Jantung Nesia seketika berdetak menggelepar oleh rasa takut karena ancaman yang dilontarkan oleh dua laki-laki tinggi besar serupa bodyguard itu.
‘Siapa dua orang ini? Mengapa dia mengancamku seperti ini? Apakah mafia-mafia yang di film itu benar-benar ada?Apa salahku sehingga harus berurusan dengan mereka?’ Nesia masih saja bertanya-tanya dalam hati. Jantungnya menggelepar, tangannya mendadak basah oleh keringat. Ketakutan semakin kuat melanda jiwanya.
“Apa? Membunuh saya? Memangnya salah saya apa?” tanya Nesia keras, berharap ada yang melihatnya.
Namun semua orang sepertinya sedang fokus di depan dan juga ruang karyawan sehingga tak ada yang melihat bahwa Nesia sedang dalam bahaya.
“Sebaiknya Anda tidak melawan!” tegas yang satunya lagi.
“Tapi, Pak?” protes Nesia. Gadis itu menggeleng tegas, menolak tekanan yang tak masuk akal ini.
Namun, protes Nesia seketika berhenti ketika salah seorang dari mereka mengeluarkan pistol yang terselip di pinggangnya dan menempelkannya pada pinggang Nesia. Nesia semakin gemetar dan keringat dingin mulai terasa muncul di tubuhnya.
“Ikut dengan saya!” perintah salah satu dari mereka yang berkulit sedikit gelap.
“Oke … oke! Tapi kemana, Pak?” tanya Nesia dengan takut.
“Sebaiknya Nona tidak banyak tanya,” jawab yang satunya yang berkulit sedikit bersih.
Meski sebenarnya Nesia ketakutan, namun dia tak bisa menolak. Gadis itu melangkah mengikuti kedua laki-laki misterius itu dengan langkah kaki yang sepertinya nyaris luruh karena saking takutnya. Nesia benar-benar tak menyangka bahwa hari ini sia akan mendapatkan kesialan seperti ini.
‘Mungkinkah ajalku akan tiba hari ini?’ tanya Nesia dalam hati. Air matanya mulai merebak. ‘Bang Vino, kalau aku mati hari ini, aku ingin kamu tahu bahwa bagaimanapun aku masih mencintaimu. Meski kita sudah memutuskan untuk berpisah, tapi aku masih mencintai kamu.’ Nesia masih saja merapal kalimat cintanya dalam hati. Berharap akan ada keajaiban yang bisa membuatnya hidup sedikit lebih lama.
“Saya akan dibawa kemana, sih, Pak? Apa salah saya?” tanya Nesia menoleh ke arah kedua orang misterius yang berjalan di sisi dan kanannya itu.
“Kami tidak berhak menjawabnya, Nona!” jawab salah seorang diantara mereka yang terus menghela Nesia menuju ke sebuah ruangan yang Nesia hafal betul bahwa itu ruang rias.
Dan benar saja, mereka berdua menghela Nesia memasukinya. Di sana, sudah menunggu seorang perias yang sepertinya profesional beserta asistennya, dan beberapa orang yang berpakaian sama dengan dua orang yang membawanya tadi.
Namun ada yang membuat Nesia semakin tak mengerti adalah ketika dia melihat calon pengantin laki-laki —yang wajahnya terpampang di depan gedung tadi— yang kini berada di ruangan yang sama dengannya saat ini.
‘Mengapa dia ada di sini? Bukannya dia seharusnya berada di hall utama? Lalu dimana mempelai perempuannya? Mengapa periasnya malah bengong? Dan pengantin laki-lakinya? Mengapa harus menatapku seperti itu? Apakah ada yang salah denganku?’ tanya Nesia dalam hati kemudian menunduk untuk mengamati dirinya sendiri.
Semua mata yang ada di ruangan itu menatap Nesia dengan sorot mata tajam. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka melihat dia orang itu membawa Nesia ke tempat ini. Lalu tanpa diduga, si pengantin laki-laki mengedikkan kepalanya, seolah memerintahkan agar asisten tukang rias itu membawa Nesia untuk ke kamar mandi.
“Mari, Nona,” ajak perempuan yang sepertinya masih muda itu.
“Kemana, Mbak?” tanya Nesia dengan maksud menolak.
“Anda harus mandi, karena waktu sudah hampir habis,” ujar si asisten.
