Senja hari yang indah, dimana Azizah tengah duduk di depan rumah. Seolah menikmati indahnya pemandangan. Namun, hati seolah menuntun nalarnya untuk berjalan menuju kantor kelurahan yang sementara direnovasi. Sementara Azizah mengagumi ornament kantor tersebut, tiba-tiba seorang pria muncul dari arah belakang. Sehingga membuat Azizah terkejut ketakutan. Pertemuan tak disengaja itu menghantarkan mereka kedalam hubungan pertemanan, dan berakhir dengan percintaan. Dimana Adrian mengajak Azizah berkencan. Namun, sejak awal pemuda dengan tahi lalat dipipi itu tak pernah jujur pada Azizah. Dia menyembunyikan statusnya yang telah menikah dan memiliki dua orang anak.
“Hai, namaku Adrian. apa kau yang tinggal di depan sana?” tanya Adrian kepada Azizah. Pemuda itu menatap Azizah dengan penuh kagum. Betapa tidak, wajah gadis tersebut sangat natural tanpa polesan apapun. Belum lagi senyumannya yang manis. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpukau.
“Maafkan aku sudah lancang memasuki kantor ini, permisi.” Azizah tak menjawab pertanyaan Adrian. Dia bahkan tak menyebutkan namanya. Terlalu takut dan grogi pada lawan jenis, membuat Azizah canggung.
“Kau tidak perlu takut padaku. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin tahu siapa namamu.” Dengan nada lembut Adrian menegaskan, bahwa dia tak akan menyakiti Azizah. Agar gadis itu tak merasakan ketakutan. Adrian paham, bahwa kemunculannya yang tiba-tiba dari arah belakang Azizah tentu saja akan membuat gadis itu terkejut. Dia bagai hantu yang datang tak di jemput dan pulang tak di antar.
“Apa aku boleh tahu siapa namamu?” imbuh Adrian. Sekali lagi menanyakan nama Azizah.
“Azizah.” Sembari menundukan kepala, Azizah menyebutkan namanya. Sementara itu Adrian menyambut gadis tersebut dengan senyuman manis. Dia bahagia ketika Azizah akhirnya mau memberitahukan siapa namanya.
“Nama yang cantik,” puji Adrian seraya menatap kagum. Pria berkulit putih itu tak henti-hentinya memandang keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini. Seperti pemuda kasmaran pada umumnya saat pertama kali kenalan, Adrian mengajak Azizah berkencan. Namun, gadis itu masih menolak. Betapa tidak, Adrian terkesan buru-buru untuk mengutarakan perasaannya. Sedangkan mereka baru saja berkenalan. Tidakkah Adrian terlihat sangat agresif?
“Ah, maaf. Aku harus pergi dari sini. Sudah menjelang malam.” Azizah pamit pada Adrian. Terlalu takut rasanya jika harus berduaan di tempat yang tak berpenghuni. Seketika Azizah merasa menyesal memasuki kantor kelurahan itu. Sebab ia tak ingin menjadi bahan gunjingan para warga lagi. Kedatangannya di kelurahan itu semata-mata hanya karena rasa kagumnya pada ornament bangunan. Bukan karena ingin mengenal Adrian. Dia tak pernah tahu siapa pemuda itu sebelumnya.
“Azizah, tunggu!” Namun, Adrian masih saja mencegah gadis dengan hijab berwarna hitam tersebut.
“Aku harap kau mempertimbangkan ucapanku tadi. Sudah beberapa minggu ini aku memperhatikanmu dari kejauhan. Menatapmu dengan penuh kekaguman tanpa mengetahui siapa namamu, apa lagi mengajakmu bicara seperti ini. Sekarang aku mendapat kesempatan untuk berkenalan, dan aku harap kau tidak mengabaikan apa yang aku katakan padamu beberapa saat yang lalu,” ungkap Adrian sungguh-sungguh. Pemuda itu seakan ingin menegaskan betapa dia sangat menyukai sosok Azizah sejak pertama kali melihatnya beberapa minggu lalu.
Adrian yang saat itu baru pertama kali sampai di tempatnya bekerja, yang mana proyek pembangunan kelurahan. Dia menjadi kokinya, dan dalam waktu bersamaan melihat Azizah tengah berjalan kaki ke sekolah dengan seragam putih abu-abu. Sejak saat itulah dia mencuri-curi pandang pada Azizah. Namun, sayangnya gadis itu tak pernah menyadari keberadaan Adrian. Maka sekarang lah waktunya ia mengungkap perasaan.
