membaca pintu kamarku diketok oleh seseorang.
Tok… Tok…
“Masuk,” kataku
Pintu terbuka dan memperlihatkan sosok mama di depan pintu kamarku. Aku segera duduk dengan tegak dan tersenyum.
“Belum tidur, Sayang?”
“Aku masih mau baca buku ini nih, Ma," kataku menunjukkan buku cerita bergambar pada Mama.
“Areum, Mama boleh bilang sesuatu nggak sama kamu?”
“Boleh dong, Ma. Tentang apa?”
“Mungkin Areum nggak akan paham sama yang Mama katakan sekarang. Tapi, mama yakin suatu saat Areum akan paham sama yang mama omongin. Areum, kamu pingin sekali ya jadi penyanyi? Mama tau kamu sebenernya jago nyanyi, tapi kamu masih kurang percaya diri aja sama diri kamu. Kamu harus lebih percaya diri, Sayang,” kata Mama dengan sangat lembut.
“Iya, Ma. Areum masih kurang percaya diri sama suara Areum. Tapi, Areum senang banget bisa nyanyi.”
“Nah, itu tandanya kamu harus berusaha lebih keras lagi. Nanti, kalau kamu sudah lebih jago nyanyi, mama sama papa akan ngajak kamu ikut lomba nyanyi.”
Aku pun langsung memeluk Mama. Semenjak saat itu aku tahu kalau aku ingin menjadi penyanyi. Tapi, kadang aku merasa diriku selalu tidak cukup dan selalu merasa kurang.
“Ya sudah, kalau gitu kamu tidur ya sekarang. Sudah malam.”
“Iya, Ma.”
Mama pun menutup pintu kamarku dan membiarkanku tidur. Tapi, anehnya aku tidak bisa tidur. Aku malah membayangkan bagaimana jika suatu hari aku menjadi penyanyi. Kira-kira apa saja yang harus kulakukan agar aku jadi penyanyi. Aku terus membayang-bayangkan hal itu sampai aku hampir terlelap. Namun, saat aku hampir terlelap aku mendengar suara mama dan papa.
“Kamu sudah bilang ke Areum?”
“Sudah. Aku yakin, Pa. Suatu saat dia akan jadi penyanyi yang sangat besar.”
Aku mendengar suara Mama dari dalam kamar dengan samar-samar dan aku pun terlelap.
1 Juni 2021 Sore hari, selalu menjadi jam-jam paling sibuk nan riuh di Busan. Hari ini pun masih sama seperti hari-hari lainnya. Stasiun kereta itu terlihat sangat penuh, dipenuhi oleh penumpang yang bersiap-siap akan kembali ke rumahnya masing-masing. Tak terkecuali bagi si wanita di usianya yang berada di kepala dua. Wanita itu terlihat berlarian mengejar sebuah kereta yang akan segera pergi. Beberapa orang melihatnya dengan tatapan aneh, namun ia tidak memedulikannya. Hal terpenting baginya adalah ia tidak ingin ketinggalan kereta itu. Ia berlarian seraya menenteng sebuah rangkaian bunga berwarna ungu di tangan kanannya. Begitu pintu kereta terbuka, ia langsung berdesak-desakkan dengan penumpang lainnya. Wanita itu menghembuskan napas lega begitu dapat masuk ke dalam kereta dengan selamat. Karena kereta itu sangatlah penuh, ia pun mengambil tempat duduk yang terdekat dengannya. Di sebelahnya, terdapat dua anak perempuan berseragam. Kedua anak tersebut mengingatkannya saat ia masi
[Park Hyunjae’s POV]Satu bulan berlalu ….“Sekali lagi, saya mengucapkan selamat kepada ke-sepuluh trainee yang berhasil dan lolos melewati acara survival show ini dengan baik. Kami akan menunggu debut kalian!” Begitu pembawa acara dari tayangan televisi mengumumkan keberhasilan kami, semua langsung bersiap untuk memegang gelas mereka masing-masing. Kami tersenyum memandangi satu sama lain.“Haruskah kita memulainya sekarang?” tanya manajer kami. “Cheers!”“Cheers!” ucap kami serempak. Kami langsung mendentingkan gelas kami satu sama lain dan meneguk minuman anggur itu bersamaan.“Bukankah ini pertama kalinya kita merayakan ini secara resmi?” tanya manajer kami.“Itu dapat dimaklumi. Kita ‘kan memang sedang sibuk untuk menyiapkan keperluan debut kita,” sahut Lee Dae sambil memegang gelas kosong di tangannya.“Jangan dengarkan dia, ya? Kalian juga harus bersenang-senang. Nikmatilah masa muda kalian, itu tidak akan datang dua kali.” Seperti biasa manajer kami selalu memberi nasihat ya
