Share

Safia Sakit

Selang beberapa tahun kemudian, rumah yang dulunya terbakar kini bisa di tempati kembali. Fahri merenovasi hingga sedemikian rupa, dan membuatnya merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu tak berlangsung lama. Sebab sang istri, Safia tiba-tiba menderita penyakit strok berat. Azizah yang kala itu masih menginjak kelas dua SMA, hampir saja mengorbankan sekolahnya demi merawat sang bunda. Beruntung saudara dari Safia mau membantu gadis tersebut. Mereka berbagi tugas merawat Safia yang sakitnya terbilang aneh. Wanita berambut ikal itu dinyatakan menderita strok oleh dokter, tetapi mentalnya turut terganggu.

“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? kenapa Engkau memberikan cobaan yang begitu berat secara bertubi-tubi kapada kami?” keluh Azizah saat usai menunaikan ibadah sholat maghrib. Dia menengadahkan tangan sembari berurai air mata. Menyayangkan takdir yang selalu tak berpihak padanya.

“Jika memang ini yang terbaik, maka lapangkan hatiku dalam menerima segalanya, ya Allah. Sesungguhnya hamba tiada daya dan upaya melainkan pertolongan dari-MU. Aamiin.” Masih dengan berurai air mata, Azizah menutup doanya. Mengusap wajah dengan kedua tangan mungil nan penuh kasih.

Tok! Tok! Tok!

“Kakak, mama buang air besar.” Suara Yana menggema dari balik pintu kamar Azizah. Dia memberitahukan, bahwa Safia tengah membuang hajat. Yana meminta tolong pada kakaknya itu untuk mengurus sang ibu. Sebab Yana masih belum tahu cara mengurus ibunya dengan benar.

“Iya, dek. Kalau begitu kau siapkan makan malam untuk papa, ya.” Azizah balik memberi interupsi pada Yana. Setelah itu dia pergi ke kamar mandi, membersihkan Safia yang tengah membuang hajat.

“Maaf ya, ma, agak lama. Azizah baru saja selesai sholat,” ucap Azizah. Meminta maaf pada ibunya yang tengah duduk di atas kloset. Sementara wanita paruh baya itu hanya bisa menganggukan kepala. Mengiyakan ucapan sang anak yang sudah lebih dewasa dari sebelumnya.

“Sekarang Azizah membersihkan mama dulu ya? Setelah itu mama mandi.” Dengan cekatan Azizah membersihkan sang bunda, dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. Sungguh gadis itu melakukannya tanpa pamri. Hatinya menghangat saat ia menyentuh tangan kaku Safia.

“Mama, cepat sembuh, ya? Supaya kita bisa jualan bersama lagi di pasar.” Walaupun Azizah menyunggingkan senyuman, tetapi matanya tak dapat berbohong. Mata itu kembali berkaca-kaca begitu tahu tangan ibunya semakin tak bisa bergerak.

Sungguh hati Azizah hancur. Siapa yang tak akan sedih dan terluka ketika melihat ibunya jatuh sakit. Tak ubahnya orang lain, Azizah pun sama. Batinnya juga terpukul karena kondisi Safia yang semakin hari semakin memburuk.

Setiap hari wanita yang telah melahirkan empat orang anak itu harus berjalan kaki menuju rumah saudaranya yang berjarak delapan kilometer. Sembari memaksakan kakinya yang kaku, Safia pergi ke rumah kakaknya dan menghabiskan waktu disana, hingga malam hari tiba. Fahri baru akan menjemput istrinya itu saat usai berjualan di pasar.

Semula Fahri tak tahu jika setiap hari Safia berjalan kaki ke rumah kakaknya. Nantilah warga setempat yang bercerita, baru ia paham. Rupanya Safia sedikit mengalami gangguan mental. Namun, anehnya dokter memvonis istrinya itu menderita stroke berat. Sungguh kontras apabila di lihat dari keseharian Safia.

Jika memang ia menderita stroke berat, seharusnya wanita itu tak mampu berjalan atau menggerakkan badan secara keseluruhan, kendati dengan memaksakan kaki untuk berjalan. Akan tetapi, Safia sanggup berjalan hingga delapan kilometer setiap hari.

“Azizah, kau sungguh cantik.” Bahkan Safia dapat berbicara dengan normal. Entah vonis dokter yang salah, atau memang kondisi Safia yang berubah-ubah, entahlah. Hanya Tuhan yang memahami segalanya.