Nesia menoleh ke arah dia orang misterius tadi seolah bertanya apa yang akan mereka lakukan padanya itu. Kedua laki-laki itu mengangguk bersamaan, sehingga Nesia terpaksa menatap ke arah asisten perempuan tadi dan mengikuti langkahnya.
“Ini ada apa sebenarnya, Mbak?” tanya Nesia ketika mereka tiba di depan kamar mandi yang memang tersedia di dekat ruang rias itu.
“Nona sebaiknya segera mandi agar tukang make up bisa bekerja secepatnya. Waktunya sudah semakin singkat,” jawab si asisten.
“Tapi mengapa saya harus dirias?” tanya Nesia lagi kali ini dengan pekikan yang tertahan.
“Saya tidak tahu. Tugas saya hanya mendampingi boss saya yang akan merias anda. Selebihnya mereka yang akan memberitahunya pada Nona,” jawab si asisten.
“Sebaiknya Anda segera mandi, Nona. Agar tidak membuang waktu,” kata seorang lelaki misterius itu tiba-tiba mendatangi Nesia dan si asisten.
“Tapi, Pak. Mengapa saya harus diperlakukan seperti ini? Tidak bolehkan saya tahu apa yang akan terjadi dan kalian lakukan pada tubuh saya? Bahkan seandainya saya akan dibunuh, setidaknya saya tahu alasan mengapa saya harus mati, kan?” tanya nesia dengan kesal karena semua orang sepertinya sedang bermain teka teki.
Salah seorang diantara pengawal itu meraba pistol yang terselip di pinggangnya membuat nesia seketika menghentikan ocehannya dengan wajah pucat.
“Oke … oke! Saya akan mandi.” Nesia mencegah apapun yang akan dilakukan oleh laki-laki misterius itu. Kemudian dengan wajah pucat segera masuk ke dalam bilik mandi sambil menenangkan jantungnya yang berdetak.
Sejujurnya Nesia ingin berteriak minta tolong atau menangis sejadi-jadinya. Akan tetapi dia tak yakin akan ada yang menolongnya. Jikapun ada, mungkin mereka juga tak akan berani mengingat banyak penjaga aneh yang ada di ruangan ini. Matanya yang jelalatan seolah mencari celah untuk kabur melalui kamar mandi inipun berakhir sia-sia karena jelas tak ada ruang sedikitpun untuk kabur.
‘Tuhan, haruskan semua berakhir di sini?’ keluh Nesia.
“Nona! Saya harap Anda segera menyelesaikan mandi karena waktunya sudah hampir tiba,” suara si penjaga kembali terdengar dibarengi dengan suara gedoran di pintu kamar mandi.
“Iya, saya mandi!” jawab Nesia dengan kesal.
Tak ada hal lain yang bisa dilakukannya lagi selain mengikuti perintah orang-orang aneh itu. Kecuali dia sudah tak sayang dengan tubuhnya. Tak butuh lama, Nesia segera menyelesaikan mandinya kemudian keluar. Itupun sudah disambut tatapan mata penuh horor dari dua penjaga yang tadi ada di menggedor pintunya.
“Silahkan Nona mengikuti asisten perias itu tanpa banyak bertanya. Karena boss kami sangat tidak menyukai perempuan yang banyak bicara,” ujar salah satu penjaga itu.
Nesia menatap sengit padanya.
“Memangnya apa peduli saya dengan bos kalian yang suka atau tidak suka? Kalau boleh jujur, saya juga tidak suka dengan tindakan pemaksaan yang kalian lakukan ini!” ujar Nesia sedikit sengit.
Namun jelas kedua penjaga itu tak peduli dengan apapun yang dikatakan Nesia, karena akhirnya mereka tetap mendorong Nesia agar duduk di kursi dan segera tukang rias itu menanganinya.
“Jadikan dia semirip mungkin dengan Dona, Ren!” Calon mempelai pria yang sejak tadi hanya mengawasi dalam diam itu kini bersuara.
Seketika Nesia menatap laki-laki itu, yang bahkan tak mau repot-repot untuk balik menatapnya. Dan itu sudah cukup menyebalkan. Sebenarnya Nesia sudah hendak mengkonfrontasi laki-laki itu, namun bisikan si perias senior membuat Nesia mengurungkan niatnya.
“Sebaiknya Nona tidak banyak melawan. Saya tahu siapa dan bagaimana beliau. Jika Nona masih sayang dengan nyawa Nona, sebaiknya Nona ikuti saja apa yang beliau katakan. Saya juga akan melakukan apa yang beliau perintahkan,” ujar si perias dengan suara rendah.
“Tapi saya tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa saya harus dirias, bahkan dibuat mirip dengan Dona. Bukankah Dona adalah pengantin siang ini?” tanya Nesia dengan suara yang juga rendah.
Si perias tersenyum.
“Saya rasa mereka akan menjelaskannya nanti. Untuk saat ini, mari bekerja sama agar pekerjaan saya selesai tepat waktu,” pinta di perias.
Mau tak mau Nesia mengangguk.
Tak menunggu lama, perias itu sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan hasil yang sempurna. Kegesitannya bekerja membuat semua kliennya puas dengan pekerjaan dan hasil kerjanya.
Setelahnya, si perias mengenakan pakaian pengantin untuk Nesia. Meski sedikit kepanjangan, namun itu tidak masalah karena tidak begitu kelihatan.
“Selesai, Tuan,” lapor si perias kepada mempelai laki-laki.
Laki-laki tinggi dan gagah itu bergerak mendekati Nesia yang sudah selesai dirias. Laki-laki itu manggut-manggut seakan puas dengan hasil yang diberikan si perias. Setelah dirasa pas, laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Nesia.
Nesia tidak menyambutnya karena dia tak tahu apa maksud laki-laki itu mengulurkan tangan padanya.
“Apa maksud semua ini, Tuan?” tanya Nesia dengan berani.
Laki-laki tampan itu tersenyum sinis.
“Ikut denganku ke aula depan. Kita menikah!” Laki-laki itu menjawab tegas.
“APA?!”
***
Nesia memang sudah pulang dari rumah sakit dan sepertinya keadaan baik-baik saja. Lukas yang melihatnya kini berubah ikut senang meski untuk hal ini dia harus menjadi sasaran pukulan Remy yang salah memahami dirinya. Sejujurnya Lukas maklum jika Remy marah padanya. Kalau saja Remy tahu bahwa dia juga menyukai Nesia, mungkin laki-laki itu akan menghajarnya dengan lebih gila lagi.Karenanya, demi menghindari kegilaan Remy, Lukas memilih menghindar. Setelah jam kantor usai, Lukas tak segera pulang melainkan mengekor Edo kemana pun dia pergi. Edo yang bujang kadaluwarsaitu merasa aneh dengan kelakuan Lukas yang tak biasa.“Hei? Ada apa rupanya kamu mengekor kemanapun aku pergi? Jangan sampai karyawan mengira kamu kasmaran sama aku, Luke.”“Cuih!!! Kasmaran sama kamu? Aku masih cukup normal untuk tidak jatuh cinta sama lelaki tak mutu sepertimu!” Lukas membalas tak kalah pedas.“Jadi mengapa kamu mengekor terus?”Lukas menghela napas berat.“Aku enggan pulang.” Akhirnya Lukas bicara jujur.
Pintu kamar tertutup dan Remy meletakkan Nesia ke atas ranjang dengan gerakan yang lembut dan sebisa mungkin membuat Nesia nyaman di ranjang mereka. Sejujurnya Remy sangat merindukan perempuan muda yang sudah membuat hidup dan hatinya porak poranda dan kehilangan jati diri itu. Dia ingin memeluknya seerat mungkin dan memastikan bahwa perempuan itu tak akan kemana-mana, tak akan jauh darinya dan tak akan meninggalkannya meski perjanjian mereka jelas mengatakan bahwa mereka memiliki keterbatasan waktu bersama.Lelaki yang kini berubah jauh lebih ramah itu sibuk membetulkan letak selimut untuk menutupi tubuh Nesia yang sebenarnya tak lagi kedinginan karena efek obat pagi ini membuatnya sedikit gerah.Nesia menatapnya dengan senyum keheranan.“Mengapa menatapku seperti itu? Apakah aku aneh?” tanya Remy yang berhenti sejenak untuk menatap Nesia yang semenjak hamil terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Meskipun jelas biasanya juga dia selalu cantik di mata Remy.Nesia menggeleng. Tangan
Wajah Remy dan Nesia seketika bersemu merah ketika mereka melihat siapa yang sudah membuka pintu dan menampakkan wajahnya. Tak lain dan tak bukan adalah dokter Ilham bersama seorang suster yang menjadi asisten dokter Ilham pagi ini. Apalagi ketika mereka melihat bahwa dokter dan suster itu tersenyum karena memergoki ulah Remy. “Ehem!” Remy berdehem menghadap ke arah dokter Ilham untuk menetralkan suasana yang mendadak canggung. Tak sedikit pun Remy merasa ingin memperbaiki keadaan. Dia bahkan tak menjauh dari Nesia. “Sebaiknya kamu mulai belajar menahan diri terhadap keinginan apapun pada istrimu, Remy. Kehamilannya masih sangat muda. Aku khawatir akan membahayakan kondisi janinnya.” Dokter Ilham memberikan nasehat seolah mengerti apa yang Remy rasakan. “Berapa lama, Dok?” tanya Remy yang tahu kemana arah pembicaraan dokter Ilham. Pertanyaan sigap yang diajukan Remy membuat dokter Ilham tertawa kecil. Sambil memeriksa tekanan darah Nesia, dokter Ilham tersenyum. Suster yang berada d
Suasana di sebuah ruang rawat di klinik ini terasa begitu heboh dan penuh kegugupan serta kekhawatiran yang berlebihan. Remy terlihat begitu sibuk mengemas semua barang yang kemarin terbawa ke klinik ini meskipun barang itu tak begitu diperlukan karena fasilitas di klinik sudah sangat memadai. Setelah semua barang terkemas rapi, terlihat Remy yang tersenyum lega seolah baru saja menyelesaikan sebuah proyek besar dan bernilai milyaran.Nesia yang sudah siap pulang, kini duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengawasi Remy yang sibuk sendirian. Namun, kali ini Nesia memilih diam tanpa banyak tanya karena sejauh ini dia masih belum yakin dengan sikap penerimaan yang dilakukan Remy atas kehadiran bayi di dalam perutnya itu.Awalnya, Nesia mengira bahwa Remy akan marah besar dan menceraikan dirinya kemudian mengusirnya dari rumah itu. Dan untuk semua praduga buruk itu, Nesia bahkan sudah menyiapkan banyak rencana jika memang dia harus terusir dari rumah Remy karena kehamilannya.Tapi siapa sa
Mendengar pertanyaan Lukas, Edo sedikit gelagapan. Namun bukan Edo namanya kalau dia tak bisa mengelak dari cercaan Lukas. “Hei, apakah aku mengatakan bahwa kehidupan seks Remy tidak normal?” tanya Edo merasa tak bersalah. Lukas yang sudah hafal dengan kelakuan Edo hanya tersenyum masam. “Tak perlu berpura-pura lupa dengan ucapanmu sendiri Edo. Jelas-jelas kamu mengatakan bahwa kehidupan seks Remy sekarang berjalan normal. Bukankah itu artinya dia tidak normal sebelumnya?” Edo tergelak. “Aku hanya menduga, Luke. Bagaimana mungkin Remy mengumbar kehidupan seksnya pada orang lain? Sudahlah, habiskan kopimu dan pulanglah. Rumahku tak cukup cocok dengan bujang sepertimu!” ujar Edo kemudian berdiri, mengambil jas kerjanya yang ada di sampiran kursi makan dan mengenakannya dengan santai. “Aku tak mau pulang hanya untuk melihat mereka kasmaran,” jawab Lukas dengan santai, mengabaikan pengusiran yang diucapkan Edo dengan terus terang tadi. Edo tersenyum miris melihat Lukas yang kelihatan s
Sudah dua hari ini Lukas menginap di rumah Edo. Selain sebagai sesama pegawai di perusahaan yang ditangani Remy dengan tangan dinginnya, Lukas, Remy dan Edo adalah juga teman dekat. Nyaris tak ada rahasia di antara mereka, kecuali Remy yang memang sangat tertutup terutama soal perempuan.Remy sangat berbanding terbalik dengan Edo. Kalau Remy memilih tertutup mengenai perempuan, termasuk hubungannya dengan Nesia yang tak mudah ditebak, maka Edo memilih jalan vulgar untuk menunjukkan eksistensinya sebagai lelaki tampan dan mapan.“Kamu tak kerja lagi pagi ini, Luke?” tanya Edo ketika pagi ini dia masih melihat Lukas yang malas-malasan menikmati secangkir kopi yang dibuatnya sendiri tadi. Tentu saja Lukas harus membuatnya sendiri karena Edo seorang lajang yang tak memiliki seorang pembantu.Lukas hanya tersenyum kecil dan hambar, membuat Edo semakin penasaran dengan kelakuan Lukas yang tiba-tiba saja minggat ke rumahnya itu.“Memangnya kamu tak takut Remy akan menendangmu dari pekerjaan
Pemeriksaan pagi oleh Dokter Ilham sudah selesai. Seorang suster mengambil sampel urine Nesia dan hanya dalam beberapa menit saja sudah bisa dipastikan bahwa Nesia memang hamil. Setelah Dokter Ilham dan suster keluar, semua terdiam. Bu Maryam, Nesia, dan juga Remy. Tak ingin ikut larut dalam suasana canggung, Bu Maryam mengambil inisiatif untuk pulang dengan alasan sudah ada Remy sekalian membawa pulang tas yang semalam dibawa Remy.Remy yang gamang, tak tahu harus bagaimana, hanya mengangguk sehingga Bu Maryam kemudian segera keluar. Meski dalam hati was-was dengan apa yang akan terjadi pada Nesia ketika Remy tahu akhirnya Nesia hamil, tetapi dalam hati Bu Mar bersyukur bahwa akhirnya Nesia hamil. Pembantu itu hanya bisa berharap bahwa keberadaan anak mereka akan membuat pernikahan ini berjalan sebagaimana seharusnya.Bu Mar sudah menutup pintu, dan Nesia hanya menatap selimut yang menutupi tubuhnya. Keduanya masih sama-sama terdiam, tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Bahkan,
Pagi menunjukkan pukul enam ketika Nesia menggeliat dan membuka matanya. Namun, ada yang membuatnya tak nyaman di bagian tangan. Nesia lalu melihat tangannya dan terkejut mendapati jarum infus terpasang di sana. Dia mencari-cari ke sekeliling untuk mencari tahu apa yang terjadi ketika matanya melihat Remy yang duduk dengan mata terpejam di sisi ranjangnya. Bu Maryam tak terlihat di ruangan itu karena beberapa saat tadi dia pamit untuk mencari kopi di kantin bawah.Nesia mengerutkan keningnya. “Remy?” Tanpa bisa dicegah, Nesia menyebut nama lelaki itu.Merasa ada yang memanggilnya meskipun pelan, Remy segera membuka matanya dan mendapati Nesia sudah terbangun.“Hei, Nes? Kamu sudah bangun?” tanya Remy yang bergegas mendekat pada Nesia, menyambut uluran tangan perempuan itu, dan menciumnya dengan lembut. Entahlah, dia lupa dengan kalimatnya bahwa dia tidak mencintai Nesia, bahwa dia hanya butuh perempuan itu tetap sehat agar bisa bercinta kapanpun dia mau. Tapi nyatanya? Nyawa Remy sepe
“Kalau Bu Maryam mengantuk, Bu Maryam bisa tidur di kasur itu. Biar saya yang berjaga.” Lukas yang menunggui Nesia di ruang rawat inap bersama Bu Mar menyuruh wanita itu tertidur. Lukas tahu kalau Bu Mar pasti lelah.“Lalu Tuan bagaimana?” Bu Mar menatap lesu lelaki itu. Memang dibandingkan dengan Remy, Lukas jauh lebih manusiawi dan lunak serta ramah. Meskipun sekarang Bu Mar mengakui bahwa Remy jauh lebih lunak dan manusiawi.“Saya bisa tidur di sofa.”Bu Maryam mengangguk kemudian menuju ke sebuah kasur kecil yang memang disediakan bagi keluarga pasien yang menjaga. Sebelum dia merebahkan diri, Bu Mar berpesan, “Nanti kalau Nyonya bangun, Tuan Lukas bangunkan saya saja.”Lukas mengangguk. Lelaki itu memilih duduk di sofa, menyelonjorkan kakinya yang panjang ke atas meja yang ada di depannya. Matanya menatap Nesia yang tertidur lelap di atas ranjang rumah sakit. Selang infus terlihat terpasang di tangan kanannya.Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tetapi Lukas tak juga bis