Share

BAB 3

Air mata ini tak bisa kubendung lagi. Kubiarkan saja luruh ke pipi. Dulu kupikir mama melarangku masuk ke gudang itu karena berdebu, kotor dan mungkin banyak kecoa atau tikus, tapi kini aku bisa menebak jika mama khawatir aku menemukan masa lalu Mas Bian di sini. Ternyata memang benar.

Banyak rahasia yang dia simpan di kamar kumuh ini. Kamar yang baru kali ini kusinggahi lebih lama karena biasanya aku hanya masuk sekadar menaruh barang tak terpakai lalu kembali menguncinya.

Baru saja membalikkan badan, entah mengapa ingin sekali mencari sesuatu di rak buku itu. Kedua mataku fokus di deretan buku paling ujung. Hatiku berdebar seketika saat melihat buku berwarna kuning itu. Dengan gemetar, aku mengambilnya dari rak buku dan melihat sampulnya.

Air mataku luruh seketika saat kutahu buku yang kubawa ini adalah sebuah diary usang. Diary seorang perempuan. Diary yang sepertinya sengaja disembunyikan. Sengaja ditaruh bagian belakang, tertupi dengan buku lain yang sepertinya memang buku-buku masa kuliah Mas Bian. Mungkin agar tak tampak oleh mata kecuali memang dia sengaja mencarinya.

Irena Prameswari Abdullah dan Arbian Bagaskara. Dua nama yang tertulis jelas di halaman depan diary usang itu. Diary yang harus kubersihkan terlebih dahulu sebelum membaca lembar perlembarnya.

Di lembar pertama terisi dengan deretan tulisan tangan yang begitu rapi. Tulisan tangan yang kutaksir adalah tulisan perempuan itu.

Jakarta, 17 Agustus 2017

Hari pertama kutulis kisah cintaku dalam diary ini. Diary yang kudapat dari kekasih hatiku. Dia yang selalu menemani hari-hariku. Dia yang membuat duniaku lebih berwarna dan dia yang membuatku merasa begitu istimewa dengan segala cinta yang dia punya. Arbian Bagaskara namanya.

Laki-laki terhebat setelah papa. Laki-laki yang selama dua tahun belakangan selau berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Aku merasa, tak ada cacat dalam kepribadiannya pun fisiknya. Dia nyaris sempurna dan aku bahagia sebab menjadi pilihan hatinya diantara banyak wanita yang berusaha mencuri perhatian dan cintanya.

Aku tak tahu jika tak ada dia dalam duniaku yang kecil ini. Aku yang tak punya teman, aku yang pendiam dan aku yang harus selalu mematuhi berbagai aturan dalam keluarga besarku.

Hadirnya Mas Bian selaksa bintang yang menemani malamku yang gulita. Dia tak pernah lelah mengajariku banyak hal untuk mencintai dunia. Termasuk segala aturan papa dan mama yang terkadang membuatku begitu nelangsa.

Arbian Bagaskara. Aku tahu cinta kita begitu sempurna, meski masih terhalang restu orang tua. Namun aku selalu percaya dengan ucapanmu waktu itu bahwa jodoh sudah tertulis di Lauh MahfuzNya. Tak akan pernah keliru dan tak akan pernah salah sasaran. Akan selalu tepat untuk pemiliknya.

Tak banyak hal yang kupanjatkan di setiap sujudku. Aku hanya berharap dan berdoa agar DIA menyatukan cinta kita dalam bingkai rumah tangga. Seperti DIA menyatukan Adam dan Hawa.

Ya Allah, aku mencintainya. Dia pun sama, mencintaiku juga. Semoga Engkau menyatukan cinta ini, meski dengan berbagai ketidakmungkinan yang ada. Atau bahkan nyawa taruhannya.

Irena Prameswari Abdullah.

Air mataku kembali menetes setelah selesai membaca lembar pertama diary itu. Catatan hati seorang Irena yang membuatku begitu cemburu.

Tak pernah kusangka jika ternyata bukan aku perempuan beruntung itu. Bukan aku yang mendapatkan cinta dari seorang lelaki yang nyaris sempurna. Bukan aku perempuan yang begitu Mas Bian cinta dan sebut dalam doa, tapi dia. Iya ... dia. Cinta pertamanya yang hingga kini tak pernah dia lupa.

Tubuhku luruh begitu saja di lantai. Tak peduli banyak debu di sana-sini yang mengotori gamis panjangku. Rasanya aku ingin pingsan dan terjaga tanpa tahu masa lalunya. Aku ingin amnesia dan hidup seperti biasanya tanpa tahu jika ternyata selama ini dia hanya bersandiwara.

