Share

BAB 4

Aku begitu gugup saat mendengar panggilan kedua dari Mas Bian. Gegas kumasukkan diary itu di belakang tumpukan baju di lemari paling bawah. Sepertinya aman di sana karena memang jarang tersentuh.

"Ke-- kenapa, Mas? Mau kopi?" tanyaku tergesa lalu buru-buru menutup pintu lemari setelah kuyakin diary itu tak tampak lagi.

"Iya. Tumben kamu nggak menyiapkannya? Apa kamu sakit?" Mas Bian mendekat. Entah mengapa debar dalam hatiku kian menguat. Biasanya aku tak seperti ini, tapi setelah tahu semua masa lalunya, sakit ini tak bisa kubendung lagi.

Mas Bian memegang keningku lalu menggeleng pelan. Senyum yang kini ia suguhkan pun tetap saja menawan. Namun sayangnya tak semenawan sebelumnya, tepatnya sebelum aku tahu bahwa Irena adalah nama mantan kekasihnya.

"Nggak demam kok. Kamu kecapekan?" Lagi-lagi aku menggeleng, berusaha menahan air mata yang begitu kuat ingin keluar dari porosnya.

"Mas ...." Panggilku saat dia pamit mau ke kamar mandi dulu.

"Iya, ada apa, Nia?" Mas Bian membalikkan badannya. Kutatap wajah tampannya itu dari jarak beberapa langkah.

"Boleh tanya sesuatu?" Aku menatapnya lekat. Mas Bian cukup tenang saat bicara denganku. Dia benar-benar lihai bersandiwara.

"Boleh dong. Mau tanya apa sih?" Senyumnya selalu terukir tiap kali bicara denganku. Senyum yang dulu selalu kutunggu dan kurindu, tapi kini berubah menjadi senyum yang cukup menusuk ulu hatiku.

"Mas, pernahkah kamu mendoakanku dalam sujudmu?" Mas Bian menghela napas.

"Tentu, Nia. Aku selalu mendoakan kebaikan untukmu di tiap sujudku. Kenapa kamu selalu tanya begitu? Bukankah aku sudah sering menjawabnya?" Mas Bian kembali memberikan seulas senyum.

"Iya sih, Mas, tapi entah mengapa aku ingin selalu menanyakannya padamu."

"Tak perlu khawatir, Nia. Namamu selalu ada di setiap doa-doaku." Dia pun kembali mengangguk untuk meyakinkan seperti biasanya. Dulu aku memang begitu berbunga saat mendengar balasannya, tapi kini rasanya bunga-bunga itu mendadak layu dan mati.

"Selain aku, siapa lagi perempuan yang kamu sebut dalam doamu, Mas?" Mas Bian agak tersentak mendengar pertanyaanku. Namun, dia tetap menjawabnya. Jawaban yang justru semakin membuatku nelangsa.

"Hanya ada dua nama lain, mama dan ... Irena."

Irena. Nama itu memang terlalu spesial baginya. Dulu kupikir nama itu adalah nama anak perempuanku saja, tapi kini kutahu jika nama itu juga nama perempuan lain di hati suamiku. Perempuan yang kuyakin selalu dia sebut di setiap doa-doanya. Ya Allah, teganya dia. Aku mencoba lebih tenang demi mengungkap semuanya perlahan.

"Apa selama empat tahun bersama, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanyaku gugup. Namun kali ini air mataku tak bisa kubendung lagi. Membiarkannya luruh ke pipi mungkin bisa sedikit mengurangi sesak di dada. Biarlah.

Mas Bian tersentak kaget mendengar pertanyaanku. Pertanyaan yang mungkin baru kali ini didengarnya sebab sejak dulu aku tak terlalu peduli dengan masa lalunya. Cinta dan kasih sayangnya padaku dan Irena terlalu sempurna dan aku nggak mau mengusik kenangan lamanya. Aku terlalu percaya jika cinta Mas Bian nyata, bukan semu belaka.

"Sesuatu apa, Nia? Apa cinta dan tanggungjawabku sebagai suami dan ayah selama ini belum cukup?" Laki-laki itu kembali tersenyum. Selalu begitu tiap kali berbicara denganku. Senyumnya seolah tak lepas dari kedua sudut bibirnya.

"Kenapa selama ini kamu nggak pernah menyatakan cinta padaku, Mas?" Air mataku terus menetes ke pipi dan aku buru-buru mengusapnya dengan punggung tanganku sendiri.

"Terkadang, cinta tak harus diungkapkan dengan kata-kata, Nia. Sebab, cinta itu sendiri sudah dibuktikan dengan sebuah perjuangan, perhatian dan tanggungjawab untuk membuatnya bahagia. Empat tahun pernikahan kita, apakah kamu masih berharap kata-kata cinta sementara aku sudah membuktikan tanggungjawabku sebagai suamimu? Bukankah itu bagian dari ungkapan cinta secara nyata?" Aku menghela napas panjang. Rasanya cukup kesal mengapa dia terlalu pintar bersandiwara. Dia tak tahu jika saat ini aku sudah mengantongi semua kebohongannya.

