Aku begitu gugup saat mendengar panggilan kedua dari Mas Bian. Gegas kumasukkan diary itu di belakang tumpukan baju di lemari paling bawah. Sepertinya aman di sana karena memang jarang tersentuh.
"Ke-- kenapa, Mas? Mau kopi?" tanyaku tergesa lalu buru-buru menutup pintu lemari setelah kuyakin diary itu tak tampak lagi."Iya. Tumben kamu nggak menyiapkannya? Apa kamu sakit?" Mas Bian mendekat. Entah mengapa debar dalam hatiku kian menguat. Biasanya aku tak seperti ini, tapi setelah tahu semua masa lalunya, sakit ini tak bisa kubendung lagi.Mas Bian memegang keningku lalu menggeleng pelan. Senyum yang kini ia suguhkan pun tetap saja menawan. Namun sayangnya tak semenawan sebelumnya, tepatnya sebelum aku tahu bahwa Irena adalah nama mantan kekasihnya."Nggak demam kok. Kamu kecapekan?" Lagi-lagi aku menggeleng, berusaha menahan air mata yang begitu kuat ingin keluar dari porosnya."Mas ...." Panggilku saat dia pamit mau ke kamar mandi dulu."Iya, ada apa, Nia?" Mas Bian membalikkan badannya. Kutatap wajah tampannya itu dari jarak beberapa langkah."Boleh tanya sesuatu?" Aku menatapnya lekat. Mas Bian cukup tenang saat bicara denganku. Dia benar-benar lihai bersandiwara."Boleh dong. Mau tanya apa sih?" Senyumnya selalu terukir tiap kali bicara denganku. Senyum yang dulu selalu kutunggu dan kurindu, tapi kini berubah menjadi senyum yang cukup menusuk ulu hatiku."Mas, pernahkah kamu mendoakanku dalam sujudmu?" Mas Bian menghela napas."Tentu, Nia. Aku selalu mendoakan kebaikan untukmu di tiap sujudku. Kenapa kamu selalu tanya begitu? Bukankah aku sudah sering menjawabnya?" Mas Bian kembali memberikan seulas senyum."Iya sih, Mas, tapi entah mengapa aku ingin selalu menanyakannya padamu.""Tak perlu khawatir, Nia. Namamu selalu ada di setiap doa-doaku." Dia pun kembali mengangguk untuk meyakinkan seperti biasanya. Dulu aku memang begitu berbunga saat mendengar balasannya, tapi kini rasanya bunga-bunga itu mendadak layu dan mati."Selain aku, siapa lagi perempuan yang kamu sebut dalam doamu, Mas?" Mas Bian agak tersentak mendengar pertanyaanku. Namun, dia tetap menjawabnya. Jawaban yang justru semakin membuatku nelangsa."Hanya ada dua nama lain, mama dan ... Irena."Irena. Nama itu memang terlalu spesial baginya. Dulu kupikir nama itu adalah nama anak perempuanku saja, tapi kini kutahu jika nama itu juga nama perempuan lain di hati suamiku. Perempuan yang kuyakin selalu dia sebut di setiap doa-doanya. Ya Allah, teganya dia. Aku mencoba lebih tenang demi mengungkap semuanya perlahan."Apa selama empat tahun bersama, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanyaku gugup. Namun kali ini air mataku tak bisa kubendung lagi. Membiarkannya luruh ke pipi mungkin bisa sedikit mengurangi sesak di dada. Biarlah.Mas Bian tersentak kaget mendengar pertanyaanku. Pertanyaan yang mungkin baru kali ini didengarnya sebab sejak dulu aku tak terlalu peduli dengan masa lalunya. Cinta dan kasih sayangnya padaku dan Irena terlalu sempurna dan aku nggak mau mengusik kenangan lamanya. Aku terlalu percaya jika cinta Mas Bian nyata, bukan semu belaka."Sesuatu apa, Nia? Apa cinta dan tanggungjawabku sebagai suami dan ayah selama ini belum cukup?" Laki-laki itu kembali tersenyum. Selalu begitu tiap kali berbicara denganku. Senyumnya seolah tak lepas dari kedua sudut bibirnya."Kenapa selama ini kamu nggak pernah menyatakan cinta padaku, Mas?" Air mataku terus menetes ke pipi dan aku buru-buru mengusapnya dengan punggung tanganku sendiri."Terkadang, cinta tak harus diungkapkan dengan kata-kata, Nia. Sebab, cinta itu sendiri sudah dibuktikan dengan sebuah perjuangan, perhatian dan tanggungjawab untuk membuatnya bahagia. Empat tahun pernikahan kita, apakah kamu masih berharap kata-kata cinta sementara aku sudah membuktikan tanggungjawabku sebagai suamimu? Bukankah itu bagian dari ungkapan cinta secara nyata?" Aku menghela napas panjang. Rasanya cukup kesal mengapa dia terlalu pintar bersandiwara. Dia tak