Share

Pertolongan datang tepat pada waktunya

"Bund, kirain udah ke sebelah?" ucapnya berjalan mendekat.

"Bund, kamu nangis? Kenapa?" tanyanya dengan raut panik ketika jaraknya tinggal dua langkah lagi denganku yang duduk di tepi kasur.

"Oh, enggk kok Mas, tadi mau ambil baju malah kelilipan." jawabku menahan sesak di dada. Aku gegas berdiri sebelum ia semakin curiga.

"Aku ke samping ya, Mas. Mungkin gak masuk sampe sore soalnya agak sibuk hari ini. Nanti tolong jemput anak-anak pulang sekolah ya, Mas!" 

"Bunda bener gak papa?" 

"Iya, gak papa!" aku segera berlalu keluar kamar dengan air mata kembali berjatuhan tanpa permisi. Sesak dalam dada kian menjadi kala mendapati perhatiannya tak berkurang sedikitpun padaku.

Aku terus menuju pintu samping yang langsung terhubung dengan kios tempatku menjahit. Belum ada siapapun yang datang karena jam kerja belum di mulai. Segera aku membuka rolling door dan memeriksa apa saja yang harus aku kerjakan hari ini.

Usai menyiapkan segalanya, aku terduduk di depan mesin jahit. Pikiranku kacau, memikirkan nasib rumah tanggaku. Senyum anak-anakku, kehangatan yang telah kami lalui selama 14 tahun. Akankah berakhir begitu saja.

Aku memejamkan mata dan menarik nafas kuat-kuat, menghirup oksigen yang berasa semakin menipis masuk kedalam paru-paru.

"Astaghfirullah, astaghfirullah!" gumamku menetralkan gejolak dalam dada.

Dering ponsel dalam saku gamisku mengalihkan rasa sakit yang mendera, aku segera merogohnya dan terpampang nama adik iparku, Erna yang menelepon.

"Halo, assalamualaikum, Na!" ucapku setelah menggeser tombol hijau.

"Walaikumsalam, Mbak! Sibuk kah?" tanyanya di seberang sana.

"Enggak, Na, ada apa?"

"Ini, ibu mau bicara Mbak!" tak lama terdengar suara wanita sepuh yang menjadi pengganti ibu kandungku yang telah lama tiada.

"Assalamualaikum, Nduk! Kamu sehat?" tanyanya.

"Walaikumsalam, Buk. Alhamdulillah sehat,  Ibuk sehat, kan?"

"Sehat, Nduk. Cucu-cucu sholeh Ibuk sekolah ini?"

"Iya, Buk! Tadi berangkat diantar ayahnya." kembali hatiku getir mengingat suamiku.

"Oh, Wahyu ingat pulang rupannya!" kelakar Ibu yang terasa aneh di telingaku. Tak biasanya Ibu begini, bercanda tapi terasa garing.

"Nduk, nanti siang Ibu sama Erna mau kerumah! Kangen sama kamu dan cucu sholeh Ibuk!" ucapnya.

Alahuakbar, pertolongan Allah datang tepat pada waktunya. Di saat rumah tanggaku dalam bahaya rupanya Allah kirimkan malaikat tak bersayap untuk menjaga dan melindungi kami tanpa aku minta.

"Beneran, Buk! Alhamdulillah! Arini senang Ibuk mau datang! Apa perlu kami jemput, Buk!" tanyaku antusias. Binar harapan kembali bersinar untuk masa depan rumah tanggaku.

"Gak usah, nanti diantar calon suami Erna pake mobil!" 

"Alhamdulillah kalau gitu, jam berapa Ibu berangkat?"

"Nanti bakda Zuhur saja. Ini Ibuk mau masak makanan kesukaan kalian dulu, petis cumi asin."

"Ya Allah, gak perlu repot-repotlah, Buk! Ibuk datang saja Arini sudah sangat senang!" ucapku sungkan. Ibu memang selalu begitu, setiap kali datang tak pernah dengan tangan kosong. 

"Gak repot, Nduk. Yo wes, Ibuk tak siap masak dulu sampai ketemu nanti sore ya, Nduk! Ra usah bilang si Wahyu kalau Ibuk mau datang!" pesannya.

"Loh, kenapa, Buk?" tanyaku heran. Dalam hati aku berkata apakah Ibuk sudah ada firasat dengan kelakuan bejat anaknya?

"Wes, pokoke ra usah bilang, yo!"

