Aku memandangi korek lalu pada Pram. "Ba-bagaimana kalau ada orang di dalam rumah Andreas? Aku tidak ingin membunuh orang, Pram."
Walaupun aku ingin sekali Andreas mati, namun tangan ini tidak ingin berlumuran darah. Ada Langit yang telah menjadi muara hidup.
Akan tetapi aku akan membuat mereka menderita. Sangat menderita.
"Tidak ada orang di dalam rumah," sahut Pram sembari memasukkan kedua tangannya di saku jaket. "Semua cctv sudah dirusak."
Seorang lelaki berseragam satpam, muncul dari balik pagar rumah. "Pak Pram, sudah aman. Dua orang pembantu sudah saya suruh keluar tadi sore," ucapnya.
"Datanglah kalian ke alamat yang aku kirim lewat pesan. Kalian bisa mendapatkan pekerjaan di sana," kata Pram. "Dan kamu, jika tidak bisa tutup mulut. Kamu tahu akibatnya, kan?"
"Saya tahu, Pak Pram. Saya tidak mungkin mengkhianati Anda." Lelaki itu kemudian berlalu pergi dengan motor.
"Semenjak menikah Andreas tinggal di rumah istrinya. Ay
Nita tampak biasa setelah kejadian tiga hari yang lalu. Aku tidak tahu apa kebakaran itu mempengaruhinya atau tidak. Setelah memesan kopi, Nita keluar dari kafe."Selamat siang, Mbak Kara." Seorang perempuan berambut pendek menyapaku. Dia duduk di kursi seberang. "Saya Laura dari majalah Woman. Senang bertemu dengan Anda."Laura mengeluarkan buku kecil, pulpen, dan alat perekam. Sebuah kamera dia letakkan di atas meja."Mau pesan kopi dulu?" tawarku."Boleh, Mbak. Latte," sahut Laura."Aku kopi hitam tanpa gula."Aku dan Laura sama-sama melihat ke sumber suara."Pak Rein, silakan duduk. Mbak Kara, beliau pemilik majalah. Ingin melihat secara langsung wawancara dengan Mbak Kara," jelas Laura.Rein duduk di samping Laura. Melepas kacamata hitamnya. "Kita berjumpa lagi, Kara."Aku tersenyum. "Iya." Hanya itu yang keluar dari bibirku."Jadwal sesi pemotretan minggu depan," ucap Rein. "Bagaimana? Karena kamu soso
"Aku mohon, Kara." Bu Zunaira menggosok-gosok kedua telapak tangannya. "Tolong.""Baiklah." Aku meraih ponselku. "Cepat katakan pada warga aku bukan perempuan murahan! Dan, kau Andreas segera buat klarifikasi dan permintaan maaf."Bu Zunaira tergopoh-gopoh keluar balai desa."Kamu ikuti Bu Zunaira, biar aku yang mengawasi Andreas," suruh Pram.Aku lantas berlari menyusul Bu Zunaira. Perempuan itu berdiri di beranda balai desa."Selamat sore, Bapak Ibu." Bu Zunaira mengambil napas dalam-dalam. "Saya ingin mengatakan kalau saya dan Andreas telah memfitnah Kara. Kara tidak pernah buat status open BO. Andreas yang membuat status. Kara perempuan baik-baik. Kara tidak pernah selingkuh. Saya minta maaf atas kesalahan saya.""Enak saja minta maaf. Gara-gara kamu, kami hampir membunuh Kara! Dasar iblis bermuka malaikat!" teriak Pak Gito."Cabein saja mulutnya!" ser
Rachel. Gadis berparas manis itu, mematut diri di depan cermin besar. Berputar beberapa kali. Dia sepertinya sangat bahagia. Kali pertama aku mendesain gaun untuk tunangan."Ah, suka sekali. Terima kasih, Mbak Kara," ucapnya. "Sempurna."Gaun tulle biru muda dengan bordir bunga berwarna merah cocok dengan kulit Rachel yang putih dan pucat. Mata ini berpindah pada jam tangan. Aku ada jadwal pemotretan dengan majalah Woman.Dari kemarin siang aku tidak melihat Pram. Mungkin dia masih tidur. Padahal nanti sore dia berjanji akan menemani aku melepas Nita. Kenapa aku jadi bergantung padanya? Kalau dia tidak bisa, aku bisa mengurus Nita sendiri."Dora, aku harus berangkat sekarang. Tolong kamu yang urus butik," ucapku."Baik, Mbak Kara," sahut Dora."Mbak Kara, Sayang!" Miranda masuk butik dengan sapaan yang menurutku lebay."Kesasar?" tanyaku, bercanda
