“O—oh, waw, kenapa kalian nggak cerita?” Memandang Annisa dan Ali bergantian, Nadya kemudian menunduk setelah menanggapi sekedarnya. Seperti diingatkan pada niat awalnya mempertemukan mereka, niat yang juga diketahui oleh Pramono, Nadya merasa terjerembap pada lubang yang dia ciptakan sendiri. Membuat lukanya menyakiti bukan hanya tubuh tapi juga jiwa. Nadya mengusap kepala yang mendadak terasa pening. Di sebelahnya, Pramono dan Annisa masih sibuk membicarakan masa depan yang entah bagaimana mendadak menjadi topik menarik bagi mereka. Sementara di sudut lain, Ali menatap kuatir tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia menebak, Nadya tak baik-baik saja sebab berita yang baru saja dia dengar. Nadya mulai menggigil. Mendadak udara terasa dingin baginya. Bukan hanya, oleh kabar yang baru saja dia dengar, tapi juga oleh pakaian tanpa lengan yang dikenakannya. Nadya memeluk diri sendiri. “Kenapa, Dek?” bisik Pramono saat akhirnya menyadari gelagat tak biasa Nadya. Dia menggenggam tangan sang ist
Pukul empat pagi, Nadya terjaga oleh suara gemercik air dari kamar mandi. Tak berselang lama seseorang keluar dengan aroma khasnya. Itu kali ke dua Pramono mandi sepagi ini. Nadya kemudian kembali memejamkan mata saat merasakan seseorang mendekat dan duduk di tepian ranjang. Lalu sebuah kecupan terasa hangat di pelipisnya yang tertutup helaian rambut. “Subuh, Dek.” Pramono mengusap lengan Nadya lalu melangkah keluar dengan pakaian koko lengkap dengan sarungnya setelah memastikan istrinya bangun. Setelah membersihkan diri, Nadya tetap menjalankan salat meski dia tahu Tuhan pasti telah murka oleh perbuatannya. Satu hal yang dia yakini, ada kewajiban yang tak bisa ditinggalkan sebejat apa dia telah berbuat—meski berakhir dengan pertanyaan menggantung, ‘Lalu apa esensi aku melakukan semua ini jika tetap tak mencegah perbuatan keji?’ Nadya menunduk ketika menyadari bahwa bukan aturannya yang salah, namun benaknya yang keliru. Dia tak berada di tempat saat peraduan dengan Allah berlangs
Mendengar pertanyaan itu, dua perempuan di dapur menoleh. Dari pintu hubung tampak Pramono berjalan mendekat. Seperti maling ketahuan, Nadya menunduk akibat dentaman keras di dadanya. Di seberang meja, Annisa mencoba mencari jawaban yang tepat agar apa yang keluar dari mulutnya tak menjadi masalah bagi rumah tangga orang lain. Namun, akhirnya kembali Pramono yang bicara. “Udah mateng, Dek? Mas laper banget.” Pertanyaan itu tak langsung dijawab, karena Nadya seperti tak mendengarnya. Dia masih menunduk menatap entah pada apa di meja, sampai Pramono mengulang pertanyaan disertai sebuah usapan di pucuk kepalanya. “Ya, Mas? Apa?” Pramono mengernyit. Dia menatap Nadya heran. Membuat perempuan itu sedikit gugup sebelum mengingat pertanyaan yang samar dia dengar dari suaminya. “S—sudah, Mas. Mau sekarang?” “Ya, Mas laper banget.” “Tapi, cuma ada tempe goreng sama sambal bawang. Nggak apa-apa? Nad nggak belanja kemarin karena nggak tahu Mas akan pulang.” Dari pintu yang sama Ali muncul
“Apa?” Nadya menatap Ali dan Annisa bergantian. Mendadak sensasi ngilu itu muncul kembali di sudut hati Nadya. Menampilkan tawa getir di wajah itu. “Oh, waw. Sudah serius rupanya kalian ya ... sampai Mbak pun nggak tahu.” Ekspresi Nadya berubah. Dia mengatakan itu dengan raut kesal yang tak ditutup-tutupi. Membuat gadis di seberang meja menunduk luruh. “Kalau cuma enam puluh lima juta, Mbak pun ada. Kenapa Ali? Apa Mbak bukan saudara kamu? Kenapa semudah itu menerima bantuan dari—“ Kalimat Nadya berhenti saat sebuah sentuhan hangat terasa di lengan kanannya. Dia menatap dua tangan yang bertumpu itu sebelum membuang muka jengah karena menyadari reaksinya berlebihan. “Dek, dia menerima bantuan dari calon suami, apa salahnya?” tanya Pramono menoleh ke arah Nadya. “Biarkanlah. Justru bagus kalau masalahnya cepat selesai, bukan?” Remasan pelan Nadya rasakan di jemarinya. Dari ujung mata, Ali yang sejak tadi hanya diam, melirik pada Annisa. Kasihan pada Annisa yang terpojok, dia memb