Biarlah aku hidup dalam kepuraan, jika pada akhirnya mengetahui ini semua teramat menyakitkan. Biarlah aku selalu diberinya segenggam cinta yang mungkin hanya fatamorgana baginya, yang penting aku selalu merasa itu cinta yang nyata darinya.

Aku baru sadar jika mengetahui masa lalu suamiku sendiri ternyata membuatku sesakit ini. Harusnya aku tak perlu menanggapi bisikan beberapa perempuan Mas Bian saat tak sengaja bertemu dengannya kemarin siang.

Harusnya aku pura-pura buta dan tuli dengan semua yang telah terjadi saja hingga aku tak perlu sepenasaran ini. Tak perlu mencari bukti kebenaran mereka bahwa aku bukanlah perempuan yang Mas Bian cintai.

Tak perlu mencari perkara dengan berusaha membongkar rahasianya jika pada akhirnya membuatku begitu terluka. Aku nelangsa. Sakit sekali rasanya mendapati kenyataan bahwa laki-laki yang kupikir begitu setia dan penuh cinta itu ternyata memendam rasa rindu dan cinta yang begitu dalam terhadap wanita lain di sana.

Wanita yang bisa saja menunggunya hingga detik ini, atau dia yang selalu menyebut nama Mas Bian di setiap doa-doanya. Air bening itu pun menetes, membasahi lembar pertama diary itu. Dengan gemetar, kubuka lembar kedua dengan tulisan yang berbeda. Aku yakin betul jika itu adalah tulisan Mas Bian-- suamiku.

Tulisan yang belum kubaca seluruhnya sebab ada sebuah kartu nama di sana. Kartu nama milik Irena lengkap dengan alamat rumahnya. Haruskah aku mendatangi alamat itu dan mengenal lebih jauh tentang Irena? Setidaknya agar aku bisa tahu, apa yang membuatnya terlihat istimewa di mata suamiku. Mungkin aku bisa diam-diam belajar darinya tanpa dia tahu siapa aku.

Jika bukan begitu, apakah aku harus melupakan semuanya dan pura-pura seperti semula yang tak tahu apa-apa? Atau ... aku harus menjatuhkan pada pilihan terpahit dalam hidupku yang harus pergi dari sandiwara mereka dan membangun lembaran baru bersama anakku saja?

"Nia, ngapain kamu di situ?" Sebuah pertanyaan membuatku tersentak seketika. Kedua netra itu begitu tajam menatapku penuh tanya.

"Nia, kamu dengar pertanyaanku, kan? Ngapain kamu di situ?" suara Mas Bian kembali membuatku tersentak dari lamunan.

"Oh, tadinya aku mau cari-cari buku, Mas. Cuma bingung itu buku apaan kok sebanyak itu, ya?" jawabku asal. Kusembunyikan diary itu di pinggang agar Mas Bian tak melihatnya.

"Itu buku kuliahku dulu. Kalau mau cari buku ke toko buku saja. Besok libur, aku bisa antar, gimana? Jangan masuk gudang ini lagi, banyak debu nanti kamu bisa sesak napas," ucap Mas Bian kemudian. Dia menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis.

Senyum yang dulu begitu kupuja dan berhasil membuatku jatuh cinta berkali-kali, bahkan menjadikan hari-hariku lebih berwarna dan melupakan nama Syahreza, tapi kini berubah seperti seringai yang begitu menyeramkan. Aku takut semakin terluka karenanya.

"Keluar, ya? Besok kita jalan-jalan," sambung Mas Bian lagi lalu pamit ke kamar mandi karena kegerahan.

Biasanya aku selalu menyiapkan secangkir kopi untuknya melepas penat sepulang kerja. Aku menyiapkan segala keperluan mandi dan baju gantinya, tapi kini entah mengapa kaki ini terasa begitu berat melangkah. Ada luka yang tak bisa kujelaskan saat kutahu masa lalunya. Sepertinya kisahnya jauh lebih memilukan dibandingkan kisahku.

Perlahan kumelongok ke kiri dan kanan gudang, barangkali ada mama atau Mas Bian di sana. Ternyata kosong. Itu berarti waktu yang tepat untukku buru-buru masuk kamar dan menyimpan diary juga dompet itu di kamar.

Aku sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki ini semua. Apakah Mas Bian masih mengharapkan hadirnya perempuan itu atau kini dia mulai berusaha melupakannya, sama sepertiku yang sudah melupakan Mas Reza.

"Nia!" panggilan Mas Bian kembali mengagetkanku membuat buku diary itu nyaris jatuh ke lantai.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status