Share

Awan comulonimbus

Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar.

"Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu.

Tidak mungkin!

"Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika  ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal.

Di sisi lain Jansen melayang  ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin.

"Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki sampai ke batang leher. Hingga yang terlihat hanya kulit wajah yang berwarna sawo matang, dan rambut gimbal di ikat.

"Kenapa kau tak pernah mendengarkan ku? Seharusnya, kau tak terbang lebih jauh. Bagaimana jika terjadi sesuatu?" gerutu Jansen menyayangkan sifat gegabah Shin.

Sudah beberapa menit berlalu. Keadaan dan keberadaan Shin belum jelas. 

Lalu Jansen kembali terbang. Menuju ke belahan gunung yang lain. Saat jansen mendarat. Matanya memicing ke langit yang mendung. Rasa cemas seketika memenuhi rongga dada. Bagitu juga dengan Helen yang mendongak ke hamparan awan gelap gulita. Segera Helen menyimpulkan akan turun hujan.

Sementara di dalam kepulan awan tebal. Sinar matahari tak mampu menembus masuk. 

Di mana Shin?

Tak ada jejak tubuh atau pun sayapnya.

Apakah Shin telah hangus terbakar dan menjadi debu?

Lantaran di dalam awan bercode Cb, hanya terlihat badai hujan yang terionisasi pada awan saling bergesekan. Akibatnya di jantung awan comulus muncul kilatan-kilatan. Menyambar tanpa henti di tempat Shin terakhir kali terlihat.

Mendadak ....

"Hahaha." Terdengar suara tawa menggelegar. Di dalam muatan statis berbentuk petir yang berkumpul pada satu titik.

Siapa?

Shin? 

Bagaimana bisa dia masih hidup di tengah setruman listrik bertegangan tinggi?

"Aaaa ...." Teriak Shin membentangkan sayap. Bersamaan dengan kedua tangan yang merentang. Kibasan sayap itu menangkis serangan halilintar. Membuat arus listrik terputus dari tubuhnya. 

"Seandainya sayap ini tidak melilit tubuhku. Mungkin aku sudah menjadi manusia gosong." papar Shin. Membayangkan sayap yang menghalau, lalu membungkus seluruh tubuhnya. Sehingga sedikitpun kulitnya tak tersengat. Pasalnya, titanium adalah material penangkal petir.

Fonomena alam yang sangat mencekam.

Kalau saja manusia pada umumnya, mengalami tragedi mengerikan seperti itu. Mungkin sudah pasti akan merasa frustasi serta memilih bunuh diri. Sebab tak ada cara meloloskan diri. Bukan hanya itu keberadaan awan comulonimbus  dapat menimbulkan kondisi berbahaya pada rute suatu penerbangan. Jangankan mendekat, pesawat lebih memilih menghindar. Tetapi jika terlanjur terperangkap, dipastikan tidak akan bisa selamat. Shin menyadari akan hal itu. Kendati demikian alih-alih berfikir untuk kembali ke puncak Gunung Rahtawu. Shin malah terdiam sejenak. Mendongakan kepala ke atas seraya berfikir keras. Ekspresi wajahnya tampak serius. Serta lebih waspada kepada sambaran cahaya plasma bergelombang kejut yang tak bisa di prediksi arah datangnya. 

Bagaimana cara keluar dari tempat ini? Ke atas atau ke samping? 

Selang beberapa menit, Shin memutuskan untuk menuju puncak. Dirinya kembali bermanuver. Perlahan tubuhnya terangkat seiring dengan kecepatan turbo jet yang bertambah. 

Suasana bergejolak menjadi tegang.

Sambaran petir berkecepatan 298.000 km/jam. Bermuatan 300 kilovolt.  Semakin mengganas bahkan lebih brutal. Dengan badai hujan es yang menyertainya, kini kian dahsyat. Menindas secara parah. Menerjang dan menghantam menuju titik penghancuran. Sekali salah menghindar maka akan lenyap selamanya. Namun, bukan namanya Shin jika tak berani menantang maut. Dirinya sudah siap mengambil resiko.

Ilmuwan itu tak mau kalah hebat. Shin begitu antusias. Kedua sayapnya juga kokoh dalam bertahan dan menangkis.

Nyaris saja.