“Dek, mereka pamit, tuh? Kamu nggak keluar?” tanya Pramono tepat setelah pintu kamar tertutup. Nadya tak menyahut. Setelah menangis sepanjang berada di kamar, dia merasa tak ingin melakukan apa pun kecuali berbaring untuk meredakan rasa pening kepalanya. “Are you ok, Nadya?” Pramono bertanya hati-hati. Saat sensitif, salah bertanya akan menjadi masalah baginya. “Aku capek, Mas. Boleh aku tidur?” Sebaliknya, Nadya menjawab sedikit ketus dari balik selimut, lalu memijit pelipisnya. Mendadak dia kesal pada perhatian Pramono yang menurutnya sedikit berlebihan. Pramono memandang wanita di ranjang dan mencoba mencari solusi untuk masalah itu. Sayangnya solusi dari masalah hati wanita sering kali hanya dia yang tahu. Maka ketika ... “Mau dipanggilkan tukang urut?” Pertanyaan Pramono kembali keluar, tapi jawaban Nadya tetap sama. Dia menggeleng. “Baiklah. Mas keluar ya.” Nadya tak menanggapi. Pramono menghela napas. Setelah membetulkan letak selimut istrinya, dia melangkah menuju ruang
Beberapa hari lalu. “Ali agak telat, Bu. Ibu tunggu atau naik taksi?” “Ibu tunggu aja di depan ya, dekat parkiran.” “Ok.” Sambungan telepon terputus. Roro memasukkan kembali ponsel ke dalam tas, tapi kecemasan segera menguasai hati perempuan paruh baya itu sebab dia tak mendapati dompetnya di sana. Roro mengedar pandang ke penjuru lantai berharap menemukan barang yang dia cari di sana sebelum seorang gadis muncul di belakangnya dengan tangan terulur. “Ibu cari ini?” Perempuan muda bersetelan kasual menyodorkan dompet berwarna coklat tua kepada Roro yang seketika menatap tangan terulur itu. Dan ya, dia kenal benar benda dalam genggaman gadis itu adalah barang yang dia cari. Pandangan Roro kemudian berpaling pada sosok yang membawanya. Dia kembali berbicara, “Saya menemukan ini terjatuh di lantai, dan mengikuti Ibu sampai di sini. Punya Ibu, ‘kan?” Perempuan muda itu mengulum senyum yang dalam pandangan Roro tampak tulus tanpa dibuat-buat. Entah karena dia telah bosan mendekati
“Apa ada hubungannya dengan Ali?” Pramono menatap lekat wajah melengos Nadya yang dalam pandangannya seperti upaya mengingkari kenyataan, bahwa memang ada yang tengah dia sembunyikan. Mendengar pertanyaan tak terduga dari Pramono, Nadya menoleh cepat. “Apa maksud Mas?” Perempuan itu memindai wajah sang suami. Pupilnya bergetar karena pikirannya kini mulai liar membayangkan kemungkinan Pramono tahu semuanya. Dan menunggu apa kira-kira yang akan terjadi selanjutnya. Setelah sekian detik berlalu, belum juga ada jawaban dari Pramono. Laki-laki itu masih diam dan menatap kosong ke sudut lain. Detik berikutnya dia bangkit dan berjalan ke arah balkon lalu kembali berbalik untuk memandang istrinya dari luar jendela. “Kalau sudah baikkan, ayo kita turun. Tasya menanyakan kamu. Kamu perlu juga kenalan sama Mbak Asih.” Laki-laki itu kemudian berbalik dan kembali menatap keluar rumah seolah ada pemandangan menarik di luar sana. Sementara Nadya mengumpat dalam hati. Dia tak suka merasa risau
Pramono meletakkan sebingkai foto berukuran 3R yang baru diambilnya dari dalam tas ke atas meja kerja. Foto itu sengaja dia bawa untuk mengisi space di meja kantor barunya. Beberapa saat sebelum tangan itu terlepas dari kayu yang membingkai, dia sempat menatap seraut wajah di dalamnya cukup lama. Sesosok wanita dengan rambut panjang yang terikat asal, tertangkap kamera tengah duduk di depan layar laptop yang menyala di bawah rindangnya pohon beringin. Di satu sisi wajahnya, terlihat rambut yang terlepas dari ikatan berkibar tertiup angin. Selarik senyum terlukis tipis dan terkesan dipaksakan mengiringi pandangan ke arah kamera. Anehnya meski kaku wanita itu justru tampak ayu di mata Pramono. Itu adalah foto lama. Dia ingat benar kapan tepatnya foto itu diambil. Saat itu, Nadya adalah gadis yang sulit didekati seakan sebuah dinding tebal menghalangi siapa pun mendekat termasuk Pramono. Tapi bukan Pramono namanya, jika mudah menyerah. Laki-laki itu punya cara untuk memiliki Nadya tan