“Pram berangkat, Yah.” Tuan Aji mengangguk. Pramono memandang wanita yang berdiri di belakang sang ayah, dan menyadari hangat menyelusup ke sudut hatinya. “Aku berangkat. Tolong jaga ayah untukku.” Ratna mengangguk. Sedikit kecewa karena bahkan laki-laki itu belum bisa memanggil namanya dengan nyaman. “Hati-hati di jalan, jaga diri.” “Tentu.” “Kau yakin tak ingin mengajak dia?” tanya Tuan Aji, membuat wanita di belakangnya seketika memandang Pramono penuh harap. Pram tercenung sesaat lalu menatap wanita yang menggigit bibir itu lagi. Dan dia sadar, belum siap untuk itu. “Tidak, Yah. Pram usahakan pulang secepatnya.” Tentu saja, Ratna harus kecewa sekali lagi jika berharap Pramono akan berubah pikiran setelah apa yang mereka lalui beberapa jam yang lalu. Di depan sang ayah, meski sorot mata itu tak setajam sebelumnya, Pramono masih enggan tersenyum seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Ratna menunduk saat menyadari usahanya seperti belum menghasilkan apa-apa kecu
“Tinggallah di sini untuk sementara waktu,” ucap Edwin saat mobil yang dia kemudikan berhenti di depan sebuah rumah. “Rumah ini milik ibuku. Masih terawat walau sedikit tua. Kau boleh pergi setelah menemukan tempat tinggal baru.” Nadya belum menanggapi. Pandangannya masih memindai rumah bergaya lama yang masih tampak begitu kokoh dan terawat. Di halamannya yang cukup luas, Nadya melihat beberapa tanaman hias tumbuh cantik dan dia yakin, melihat bagaimana seorang Edwin, tanaman itu memiliki ahlinya sendiri. Wanita itu kemudian berpaling saat mengingat percakapan terakhir mereka di telepon waktu itu. Tentang pengakuan Edwin mengenai perasaannya. “Edwin ...” Belum sampai Nadya melanjutkan, Edwin memotong. “Tak perlu merasa berhutang budi. Aku paham posisimu. Ini hanya ... Ayolah, kamu pasti tahu terlalu bahaya bagi perempuan di kota besar sendirian.” Nadya menunduk. Edwin benar. Masih segar dalam ingatan Nadya bagaimana sopir taksi yang dia sewa sempat akan mencelakai Nadya di jalan
Malam tiba. Sunyi kembali memenjarakan Pramono pada kerinduan tak berujung. Ada panas di hati setiap kali ingatan tentang wanita itu muncul di benak. Begitu panas sampai rasanya api itu sanggup membakar segalanya, bahkan dirinya sendiri. Pramono menyambar rokok di meja. Mengambil sebatang dan menyulutnya. Lalu bayangan Nadya yang mengomel melihatnya merokok memenuhi pandangan. Pramono menarik sebelah bibir untuk menertawakan kepayahan dirinya. Adakalanya benda itu menjadi pilihan terbaik untuk menemaninya saat sepi. Setelah itu dia akan terjaga sepanjang malam sampai kantuk menyerang. Dan terlelap di mana pun dia menjatuhkan diri. Lalu kembali terbangun saat Tasya terjaga dan memanggil-manggilnya. Sesekali bocah itu menangis histeris tanpa jelas apa yang diminta, dan kembali tertidur setelah digendong cukup lama. Pramono meraup wajah lelah. ‘Haruskah Tasya yang menanggung semua ini?’ Dia bertanya-tanya seiring sudut mata yang mulai menggenang akibat nyeri yang kembali menyiksa relun
Seperti bocah yang baru dilepas sang ibu, Nadya tak berhenti mengedar pandang melihat hal-hal baru di sekelilingnya. Pejalan kaki, pepohonan, pedagang keliling, angkot yang cukup sering melintas.Hal paling menarik dari kota Bandung bagi Nadya adalah orang-orangnya yang ramah. Bahasanya yang lembut dan santun yang bahkan bisa dia dengar dari pemuda yang identik dengan hal-hal gaul. Nadya mengulum senyum.Sementara seperti baru mendapat mainan baru, Edwin justru sibuk memperhatikan wanita di sampingnya. Ada kepuasan ketika ekspresi di wajah itu tampak tersenyum entah oleh apa yang dilihatnya di luar sana.Sulit bagi Edwin untuk berhenti memperhatikan setiap gerak gerik wanita itu. Dia bahkan sampai harus memperlambat laju mobil demi mengulur waktu bersamanya.Ya. Edwin mengakui, dia telah jatuh cinta. Cinta tak pada tempatnya.Edwin kemudian berpaling karena dia nyaris tertangkap basah telah diam-diam mencuri pandang.“Apa kau baru pertama kali ke Bandung?” tanya Edwin saat dia dengan
