Share

BAB 2

Pagi ini aku sengaja mencari tahu tentang masa lalu Mas Bian. Aku harus mencari bukti tentang perempuan bernama Irena Prameswari itu. Jika memang benar dia belum move on, sepertinya aku memang harus mundur. Rasanya terlalu sakit jika mencintai laki-laki yang belum bisa move on dari masa lalunya.

Polosnya aku yang terbaik dengan semua sikap manisnya selama ini. Kupikir ucapan kedua orang tuaku dan teman-teman kantornya benar jika Mas Bian terlalu menghargai statusku sebagai istri hingga selalu kaku, cuek dan dingin dengan teman-teman perempuan di kantornya.

Mereka bilang jika Mas Bian tipe laki-laki setia dan pecinta keluarga. Tak pernah berbuat neko-neko ataupun menggoda perempuan lain. Saat mereka mengatakan itu aku begitu berbunga dan semakin yakin menjadi perempuan satu-satunya yang dicintai Mas Bian. Aku bahkan merasa menjadi salah satu perempuan paling beruntung sedunia karena memiliki suami nyaris sempurna sepertinya.

Sebuah keyakinan yang akhirnya terpatahkan kemarin siang, saat aku dan dia tak sengaja bertemu dengan teman kuliahnya di sebuah cafe hingga akhirnya masa lalu Mas Bian terkuak begitu saja.

Detik ini, aku tak lagi meragukan cerita ketiganya. Tanganku bergetar saat menemukan bukti itu. Ternyata ucapan tiga perempuan itu benar adanya. Kutemukan nama lain dalam masa lalu Mas Bian. Irena Prameswari Abdullah. Secarik nama di dalam dompet suamiku yang kutemukan di dalam gudang bersama tumpukan buku usang dan berdebu.

Irena Prameswari. Mungkin nama itu memang selalu melekat di benaknya. Hingga dia tak ingin menanggalkannya begitu saja bahkan berniat untuk menyematkan namanya untuk anak perempuan semata wayang kami berdua. Nama yang kupikir paling cantik sebab Mas Bian sudah menyimpannya sejak lama sebelum aku melahirkan buah cintanya, tapi ternyata nama itu justru menyimpan kenangan yang terlalu dalam di hatinya.

Masih kuingat jelas bagaimana wajahnya yang berbinar saat tahu anak pertamaku adalah perempuan. Dia langsung bilang sudah menyiapkan nama untuk malaikat kecil kami. Nama yang sangat indah, dengan harapan indah pula hati dan wajahnya.

Tanpa rasa curiga, aku pun mengiyakan saja ucapannya. Aku menyetujui usulan nama darinya hingga akhirnya dia benar-benar menyematkan nama Irena Prameswari untuk anak pertama kami. Tepatnya Irena Prameswari Bagaskara. Sesuai nama belakang Mas Bian-- Arbian Bagaskara.

Aku masih ingat betul kejadian tiga tahun lalu, bagaimana ekspresi Mas Bian saat menyebut nama itu di hadapan orang banyak dalam acara aqiqah putri kecil kami itu. Suaranya begitu merdu di telingaku, meski ada sedikit serak di dalamnya.

"Nama putri kami ... Irena Prameswari Bagaskara. Panggil saja Iren," ucapnya dengan suara bergetar lalu menoleh ke arahku dengan seulas senyum. Aku pun menjawab senyum yang sama.

Aku tak pernah curiga sedikitpun tentangnya. Kupikir, netranya yang berkaca-kaca saat itu hanya karena dia begitu terharu bercampur bahagia memiliki buah hati di tahun pertama pernikahan kami, tapi ternyata ada hal lain yang begitu rapat disembunyikannya. Bahkan hingga tahun keempat pernikahan kami.

Iya ... Irena Prameswari. Dia yang kupikir nama spesial dari Mas Bian untuk anak pertamanya, tanpa kusangka jika itu adalah nama perempuan yang selama ini mengisi hatinya. Perempuan yang menjadi cinta pertamanya saat bangku perkuliahan. Cinta yang dipaksa pupus begitu saja karena sebuah perjodohan.

