“Kenapa malah melamun?” Pertanyaan Edwin seketika menarik kembali kesadaran wanita yang tercenung di depannya. Dia menoleh pada laki-laki itu. Hanya sekejap, karena setelahnya dia kembali memandang ke arah jalan. “Hanya memikirkan sesuatu,” jawab Nadya. “Seseorang yang kau bilang di rumah?” Nadya kembali menoleh dan memindai lelaki yang juga tengah memandangnya lekat. Edwin yang semula berdiri dengan kedua tangan bertumpu di meja, lalu menarik kursi di dekatnya dan duduk. Tak ada jawaban. Nadya memilih mengabaikannya. Hal paling menakutkan bagi wanita manja sepertinya adalah tergoda untuk menerima kebaikan. Dan, ayolah siapa yang tak akan tertarik pada laki-laki seperti dia, jika terus-terusan diperhatikan begitu? “Benar rupanya.” Edwin menebak yakin. Nadya menarik napas dalam. “Kau bilang bukan pengangguran, kenapa di sini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Tangannya mengaduk isi gelas di depannya. Lalu kembali mengangkat wajah saat terdengar langkah kaki mendekat dengan beber
“Mbak Nisa ...” Meski setengah berbisik, panggilan dari seberang meja membuat Annisa mengangkat wajah dari layar komputer. Di depannya Hana sudah memandang dengan wajah penuh tanya. “Dia kenapa, sih?” tanya wanita itu. Pandangan Annisa beralih ke arah pintu. Dia menghela napas jengah lalu menggeleng di antara senyuman, isyarat dia tak punya wewenang untuk menceritakan apa pun masalah sang bos kepada orang lain, walau sangat ingin. Hana bangkit setelah sebuah helaan napas pasrah. Dia lupa, bertanya pada Annisa tak akan membuatnya mendapat jawaban. Gadis itu terlalu baik untuk bisa menggunjing orang lain. Namun, dia mulai mencurigai sesuatu, dan akan mencari tahunya sendiri setelah ini. Wanita itu hampir melangkah sebelum kembali menoleh pada direktur barunya. “Oya, siapa nama istri Pak Pram?” Dahi Annisa berkerut. Dia memandang Hana dengan tatapan ragu sebelum menunduk memandangi kedua tangannya yang saling menggenggam di meja. Nadya. Dia perempuan cantik yang beruntung memiliki
“Kita mau ke mana?” Nadya mengedar pandang keluar jendela mobil dengan gelisah. “Nanti kau akan lihat.” “T—tidak, sebaiknya kita pulang.” Perempuan itu menarik tasnya ke pangkuan. Sesekali tangan kiri mengepal seperti orang ketakutan. Edwin menangkap gelagat itu dan tersenyum di antara gelengan. Tidakkah sikap takut itu sedikit terlambat? “Percayalah, Nadya, kau aman,” ucapnya seiring senyum yang kembali tersungging di bibir. “Jika aku berniat jahat, aku sudah melakukannya di kali pertama kita bertemu, ingat? Dengan keadaanmu waktu itu, aku bisa dengan mudah melakukannya,” ucap Edwin tanpa berpaling dari jalan. Sesuatu yang hangat terasa menyiram sudut hati Nadya. Mendadak dia malu pada pikirannya sendiri. Edwin orang baik-baik. Dia percaya itu. Yang membuat Nadya tak nyaman di dekat laki-laki itu adalah, perasaannya sendiri. Rasa kuatir mengecewakan orang lain setelah apa yang mereka berikan, membuat Nadya takut menerima kebaikan yang bertubi-tubi. Ditambah di tengah keadaan sul
“Pak, ini laporan penjualan untuk bulan ini,” ucap Hendri sesaat setelah terdengar pintu ruangan Ali terbuka. “Terima kasih. Tolong letakkan di meja,” jawab laki-laki itu tanpa menoleh. Pandangannya masih tertuju pada sepasang gadis di bawah sana, yang entah bagaimana satu di antaranya mirip Annisa. “Ada yang bapak butuhkan lagi?” “Tidak. Terima kasih. Kamu boleh pulang.” Laki-laki dengan kemeja bermotif kotak-kotak itu mengangguk lalu melangkah keluar. Sudah seminggu sejak Nadya meninggalkannya di penginapan, Ali belum tahu bagaimana kabar wanita itu, kecuali dari pembaruan “story” di aplikasi hijaunya. Setelah hampir terjaga sepanjang malam, pagi itu, Ali bukan tidak tahu apa yang Nadya lakukan di kamar mereka. Suara gaduh itu menggambarkan betapa buru-buru wanita itu mengemasi barang di antara isak yang sesekali terdengar. Dan semua kegaduhan di kamar berakhir setelah terdengar suara pintu tertutup. Kecupan di dahi dan bibir, setitik air yang sempat menetes di pelipisnya sebe
