Share

BAB 5

Pov : Bian

"Mas, apa yang kamu sembunyikan dariku selama empat tahun pernikahan kita? Bisa-bisanya kamu sematkan nama mantan kekasihmu pada anakku?" pertanyaan Dania benar-benar di luar nalarku. Aku tak paham kenapa dia tiba-tiba mempertanyakan hal itu.

Selama empat tahun pernikahan, dia memang tak banyak tanya tentang masa laluku, setelah aku berikan jawaban menohok untuk pertanyaan tak masuk akalnya itu di awal-awal pernikahan kami.

Masih jelas kuingat dulu saat dia tanya hal-hal sepele yang membuatku jengah. Dia protes hanya karena aku tak pernah memuji kecantikannya, tak pernah memujinya di depan keluarga besar dan tak pernah memperkenalkannya pada teman-teman kuliahku dulu dan hal remeh lainnya.

"Mas, aku cantik nggak? Kenapa sih kamu nggak pernah memujiku cantik, Mas? Padahal kata teman-temanku, aku cantik," ucap Dania saat itu dengan wajah bersemu merah sembari memilin roknya.

"Apa perlu mempertanyakan hal-hal seperti itu, Nia?" jawabku saat itu sembari menoleh sekilas ke arahnya.

"Kenapa kamu nggak pernah sekalipun bilang cinta padaku, Mas? Padahal tiap hari aku bilang cinta, tapi kamu hanya balas dengan senyum dan anggukan kepala. Kadang aku merasa tak berguna," ucapnya dengan isak kecil yang mulai terdengar telinga.

"Jangan terlalu dibawa ke hati, Nia. Tak semua laki-laki bisa menjelaskan apapun yang dia rasa."

"Tapi, Mas ...."

"Aku memang begini, Dania. Terlalu dingin dan kaku. Meski terasa aneh tapi apakah dengan pengorbanan dan perjuanganku selama ini belum bisa menjawab pertanyaanmu? Apakah kamu pernah melihatku mengatakan cinta dan cantik pada perempuan lain? Atau sekadar dekat dengan perempuan selain kamu? Kurasa tidak. Jadi kumohon, terimalah kekuranganku, Nia. Seperti aku yang selalu menerima kekurangan dan semua masa kelammu."

Setelah kuucapkan kalimat panjang itu Dania terdiam. Doa tak bertanya apapun juga tentang hal remeh temeh seperti itu. Dia pun tak pernah mencecarku untuk menceritakan semua masa laluku lagi. Salah satu hal yang sangat kusyukuri hingga detik ini.

Aku masih ingat betul, saat itu dia memang masih mengandung dua bulan. Mungkin karena itulah sedikit lebih manja dibandingkan sebelumnya. Sayangnya aku tak suka jika memiliki istri manja. Lebih tepatnya aku tak suka memiliki istri dia.

Saat itu, aku hanya ingin menjadi suami terbaik untuknya dalam hal kewajiban dan tanggungjawab. Namun aku tak pernah menuntutnya untuk menjadi istri yang terbaik pula. Terserah apa maunya. Kadang, aku jauh lebih senang jika sendiri daripada harus bersamanya. Meski tetap tinggal di atap yang sama.

Aku hanya belum mampu melupakan masa laluku bersama Irena. Aku mencintainya dan dia pun mencintaiku pula. Hanya saja, keadaan dan takdir belum menyatukanku dengannya. Namun aku masih tetap berharap kelak dia datang untuk minta maaf dan berniat kembali padaku.

Aku menikahi Dania bukan karena cinta. Hanya saja aku tak ingin menjadi anak durhaka yang menentang perintah ibunya. Alasanku yang lain tentu karena permintaan terakhir Irena sebelum dia menghilang dari hidupku.

Irena yang berharap aku menuruti kemauan mama, karena restu orang tua adalah segalanya. Entah mengapa dia menyerah untuk memperjuangkan cinta yang pernah kami agungkan bersama.

Dia memilih pergi dan meninggalkanku tanpa kata. Padahal aku dan dia pernah mengikat janji untuk berjuang bersama mencuri restu orang tua yang memang saat itu belum kudapatkan.

Irena pergi tak berkabar dan tanpa pesan khusus yang bisa kuterima. Aku tak tahu apa salahku sebenarnya. Kenapa mendadak dia pergi dan membiarkanku meratapi kebodohanku sendiri. Bodoh karena aku telat memperjuangkannya.

Padahal malam sebelum dia menghilang selamanya dari duniaku, dia masih mengangkat telponku. Dia bilang demam dan mual-mual. Dia juga bilang agar aku menjaga diary kesayangannya dengan baik karena mungkin akan mengambilnya sewaktu-waktu.

