Air mata ini tak bisa kubendung lagi. Kubiarkan saja luruh ke pipi. Dulu kupikir mama melarangku masuk ke gudang itu karena berdebu, kotor dan mungkin banyak kecoa atau tikus, tapi kini aku bisa menebak jika mama khawatir aku menemukan masa lalu Mas Bian di sini. Ternyata memang benar.
Banyak rahasia yang dia simpan di kamar kumuh ini. Kamar yang baru kali ini kusinggahi lebih lama karena biasanya aku hanya masuk sekadar menaruh barang tak terpakai lalu kembali menguncinya.Baru saja membalikkan badan, entah mengapa ingin sekali mencari sesuatu di rak buku itu. Kedua mataku fokus di deretan buku paling ujung. Hatiku berdebar seketika saat melihat buku berwarna kuning itu. Dengan gemetar, aku mengambilnya dari rak buku dan melihat sampulnya.Air mataku luruh seketika saat kutahu buku yang kubawa ini adalah sebuah diary usang. Diary seorang perempuan. Diary yang sepertinya sengaja disembunyikan. Sengaja ditaruh bagian belakang, tertupi dengan buku lain yang sepertinya memang buku-buku masa kuliah Mas Bian. Mungkin agar tak tampak oleh mata kecuali memang dia sengaja mencarinya.Irena Prameswari Abdullah dan Arbian Bagaskara. Dua nama yang tertulis jelas di halaman depan diary usang itu. Diary yang harus kubersihkan terlebih dahulu sebelum membaca lembar perlembarnya.Di lembar pertama terisi dengan deretan tulisan tangan yang begitu rapi. Tulisan tangan yang kutaksir adalah tulisan perempuan itu.Jakarta, 17 Agustus 2017Hari pertama kutulis kisah cintaku dalam diary ini. Diary yang kudapat dari kekasih hatiku. Dia yang selalu menemani hari-hariku. Dia yang membuat duniaku lebih berwarna dan dia yang membuatku merasa begitu istimewa dengan segala cinta yang dia punya. Arbian Bagaskara namanya.Laki-laki terhebat setelah papa. Laki-laki yang selama dua tahun belakangan selau berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Aku merasa, tak ada cacat dalam kepribadiannya pun fisiknya. Dia nyaris sempurna dan aku bahagia sebab menjadi pilihan hatinya diantara banyak wanita yang berusaha mencuri perhatian dan cintanya.Aku tak tahu jika tak ada dia dalam duniaku yang kecil ini. Aku yang tak punya teman, aku yang pendiam dan aku yang harus selalu mematuhi berbagai aturan dalam keluarga besarku.Hadirnya Mas Bian selaksa bintang yang menemani malamku yang gulita. Dia tak pernah lelah mengajariku banyak hal untuk mencintai dunia. Termasuk segala aturan papa dan mama yang terkadang membuatku begitu nelangsa.Arbian Bagaskara. Aku tahu cinta kita begitu sempurna, meski masih terhalang restu orang tua. Namun aku selalu percaya dengan ucapanmu waktu itu bahwa jodoh sudah tertulis di Lauh MahfuzNya. Tak akan pernah keliru dan tak akan pernah salah sasaran. Akan selalu tepat untuk pemiliknya.Tak banyak hal yang kupanjatkan di setiap sujudku. Aku hanya berharap dan berdoa agar DIA menyatukan cinta kita dalam bingkai rumah tangga. Seperti DIA menyatukan Adam dan Hawa.Ya Allah, aku mencintainya. Dia pun sama, mencintaiku juga. Semoga Engkau menyatukan cinta ini, meski dengan berbagai ketidakmungkinan yang ada. Atau bahkan nyawa taruhannya.Irena Prameswari Abdullah.Air mataku kembali menetes setelah selesai membaca lembar pertama diary itu. Catatan hati seorang Irena yang membuatku begitu cemburu.Tak pernah kusangka jika ternyata bukan aku perempuan beruntung itu. Bukan aku yang mendapatkan cinta dari seorang lelaki yang nyaris sempurna. Bukan aku perempuan yang begitu Mas Bian cinta dan sebut dalam doa, tapi dia. Iya ... dia. Cinta pertamanya yang hingga kini tak pernah dia lupa.Tubuhku luruh begitu saja di lantai. Tak peduli banyak debu di sana-sini yang mengotori gamis panjangku. Rasanya aku ingin pingsan dan terjaga tanpa tahu masa lalunya. Aku ingin amnesia dan hidup seperti biasanya tanpa tahu jika ternyata selama ini dia hanya bersandiwara.Biarlah aku hidup dalam kepuraan, jika pada akhirnya mengetahui ini semua teramat menyakitkan. Biarlah