[Kim Young Mi’s POV]Napasku menderu karena sehabis berlari. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri dan tidak menemukan satu pun orang yang dapat kumintai pertolongan. Apakah perumahan orang kaya selalu sesepi ini? Perasaanku kian gelisah dan tak kunjung tenang, serasa ada yang mengganjal di dalam hatiku. Hanya ada satu orang yang dapat kupikirkan di dalam benakku saat ini.Kuhentikan langkahku dan memastikan alamat yang diberikan Jen benar. Aku bahkan sudah melewati gang ini dua kali. Mengecek setiap rumah yang ada, namun rumah yang ditujukan Jen hanya satu. Rumah dengan blok A bernomor 27. Apakah aku salah? Aku mendekati rumah yang sudah kulewati dua kali itu. Rumah itu sangatlah besar dan megah. T-tapi, mengapa di depan pagarnya ada sebuah bendera berwarna kuning yang menunjukkan seseorang baru saja meninggal?Aku berlari kecil ke arah rumah itu. Di depan rumah terdapat sebuah pos satpam kecil. Salah satu satpam itu menyadari kedatanganku dan langsung menghampiriku.“Apa kau sedang menca
[Yoon Jae’s POV]“Mengapa sampai sekarang mereka belum memberi kita asrama juga?”Lamunanku buyar, ketika salah satu dari mereka mulai mengoceh kembali. Oh astaga, aku hanya menginginkan sebuah istirahat yang tenang dan damai tanpa siapapun mengangguku. Dan, lagi-lagi mereka terus membahas mengenai hal yang sama. Aku sudah cukup lelah mendengar protesan dari mereka semua.Yeon Seok bangkit berdiri dan sekilas aku dapat melihat matanya mengerling padaku. Ia mendatangi trainee baru yang baru saja membuka suara itu dan mengcengkeram kerahnya.“Hei, anak baru, kau jangan berulah terus. Mereka tidak akan memberikanmu apa yang kita butuhkan selama kita tidak mengalami peningkatan apapun.”Salah satu teman Yeon Seok bersuara, “Kau seharusnya belajar dari kami. Bahkan sampai bertahun-tahun memendam di agensi sialan ini, mereka juga tidak akan pernah memberi kami asrama. Setidaknya hingga kita berhasil debut.”Seorang trainee yang baru saja protes itu langsung bergeming di tempatnya. Aku melih
[Kim Young Mi’s POV]Jari jemariku saling beradu di atas sebuah mesin ketik laptop milikku. Aku terus menerus melirik jam yang terletak di bawah laptop itu. Aku tidak memiliki banyak waktu, aku harus menyelesaikan pekerjaan ini tepat pukul enam malam ini. Jika aku terlambat barang semenit saja, maka itu akan berdampak besar kepada agensi.Alisku bertaut menunjukkan bahwa aku sangat berfokus untuk dapat menyelesaikan tugas ini hingga selesai. Kutulis subjek email dan tidak lupa mencantumkan sebuah file yang akan kukirim. Segera setelahnya, aku langsung menekan tanda enter dan email itu pun terkumpul kepada klien.Aku langsung menghembuskan napas sebagai bentuk kelegaanku. Kulirik kopi yang tersisa setengah cangkir di sebelahku. Kopi yang semula panas itu, sekarang sudah menjadi dingin. Kuhabiskan kopi itu dan bersiap-siap untuk pergi dari kantin milik agensi itu.Saat aku sedang memasukkan barang-barangku ke dalam tas, aku mendongak dan melihat dua wajah yang familiar dari kejauhan. Ku
[Park Hyunjae’s POV] “Silahkan lima belas peserta dengan penampilan individual terbaik untuk maju ke depan,” ucap pembawa acara itu sambil memberikan bahasa tubuh agar kami naik ke atas panggung.Sebelumnya, para juri sudah berdiskusi untuk menentukan lima belas peserta terbaik. Sisa peserta yang tidak lolos, disuruh untuk kembali duduk di bangku penonton bersama dengan para orang tua yang datang. Sekarang, tersisa seluruh lima belas peserta yang sebelumnya sudah dipanggil.Lee Dae dipanggil sebagai peserta pertama yang lolos. Ia selalu menjadi peserta terbaik, bahkan kesayangan para juri. Meski begitu, urutan awal ini adalah acak dan bukan ranking yang sesungguhnya. Sebelum aku pergi ke atas panggung, aku melihat ke arah kedua orang tuaku dan mereka menganggukkan kepala. Kami satu per satu berbaris di atas panggung. Aku berdiri mendekati ujung panggung, karena aku berada di urutan ke dua belas.Selama berada di atas panggung, aku merasa sangat gugup bukan main. Bagaimana jika aku ga