tahu jika saat ini aku sudah mengantongi semua kebohongannya.Aku tahu selama ini dia sudah menbuktikan tanggungjawabnya sebagai suami dan ayah. Namun, kini baru kusadari jika semua pengorbanan yang dilakukan hanyalah bentuk dari pertanggungjawabannya di depan Tuhan. Tak lebih daripada itu dan nyatanya terlalu menyakitkan bagiku."Kamu aneh sekali, Nia. Ada apa sebenarnya?""Kamu yang aneh, Mas. Kenapa tak menceritakan masa lalumu, sementara sebelum aku menikah dulu sudah menceritakan semua masa laluku," sambungku dengan suara serak.Mas Bian tak melanjutkan langkahnya ke kamar mandi melainkan kembali mendekatiku dan mendekapku ke dalam pelukannya."Kamu bicara apa, Nia? Bukankah kamu sendiri bilang bahwa masa lalu hanyalah lembaran cerita usang yang tak perlu diingat lagi? Hari telah berganti, begitu pula dengan hati. Lantas apanya yang salah?" Mas Bian tetap saja tak mau menceritakan masa lalunya.Bagaimana bisa dia sebut sekadar cerita usang bila nama anaknya sendiri sengaja dia ambil dari nama mantan kekasihnya? Nama yang pasti akan dia ingat sepanjang masa, tiap kali memanggil Irena. Hatiku mencelos lagi mendengar jawaban darinya.Jika dia mengatakan itu hari-hari sebelumnya mungkin aku akan merasa begitu berbunga dan istimewa. Aku yang dia genggam saat patah, kini dia berhasil membalut patahan itu dengan cintanya.Namun sayang, aku tak lagi percaya semua kata manisnya setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hatinya. Pintar sekali dia menyembunyikan luka, pandai sekali dia bersandiwara di depanku selama empat tahun ini. Tanpa pernah kusadari jika ada nama perempuan lain di hatinya, dan jelas bukan aku.Aku duduk di tepi ranjang dengan air mata berlinang. Sesekali Mas Bian berusaha menyeka air mataku, tapi kutepis jemari-jemarinya. Dia yang kini jongkok di depanku dengan pandangan penuh tanya."Kamu kenapa, Nia? Kembali mengingat mantanmu itu?" tanya Mas Bian lembut.Pantas saja seolah tak ada cemburu di hatinya tiap kali dulu aku menyebut nama Reza, ternyata memang aku hanya dijadikan pelampiasannya saja. Bukan tempat untuknya melabuhkan cinta. Aku benar-benar terlambat menyadarinya."Aku bukan perempuan munafik, Mas. Sesekali aku memang masih mengingatnya, tapi tak ada sedikit pun dalan hatiku ingin kembali bersamanya," balasku sembari menatap lekat manik matanya."Lantas kenapa kamu berubah seaneh ini?" tanya Mas Bian lagi."Kamu adalah malaikat tak bersayap untuk hidupku, Mas. Aku sangat mempercayaimu. Aku sangat mencintaimu dengan segala perhatian dan tanggungjawab yang selama ini kamu berikan." Mas Bian hanya mengangguk-anggukan kepalanya lalu kembali menatapku."Terus masalahnya dimana, Nia?""Aku begitu percaya apapun yang kamu katakan. Tak terbesit sedikit pun di benakku jika kamu berdusta.""Aku memang nggak berdusta, Nia. Kapan aku berdusta padamu? Tentang apa?""Masa lalumu.""Maksudmu?""Kamu memang nggak berdusta. Hanya saja kamu menyembunyikan masa lalumu, Mas.""Masa lalu tak perlu diingat lagi, Nia. Biarkan dia pergi dengan sendirinya. Bukankah kamu juga bilang begitu?""Iya, tapi nggak ada yang kututupi dari masa kelamku itu. Sementara kamu?""Aku?" tunjuknya pada diri sendiri."Iya, kamu, Mas. Kamu masih menyimpan nama perempuan di hatimu hingga detik ini."Mas Bian menggeleng pelan lalu berusaha menarik kedua punggung tanganku. Namun, lagi-lagi aku menepisnya lalu membuang arah. Air mata ini kembali menganak sungai."Maksudmu apa, Nia? Jangan berbelit-belit." Mas Bian tersenyum menatapku meski kutahu ada gurat kecemasan dalam matanya."Siapa Irena Prameswari, Mas?" tanyaku dengan suara gemetar."Maksudmu apa? Kamu lupa kalau itu nama anak kita?" Lagi-lagi Mas Bian berusaha menyembunyikan keterkejutannya."Iya, memang nama anak kita, Mas. Namun itu juga nama mantan kekasihmu. Tega kamu menyembunyikan semua ini dariku, Mas. Tega!"