Pagi ini aku sengaja mencari tahu tentang masa lalu Mas Bian. Aku harus mencari bukti tentang perempuan bernama Irena Prameswari itu. Jika memang benar dia belum move on, sepertinya aku memang harus mundur. Rasanya terlalu sakit jika mencintai laki-laki yang belum bisa move on dari masa lalunya.
Polosnya aku yang terbaik dengan semua sikap manisnya selama ini. Kupikir ucapan kedua orang tuaku dan teman-teman kantornya benar jika Mas Bian terlalu menghargai statusku sebagai istri hingga selalu kaku, cuek dan dingin dengan teman-teman perempuan di kantornya.Mereka bilang jika Mas Bian tipe laki-laki setia dan pecinta keluarga. Tak pernah berbuat neko-neko ataupun menggoda perempuan lain. Saat mereka mengatakan itu aku begitu berbunga dan semakin yakin menjadi perempuan satu-satunya yang dicintai Mas Bian. Aku bahkan merasa menjadi salah satu perempuan paling beruntung sedunia karena memiliki suami nyaris sempurna sepertinya.Sebuah keyakinan yang akhirnya terpatahkan kemarin siang, saat aku dan dia tak sengaja bertemu dengan teman kuliahnya di sebuah cafe hingga akhirnya masa lalu Mas Bian terkuak begitu saja.Detik ini, aku tak lagi meragukan cerita ketiganya. Tanganku bergetar saat menemukan bukti itu. Ternyata ucapan tiga perempuan itu benar adanya. Kutemukan nama lain dalam masa lalu Mas Bian. Irena Prameswari Abdullah. Secarik nama di dalam dompet suamiku yang kutemukan di dalam gudang bersama tumpukan buku usang dan berdebu.Irena Prameswari. Mungkin nama itu memang selalu melekat di benaknya. Hingga dia tak ingin menanggalkannya begitu saja bahkan berniat untuk menyematkan namanya untuk anak perempuan semata wayang kami berdua. Nama yang kupikir paling cantik sebab Mas Bian sudah menyimpannya sejak lama sebelum aku melahirkan buah cintanya, tapi ternyata nama itu justru menyimpan kenangan yang terlalu dalam di hatinya.Masih kuingat jelas bagaimana wajahnya yang berbinar saat tahu anak pertamaku adalah perempuan. Dia langsung bilang sudah menyiapkan nama untuk malaikat kecil kami. Nama yang sangat indah, dengan harapan indah pula hati dan wajahnya.Tanpa rasa curiga, aku pun mengiyakan saja ucapannya. Aku menyetujui usulan nama darinya hingga akhirnya dia benar-benar menyematkan nama Irena Prameswari untuk anak pertama kami. Tepatnya Irena Prameswari Bagaskara. Sesuai nama belakang Mas Bian-- Arbian Bagaskara.Aku masih ingat betul kejadian tiga tahun lalu, bagaimana ekspresi Mas Bian saat menyebut nama itu di hadapan orang banyak dalam acara aqiqah putri kecil kami itu. Suaranya begitu merdu di telingaku, meski ada sedikit serak di dalamnya."Nama putri kami ... Irena Prameswari Bagaskara. Panggil saja Iren," ucapnya dengan suara bergetar lalu menoleh ke arahku dengan seulas senyum. Aku pun menjawab senyum yang sama.Aku tak pernah curiga sedikitpun tentangnya. Kupikir, netranya yang berkaca-kaca saat itu hanya karena dia begitu terharu bercampur bahagia memiliki buah hati di tahun pertama pernikahan kami, tapi ternyata ada hal lain yang begitu rapat disembunyikannya. Bahkan hingga tahun keempat pernikahan kami.Iya ... Irena Prameswari. Dia yang kupikir nama spesial dari Mas Bian untuk anak pertamanya, tanpa kusangka jika itu adalah nama perempuan yang selama ini mengisi hatinya. Perempuan yang menjadi cinta pertamanya saat bangku perkuliahan. Cinta yang dipaksa pupus begitu saja karena sebuah perjodohan.Kini aku benar-benar bisa melihat wajahnya saat kutemukan foto