aku selalu diberinya segenggam cinta yang mungkin hanya fatamorgana baginya, yang penting aku selalu merasa itu cinta yang nyata darinya.Aku baru sadar jika mengetahui masa lalu suamiku sendiri ternyata membuatku sesakit ini. Harusnya aku tak perlu menanggapi bisikan beberapa perempuan Mas Bian saat tak sengaja bertemu dengannya kemarin siang.Harusnya aku pura-pura buta dan tuli dengan semua yang telah terjadi saja hingga aku tak perlu sepenasaran ini. Tak perlu mencari bukti kebenaran mereka bahwa aku bukanlah perempuan yang Mas Bian cintai.Tak perlu mencari perkara dengan berusaha membongkar rahasianya jika pada akhirnya membuatku begitu terluka. Aku nelangsa. Sakit sekali rasanya mendapati kenyataan bahwa laki-laki yang kupikir begitu setia dan penuh cinta itu ternyata memendam rasa rindu dan cinta yang begitu dalam terhadap wanita lain di sana.Wanita yang bisa saja menunggunya hingga detik ini, atau dia yang selalu menyebut nama Mas Bian di setiap doa-doanya. Air bening itu pun menetes, membasahi lembar pertama diary itu. Dengan gemetar, kubuka lembar kedua dengan tulisan yang berbeda. Aku yakin betul jika itu adalah tulisan Mas Bian-- suamiku.Tulisan yang belum kubaca seluruhnya sebab ada sebuah kartu nama di sana. Kartu nama milik Irena lengkap dengan alamat rumahnya. Haruskah aku mendatangi alamat itu dan mengenal lebih jauh tentang Irena? Setidaknya agar aku bisa tahu, apa yang membuatnya terlihat istimewa di mata suamiku. Mungkin aku bisa diam-diam belajar darinya tanpa dia tahu siapa aku.Jika bukan begitu, apakah aku harus melupakan semuanya dan pura-pura seperti semula yang tak tahu apa-apa? Atau ... aku harus menjatuhkan pada pilihan terpahit dalam hidupku yang harus pergi dari sandiwara mereka dan membangun lembaran baru bersama anakku saja?"Nia, ngapain kamu di situ?" Sebuah pertanyaan membuatku tersentak seketika. Kedua netra itu begitu tajam menatapku penuh tanya."Nia, kamu dengar pertanyaanku, kan? Ngapain kamu di situ?" suara Mas Bian kembali membuatku tersentak dari lamunan."Oh, tadinya aku mau cari-cari buku, Mas. Cuma bingung itu buku apaan kok sebanyak itu, ya?" jawabku asal. Kusembunyikan diary itu di pinggang agar Mas Bian tak melihatnya."Itu buku kuliahku dulu. Kalau mau cari buku ke toko buku saja. Besok libur, aku bisa antar, gimana? Jangan masuk gudang ini lagi, banyak debu nanti kamu bisa sesak napas," ucap Mas Bian kemudian. Dia menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis.Senyum yang dulu begitu kupuja dan berhasil membuatku jatuh cinta berkali-kali, bahkan menjadikan hari-hariku lebih berwarna dan melupakan nama Syahreza, tapi kini berubah seperti seringai yang begitu menyeramkan. Aku takut semakin terluka karenanya."Keluar, ya? Besok kita jalan-jalan," sambung Mas Bian lagi lalu pamit ke kamar mandi karena kegerahan.Biasanya aku selalu menyiapkan secangkir kopi untuknya melepas penat sepulang kerja. Aku menyiapkan segala keperluan mandi dan baju gantinya, tapi kini entah mengapa kaki ini terasa begitu berat melangkah. Ada luka yang tak bisa kujelaskan saat kutahu masa lalunya. Sepertinya kisahnya jauh lebih memilukan dibandingkan kisahku.Perlahan kumelongok ke kiri dan kanan gudang, barangkali ada mama atau Mas Bian di sana. Ternyata kosong. Itu berarti waktu yang tepat untukku buru-buru masuk kamar dan menyimpan diary juga dompet itu di kamar.Aku sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki ini semua. Apakah Mas Bian masih mengharapkan hadirnya perempuan itu atau kini dia mulai berusaha melupakannya, sama sepertiku yang sudah melupakan Mas Reza."Nia!" panggilan Mas Bian kembali mengagetkanku membuat buku diary itu nyaris jatuh ke lantai.