Beruntung temperatur udara dingin dapat di manfaatkan oleh mesin turbo jet untuk bergerak  dengan kecepatan Hyper sonic. Tentu peluncuran yang melebihi kecepatan suara itu sangat merugikan Shin. Pasalnya terjadi pergesekan antara kulit dan partikel kimia yang mengambang di udara. Gesekan tersebut menghasilkan panas yang membakar.  Alhasil, kulit Shin terasa terkoyak  dan tulangnya  terasa akan patah.  Shin tersenyum getir, lalu berteriak. Hasratnya terlanjur memanas bagaikan bara api. Membuat Shin begitu gigih dalam menahan rasa sakit. Walau ranselnya juga ikut terguncang. Sebab daya tahan tubuh tak mampu menyesuaikan kekuatan otot dengan laju kibasan kedua sayap yang terbuat dari titanium tersebut. Akibatnya, Shin merasa kewalahan sampai tubuhnya sempoyongan. 

Dengan bermodalkan arogansi yang mengukir aksi menjadi ambisi. Pada akhirnya, Shin mampu menembus lapisan tebal gelap menyeramkan. Dirinya berhasil keluar dengan kondisi selamat.

Sejenak Shin istrahat. Nafasnya terengah-engah. Selanjutnya tersenyum menyeringai. Lalu berteriak sekeras-kerasnya karena saking senangnya. Kenikmatan sensasi ekstrim yang spektakuler membuatnya merasa puas.  

Kemudian Shin mengedarkan pandangannya kesegala penjuru. 

Tiba-tiba ...

Dirinya terperangah kagum penuh haru. Sedikitpun matanya tak berkedip. Memandang momen langka yang terpaut 100 meter. Di mana di sebelah barat terdapat bayangan dirinya, bak malaikat hitam bersayap. Di kelilingi pelangi yang berbentuk lingkaran cincin. Sungguh pemandangan indah dan menawan. Apalagi di tambah dengan pesona awan yang menyerupai jamur raksasa di tengah lembaran putih. Semilir angin berembus, menyibak tubuh Shin yang basah kuyup. Meskipun demikian Shin tak menggigil. Dirinya terpaku menikmati kondisi langit. Sangat tenang, sepi dan juga cerah penuh kedamain seperti dunia yang di inginkannya. Benar-benar berbeda dengan situasi di dalam awan comulonimbus. Seolah mirip dengan kekacauan di Eksoplanet.

"Wow bayangan aureol! Indahnyaa ...."  puji Shin dengan tatapan sayu. Selanjutnya ia berkata, dengan suara gemetar, "Dunia terlalu kejam dan menyimpang. Aku ingin tinggal di tempat ini."

Di sisi lain. Helen sedang menatap jauh kedepan.  Kornea matanya memancarkan sinar kebiruan. Suatu hal yang tak biasa.  Ketika mata itu menyala, Helen dapat menangkap obyek beribu mil jauhnya.  

Wah, indra penglihatan yang lebih khas di banding manusia di planet bumi.

Kok bisa? Teknologi apa lagi yang di gunakan oleh mata tersebut ?

Netra biru terang eloknya merebak. Menatap menembus gedung pencakar langit. Mengarah ke jalan umum Highway yang bertingkat. Melewati alun-alun kota Zealandia. Tampak empat pilar yang  berdiri kokoh, dengan bola kuning yang menyerupai planet saturnus. Berputar-putar di puncaknya.

Lebih jauh lagi, merambah ke Toll Road yang menghubungkan benua Zealandia dan benua Laurasia. Perkiraan jarak sekitar tiga juta killo meter. Tetap saja Helen tak menemukan keberadaan Shin. Kemudian gadis itu melayangkan mata ke langit. Menelusuri  bongkahan awan gelap.

Tiba-tiba ....

Ekspresi Helen berubah seketika. Kelopak matanya membelalak. Helen merasa ngeri. Spontan Helen langsung berteriak histeris.

"S-Shhiinn!"

Alangkah terkejutnya Helen. Menyaksikan raut wajah Shin yang menjadi pucat pasi. Keringat dingin membasahi pipinya. Serta jantung yang meronta-ronta, seakan ingin keluar dari dadanya. 

Sebenarnya apa yang terjadi? 

Bukankah sebelumnya, Shin melayang dengan perasaan yang sangat bahagia?

"Kenapa sabuk ini rusak di waktu yang tidak tepat! Padahal aku ingin memastikan wanita itu peri atau manusia?" teriak Shin. Dirinya sedang menekan-nekan tombol kuning. Apa daya tombol navigasi tersebut seketika tak berfungsi. Shin belum menyerah. Kedua telapak tangannya berkuat. Kedua kakinya berayun-ayun. Menendang angin. Berusaha keras menarik paksa sabuk yang terkunci. Percuma. Tetap tidak bisa terbuka.

Oh tidak! 

Akibatnya, Sayap itu tak bisa di kendalikan dan terus mengepak menuju keluar angkasa. Kepanikan menyelubungi. Selanjutnya Shin berseru dengan nada tergagap,

"A-aku tidak ingin mati di tempat ini ...."

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status