Share

BAB 4

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2023-04-01 11:47:29

Aku begitu gugup saat mendengar panggilan kedua dari Mas Bian. Gegas kumasukkan diary itu di belakang tumpukan baju di lemari paling bawah. Sepertinya aman di sana karena memang jarang tersentuh.

"Ke-- kenapa, Mas? Mau kopi?" tanyaku tergesa lalu buru-buru menutup pintu lemari setelah kuyakin diary itu tak tampak lagi.

"Iya. Tumben kamu nggak menyiapkannya? Apa kamu sakit?" Mas Bian mendekat. Entah mengapa debar dalam hatiku kian menguat. Biasanya aku tak seperti ini, tapi setelah tahu semua masa lalunya, sakit ini tak bisa kubendung lagi.

Mas Bian memegang keningku lalu menggeleng pelan. Senyum yang kini ia suguhkan pun tetap saja menawan. Namun sayangnya tak semenawan sebelumnya, tepatnya sebelum aku tahu bahwa Irena adalah nama mantan kekasihnya.

"Nggak demam kok. Kamu kecapekan?" Lagi-lagi aku menggeleng, berusaha menahan air mata yang begitu kuat ingin keluar dari porosnya.

"Mas ...." Panggilku saat dia pamit mau ke kamar mandi dulu.

"Iya, ada apa, Nia?" Mas Bian membalikkan badannya. Kutatap wajah tampannya itu dari jarak beberapa langkah.

"Boleh tanya sesuatu?" Aku menatapnya lekat. Mas Bian cukup tenang saat bicara denganku. Dia benar-benar lihai bersandiwara.

"Boleh dong. Mau tanya apa sih?" Senyumnya selalu terukir tiap kali bicara denganku. Senyum yang dulu selalu kutunggu dan kurindu, tapi kini berubah menjadi senyum yang cukup menusuk ulu hatiku.

"Mas, pernahkah kamu mendoakanku dalam sujudmu?" Mas Bian menghela napas.

"Tentu, Nia. Aku selalu mendoakan kebaikan untukmu di tiap sujudku. Kenapa kamu selalu tanya begitu? Bukankah aku sudah sering menjawabnya?" Mas Bian kembali memberikan seulas senyum.

"Iya sih, Mas, tapi entah mengapa aku ingin selalu menanyakannya padamu."

"Tak perlu khawatir, Nia. Namamu selalu ada di setiap doa-doaku." Dia pun kembali mengangguk untuk meyakinkan seperti biasanya. Dulu aku memang begitu berbunga saat mendengar balasannya, tapi kini rasanya bunga-bunga itu mendadak layu dan mati.

"Selain aku, siapa lagi perempuan yang kamu sebut dalam doamu, Mas?" Mas Bian agak tersentak mendengar pertanyaanku. Namun, dia tetap menjawabnya. Jawaban yang justru semakin membuatku nelangsa.

"Hanya ada dua nama lain, mama dan ... Irena."

Irena. Nama itu memang terlalu spesial baginya. Dulu kupikir nama itu adalah nama anak perempuanku saja, tapi kini kutahu jika nama itu juga nama perempuan lain di hati suamiku. Perempuan yang kuyakin selalu dia sebut di setiap doa-doanya. Ya Allah, teganya dia. Aku mencoba lebih tenang demi mengungkap semuanya perlahan.

"Apa selama empat tahun bersama, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanyaku gugup. Namun kali ini air mataku tak bisa kubendung lagi. Membiarkannya luruh ke pipi mungkin bisa sedikit mengurangi sesak di dada. Biarlah.

Mas Bian tersentak kaget mendengar pertanyaanku. Pertanyaan yang mungkin baru kali ini didengarnya sebab sejak dulu aku tak terlalu peduli dengan masa lalunya. Cinta dan kasih sayangnya padaku dan Irena terlalu sempurna dan aku nggak mau mengusik kenangan lamanya. Aku terlalu percaya jika cinta Mas Bian nyata, bukan semu belaka.

"Sesuatu apa, Nia? Apa cinta dan tanggungjawabku sebagai suami dan ayah selama ini belum cukup?" Laki-laki itu kembali tersenyum. Selalu begitu tiap kali berbicara denganku. Senyumnya seolah tak lepas dari kedua sudut bibirnya.

"Kenapa selama ini kamu nggak pernah menyatakan cinta padaku, Mas?" Air mataku terus menetes ke pipi dan aku buru-buru mengusapnya dengan punggung tanganku sendiri.

"Terkadang, cinta tak harus diungkapkan dengan kata-kata, Nia. Sebab, cinta itu sendiri sudah dibuktikan dengan sebuah perjuangan, perhatian dan tanggungjawab untuk membuatnya bahagia. Empat tahun pernikahan kita, apakah kamu masih berharap kata-kata cinta sementara aku sudah membuktikan tanggungjawabku sebagai suamimu? Bukankah itu bagian dari ungkapan cinta secara nyata?" Aku menghela napas panjang. Rasanya cukup kesal mengapa dia terlalu pintar bersandiwara. Dia tak tahu jika saat ini aku sudah mengantongi semua kebohongannya.