“Maaf, kak. Aku tidak bisa memberi kakak jawaban. Kita hanya boleh berteman.” Akan tetapi, Azizah sudah membuat keputusan. Dia hanya ingin menjadi teman Adrian. Azizah masih polos, dia belum tahu apa arti dari pacaran, hubungan bersama lawan jenis, atau percintaan yang berawal dari cinta monyet. Semuanya itu Azizah tak pernah paham. Terlebih lagi tak ada paduan berdasarkan film atau sinetron yang ia tonton. Azizah terlalu sibuk membantu kedua orangtuanya di pasar untuk berjualan. Menopang hidup sehari-hari demi kesembuhan sang bunda yang masih terbaring lemah sejak setahun silam.
“Baiklah, aku bisa mengerti itu. Dan aku siap menjadi temanmu.” Adrian mengulurkan tangan, mengajak gadis itu bersalaman.
“Terimakasih.” Namun, Azizah hanya mengatupkan kedua tangan. Tak berani menyambut uluran tangan Adrian. Pemuda itu masih sangat asing bagi Azizah. Terlebih lagi dia merupakan orang pertama yang mengajaknya berkenalan dengan tatapan aneh.
Setelah perkenalan itu, Azizah akhirnya buru-buru pergi. Meninggalkan Adrian yang masih saja tersenyum kagum serta bahagia. Walaupun cintanya tak bersambut, tetapi dia mendapat satu kesempatan untuk menjadi teman wanita itu. Adrian bertekad akan membuktikan pada Azizah, bahwa cintanya tak main-main. Dia tulus menyukai gadis bermata coklat tersebut. Kendati harus menyembunyikan status yang sebenarnya.
**
Hari berganti hari, minggu berganti bulan, hingga tibalah di penghujung bulan enam. Dimana Adrian kembali mengajak Azizah berkencan. Sudah terlalu lama pemuda itu menunggu jawaban pasti Azizah. Sementara mereka sudah tampak dekat. Bersahabat selayaknya pria dan wanita. Dan lewat persahabatan itu, Azizah mulai merasakan sesuatu yang berbeda dari dalam hatinya. Ada debaran aneh tiap kali berjumpa Adrian. Dan Azizah paham, bahwa itulah cinta.
Ya, Azizah akhirnya jatuh cinta pada Adrian yang hampir setiap hari menunjukan perhatian, kasih sayang, serta tak pernah jera mendekatinya. Adrian tak pernah main-main bersama Azizah. Dia sudah bertekad ingin menjadikan gadis itu sebagai bagian dari hidupnya.
Mungkin Adrian terkesan egois, menutupi status yang ia miliki demi bisa bersama Azizah. Akan tetapi, dia memiliki alasan tersendiri kenapa harus menyembunyikan fakta itu. Ada beberpa hal yang tak mesti Adrian ungkapkan sampai waktunya tepat. Maka biarlah dia menjadi pemuda egois terlebih dahulu. Setidaknya itulah yang di pikirkan Adrian kala itu.
“Apa sekarang kau masih belum bisa menerimaku sebagai kekasihmu? Aku tahu, mungkin semuanya masih terlalu cepat. Kita berteman selama tiga bulan ini, apakah kau tidak pernah merasakan sesuatu dari hubungan kita? Apa kau tidak merasakan adanya cinta di dalam sana saat menatap mataku? Ataukah jantungmu tak pernah berdebar-debar saat duduk berdua denganku? Azizah, sejak awal melihatmu dari jauh, aku sudah bisa menebak, bahwa yang aku rasakan ini adalah cinta. Dan aku bisa pastikan jika semuanya itu nyata.” Adrian kembali meminta kejelasan mengenai hubungan mereka pada Azizah. Dia sudah tak bisa menahan lebih lama lagi dengan hanya menjadi teman atau sahabat dekat wanita itu. Adrian ingin hubungan lebih, dimana hubungan itu merupakan sepasang kekasih menuju halal.
Ya, Adrian berencana mempersunting Azizah setelah gadis itu tamat sekolah. Masih terlalu cepat memang, tetapi Adrian tak ingin melepas gadis tersebut. Dia sungguh-sungguh ingin menjadikan Azizah sebagi istrinya. Menggantikan dia yang telah meninggalkan Adrian kala pemuda itu hidup dalam keterpurukan serta penderitaan.
“kak Adrian, tidakkah ini masih terlalu cepat? Aku tidak ingin terburu-buru menjalin hubungan lebih dari teman, kak. Aku sangat nyaman menjadi teman kak Adrian.” Azizah masih berusaha untuk menolak Adrian. Seolah menutupi perasaan yang sebenarnya. Padahal dia juga mulai mencintai pria tersebut.
“Apa kau yakin tak mencintaiku, Za? Apa kau sungguh hanya menganggapku sebagai teman?” lirih Adrian dengan wajah sendunya. Pemuda itu hampir saja berputus asa dalam memperjuangkan cinta Azizah. Dan sekarang ada sedikit luka di hatinya saat gadis yang ia puja masihlah menolak cintanya yang tulus.