Aku tahu selama ini dia sudah menbuktikan tanggungjawabnya sebagai suami dan ayah. Namun, kini baru kusadari jika semua pengorbanan yang dilakukan hanyalah bentuk dari pertanggungjawabannya di depan Tuhan. Tak lebih daripada itu dan nyatanya terlalu menyakitkan bagiku.

"Kamu aneh sekali, Nia. Ada apa sebenarnya?"

"Kamu yang aneh, Mas. Kenapa tak menceritakan masa lalumu, sementara sebelum aku menikah dulu sudah menceritakan semua masa laluku," sambungku dengan suara serak.

Mas Bian tak melanjutkan langkahnya ke kamar mandi melainkan kembali mendekatiku dan mendekapku ke dalam pelukannya.

"Kamu bicara apa, Nia? Bukankah kamu sendiri bilang bahwa masa lalu hanyalah lembaran cerita usang yang tak perlu diingat lagi? Hari telah berganti, begitu pula dengan hati. Lantas apanya yang salah?" Mas Bian tetap saja tak mau menceritakan masa lalunya.

Bagaimana bisa dia sebut sekadar cerita usang bila nama anaknya sendiri sengaja dia ambil dari nama mantan kekasihnya? Nama yang pasti akan dia ingat sepanjang masa, tiap kali memanggil Irena. Hatiku mencelos lagi mendengar jawaban darinya.

Jika dia mengatakan itu hari-hari sebelumnya mungkin aku akan merasa begitu berbunga dan istimewa. Aku yang dia genggam saat patah, kini dia berhasil membalut patahan itu dengan cintanya.

Namun sayang, aku tak lagi percaya semua kata manisnya setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hatinya. Pintar sekali dia menyembunyikan luka, pandai sekali dia bersandiwara di depanku selama empat tahun ini. Tanpa pernah kusadari jika ada nama perempuan lain di hatinya, dan jelas bukan aku.

Aku duduk di tepi ranjang dengan air mata berlinang. Sesekali Mas Bian berusaha menyeka air mataku, tapi kutepis jemari-jemarinya. Dia yang kini jongkok di depanku dengan pandangan penuh tanya.

"Kamu kenapa, Nia? Kembali mengingat mantanmu itu?" tanya Mas Bian lembut.

Pantas saja seolah tak ada cemburu di hatinya tiap kali dulu aku menyebut nama Reza, ternyata memang aku hanya dijadikan pelampiasannya saja. Bukan tempat untuknya melabuhkan cinta. Aku benar-benar terlambat menyadarinya.

"Aku bukan perempuan munafik, Mas. Sesekali aku memang masih mengingatnya, tapi tak ada sedikit pun dalan hatiku ingin kembali bersamanya," balasku sembari menatap lekat manik matanya.

"Lantas kenapa kamu berubah seaneh ini?" tanya Mas Bian lagi.

"Kamu adalah malaikat tak bersayap untuk hidupku, Mas. Aku sangat mempercayaimu. Aku sangat mencintaimu dengan segala perhatian dan tanggungjawab yang selama ini kamu berikan." Mas Bian hanya mengangguk-anggukan kepalanya lalu kembali menatapku.

"Terus masalahnya dimana, Nia?"

"Aku begitu percaya apapun yang kamu katakan. Tak terbesit sedikit pun di benakku jika kamu berdusta."

"Aku memang nggak berdusta, Nia. Kapan aku berdusta padamu? Tentang apa?"

"Masa lalumu."

"Maksudmu?"

"Kamu memang nggak berdusta. Hanya saja kamu menyembunyikan masa lalumu, Mas."

"Masa lalu tak perlu diingat lagi, Nia. Biarkan dia pergi dengan sendirinya. Bukankah kamu juga bilang begitu?"

"Iya, tapi nggak ada yang kututupi dari masa kelamku itu. Sementara kamu?"

"Aku?" tunjuknya pada diri sendiri.

"Iya, kamu, Mas. Kamu masih menyimpan nama perempuan di hatimu hingga detik ini."

Mas Bian menggeleng pelan lalu berusaha menarik kedua punggung tanganku. Namun, lagi-lagi aku menepisnya lalu membuang arah. Air mata ini kembali menganak sungai.

"Maksudmu apa, Nia? Jangan berbelit-belit." Mas Bian tersenyum menatapku meski kutahu ada gurat kecemasan dalam matanya.

"Siapa Irena Prameswari, Mas?" tanyaku dengan suara gemetar.

"Maksudmu apa? Kamu lupa kalau itu nama anak kita?" Lagi-lagi Mas Bian berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Iya, memang nama anak kita, Mas. Namun itu juga nama mantan kekasihmu. Tega kamu menyembunyikan semua ini dariku, Mas. Tega!"

💕💕💕

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status