💕💕💕Pov : Bian "Mas, apa yang kamu sembunyikan dariku selama empat tahun pernikahan kita? Bisa-bisanya kamu sematkan nama mantan kekasihmu pada anakku?" pertanyaan Dania benar-benar di luar nalarku. Aku tak paham kenapa dia tiba-tiba mempertanyakan hal itu. Selama empat tahun pernikahan, dia memang tak banyak tanya tentang masa laluku, setelah aku berikan jawaban menohok untuk pertanyaan tak masuk akalnya itu di awal-awal pernikahan kami. Masih jelas kuingat dulu saat dia tanya hal-hal sepele yang membuatku jengah. Dia protes hanya karena aku tak pernah memuji kecantikannya, tak pernah memujinya di depan keluarga besar dan tak pernah memperkenalkannya pada teman-teman kuliahku dulu dan hal remeh lainnya. "Mas, aku cantik nggak? Kenapa sih kamu nggak pernah memujiku cantik, Mas? Padahal kata teman-temanku, aku cantik," ucap Dania saat itu dengan wajah bersemu merah sembari memilin roknya. "Apa perlu mempertanyakan hal-hal seperti itu, Nia?" jawabku saat itu sembari menoleh sekilas
"Mas, aku mau ganti nama Irena," ucap Dania tiba-tiba sembari menundukkan kepala. Aku menoleh sekilas ke arahnya lalu menghela napas. "Kenapa harus diganti, bukankah kamu sendiri yang bilang saat itu sangat menyukai nama itu. Nama yang cantik menurutmu?" "Iya, tapi itu sebelum aku tahu siapa Irena di hidupmu. Mana bisa aku satu atap dengan perempuan lain yang masih mengakar kuat dalam hatimu?" ucapnya tanpa ragu. Dia menatapku, kedua mata kami pun beradu. "Satu atap dengan perempuan lain?" Aku mencoba tertawa mendengar kekonyolannya. Bagaimana disebut perempuan lain, sementara Irena adalah anaknya sendiri bukan perempuan lain. Ada-ada saja. "Iya. Jelas perempuan lain, sebab kamu masih menanti Irenamu kembali. Kamu sengaja menyematkan nama itu untuk anak kita karena dalam hatimu masih begitu mengharapkannya. Aku nggak mau tiap kali terdengar nama Irena lantas kamu teringat mantanmu. Lagi-lagi aku kembali tertawa mendengar kekonyolannya itu. Sengaja terbahak agar dia yakin bahwa
Bias senja masuk melewati celah jendela. Aku masih sibuk di sini. Membaca novel tentang kesabaran seorang istri menunggu suaminya koma berbulan-bulan lamanya. Koma. Antara ada dan tiada. Air mataku menetes lagi, tiap membaca untaian kata di dalamnya. Terasa menyesakkan, seperti yang kini kurasakan. Berusaha menyelami hati Mas Bian, tapi akhirnya aku kembali terjatuh dan sakit. Lembar demi lembar diary itu sudah kubaca hingga tak ada sisa beberapa hari yang lalu. Namun bayang perempuan itu terus menerorku. Seolah sedang meledek dengan senyum termanisnya. "Hei, Dania. Kau mungkin berhasil memiliki raganya, tapi sampai kapanpun kau tak akan pernah berhasil memiliki hatinya. Dia tetap milikku sampai kapanpun. Sebab akulah cinta pertamanya, akulah masa depannya, akulah pelita hidupnya, meski kini kamulah ratu di dunia nyatanya." Gegas kututup novel yang kubaca untuk mencari mama. Tadi mama pamit menemani Irena ke mini market terdekat untuk membeli es krim. Sementara Mas Bian sudah beran
Mendung menggantung di angkasa. Rintik hujan pun mulai membasahi bumi. Kuhirup dalam aroma yang menenangkan ini. Petrichor. Iya, aroma tanah pasca hujan turun membasahi bumi yang kering. Bunga-bunga di taman kecil samping kamar tampak segar saat air langit itu mengguyur kelopak hingga sampai ke batangnya. Aku tersenyum tipis menatap pemandangan yang cukup menenangkan ini. Bising air hujan terus menemani sepiku. Kulihat Irena terlelap di ranjang sembari memeluk guling kesayangannya. Lagi-lagi aku memejamkan mata perlahan. Menghembuskan napas yang masih saja terasa sesak dengan bermacam pikiran yang belum jua sirna. Aku sudah berusaha mengikhlaskan, tapi belum bisa. Hatiku masih tak rela mendapat kenyataan yang ada. Aku benar-benar kecewa. Bahkan sangat kecewa. Saat aku ingin memulai memberikan kepercayaan lagi pada Mas Bian setelah semua rahasia ini terbongkar, tapu kenyataannya Mas Bian justru mematahkan semuanya. Komentar di f******k itu. Iya, aku yakin karena komentar itu hingga