"Enggeh, Buk! Arini tunggu di rumah nggeh!"

"Yowes, ki Erna!" suara Ibuk masih terdengar.

"Hallo, Mbak!"

"Ya, Na!"

"Rencananya kita mau nginap seminggu disana, boleh, kan?"

"Ya, boleh dong! Dengan senang hati, nanti kita bisa jalan-jalan bareng lagi!" sambutku antusias, semakin lama Ibuk dan Erna disini maka semakin sempit pergerakan dua pezina itu untuk berbuat dosa di rumahku.

"Yowes, aku mau ke pasar dulu, mau beliin oleh-oleh ponakan sholehku! Wes ya, Mbak! Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam!"

Aku menarik nafas lega, harapan kembali muncul. Insya Allah semua akan baik-baik saja. Aku tersenyum membayangkan rencana Salwa gagal total untuk terus menggoda suamiku. Tapi entah bagaimana nanti, aku rasa hal ini tak akan terjadi jika suamiku juga bisa mengendalikan syahwatnya. Apapun itu perselingkuhan tetaplah kesalahan kedua belah pihak. Atau bisa jadi akupun ikut andil dalam perselingkuhan mereka.

Aku tersenyun miris, sungguh tidak ada yang sempurna dalam rumah tangga. Jika suaminya baik, mertua dan iparnya yang julid. Lah ini, mertua, ipar baik, justru suami yang salah jalan. Semoga suamiku kembali ke jalan yang seharusnya. Amin!

Dengan semangat aku mengerjakan pekerjaan hari ini. Senyum terkembang di bibirku, sungguh pertolongan selalu datang di saat yang tepat. Jika habis Zuhur ibu berangkat, itu artinya sekitar pukul lima sudah sampai di sini. Rumah Ibu di perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, butuh waktu sekitar empat jam untuk sampai di rumahku yang di pinggiran kota Lampung Tengah ini.

Satu persatu karyawanku datang dan segera mengerjakan bagian mereka massing-masing. Hari ini pesanan seragam keluarga untuk bu Nani, tetangga desa yang akan menggelar hajatan sudah tinggal finishing saja.

"Mbak Ika, itu si Rohimah ada gak ya?" tanyaku pada salah seorang karyawanku.

"Ada, Bu! Tadi saya lihat sudah selesai beberesnya." jawab mbak Ika yang rumahnya berjarak enam rumah dari rumahku. Janda anak dua itu belum lama menjadi tulang punggung, sebab suaminya baru tiga bulan meninggal.

"Ajak kesini, dong! Hari ini yang punya bu Nani mau diambil sebelum Ashar! Butuh tukang setrika tambahan, kasihan kalau Dewi sendiri." ucapku sembari terus bermain sama mesin obras.

"Yaudah, biar saya yang panggil, Bu. Mudah-mudahan mau."

"Pake motor biar cepet, kalau anaknya gak ada yang jaga suruh bawa aja, biar main sini gak papa!" 

"Oke siap, Bu!"

Mbak Ika gegas beranjak dari depan mesin jahitnya dan segera menuju rumah Rohimah yang berada paling ujung gang sebelah. Kios ini lumayan besar dan terbagi menjadi tiga ruangan. Ruangan paling depan berukuran 3 x 3 untuk pengukuran dan pembuatan pola. Ruangan tengah yang paling luas berukuran 6x6 untuk menjahit dan obras. Dan ruang belakang yang berukuran 3x6 dibagi dua, sebelah untuk setrika dan sebelah lagi untuk dapur kecil biasa untuk makan siang para karyawan dan persediaan air minum.

Alhamdulillah dengan kegigihan kami, kini sudah ada empat mesin jahit kualitas pabrik dan dua mesin obras yang tak kalah bagus meski tak beli baru. Jika sedang di kejar deadline, aku biasa menambah karyawan untuk setrika. Bersyukur bisa membuka lowongan pekerjaan untuk ibu-ibu yang dituntut menghasilkan tanpa harus meninggalkan anak-anaknya.

Aku juga tak keberatan jika anak-anak karyawanku ikut serta, sebab anak adalah penyemangat tersendiri buat kami para ibu yang berjuang untuk membantu perekonomian keluarga. Tak jarang anak-anak mereka bermain bersama anak-anakku di halaman depan rumah atau di samping kios ini, jadi tak membuat mereka lepas dari pengawasan kami meski kami juga tetap sibuk dengan mesin jahit.