Iya, Diary itu kusimpan rapat di rak buku paling ujung agar tak ada yang tahu terlebih mama. Sebab jika mama tahu aku menyimpannya di sana, pasti akan dibakar saat itu juga.

Mama hanya tahu aku masih menyimpan banyak kenangan bersama Irena di gudang itu, gudang yang dulu bekas kamarku saat remaja dan beranjak dewasa. Tanpa tahu di mana tepatnya.

"Kamu harus janji sama mama, Bian. Setelah menikah dengan Dania, simpan baik-baik atau mama akan bakar semua barang-barang yang berhubungan dengan Irena. Mama nggak mau tahu, pokoknya simpan yang rapat dan aman, jangan sampai istrimu tahu siapa Irena. Saran mama lebih baik bakar saja."

Pesan mama empat tahun silam kembali terngiang di benak. Lalu lalang seperti rol film yang terbuka.

"Aku sudah berusaha menekan cinta dan rinduku pada Irena, Ma. Aku juga sudah mengikuti perintah mama untuk menikah dengan Dania. Tolong kali ini jangan paksa aku untuk membakar barang-barang Irena. Sebab dia bilang kapan-kapan akan mengambilnya kembali. Bukankah itu sebuah amanah yang harus kusimpan bukan kubakar?"

Mama menghela napas panjang lalu meninggalkanku begitu saja. Syukurlah, mama tak memaksaku membakar semua kenangan itu. Kenangan yang tak mungkin kulupakan sepanjang hidupku.

Saat awal menikah dulu, aku masih sering curi-curi waktu mendekam di gudang beberapa lama untuk membaca tulisan-tulisan Irena di sana.

Membayangkan kebersamaanku dengannya. Cinta yang pernah mekar dan berbunga dipaksa layu dan kering begitu saja.

Aku tahu dan aku sadar jika hubunganku dengan Irena sudah di luar batas. Kami khilaf, melakukan hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan sebagai hamba Tuhan yang masih menggenggam Iman.

Namun tak butuh waktu lama kami sadar jika kamu sudah melakukan dosa besar. Aku dan Irena pun sudah melakukan shalat taubat untuk mengurangi dosa yang sedemikian besarnya.

Ketidaksetujuan mama dan orang tuanya membuat kami memutuskan sesuatu yang salah. Pacaran saja sudah berdosa, tapi kami berhubungan lebih dari itu. Aku merasa sangat bersalah, karena itu pula berniat menikahinya.

Namun saat kuceritakan semua pada orang tuanya, justru maki dan usiran yang kudapatkan. Mereka tak terima, bahkan akan melaporkanku ke penjara. Namun akhirnya kudengar kabar dari Irena bahwa orang tuanya tak jadi melaporkanku ke penjara, entah sebab apa. Alasan yang tak kutemukan jawabannya hingga detik ini.

"Maafkan aku, Irena. Harusnya kita tak perlu melakukan itu hanya demi mendapat restu orang tua. Nyatanya sekarang kita semakin tersudut. Mamaku tetap tak merestui, sementara kedua orang tuamu justru semakin membenciku. Menganggapku laki-laki tak bertanggungjawab yang hanya menginginkan kesucianmu."

Detik ini, air mataku kembali menitik. Aku mengingat dia lagi. Dia yang terus mengisi relung hatiku hingga kini.

Kubiarkan Dania kembali seperti biasanya setelah kujelaskan singkat tentang Irena. Aku tahu Dania tak berani mencecarku banyak hal, sebab dia juga memiliki masa lalu yang kelam.

Dia masih ingat kalimat menohokku empat tahun silam, hingga tak ada nyali untuk mencecarku lebih dalam.

Sebab aku pun menerima dia dengan masa lalunya, tanpa pernah bertanya bagaimana dia dan laki-laki yang pernah dekat dengannya. Meski kutahu dia tak sampai melepaskan kesuciannya pada laki-laki itu.

Dania terlalu penurut dan mempercayaiku, hingga mudah sekali bagiku untuk meyakinkannya bahwa aku mencintainya dengan cara yang berbeda.

Seperti janjiku pada Irena dulu. Untuk memperlakukan istriku selayaknya ratu. Meski ternyata ratuku bukanlah Irena yang kucinta melainkan perempuan lain yang kini telah mengikatku dengan seorang putri cantik.

Sengaja kuberi nama yang sama. Sebagai penghargaanku untuknya. Perempuan yang selalu kusebut dalam doa.

💕💕💕

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status