Mas Bian masih terpaku di sana. Membiarkanku pergi begitu saja dari sampingnya setelah memberinya pilihan terbaik untuk hidupku dan hidupnya. Dia yang akan menyelesaikan sendiri masa lalunya atau justru dia memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.Kuberikan kesempatan ini untuknya, berharap Mas Bian bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Sengaja membiarkannya berpikir jernih, aku pun mengajak Irena bermain ke taman belakang. Ada sebuah gazebo di sana. Tempat biasa untukku menyendiri, menikmati waktu dengan membaca buku atau sekadar berselancar di media sosial sembari mengawasi Irena, tentunya.Tiap weekend tiba, aku sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini. Sebab biasanya Mas Bian menghabiskan waktu di restorannya atau lembur di kantornya. Dulu aku tak paham kenapa dia seolah lebih nyaman di luar rumah, tapi kini baru kusadari, mungkin dia memang sengaja menghindariku setiap hari. Dia menjalankan semua kewajibannya, hanya saja belum sepenuhnya menerimaku sebagai
Hari ini mama datang dengan wajah tak enak dipandang. Seperti ada beban berat yang sedang dipikirkannya. Mungkinkah Mas Bian sudah mengadu tentang perubahan nama Irena itu? Mungkin. Tapi biarlah. Biar mama dan Mas Bian tahu, aku bukanlah perempuan lemah yang bisa diperlakukan semena-mena dan sesuai kehendaknya. Aku bisa saja berontak, andai tak menghargai janji suci yang tersemat empat tahunan ini. "Nia ...." Mama memelukku saat aku baru saja keluar untuk menyambut kedatangannya di teras. "Gimana kabarmu, Nak? Sehat?" Perempuan seusia ibuku itu menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seperti biasanya saat dia datang. Dengan Irena pun demikian. Mama terlalu takut aku dan Irena kenapa-kenapa. Setelah saling peluk di teras, mama pun menggendong Irena lalu mengikutiku masuk rumah. Senyum mama sedikit merekah saat melihat celoteh lucu cucu kesayangannya itu."Mama mau tanya satu hal sama kamu, Nia. Boleh?" tanya wanita lenih dari setengah abad itu dengan tatapan sendu. Mungkin
"Aku nggak habis pikir, Nia. Bisa-bisanya kamu mengganti nama anak kita tanpa persetujuanku," ucap Mas Bian tiba-tiba saat aku menata baju setrikaan ke lemari. Kedua tanganku yang sibuk menata baju pun terhenti, lalu menoleh ke arahnya yang sudah rapi dengan kemeja. "Memangnya kamu membuat nama itu juga dengan persetujuanku, Mas?" "Jelas iya, kamu juga menyukai namanya. Bahkan saat mama memintamu untuk menolak pun kamu bilang sangat suka dan setuju dengan nama itu. Salahnya di mana? Kalau kamu memang nggak suka, aku pasti ganti namanya saat itu. Jangan cari alasan untuk membenarkan sikapmu saat ini. Sekarang kamu tiba-tiba ganti nama Irena tanpa minta persetujuanku lebih dulu. Parahnya, kamu masukkan nama laki-laki itu untuk anak kita." Mas Bian tak mau kalah. Dia duduk di tepi ranjang sembari memperhatikanku yang terus menata baju ke lemari hingga selesai dan menutup pintunya. Aku balik menatapnya lekat. "Kamu memang minta persetujuanku, Mas. Itu benar, tapi kesalahan terbesarmu
Tiga hari ini Mas Bian hanya diam saja. Entah apa yang dipikirkannya. Aku pun hanya bicara seperlunya. Aku malas berdebat apalagi jika berkaitan dengan nama Irena. Meski begitu, aku tak melupakan tugasku sebagai istri. Semua kebutuhannya tetap kupenuhi seperti biasanya. Aku memang kecewa, tapi aku tak ingin durhaka pada suami. Ada banyak hal yang kurencanakan. Termasuk bila nanti mau nggak mau harus memilih pergi meninggalkan Mas Bian dengan segala masa lalunya. Aku nggak mungkin memaksanya untuk tetap tinggal, jika dalam hatinya hanya untuk Irena saja. Meski jelas ada banyak luka di sana, terlebih untuk mama dan Irena, kurasa itu jauh lebih baik daripada terus berpura-pura bahagia. Tak hanya mereka yang tersakiti, tapi aku dan Mas Bian juga mengalami hal yang sama. Cepat atau lambat, mau atau nggak mau, aku memang harus mengambil pilihan sulit itu. Bertahan dengan segala kekecewaan rasanya jauh lebih menyakitkan. Apalagi jika Mas Bian tak ada keinginan untuk melupakan perempuan itu