“Selamat datang,” sapa seorang wanita. “Selamat pagi, Kak. Ada yang bisa kami bantu?” Nadya menoleh pada seseorang yang bertanya di belakangnya. Lalu tersenyum ketika menyadari dia adalah pegawai toko itu. “Oh. Pagi. Saya datang atas undangan Ibu Hana.” “Oh, Ibu Hana sedang izin tidak masuk hari ini, Kak.” “Ya. Dan saya diarahkan untuk menemui ibu Annisa.” “Baik. Ibu Annisa ada. Mari saya antar.” Perempuan yang Nadya perkirakan usianya sekitar dua puluh lima itu melangkah mendahuluinya melewati lorong bernuansa coklat. Nadya sempat menoleh kembali untuk memastikan judul buku yang dilihatnya sebelum pandangannya terhalang dinding. Diam-diam dia berniat memastikan sendiri siapa penulis buku itu, sekeluarnya dari sana. Langkah Nadya kemudian berhenti saat wanita yang menuntunnya berhenti di depan pintu. Di sana tertera nama “Annisa El Lathifa” di bawah kalimat, “Direktur Pelaksana NAF Publisher”. ‘Kebetulan sekali,’ desis Nadya dalam hati. Nadya merasa, nama itu mirip milik seseor
“Kau sudah mau pergi?” tanya Ali saat melihat Annisa membereskan kamar dan mengemasi barang-barangnya. “Ya,” jawab Annisa tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengeluarkan tas dari kamar, dan bersikap seolah tak peduli pada tawaran Ali. “Mau kuantar?” tanya laki-laki itu lagi. Dia tak benar-benar ingin mengantar kecuali melihat bagaimana wajah sembab Annisa yang sedikit pucat. Sejak menerima telepon di kamarnya dia bahkan belum memakan apa pun. Ali tak menampik dia mengkhawatirkan Annisa. Alih-alih menjawab, Annisa justru memandang wanita yang masih duduk di meja makan dengan kopi di tangannya, seakan berita yang baru saja dia dengar bukan sesuatu yang serius. Ada kejengkelan yang menggumpal di hatinya untuk wanita itu. Sayangnya, jangankan mengumpat, memulai untuk bicara pun dia tak punya nyali. Annisa yang sempat terpaku di depan pintu, lalu melangkah keluar kamar dan menutup pintu. Tubuhnya membungkuk meraih tas dari lantai dan menggendongnya. “Tidak perlu. Aku sudah pesan taksi.” Ga
Seperti menunaikan apa yang pernah menjadi impiannya, Ali begitu cekatan menuruti kemauan Nadya. Begitu pun ketika Nadya meminta menginap di tempat itu.Tak butuh waktu lama untuk keduanya sampai di sana. Sebuah penginapan seukuran kamar dengan dinding kayu berpernis yang dibangun di antara pohon pinus. Di dalamnya dobel bed berada tepat di tepi jendela kaca besar yang memenuhi hampir seluruh dinding. Kamar mandi air hangat dan dapur. Suatu tempat yang lebih tepat untuk pasangan bulan madu.Tentu, bulan madu, sebutan untuk mereka yang menikmati hari-hari indah setelah pernikahan.Lalu apa sebutan untuk mereka berdua? Pasangan yang berbahagia setelah menghancurkan hati orang lain?Nadya menjatuhkan diri di ranjang. Berharap dengan begitu luruh pula beban hati. Sayangnya bayangan pucat wajah Tasya dan tangisannya yang menyayat terngiang-ngiang jelas di kepala. Nadya memejamkan mata demi mengusir bayangan itu.Gusar, wanita itu bangkit. Menyambar handuk sebelum akhirnya melangkah ke kama
“Kenapa malah melamun?” Pertanyaan Edwin seketika menarik kembali kesadaran wanita yang tercenung di depannya. Dia menoleh pada laki-laki itu. Hanya sekejap, karena setelahnya dia kembali memandang ke arah jalan. “Hanya memikirkan sesuatu,” jawab Nadya. “Seseorang yang kau bilang di rumah?” Nadya kembali menoleh dan memindai lelaki yang juga tengah memandangnya lekat. Edwin yang semula berdiri dengan kedua tangan bertumpu di meja, lalu menarik kursi di dekatnya dan duduk. Tak ada jawaban. Nadya memilih mengabaikannya. Hal paling menakutkan bagi wanita manja sepertinya adalah tergoda untuk menerima kebaikan. Dan, ayolah siapa yang tak akan tertarik pada laki-laki seperti dia, jika terus-terusan diperhatikan begitu? “Benar rupanya.” Edwin menebak yakin. Nadya menarik napas dalam. “Kau bilang bukan pengangguran, kenapa di sini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Tangannya mengaduk isi gelas di depannya. Lalu kembali mengangkat wajah saat terdengar langkah kaki mendekat dengan beber