Pada pagi hari, aku mengetuk pintu apartemen Pram. Dua puluh menit terlewati, dia tidak muncul. Ponselnya pun sudah tidak aktif sedari subuh tadi.Keningku menempel pada pintu. "Pram ...." Aku mengetuk pelan. "Jangan bercanda.""Sepertinya si Pram belum pulang," ujar Bu Janti--tetangga yang apartemennya berhadapan dengan Pram. "Coba cek motornya di tempat parkir." Perempuan itu meneruskan lebih kakinya.Seumur hidup aku belum pernah segelisah ini. Berdentam-dentam rasa tidak berdaya. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Belum satu hari Pram tanpa kabar. Aku harus tenang.Aku berlalu dari depan pintu apartemen Pram."Aciieee, yang tadi malam, makan bersama. Uhuk," komentar Miranda.Aku memutar badan. Gadis itu sudah rapi dengan setelan kemeja kebesaran warna merah muda dan celana panjang cokelat. "Maksudnya? Makan malam? Kamu dengan Ryan, anak pemilik mini
POV Angkasa.________________Aku membuka pintu bercat hitam, seorang pria yang berbaring di kasur usang langsung bangun. Rambut dan brewoknya tumbuh tidak beraturan. Tubuh yang dulu kekar, berubah kurus. Dia berdiri dengan kedua tangan bertautan, wajah tertunduk."Aku akan membebaskanmu jika aku sudah menikah dengan Kara," ucapku. "Seandainya aku tidak bisa mendapatkan Kara, maka kau akan membusuk di sini selamanya.""Saya hanya ingin Tuan mendapatkan perempuan yang setara dengan Tuan. Maafkan, saya.""Kamu tidak berhak mengatur hidupku, Burhan. Aku mempercayaimu bukan berarti kamu bisa seenaknya." Aku menepuk bahu Burhan. Tidak yakin dengan alasannya. Tidak bisa dipercaya. Ada orang dibalik Burhan. Bahkan setelah aku siksa, dia masih mengutarakan alasan yang sama."Bagaimana dengan istri anak saya? Mereka pasti mencari saya. Tolong, bebaskan saya. Saya janji tidak akan menggangu Kar
"Kara?"Mendengar suaranya, ada lega yang menyeruak. Dia sudah sadar.Tubuhku melorot, bersandar pada langkan balkon. Menahan air mata yang tidak bisa dibendung, terisak pelan. Ada ribuan kata yang ingin aku ucapkan, tetapi tidak bisa keluar. Aku mengembuskan napas perlahan, lalu mematikan ponsel.Aku tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ada penolakan, ada gelisah, dan rasa khawatir. Juga rindu yang teramat besar. Rindu pada siapa? Pram atau Angkasa?Kerlipan bintang dan lampu kota yang semarak tidak membuat hati kunjung membaik. Bagaimana kondisinya? Apa dia terluka parah? Lumpuh? Cacat?Aku bangkit, mengusap air mata dengan ujung lengan. Melangkah masuk, mengambil tas dan jaket. Aku ingin melihat kondisinya di rumah sakit."Bu Retno, tolong jaga Langit. Aku ada perlu," ujarku seraya memakai sepatu flat."Bagaimana kalau Andreas masih di sekitar sini, Kara
"Bukan benar-benar cinta, tapi benar-benar benci." Aku meralat ucapan Angkasa."Jarak antara cinta dan benci itu tipis, Kara." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Seperti jarak kita sekarang."Aku mendorong tubuh Angkasa, lalu keluar mobil. Memegang dada yang terasa panas dan berdebar. Sikapnya mirip Pram. Ah, mereka memang satu tubuh dan pikiran.Angkasa pun turun dari mobil. "Ayo, masuk. Kasihan perutmu, minta diisi."Kami memilih duduk di bagian teras belakang restoran. Cuaca lumayan cerah, karena langit tidak menggila hitam. Ada bintang yang terlukis.Angkasa memesan espresso dingin dan stik saus blackpepper. Aku memilih es lemon tea, kwetiau goreng, pancake dengan topping coklat stroberi."Habis?" tanya Angkasa."Pasti habis." Aku kembali melihat langit. Menghindari tatapan Angkasa, seolah menyerang tanpa henti."Rasi bintang crux ...."
Tawa Angkasa pudar, dia mendekat satu langkah. "Tadi kamu bilang apa, Kara?"Aku menunduk malu. "Memang tidak dengar, ya?"Angkasa mendekat selangkah lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum jahil. "Cinta apa tadi?" tanyanya.Bibirku terkatup rapat. Hati berdenyar. Angkasa merengkuh tubuh ini dalam pelukannya. Sementara aku, membeku seketika. Kehangatan yang menjalar membuat jantung berdetak kencang."Terima kasih, Kara," bisik Angkasa. "Akan kujaga cintamu dengan baik."Perlahan kedua tanganku melingkar di pinggang Angkasa. Membenamkan kepala di dadanya. Awal pertemuan kami tidak menyenangkan. Dia membuatku menderita dan terluka, namun dia sangat mencintai dengan cara menunjukkan ketulusan dan kegigihan untuk berubah."Jika waktu bisa diputar, aku tidak akan berbuat ...." Ucapan Angkasa berjeda, dia menarik napas dalam. "Aku tidak akan menorehkan luka sedikit pun."