“Kak, Adrian aku—“ Azizah tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia ingin membalas perasaan Adrian, tetapi entah mengapa bibirnya justru berkata lain. Padahal dalam hati seolah ingin menegaskan betapa dia juga mencintai pemuda itu.
Azizah dapat melihat kesungguhan hati Adrian, dan itu memang benar adanya. Akan tetapi, Azizah yang masih terbilang baru dalam dunia percintaan, tak mudah menerima cinta seseorang begitu saja. Kendati sudah saling mengenal satu sama lain.
“Azizah, aku tidak akan memaksamu untuk menerimaku lagi. Yang terpenting adalah aku sudah memberitahumu segalanya. semuanya kembali padamu. Apakah kau ingin menerimaku sebagai kekasihmu, atau tetap pada pertemanan ini.” Suara Adrian terdengar putus asa. Wajahnya sendu seperti hendak menangis karena penolakan. Padahal dia merupakan seorang pria.
“Kak Adrian, tunggu.” Azizah mencegah pemuda itu setelah hampir saja beranjak pergi. Sehingga Adrian menghentikan langkah untuk tetap tinggal.
“Apa kakak tidak bercanda? Maksudku adalah ini pertama kalinya untuku. Aku tidak pernah mengenal pria atau cinta sebelumnya. Mungkin akan terlihat aneh bagiku, tapi aku benar-benar tidak paham tentang apa yang aku rasa. Aku hanya takut kehilangan kakak. Entah itu sebagai teman atau lebih dari sekedar teman,” ungkap Azizah. Membuat Adrian menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman kebahagiaan disana.
Ya, Adrian bahagia ketika mendengar ucapan Azizah. Dia mulai memahami, bahwa gadis itu membalas cintanya. Hanya saja ia masih terjebak dalam hubungan pertemanan. Sangat sulit membedakan cinta dan persahabatan.
“Itu aryinya cinta, Za,” ucap Adrian seraya memegang tangan Azizah. Pemuda itu masih menyunggingkan senyuman.
“Tapi—“
“Ssstt! Aku tahu kau masih sulit membedakan yang mana cinta dan yang mana persahabatan. Dan untuk mengenali dua rasa itu, aku siap mengajarimu.” Keduanya akhirnya saling melempar senyuman. Merasa bahagia secara bersamaan. Akhirnya mereka pun jadian, menjadi sepasang kekasih yang tengah kasmaran.
To be continued.
Setelah bertahan melawan penyakit selama dua tahun tujuh bulan, akhirnya Safia mengembuskan nafas terakhir di rumahnnya. Kala itu Azizah tak berada di sana. Dia sedang menghadiri acara tahlilan ayah salah satu temannya. Azizah yang mendengar kabar duka itu, sontak menghentikan bacaan Yasin. Dia bergegas pulang, sebab sang bunda terus saja menyebut namanya."Mama, tunggu Azizah." Sembari berurai air mata, Azizah menyebut mamanya. Berharap masih di beri kesempatan untuk melihat sang bunda walau untuk yang terakhir kalinya.Dan akhirnya ojek yang di tumpangi Azizah tiba juga di rumah. Dia membayar upah jasa ojek tersebut tanpa mengambil uang kembaliannya. Azizah terlalu panik kala itu. Bahkan dia melewati keramaian warga yang sudah berdatangan di rumahnya."Mama," lirih Azizah.Tubuh Safia terbujur kaku di ruang tengah, tetapi masih menyisakan sedikit nafas yang di temani Yana serta salah tante mereka. Sementara para sepupu yang lainnya juga berada di
Penantian itu turut juga di rasakan oleh Safia, ibu Azizah. Dia menunggu pria yang bakal menjadi calon menantunya. Safia selalu yakin, bahwa suatu saat nanti Adrian tetap akan menjadi menantunya. Padahal rejeki, jodoh, dan maut tak pernah ada yang tahu. Semuanya menjadi rahasia Illahi. Bahkan malaikat pun tak tahu ketiga hal tersebut. Nantilah mendapat perintah dari Tuhan, baru malaikat itu akan datang."Azizah, mama hanya ingin kau menikah dengan Adrian. Tidak bersama lelaki lain," lirih Safia. Meminta Azizah untuk tidak berpaling pada pria lain di kemudian hari."Sudahlah, ma. Jangan terlalu di pikirkan. Lagi pula aku masih muda, perjalananku masih panjang. Aku tidak ingin membuat impian melambung tinggi. Sudah cukup semua yang terjadi. Kak Adrian membohongi kita, dan aku tidak bisa mentolerir seorang pembohong," papar Azizah. Menolak permintaan ibunya, namun secara halus. Agar wanita paruh baya itu tak merasa kecewa yang berlebihan."Baiklah, kali ini m