“Mama memuji Azizah?” Azizah tersenyum saat mendengar Safia memuji dirinya. Padahal selama ini wanita yang terkenal dengan suara kerasnya itu, tak pernah menyanjung setiap anak-anaknya setinggi langit. Apa lagi mengenai fisik. Safia hanya menanggapi secara natural tanpa harus menggunakan kata secara berlebihan.

“Kamu memang cantik, nak.” Kali ini Safia memuji Azizah seraya mengusap pipi putrinya itu. Dia memandang Azizah dengan penuh kasih sayang. Tatapan yang selama ini tak pernah terpancar dari mata sayunya.

“Kau sungguh anak mama yang paling sabar. Selama ini kau sudah terlalu banyak menderita. Kami menyiksamu seperti anak kecil yang tak punya hati. Padahal kau lah yang selalu berada di samping kami baik dalam suka maupun duka. Kau menjalankan kewajibanmu sebagai seorang anak. Maafkan mama yang penuh dosa ini, nak.” Entah apa yang membuat Safia berbicara panjang lebar seperti itu. Dia seolah menyadari kesalahannya selama ini yang telah menyakiti Azizah. Tak mempercayai ucapan putrinya itu saat mendapat fitnah dari para warga beberapa tahun silam.

Sembari berurai air mata, Safia menyesali perbuatannya. Dia memeluk tubuh Azizah di dalam kamar mandi tanpa sehelai benang pun. Sementara hati Azizah semakin tercubit. Perasaannya bercampur aduk. Ada sedih dan juga syukur.

Ya, Azizah merasa bersyukur karena akhirnya Safia menyadari kesalahannya selama ini. Akan tetapi, gadis dengan hijab tersebut merasakan kesedihan yang mendalam. Betapa tidak, Safia berujar seperti hendak akan meninggalkan dunia ini.

“Mama, ngomong apaan sih? Mama tidak salah apa-apa. Yang salah itu adalah mereka yang tak bisa melihat kita bahagia. Selama ini mama sudah membesarkan Azizah dengan baik. Azizah bisa seperti sekarang pun, itu berkat didikan mama dan papa.”

Mendengar ucapan sang putri, hati Safia semakin merasaa bersalah. Dia menyesal karena tak berada di pihak Azizah ketika gadis itu membutuhkan dukungan. Berharap ada setitik kepercayaan dari salah satu orangtuanya. Namun, Safia terlalu gelap mata. Dia seolah tak dapat melihat kebenaran yang terpancar dari wajah Azizah ketika gadis itu menjadi bulan-bulanan warga.

“Nah, sudah selesai. Ayo kita keluar.” Azizah telah selesai memandikan sang bunda, walau waktu telah menunjukan pukul 18.45.

“kau memandikan mamamu malam-malam begini?” Akan tetapi, Fahri memprotes Azizah yang telah memandikan Safia pada malam hari. Pria itu baru saja kembali dari pasar.

“Tadi mama buang air di lantai dapur sebelum berhasil masuk ke kamar mandi. Jadi sekalian Azizah memandikan mama supaya bersih. Kotoran yang di lantai tadi juga Yana sudah singkirkan,” terang Azizah. Membuat hati Fahri tercubit. Dia tak pernah menduga, jika Safia harus  menderita penyakit aneh seperti saat ini. Mentalnya ikut terserang, walau dokter menyatakan penyakit yang lain.

“Baiklah kalau begitu. Pakaikan baju pada mamamu, setelah itu kita makam malam bersama.” Kali ini Fahri tak bersikap keras pada Azizah. Sebab dia mulai memahami kondisi putrinya itu. Selama bertahun-tahun Azizah membantu mereka tanpa mengeluh. Dia juga selalu berada di sampingnya baik dalam kondisi terpuruk sekalipun.

Tanpa mengenal lelah dan rasa malu, Azizah bekerja di pasar dan juga kebun mereka yang ditanami sayur-sayuran. Lahan itu mereka gunakan untuk membantu menopang hidup sehari-hari. Karena usaha Fahri semakin hari semakin menurun. Para pelanggan banyak beralih pada mall yang baru saja di bangun yang lokasinya berada pada pusat kota, dan menyediakan barang grosiran namun kualitas tetap terjaga. Jadi, tak banyak lagi yang melirik jualan Fahri seperti beberapa tahun yang  lalu.

Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari dan memenuhi obat Safia, Azizah rela menanam sayur dan menjualnya pada pedagang tradisional. Berutung para pedagang itu dengan suka rela mau membeli sayuran Azizah, walau bentuknya tak sesubur tanaman yang lain. Mungkin mereka merasa iba pada gadis itu. Sebab di usianya yang masih sangat muda, tetapi sangat bertanggung jawab pada keluarga.

To be continued...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status