Aku tahu selama ini dia sudah menbuktikan tanggungjawabnya sebagai suami dan ayah. Namun, kini baru kusadari jika semua pengorbanan yang dilakukan hanyalah bentuk dari pertanggungjawabannya di depan Tuhan. Tak lebih daripada itu dan nyatanya terlalu menyakitkan bagiku.

"Kamu aneh sekali, Nia. Ada apa sebenarnya?"

"Kamu yang aneh, Mas. Kenapa tak menceritakan masa lalumu, sementara sebelum aku menikah dulu sudah menceritakan semua masa laluku," sambungku dengan suara serak.

Mas Bian tak melanjutkan langkahnya ke kamar mandi melainkan kembali mendekatiku dan mendekapku ke dalam pelukannya.

"Kamu bicara apa, Nia? Bukankah kamu sendiri bilang bahwa masa lalu hanyalah lembaran cerita usang yang tak perlu diingat lagi? Hari telah berganti, begitu pula dengan hati. Lantas apanya yang salah?" Mas Bian tetap saja tak mau menceritakan masa lalunya.

Bagaimana bisa dia sebut sekadar cerita usang bila nama anaknya sendiri sengaja dia ambil dari nama mantan kekasihnya? Nama yang pasti akan dia ingat sepanjang masa, tiap kali memanggil Irena. Hatiku mencelos lagi mendengar jawaban darinya.

Jika dia mengatakan itu hari-hari sebelumnya mungkin aku akan merasa begitu berbunga dan istimewa. Aku yang dia genggam saat patah, kini dia berhasil membalut patahan itu dengan cintanya.

Namun sayang, aku tak lagi percaya semua kata manisnya setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hatinya. Pintar sekali dia menyembunyikan luka, pandai sekali dia bersandiwara di depanku selama empat tahun ini. Tanpa pernah kusadari jika ada nama perempuan lain di hatinya, dan jelas bukan aku.

Aku duduk di tepi ranjang dengan air mata berlinang. Sesekali Mas Bian berusaha menyeka air mataku, tapi kutepis jemari-jemarinya. Dia yang kini jongkok di depanku dengan pandangan penuh tanya.

"Kamu kenapa, Nia? Kembali mengingat mantanmu itu?" tanya Mas Bian lembut.

Pantas saja seolah tak ada cemburu di hatinya tiap kali dulu aku menyebut nama Reza, ternyata memang aku hanya dijadikan pelampiasannya saja. Bukan tempat untuknya melabuhkan cinta. Aku benar-benar terlambat menyadarinya.

"Aku bukan perempuan munafik, Mas. Sesekali aku memang masih mengingatnya, tapi tak ada sedikit pun dalan hatiku ingin kembali bersamanya," balasku sembari menatap lekat manik matanya.

"Lantas kenapa kamu berubah seaneh ini?" tanya Mas Bian lagi.

"Kamu adalah malaikat tak bersayap untuk hidupku, Mas. Aku sangat mempercayaimu. Aku sangat mencintaimu dengan segala perhatian dan tanggungjawab yang selama ini kamu berikan." Mas Bian hanya mengangguk-anggukan kepalanya lalu kembali menatapku.

"Terus masalahnya dimana, Nia?"

"Aku begitu percaya apapun yang kamu katakan. Tak terbesit sedikit pun di benakku jika kamu berdusta."

"Aku memang nggak berdusta, Nia. Kapan aku berdusta padamu? Tentang apa?"

"Masa lalumu."

"Maksudmu?"

"Kamu memang nggak berdusta. Hanya saja kamu menyembunyikan masa lalumu, Mas."

"Masa lalu tak perlu diingat lagi, Nia. Biarkan dia pergi dengan sendirinya. Bukankah kamu juga bilang begitu?"

"Iya, tapi nggak ada yang kututupi dari masa kelamku itu. Sementara kamu?"

"Aku?" tunjuknya pada diri sendiri.

"Iya, kamu, Mas. Kamu masih menyimpan nama perempuan di hatimu hingga detik ini."

Mas Bian menggeleng pelan lalu berusaha menarik kedua punggung tanganku. Namun, lagi-lagi aku menepisnya lalu membuang arah. Air mata ini kembali menganak sungai.

"Maksudmu apa, Nia? Jangan berbelit-belit." Mas Bian tersenyum menatapku meski kutahu ada gurat kecemasan dalam matanya.

"Siapa Irena Prameswari, Mas?" tanyaku dengan suara gemetar.

"Maksudmu apa? Kamu lupa kalau itu nama anak kita?" Lagi-lagi Mas Bian berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Iya, memang nama anak kita, Mas. Namun itu juga nama mantan kekasihmu. Tega kamu menyembunyikan semua ini dariku, Mas. Tega!"

💕💕💕

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elfrida Panjaitan
lebay bangat ni si Nia,, GK masalah nama mantan sama dgn nama anak,,yg penting suami tdk ada rasa lagi sama mantan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 5 : BIAN [TAMAT]

    Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 4 : BIAN

    Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 3 : BIAN

    Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 2 : BIAN

    Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   EXP 1 : BIAN

    Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b

  • FOTO DI DOMPET USANG SUAMIKU   BAB 76 [END]

    Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status