***Aku begitu gugup saat mendengar panggilan kedua dari Mas Bian. Gegas kumasukkan diary itu di belakang tumpukan baju di lemari paling bawah. Sepertinya aman di sana karena memang jarang tersentuh. "Ke-- kenapa, Mas? Mau kopi?" tanyaku tergesa lalu buru-buru menutup pintu lemari setelah kuyakin diary itu tak tampak lagi. "Iya. Tumben kamu nggak menyiapkannya? Apa kamu sakit?" Mas Bian mendekat. Entah mengapa debar dalam hatiku kian menguat. Biasanya aku tak seperti ini, tapi setelah tahu semua masa lalunya, sakit ini tak bisa kubendung lagi. Mas Bian memegang keningku lalu menggeleng pelan. Senyum yang kini ia suguhkan pun tetap saja menawan. Namun sayangnya tak semenawan sebelumnya, tepatnya sebelum aku tahu bahwa Irena adalah nama mantan kekasihnya. "Nggak demam kok. Kamu kecapekan?" Lagi-lagi aku menggeleng, berusaha menahan air mata yang begitu kuat ingin keluar dari porosnya. "Mas ...." Panggilku saat dia pamit mau ke kamar mandi dulu. "Iya, ada apa, Nia?" Mas Bian membalikkan
Pov : Bian "Mas, apa yang kamu sembunyikan dariku selama empat tahun pernikahan kita? Bisa-bisanya kamu sematkan nama mantan kekasihmu pada anakku?" pertanyaan Dania benar-benar di luar nalarku. Aku tak paham kenapa dia tiba-tiba mempertanyakan hal itu. Selama empat tahun pernikahan, dia memang tak banyak tanya tentang masa laluku, setelah aku berikan jawaban menohok untuk pertanyaan tak masuk akalnya itu di awal-awal pernikahan kami. Masih jelas kuingat dulu saat dia tanya hal-hal sepele yang membuatku jengah. Dia protes hanya karena aku tak pernah memuji kecantikannya, tak pernah memujinya di depan keluarga besar dan tak pernah memperkenalkannya pada teman-teman kuliahku dulu dan hal remeh lainnya. "Mas, aku cantik nggak? Kenapa sih kamu nggak pernah memujiku cantik, Mas? Padahal kata teman-temanku, aku cantik," ucap Dania saat itu dengan wajah bersemu merah sembari memilin roknya. "Apa perlu mempertanyakan hal-hal seperti itu, Nia?" jawabku saat itu sembari menoleh sekilas
"Mas, aku mau ganti nama Irena," ucap Dania tiba-tiba sembari menundukkan kepala. Aku menoleh sekilas ke arahnya lalu menghela napas. "Kenapa harus diganti, bukankah kamu sendiri yang bilang saat itu sangat menyukai nama itu. Nama yang cantik menurutmu?" "Iya, tapi itu sebelum aku tahu siapa Irena di hidupmu. Mana bisa aku satu atap dengan perempuan lain yang masih mengakar kuat dalam hatimu?" ucapnya tanpa ragu. Dia menatapku, kedua mata kami pun beradu. "Satu atap dengan perempuan lain?" Aku mencoba tertawa mendengar kekonyolannya. Bagaimana disebut perempuan lain, sementara Irena adalah anaknya sendiri bukan perempuan lain. Ada-ada saja. "Iya. Jelas perempuan lain, sebab kamu masih menanti Irenamu kembali. Kamu sengaja menyematkan nama itu untuk anak kita karena dalam hatimu masih begitu mengharapkannya. Aku nggak mau tiap kali terdengar nama Irena lantas kamu teringat mantanmu. Lagi-lagi aku kembali tertawa mendengar kekonyolannya itu. Sengaja terbahak agar dia yakin bahwa
Bias senja masuk melewati celah jendela. Aku masih sibuk di sini. Membaca novel tentang kesabaran seorang istri menunggu suaminya koma berbulan-bulan lamanya. Koma. Antara ada dan tiada. Air mataku menetes lagi, tiap membaca untaian kata di dalamnya. Terasa menyesakkan, seperti yang kini kurasakan. Berusaha menyelami hati Mas Bian, tapi akhirnya aku kembali terjatuh dan sakit. Lembar demi lembar diary itu sudah kubaca hingga tak ada sisa beberapa hari yang lalu. Namun bayang perempuan itu terus menerorku. Seolah sedang meledek dengan senyum termanisnya. "Hei, Dania. Kau mungkin berhasil memiliki raganya, tapi sampai kapanpun kau tak akan pernah berhasil memiliki hatinya. Dia tetap milikku sampai kapanpun. Sebab akulah cinta pertamanya, akulah masa depannya, akulah pelita hidupnya, meski kini kamulah ratu di dunia nyatanya." Gegas kututup novel yang kubaca untuk mencari mama. Tadi mama pamit menemani Irena ke mini market terdekat untuk membeli es krim. Sementara Mas Bian sudah beran