Prank!Gelas kaca, piring, dan juga mangkok sayur, habis terlidas kemarahan Alwi. Pagi-pagi sekali pria paruh baya itu menghancurkan sebagian isi dapurnya. Memecahkan sesuatu yang sekiranya dapat di jangkau.Pecahan itu berserakan di lantai, hingga memenuhi ruang dapurnya yang kecil."Aakk--," pekik Alwi frustasi. Dia merasa gagal dalam menjatuhkan Fahri serta Azizah semalam."Keluarga itu benar-benar brengsek! Pelacur kecil itu selamat dari buruan para warga. Mereka pasti sudah merencanakan segalanya lebih awal!" seloroh Alwi dengan wajahnya yang memerah. Menyebut Azizah seperti hewan melata perusak suasana hati. Entah mengapa Alwi begitu membenci mereka, padahal mengalir darah keturunan yang sama."Ini semua karena kau yang terlalu percaya diri! Coba semalam kau mendengarkan ucapanku untuk menunggu gadis itu di pinggir jalan, mungkin kita bisa melihat ada Adrian di sana!" Halima, bukannya menenangkan Alwi, dia justru menyalahkan keputusan suaminy
Tatapan para emak itu begitu mengintimidasi. Seolah Azizah adalah tersangka utama dalam kasus pembunuhan serta pencabulan anak di bawah umur. Mereka memperlakukan gadis malang itu selayaknya penjahat. Bahkan di antara mereka ada yang memandang hina Azizah. Seakan dunia ini telah di cemari hama penyakit oleh gadis berhijab tersebut."Kau dari mana maghrib-maghrib begini?" Markonah mengajukan pertanyaan seolah dialah wali dari gadis itu. Padahal dia hanyalah orang lain yang bahkan tak memiliki hubungan darah sama sekali."Maaf ibu Markonah, saya rasa bukan urusan anda saya dari mana dan mau kemana. Karena itu hak dan privasi saya. Anda hanyalah orang lain yang tak harus turut campur!" Azizah menjawab pertanyan Markonah dalam sekali telak. Sehingga membuat para emak yang lainnya terlihat menahan tawa.Sementara Markonah sedikit tercengang kala Azizah memberinya jawaban menohok. Tak pernah ia duga sebelumnya, bahwa gadis itu telah pandai merangkai kalimat jawa
Malam hari ba'da sholat Maghrib, para emak tadi masih setia menanti kehadiran Azizah serta Adrian yang katanya sebentar lagi akan pulang. Mereka seakan enggan meninggalkan tempat duduk demi menunggu sang artis yang di kata kontroversi oleh Markonah berserta teman-temannya. Sementara itu, ketua remaja di kampung Azizah sudah dalam tahap siaga satu untuk mengusir Adrian apabila lelaki itu berani memasuki daerahnya. Mereka menyiapkan kayu, bambu, serta benda tajam lainnya yang akan di gunakan untuk mengancam Adrian. Sepertinya ketua remaja itu telah termakan provokasi Alwi, sepupu Fahri yang kerap kali dengki. Entah apa masalah pria paruh baya itu, hatinya selalu saja sempit dan sekakar. "Apa kau yakin rencana kita kali ini akan berhasil?" Halima, istri Alwi memantau dari rumahnya. Melihat persiapan para warga dalam menyambut kedatangan Adrian serta Azizah beberapa saat lagi. "Tentu saja akan berhasil. Kali ini para warga akan menela
Keegoisan Adrian yang memaksa Azizah untuk tetap bersama hingga memiliki anak diluar nikah, membuat gadis berhijab itu tak terima. Dia marah dan kecewa terhadap sikap Adrian yang terkesan memaksa. Sebagai pria dewasa, seharusnya dia lebih mengoreksi diri dan membenahi segalanya. Bukan menjelma menjadi sosok tak bertanggung jawab selayaknya manusia tak bermoral.“Aku tidak percaya kakak merencanakan hal hina itu padaku. Mungkin aku mencintai kak Adrian, tapi bukan berarti aku akan menggadaikan harga diriku pada kakak. Karena keinginan kakak itu merupakan permainan setan. Jadi, maaf aku tidak bisa ikut dalam permainan itu. Jika kakak memilih untuk meninggalkanku dan kembali pada Yanti, maka aku siap untuk itu. Asal harga diriku tak terabaikan hanya karena ego semata!” telak Azizah.Adrian tak berkutik lagi saat mendengar keputusan Azizah. Gadis itu mengakhiri segalanya tanpa mau mempertimbangkan permintaan pemuda tersebut. Bagi Azizah harga diri