Kini aku benar-benar bisa melihat wajahnya saat kutemukan foto seorang perempuan terselip di dalam dompet usang suamiku. Foto yang masih memperlihatkan begitu jelas bagaimana wajah Irena cinta pertama Mas Bian itu, bukan Irena anak kesayanganku.

Wajahnya oval, berhidung bangir, rambut lurus sebahu dengan alis tebal dan bibir begitu seksi. Pantas saja Mas Bian tak bisa melupakan sosoknya bahkan sampai hati memberikan namanya untuk buah hati kami. Ternyata Irena memang secantik dan sesempurna itu.

Aku bisa menebak, mungkin Mas Bian sengaja memakai nama itu untuk buah hatinya agar dia bisa memberikan penghargaan tersendiri untuk cinta pertamanya itu. Penghargaan yang kini begitu membuatku pilu.

Setega itu dia menyembunyikan semua ini. Setega itu dia membohongiku selama ini. Dia yang kupikir begitu mendambakan kelahiran buah hati kami, hingga begitu antusias mencarikan nama yang cantik untuknya. Ternyata semua hanya akal-akalannya saja agar aku tak curiga tentang masa lalunya. Setega itu dia menyematkan nama mantan kekasihnya untuk anakku. Lagi dan lagi untuk janin yang terlahir dari rahimku.

Pantas saja saat itu ekspresi Mas Bian mendadak berubah. Pantas saja suaranya begitu bergetar saat menyebutkan nama Irena. Aku yakin saat itu dia begitu mengingat mantan kekasihnya, bukan mengingat bagaimana wajah buah hatinya.

Pantas saja kadang Mas Bian cukup kaget saat aku memanggil nama Irena, aku yakin dia kaget jika aku memanggil Iren mantan kekasihnya bukan Iren buah cintaku dengannya.

Cinta? Ah, kurasa bukan. Setelah mengetahui semua kisah kelam ini, sepertinya Mas Bian hanya menganggapku sebagai istri dan ibu dari anaknya saja. Bukan sebagai pasangan yang selayaknya diberi cinta. Nyatanya, hingga kini nama Irena selalu tersemat dalam doanya. Bahkan begitu sengaja dia jadikan nama buah hatinya.

"Mbak, Irena Prameswari itu adalah teman kami, yang tak lain mantan kekasih Mas Bian. Kami juga kaget, kenapa mereka tak jadi menikah, padahal dulu mereka adalah pasangan terfavorit di kelas kami. Lebih kaget lagi, kenapa Bian harus menyematkan nama itu untuk anaknya?"

Suara perempuan itu kembali terngiang di benakku. Kututup telinga rapat. Tak ingin kembali mendengar kata-kata itu. Aku pusing memikirkan semuanya.

Irena Prameswari. Sebuah nama yang dulu begitu kupuji, akankah sekarang menjadi nama yang kubenci? Sementara nama itu adalah nama dari anakku sendiri?

"Ngapain di situ, Nia?" Pertanyaan mama membuatku terjaga. Aku menoleh ke arahnya yang mematung di samping pintu.

"Nia ... ngapain di situ? Banyak debu. Nanti kamu batuk-batuk," ucap mama lagi. Dia mama mertuaku, Arina namanya. Seorang mertua yang begitu menyayangiku seperti anaknya sendiri.

"Eh ... ini, Ma. Sebenernya mau cari-cari buku aja soalnya untuk di kamar, jadi pengin baca-baca. Tapi sepertinya mama benar. Nia nggak bagus di sini lama-lama. Bisa sesak napas," balasku kemudian. Berusaha menekan sesak di dada dan air mata yang hampir luruh lagi dari porosnya.

"Makanya, Nia. Keluar saja, ya? Kalau butuh buku bacaan, nanti bisa beli yang baru. Itu buku usang saat suamimu kuliah. Nggak perlu dibaca." Mama mengangguk pelan, berusaha meyakinkanku.

"Iya, Ma. Nia juga mau keluar kok," balasku lagi, masih menyembunyikan dompet Mas Bian di balik gamisku.

"Lain kali jangan masuk ke gudang lagi ya, Nia." Hanya itu pesan mama. Pesan yang sering diucapkannya padaku sejak awal menikah dulu. Kini aku baru tahu jika pesan itu mengandung sesuatu. Masa lalu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status