Mendung menggantung di angkasa. Rintik hujan pun mulai membasahi bumi. Kuhirup dalam aroma yang menenangkan ini. Petrichor. Iya, aroma tanah pasca hujan turun membasahi bumi yang kering. Bunga-bunga di taman kecil samping kamar tampak segar saat air langit itu mengguyur kelopak hingga sampai ke batangnya. Aku tersenyum tipis menatap pemandangan yang cukup menenangkan ini. Bising air hujan terus menemani sepiku. Kulihat Irena terlelap di ranjang sembari memeluk guling kesayangannya. Lagi-lagi aku memejamkan mata perlahan. Menghembuskan napas yang masih saja terasa sesak dengan bermacam pikiran yang belum jua sirna. Aku sudah berusaha mengikhlaskan, tapi belum bisa. Hatiku masih tak rela mendapat kenyataan yang ada. Aku benar-benar kecewa. Bahkan sangat kecewa. Saat aku ingin memulai memberikan kepercayaan lagi pada Mas Bian setelah semua rahasia ini terbongkar, tapu kenyataannya Mas Bian justru mematahkan semuanya. Komentar di f******k itu. Iya, aku yakin karena komentar itu hingga
Mas Bian masih terpaku di sana. Membiarkanku pergi begitu saja dari sampingnya setelah memberinya pilihan terbaik untuk hidupku dan hidupnya. Dia yang akan menyelesaikan sendiri masa lalunya atau justru dia memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.Kuberikan kesempatan ini untuknya, berharap Mas Bian bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Sengaja membiarkannya berpikir jernih, aku pun mengajak Irena bermain ke taman belakang. Ada sebuah gazebo di sana. Tempat biasa untukku menyendiri, menikmati waktu dengan membaca buku atau sekadar berselancar di media sosial sembari mengawasi Irena, tentunya.Tiap weekend tiba, aku sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini. Sebab biasanya Mas Bian menghabiskan waktu di restorannya atau lembur di kantornya. Dulu aku tak paham kenapa dia seolah lebih nyaman di luar rumah, tapi kini baru kusadari, mungkin dia memang sengaja menghindariku setiap hari. Dia menjalankan semua kewajibannya, hanya saja belum sepenuhnya menerimaku sebagai
Hari ini mama datang dengan wajah tak enak dipandang. Seperti ada beban berat yang sedang dipikirkannya. Mungkinkah Mas Bian sudah mengadu tentang perubahan nama Irena itu? Mungkin. Tapi biarlah. Biar mama dan Mas Bian tahu, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa diperlakukan semena-mena dan sesuai kehendaknya. Aku bisa saja berontak, andai tak menghargai janji suci yang tersemat empat tahunan ini. "Nia ...." Mama memelukku saat aku baru saja keluar untuk menyambut kedatangannya di teras. "Gimana kabarmu, Nak? Sehat?" Perempuan seusia ibuku itu menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seperti biasanya saat dia datang. Dengan Irena pun demikian. Mama terlalu takut aku dan Irena kenapa-kenapa. Setelah saling peluk di teras, mama pun menggendong Irena lalu mengikutiku masuk rumah. Senyum mama sedikit merekah saat melihat celoteh lucu cucu kesayangannya itu."Mama mau tanya satu hal sama kamu, Nia. Boleh?" tanya wanita lenih dari setengah abad itu dengan tatapan sendu. Mungkin
"Aku nggak habis pikir, Nia. Bisa-bisanya kamu mengganti nama anak kita tanpa persetujuanku," ucap Mas Bian tiba-tiba saat aku menata baju setrikaan ke lemari. Kedua tanganku yang sibuk menata baju pun terhenti, lalu menoleh ke arahnya yang sudah rapi dengan kemeja. "Memangnya kamu membuat nama itu juga dengan persetujuanku, Mas?" "Jelas iya, kamu juga menyukai namanya. Bahkan saat mama memintamu untuk menolak pun kamu bilang sangat suka dan setuju dengan nama itu. Salahnya di mana? Kalau kamu memang nggak suka, aku pasti ganti namanya saat itu. Jangan cari alasan untuk membenarkan sikapmu saat ini. Sekarang kamu tiba-tiba ganti nama Irena tanpa minta persetujuanku lebih dulu. Parahnya, kamu masukkan nama laki-laki itu untuk anak kita." Mas Bian tak mau kalah. Dia duduk di tepi ranjang sembari memperhatikanku yang terus menata baju ke lemari hingga selesai dan menutup pintunya. Aku balik menatapnya lekat. "Kamu memang minta persetujuanku, Mas. Itu benar, tapi kesalahan terbesarmu