Tak lama mbak Ika datang bersama Rohimah dan satu orang lagi.

"Bu, ini Sari, anaknya pak Sarto yang di gang sebelah katanya mau ikut kerja disini, boleh?" ucap mbak Ika. Aku menatap gadis bernama Sari yang di bawa mbak Ika.

"Kamu bisa jahit?" tanyaku pada Sari.

"Bisa, Bu! Kebetulan saya pernah kerja di Garment B yang di kabupaten itu, tapi semenjak pandemi karyawan banyak di kurangi, termasuk saya!" jawabnya.

"Oh, ya sudah kalau gitu. Mah, kamu langsung bantu Dewi setrika ya! Dan kamu bantu saya obras ini!" perintahku pada Rohimah dan Sari. Rohimah segera masuk ke dalam dan Sari langsung mengambil posisi di sebalahku.

Aku amati dengan seksama, tangannya cukup lihai mengoperasikan mesin obras ini walau hanya aku beri intruksi seadanya.

Kami bekerja dengan semangat hari ini, harapanku semoga sebelum ibu sampai semua pekerjaanku sudah beres. Aku lupakan sejenak permasalahanku di rumah, karena aku tak mau fokusku bekerja terganggu karena konflik pribadi yang nantinya akan berimbas pada pekerjaan. Walau baru usaha rumahan tapi kami tetap harus profesional demi kepuasan pelanggan.

πŸ’πŸ’πŸ’

Kumandang azan Zuhur telah terdengar saling bersahut-sahutan dari beberapa masjid di sekitar rumah. Kami merilexskan tubuh sejenak dan bergantian menjalankan ibadah, kecuali Dewi yang bukan seorang muslim. Dewi memilih membuatkan kami makanan atau minuman sembari menunggu kami shalat zuhur.

Usai shalat, kami menikmati jam istirahat dengan makan bersama. Setiap jam makan tak lupa aku membelikan mereka nasi bungkus supaya mereka tak usah lagi pulang atau membawa bekal.

"Bun, Ayah berangkat nuker mobil dulu ya?" ucap mas Wahyu sembari melongokkan badannya dari pintu penghubung.

"Oh, iya Mas!" jawabku sembari berdiri menghampirinya.

"Kamu kirim kontak Salwa ya, biar nanti sekalian Mas jemput." ucapnya pura-pura.

Kres, ada yang teriris di hati ini, Mas kamu memang pandai bersandiwara hingga aku tak curiga sama sekali bahkan ekspresi wajahnya datar-datar saja, ini yang membuatku terkecoh selama ini. Sikap dan kelembutannya tak berubah sama sekali.

"Iya, Mas nanti aku kirim, ya!" jawabku menahan sesak.

Setelah mencium keningku ia berlalu meninggalkanku yang masih bergeming. Sakit! Sakit hati ini, kenapa kamu selingkuh, Mas? Apa kurangku? Apa salahku? Hatiku meracau, mataku mulai berkabut, lagi. Sungguh aku tak habis pikir kenapa harus Salwa? Lantas apa yang Salwa inginkan darimu? 

Soal harta, mbak Murni jauh diatas kami. Meskipun ia janda tapi kehidupannya terbilang sukses. Rumah, mobil bahkan sudah memiliki banyak aset tanah dimana-mana. Aku rasa uang bukanlah hal sulit baginya.

Aku segera menguasai diri, aku tak ingin konflik batinku dibaca oleh para karyawanku. Aku pamit pada mereka sebentar dengan alasan melihat anak-anakku. 

Berlalu melalui pintu penghubung, berjalan pelan dengan pikiran kacau.

"Iya, Sayang! Nanti kita puas-puasin dulu! Mau berapa ronde kamu!"

Degh, suara mas Wahyu tertangkap oleh telingaku, ia sedang merencanakan memadu kasih dengan pasangan haramnya. Menjijikkan, semalam ia tidur denganku dan kini ia akan tidur dengan wanita lain. 

Air mata yang sedari tadi aku tahan tumpah sudah, seluruh persendianku lemas bagai tak bertulang. Aku luruh ke lantai dengan  hati yang hancur berkeping-keping. Menangisi kebodohanku sendiri, apa yang harus aku lakukan?

Air mata kembali tumpah, rongga dada seakan tak mendapatkan oksigen, sesak! Hingga terdengar suara mesin truk yang semakin menjauh dari pendengaran dan semua menjadi gelap.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status