seorang perempuan terselip di dalam dompet usang suamiku. Foto yang masih memperlihatkan begitu jelas bagaimana wajah Irena cinta pertama Mas Bian itu, bukan Irena anak kesayanganku.Wajahnya oval, berhidung bangir, rambut lurus sebahu dengan alis tebal dan bibir begitu seksi. Pantas saja Mas Bian tak bisa melupakan sosoknya bahkan sampai hati memberikan namanya untuk buah hati kami. Ternyata Irena memang secantik dan sesempurna itu.Aku bisa menebak, mungkin Mas Bian sengaja memakai nama itu untuk buah hatinya agar dia bisa memberikan penghargaan tersendiri untuk cinta pertamanya itu. Penghargaan yang kini begitu membuatku pilu.Setega itu dia menyembunyikan semua ini. Setega itu dia membohongiku selama ini. Dia yang kupikir begitu mendambakan kelahiran buah hati kami, hingga begitu antusias mencarikan nama yang cantik untuknya. Ternyata semua hanya akal-akalannya saja agar aku tak curiga tentang masa lalunya. Setega itu dia menyematkan nama mantan kekasihnya untuk anakku. Lagi dan lagi untuk janin yang terlahir dari rahimku.Pantas saja saat itu ekspresi Mas Bian mendadak berubah. Pantas saja suaranya begitu bergetar saat menyebutkan nama Irena. Aku yakin saat itu dia begitu mengingat mantan kekasihnya, bukan mengingat bagaimana wajah buah hatinya.Pantas saja kadang Mas Bian cukup kaget saat aku memanggil nama Irena, aku yakin dia kaget jika aku memanggil Iren mantan kekasihnya bukan Iren buah cintaku dengannya.Cinta? Ah, kurasa bukan. Setelah mengetahui semua kisah kelam ini, sepertinya Mas Bian hanya menganggapku sebagai istri dan ibu dari anaknya saja. Bukan sebagai pasangan yang selayaknya diberi cinta. Nyatanya, hingga kini nama Irena selalu tersemat dalam doanya. Bahkan begitu sengaja dia jadikan nama buah hatinya."Mbak, Irena Prameswari itu adalah teman kami, yang tak lain mantan kekasih Mas Bian. Kami juga kaget, kenapa mereka tak jadi menikah, padahal dulu mereka adalah pasangan terfavorit di kelas kami. Lebih kaget lagi, kenapa Bian harus menyematkan nama itu untuk anaknya?"Suara perempuan itu kembali terngiang di benakku. Kututup telinga rapat. Tak ingin kembali mendengar kata-kata itu. Aku pusing memikirkan semuanya.Irena Prameswari. Sebuah nama yang dulu begitu kupuji, akankah sekarang menjadi nama yang kubenci? Sementara nama itu adalah nama dari anakku sendiri?"Ngapain di situ, Nia?" Pertanyaan mama membuatku terjaga. Aku menoleh ke arahnya yang mematung di samping pintu."Nia ... ngapain di situ? Banyak debu. Nanti kamu batuk-batuk," ucap mama lagi. Dia mama mertuaku, Arina namanya. Seorang mertua yang begitu menyayangiku seperti anaknya sendiri."Eh ... ini, Ma. Sebenernya mau cari-cari buku aja soalnya untuk di kamar, jadi pengin baca-baca. Tapi sepertinya mama benar. Nia nggak bagus di sini lama-lama. Bisa sesak napas," balasku kemudian. Berusaha menekan sesak di dada dan air mata yang hampir luruh lagi dari porosnya."Makanya, Nia. Keluar saja, ya? Kalau butuh buku bacaan, nanti bisa beli yang baru. Itu buku usang saat suamimu kuliah. Nggak perlu dibaca." Mama mengangguk pelan, berusaha meyakinkanku."Iya, Ma. Nia juga mau keluar kok," balasku lagi, masih menyembunyikan dompet Mas Bian di balik gamisku."Lain kali jangan masuk ke gudang lagi ya, Nia." Hanya itu pesan mama. Pesan yang sering diucapkannya padaku sejak awal menikah dulu. Kini aku baru tahu jika pesan itu mengandung sesuatu. Masa lalu.***Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi