Share

Kondisi Langit

"Hallo! Aku manusia." Shin menyapa makhluk yang pertama kali dia temui. Sangat ramah. Nampak dari senyum yang mengembang. Seperti seorang yang baru mendapatkan kenalan baru. Burung-burung bangau itu berhamburan. Mungkin terkejut melihat manusia memiliki sayap. Shin berniat menangkap dengan kedua tangannya. Ironisnya, salah satu burung bangau tersebut melompat, dan mencakar wajah Shin. Mengibaskan sayapnya secara kasar lalu burung bangau itu kabur. Wajah Shin seperti tertampar. Shin meringis. Merasakan perihnya luka cakaran yang terkena embusan angin.

Bodoh!

Dengan ekspresi muram dan lesu. Shin meneruskan perjalanan. Hingga menabrak  sekumpulan kabut yang banyak mengandung embun air. Tubuh Shin gemetar. Shin menyentuh dan merasakan kelembutan gumpalan putih bagai salju di telapak tangannya.

"Jadi ini awan. Begitu dingin dan sejuk."

Shin bermain-main seperti anak kecil. Meniup-niup dan mendekap. Awan meleleh membasahi sekujur tubuh. Hal sekonyong itu cukup untuk mengobati keperihan luka pada lengan dan wajahnya.

Tiba-tiba terdengar suara pesawat menabrak awan. Sontak membuat Shin menghentikan aktivitasnya dan menoleh. Lagi-lagi seorang tersentak kaget di buatnya. Yakni anak kecil yang sedang menatap keluar dari balik jendela pesawat. Mata dan mulutnya terbuka lebar. Selanjutnya anak itu berseru, dengan nada terpukau,

"Su-super hero! Wow ...." 

Shin melambaikan tangan. Tak lupa ia melayangkan senyuman.

"Flyman." Anak itu mengucek-ngucek mata. Ada rasa tak percaya, namun terlihat begitu nyata. Seakan ia sedang memimpikan manusia super yang seringkali tayang di serial televisi. Sayang sekali tontonan itu tidak berlangsung lama. Sebab Shin segera melesat dengan cepat. Lalu menghilang menembus masuk ke dalam bongkahan awan. Anak yang sedang duduk itu lantas berdiri. Menempelkan wajahnya ke kaca jendela. Mencari-cari keberadaan super hero yang tak menggunakan topeng serta jubah kepahlawanan.

Shin semakin penasaran dengan kondisi langit. Meskipun udara makin dingin dan oksigen semakin tipis. Shin tak mengurungkan niatnya untuk terbang jauh lebih tinggi. Shin yakin sayap yang ia buat mampu menjelajahi langit luas. Dengan semangat, ia menambah kecepatan pada mesin turbo jetnya.

Sesaat kemudian ....

Tekanan udara naik dengan cepat.

Jederrrrr

Terlihat pemandangan mengerikan dan juga menakutkan. Shin terperanjat kaget. Dirinya di kelilingi awan hitam, badai hujan dan sambaran petir yang mengamuk. Menerpa dan menyambar dari berbagai arah. Cukup kuat untuk membunuh Shin dalam waktu satu detik.

Shin dalam bahaya. Tak ada yang mampu menolongnya. Shin seperti seekor burung yang terkurung di dalam sangkar hitam. Tanpa ada jalan untuk keluar.

Siapa sangka ilmuwan bodoh itu adalah seorang pemberani. Ia tak gentar sedikitpun. Shin malah bertingkah seperti seorang penantang, yang tampak sombong. Shin berdiri tegap, dengan bertolak pinggang. Terdengar suara tawa yang menggema, selanjutnya ia berseru begitu lantang,

"Awan comulonimbus! Kau kurang kerjaan, ya? Hahahaa."

Seluruh tubuh Shin bergetar dalam kegembiraan. Menikmati kesegaran tetesan hujan es yang mengenai kulit. Di tambah badai tornado berembus kencang. Tiupannya membuat Shin terombang-ambing. Shin tak kalah garang. Dirinya bergerak dengan luwes. Kecepatannya mampu menandingi terkaman halilintar yang menyambar kemana-mana. Layaknya seorang penari yang sedang beraksi di atas panggung pertunjukan. 

"Untung saja sayapku ini di lengkapi sensor ultrasonik yang dapat mendeteksi bahaya. Hahahah."

Tepatnya sensor itu menggunakan gelombang suara yang peka terhadap rangsang. Sesuai perintah program agar dapat mengukur jarak antara sayap dan obyek penghalang. Itulah mengapa Shin mampu  terbang dengan refleks, dan sigap. Menghindar dengan lihai sebelum listrik bertegangan tinggi hendak menerjang. Bagai kegesitan seekor lalat yang lolos dari tepukan tangan manusia.

Mendadak di tengah keceriaan ....

Gema suara guntur menggeledek. Lecutan petir terlihat seperti cambuk. Dalam hitungan sekali kedipan mata, kilat berdecit hampir menyentuh wajah Shin.

"O, o." Mata Shin membelalak. Menerima serangan tak terduga.

Seketika tubuh Shin membeku. Ia tak bisa mengelak. Sayapnya juga tak berkutik. Akhirnya Shin memejamkan mata. Walau di bawah tekanan yang mengancam hidup. Shin sudah pasrah pada kematian, dengan ekspresi senyum santai. 

Bukan tanpa alasan Shin bersikap tenang. Baginya rintangan saat sedang bereksperimen itu sudah biasa. Sebab Shin sudah seringkali merasakan bahaya. Sampai beberapa kali hampir merenggut nyawanya. Apalagi setelah kematian ayahnya, Shin selalu siap untuk mati. Tepatnya 12 tahun yang lalu. Kala itu Shin masih berusia 7 tahun. 

"Duaarrrrrr." Listrik menyetrum tubuh Shin. Dentumannya cetar membahana. Kilatan demi kilatan lain menyusul. Hingga akhirnya puluhan aliran listrik mengikat dan menghubungkan tubuh Shin dengan awan comulonimbus. Seolah Shin hilang di telan cahaya yang bersinar menyilaukan. Kendati demikian masih terdengar jeritan kematian yang terdengar. Akan terhenti sampai daging hancur menjadi abu.

"Arrgghh."

Sungguh malang nasib ilmuwan angkuh itu. Entah bodoh atau terlalu sombong membuat ia lupa. Bahwasanya cuaca ekstrim bukanlah lawan yang sepadan untuk manusia.

Kembali ke puncak gunung Rahtawu. Terlihat gadis yang memakai celana pendek. Merenung menghadap awang-awang.  Tubuh langsing Helen terbujur, dengan mata tertutup lengan. Ia menekuk kaki kanannya. Hingga tercetak paha mulus yang menggairahkan. 

"Jans. Jansen!" Sapa gadis itu berulang kali. Jansen tak merespon. Helen menggerutu, "hufftt. Dia pasti tidur lagi?"

Gadis itu menoleh pada Jansen yang sedang melayang. Tampak Jansen menutup mata, dengan embusan nafas yang teratur. Bak seorang pertapa yang sedang melakukan meditasi. Helen menatap Jansen begitu lama. Rasa heran muncul. Selanjutnya ia bergumam,

"Kenapa dia bisa setenang itu? Apakah dia tak berniat untuk menjadi nomor satu?"

"Nomor satu?" sahut Jansen. Perlahan matanya terbuka. Ternyata dirinya mendengar pertanyaaan gadis itu, "Untuk apa Helen?"

Helen beranjak duduk. Raut wajahnya terlihat murung dan gelisah. Seperti sedang menanggung beban berat.

"Dengan nomor satu kau akan mendapat pengakuan dari para God Father. Mereka akan mengagungkan namamu, bukan hanya di university tapi juga ke seluruh Zealandia. Bahkan sampai terdengar ke segala penjuru Eksoplanet," ungkap Helen tegas.

"Hahahhaha. kau mau saja di perbodohi oleh para God Father. Sebenarnya, Aku tak pernah menyukai pemberian peringkat di Heaven University. Karena hal itu hanya akan membatasi pemikiran kita. Orang bodoh akan semakin bodoh. Sedangkan orang pintar akan semakin pintar. Tapi sebenarnya peringkat itu malah akan jadi beban yang harus di pertahankan oleh sang juara. Seperti yang kau alami sekarang," protes Jansen menyimpulkan kekurangan tempat mereka menuntut ilmu.

 "Ta-Tapi--"

Jansen langsung memotong.

"Tapi jika kau sudah menjadi nomor satu. Apa lagi yang akan kau cari Helena Eiffel?"

Pertanyaan Jansen terdengar menusuk. Seakan menjadi belati yang menyayat mental gadis itu, sampai hancur. Helen tertunduk layu, tak menjawab. Dirinya terlihat depresi. Tanpa di sadari, air menetes dari bola mata Helen yang melotot seperti ingin keluar.

"Percuma juga kau berjuang menjadi nomor satu. Jika seiring berjalannya waktu pelakunya berganti. Ilmuwan baru akan dilahirkan. Lalu melengserkan posisimu. Karena kau tau Helen! Kecerdasan itu bukan dilahirkan tapi di kembangkan." Imbuh Jansen menambah.

"Tapi aku juga ingin merasakan nomor 1. Sekali saja. Sekali saja, Jans!" tekan Helen dengan lirih, "selama ini aku ingin di anggap setara dengan Altern. Upaya tanpa rasa lelah telah membuatku menciptakan Fly Ball. Berharap alat ciptaan ku itu dapat bersaing dengan armor titan buatan Altern. Namun, lagi-lagi si bodoh itu malah menciptakan sayap yang lebih canggih. Shin hanya menambah daftar sainganku. Hufftt menyusahkan saja."

"Kalau begitu, kalahkanlah mereka berdua. Setidaknya alasan dan tujuanmu itu lebih terhormat. Bukan karena tuntuntan para God Father. Pemerintah yang malah menjadi sampah masyarakat."

Helen terpaku sadar. Betul juga! Manusia tidak akan pernah kalah, selama masih memiliki otak, batin Helen. Lalu gadis itu menyeka air mata. ia merasa termotivasi. Selain itu ia juga terhibur. Mendengar Jansen mencela para petinggi Zealandia. Menurut Helen, kebencian Jansen mewakili perasaan sebagian penduduk yang menyadari kejahatan para God Father. 

Helen tertawa kecil. Menampilkan wajah imut seorang gadis baik hati. Sangat berbeda, dengan ekspresi dingin yang biasa di tunjukan kepada Shin. Selanjunya, Helen berseru, dengan nada bercanda.

"Jangan terlalu keras! Jika mereka mendengarmu, pasti kau akan di bunuh."

"Ta-tapi benarkan?" jawab Jansen tergagap. takut.

Helen mengangguk percaya. Kemudian ia mendongak. Memandang ruang luas yang terbentang di atas bumi. Rasa gundah perlahan surut.  Nasehat Jansen telah menenangkan hati. Itulah Jansen. Meskipun tubuh besar membuatnya nampak seram. Tapi Jansen bisa menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Terdengar helaan nafas berat, sebelum Helen berkata.

"Kurasa aku harus meningkatkan kreativitas teknologi yang lebih canggih sampai di luar akal sehat manusia." Dengan semringan, gadis itu melepas penat di dadanya.

"Semangat!" seru Jansen mengangkat kepalan tangannya. Selanjutnya ia menambahkan kata-kata motivasi, "Buatlah imajinasimu berjalan liar dengan ide-ide gila. Seperti ilmuwan yang kau anggap bodoh itu. Dia akan terus menciptakan apapun tanpa mempedulikan komentar buruk dari orang lain. Ku rasa dia hanya memikirkan kebebasan untuk berbuat sesuka hatinya. Memang terlihat kurang ajar. Tapi bukankah hidup sesuai dengan keinginan kita, itu akan membuat hati lebih bahagia?"

"Berhentilah membahas si bodoh itu." kesal Helen mendengus kasar. Menurut gadis itu, segala hal cerita tentang Shin seakan merusak moodnya.

"Hahaha. Kenapa?"

"Sebenarnya aku ingin memujinya. Hanya saja tingkahnya itu sangat menyebalkan."

"Hahaha. Kau tau Helen? Jika seorang laki-laki selalu mengganggumu, mungkin karena dia menyukaimu. Atau jangan-jangan dia cemburu melihat kedekatanmu dengan Altern?" pikir Jansen menggoda Helen.

Wajah Helen memerah. Rona malu terpancar. Ia tunduk. Menyembunyikan perasaannya. Seperti ada cinta yang menggebu. Tapi karena keadaan, hati lebih memilih untuk diam.

"Aku curiga kau juga menyukai Shin!" tambah Jansen menebak. "Wow! Cinta segitiga antara ke tiga saudaraku. Hahaha." 

Helen tak menjawab. Ia meremas tinjunya dengan kesal. Lalu Helen beranjak berdiri. Ia memberi isyarat pada Jansen melalui gerakan jari telunjuk.

"Turunlah."

Tawa lelaki bertubuh besar itu sudah hilang, di telan ketakutan. Dirinya terpaksa menuruti perintah Helen. Sebab Jansen sadar akan nasib buruk yang menimpanya. Kemudian Jansen melayang di hadapan Helen. Tatapan Helen terlihat kosong. Wajah datar nan dingin menyeramkan. Menciutkan nyali siapa pun yang melihat. Sehingga Jansen memalingkan wajah takut. 

"Lebih rendah lagi." Helen hendak melakukan sesuatu. Tapi terhalang oleh tinggi Jansen yang mencapai 2,5 meter. Sedang Helen memiliki tinggi 160 meter.

Detak jantung Jansen berdegup cepat. Seiring dengan tubuhnya yang melayang turun.

"Jansen. Tatap mataku!"

"Ti-tidak mau." 

Penolakan Jansen membuat suasana menjadi tegang. Helen melayangkan tangannya. Jansen menutup mata. Meringis ketakutan. Mendadak Helen langsung menerkam pipi tembem Jansen. Jansen merasa risih dengan perlakuan Helen. Tak henti-hentinya tangan Helen meremas, dan menarik seonggok daging lembek tersebut. Hingga raut wajah Jansen berekspresi lucu dan menggemaskan.

Helen berkata, dengan senyum lebar yang menyeringai.

"Padahal aku lebih tua dari mu. Kenapa kamu bisa berfikir lebih dewasa? Gendduutt ...."

"He-hentikan kakak. Nanti Shin melihat kita. Malu tau, udah gede tapi masih di anggap kayak anak kecil." pinta Jansen. Nada Suaranya merengek seperti anak manja. 

"Imutnyaaa ...."

"I-inilah kenapa aku tak suka berdiri di depanmu. To-tolong berhentilah!"

Bagitulah. Jika berhadapan dengan saudara perempuan. Sifat lelaki pasti akan berubah menjadi kekanak-anakan. Walau sebelumnya ia tampak berwibawa dan bijaksana.

Helen tak peduli. Ia terus melanjutkan aktivitasnya. Setelah puas ia mengajak Jansen ke suatu tempat.

"Ayo kita ke holycow. Aku akan mentraktir makan daging sapi kesukaanmu."

"Ta-Tapi Shin?"

Helen melepas cubitannya. Helen mengedarkan pandangannya ke gedung-gedung pencakar langit yang mengelilingi kota Zealandia.

"Mungkin dia ke pusat kota."

Jansen menajamkan sorot matanya ke setiap sudut bangunan yang tingginya melebihi puncak gunung Rahtawu. Tak ada tanda keberadaan Shin.

"Kemana dia? Sudah satu jam berlalu. Kenapa belum juga kembali?" tanya Jansen cemas. Dirinya merasakan firasat buruk.

"Tak perlu mengkhawatirkannya. Kau tau sendiri, kan? Selain bodoh, dia juga sangat sombong. Mungkin dia pergi memamerkan sayap itu ke seluruh benua Eksoplanet." jawab Helen santai. Sembari mengistirahatkan lengannya diatas perut.

"Itu tidak mungkin Helen. Uji coba ini tidak mendapatkan izin. Jika Shin nekat melakukan itu. Dia pasti akan mendapatkan hukuman dari ke 5 God Father." balas Jansen semakin gelisah.

Betul juga, pikir Helen. Kemudian gadis itu mencakupkan tangan kanan ke sudut bibirnya. Lalu ia berseru dengan nada teriak.

"Shiinn! Kau di mana!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status