Dinar akhirnya mengerti alasan terkuat Pramono membawa Tasya ke Bandung, alih-alih menitipkan gadis kecil itu kepada sang nenek, adalah untuk menutupi aib keluarga dari penilaian masyarakat—yang pasti akan tidak baik.Sudah menjadi rahasia umum bagaimana buruknya dampak dari komentar negatif bagi psikis anak-anak. Bagaimana perasaan tertolak akan menghadirkan kebencian dalam hati seorang anak kepada sang ibu, dan menodai rasa kasih di hatinya di kemudian hari.Bagaimana pun buruknya perbuatan Nadya, Pramono tak ingin putrinya sampai membenci sang ibu—lebih tepatnya—membenci putrinya sendiri, dewasa nanti. Dinar paham itu. Dan mulai menerima alasan menantunya. Itulah kenapa dia kini begitu rindu sang cucu. Dan andai tak cukup tahu diri, dia pun ingin Tasya tetap di rumah bersama sang ayah yang terlanjur dianggap seperti anak sendiri.Pramono, pemuda gagah yang datang dengan kerendahan hati menawarkan diri untuk menjadi suami dari sang putri. Oh ... andai waktu bisa diputar kembali, Di
Usai menidurkan Tasya, Ratna berencana menceritakan percakapannya dengan Dinar sore tadi kepada Pramono. Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Ratna keluar dari kamar Tasya dan melihat di ruang tamu Pramono sedang menelepon seseorang. Dengan wajah tampak begitu letih, sesekali tangannya menyugar rambut lalu memijit pelipisnya pelan. Perempuan itu mengendap mendekati sang suami dan berhenti setelah jarak hanya tersisa kurang dari dua meter. “Kau sudah panggil dia?” ... “Ya. Aku akan datang. Kau pastikan saja dia menungguku.” ... Dahi Ratna mengerut begitu saja. ‘Pastikan dia menunggu?’ Ratna bertanya-tanya. ‘Siapa yang menunggu?’ Perempuan itu melanjutkan langkah begitu yakin Pramono sudah mengakhiri teleponnya. “Siapa, Mas?” tanyanya. Seperti tak menyangka ada yang mendekat, Pramono tersentak kaget. Dia lantas meletakkan ponsel di meja dan menoleh. “Hana. Head editor di kantor.” Ratna memicing. “Malam-malam begini?” “Ya. Dia sempat telepon sore tadi, aku tak dengar.” Ra
“Pagi, Kak Nisa,” sapa Dewi ketika melihat Annisa membuka pintu kantor NAF dan menyelip masuk. “Pagi,” jawab Annisa. Namun, langkahnya kemudian terhenti di lobi saat pandangannya menangkap sebuah mobil mewah berhenti di halaman parkir. Sedetik setelahnya seorang wanita anggun melangkah keluar dan berdiri tak jauh dari pintu pengemudi. Annisa memicing. Itu Nadya. Tapi dia jelas tahu laki-laki yang mengantarnya bukan Pramono atau Ali. Dan mobil itu terlalu mewah untuk dikatakan sebagai sebuah angkutan umum. ‘Siapa laki-laki itu?’ Dahi Annisa mengernyit. Lalu dengan buru-buru melanjutkan langkahnya masuk. *** Di halaman parkir, Nadya keliru jika berharap laki-laki yang mengantarnya akan segera pergi. Setelah beberapa saat menunggu, dari jok kemudi, Edwin bahkan masih memandanginya, seakan ada sesuatu di wajah wanita itu yang sayang untuk dilewatkan. Terjebak dalam suasana canggung, Nadya berdeham pelan demi mengurai gugup. “Pergilah. Aku harus segera masuk,” ucapnya setengah berbis
“Bapak, editor yang kemarin saya beri tahu sudah menunggu di ruangan. Apa bapak jadi datang,” tanya Hana melalui sambungan telepon. “Tentu. Aku sudah berada di depan pintu ruanganku. Kau belum selesai bicara dengan Annisa?” Seketika terdengar derit kursi. Pramono menebak asistennya itu baru saja berdiri. “O—oh. Sa—saya akan segera kembali.” “Aku membayarmu bukan untuk mengobrol, Hana. Kerjakan tugasmu!” “B—baik.” Samar terdengar derap langkah di ujung sambungan telepon. Pramono memutus sambungan telepon. Dengan satu tangan terselip di saku, pandangannya kembali tertuju pada wanita bergaun biru yang duduk di seberang meja kerjanya. Beberapa kali wanita itu tampak mengedar pandang ke sekeliling ruangan, lalu berhenti pada jam di tangan. Beruntung Pramono sempat menyuruh orang untuk menurunkan semua foto dan nama di meja, dan wanita itu tak sempat melihat apa-apa atau rencananya akan kacau. Kemudian seperti telah menghitung waktu mundur, wanita itu tampak melihat jam di tangannya l