Mereka tiba di sebuah restoran yang berada jauh dari pusat kota. Lebih tepatnya, restoran ini berada di jalan persinggahan. Sengaja mereka memilih tempat itu agar jauh dari tatapan mata yang mungkin akan mengetahui siapa Lunar. "Aku benar-benar minta maaf padamu mengenai pernikahan kita." "Jangan membahasnya lagi." Lunar tidak ingin mendengarkan masalah yang telah membawa dirinya pada kerumitan hidup. Dia saat ini sedang ingin mengatasi kesedihannya tentang Arkan, bukan untuk menambah kesedihannya dengan kejadian lalu. "Aku baru tahu kalau di sini terdapat restoran bagus untuk beristirahat," ucap Lunar sembari terkesima memandangi sekeliling. "Terkadang aku mampir ke mari untuk beristirahat dari perjalanan bisnis." Lunar menganggukkan kepala sambil mengurai senyuman. Dia hampir saja lupa kalau pria yang akan menikahinya ini adalah seorang pria kaya juga. Namun, dia baru tahu kalau Nico tidak memiliki masalah jika berada di lingkungan sederhana begini. "Kau ingin berkeliling sebe
"Apa? Piknik?" Suara Arkan seolah sedang tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan barusan. "Jadi, itu hal penting yang kau maksud?" Lunar menganggukkan kepala. "Aku ingin pergi ke tempat yang jauh bersamamu." "Bersamaku?" "Ya. Hanya kita berdua." Tidak mendengar jawaban membuat Lunar kembali berkata, "Apa ... tidak bisa? Kau memiliki jadwal pada saat itu? Atau, kau akan pergi bersama Raya?" "Tidak. Aku hanya berpikir kalau kita akan pergi berdua saja." "Kau tidak suka?" "Aku sangat suka. Tapi ke mana tempat jauh yang kau maksud?" *** Seperti rencana yang telah disusun oleh Lunar, mereka pergi piknik ke suatu daerah. Tempat piknik itu sangat tinggi dan melelahkan. Arkan saja rasanya tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan mereka. Lunar menolehkan kepala dan senyumannya kian mengembang. "Sebentar lagi kita akan sampai. Ayo, cepat!" "Orang-orang akan duduk di atas karpet dengan sajian makanan sambil menikmati keindahan alam. Tapi piknik ini jauh berbeda dari bayanganku,"
Tidak adanya respons membuat Rian menoleh. Dia sangat terkejut dengan pemandangan yang dilihat. Napasnya dihela singkat dengan mata yang tidak lagi mengarah pada tubuh Arkan, lambat-lambat dia memutarkan tubuh pula. Mandi bersama pria tidak seharusnya membuat dia khawatir. "Dia sangat jutek, bahkan setelah kami bertahun menikah. Untuk itu aku membawanya mendaki agar aku bisa mengungkapkan perasaan padanya. Aku rasa ... dia tidak cukup puas denganku." Rian menyambung perkataannya. Kini Arkan yang menghela napas singkat. Dia melirik ke bawah, menilai sesuatu yang bertumpu di sana. "Apa kau berpikir kalau istrimu tidak puas dengan ukuranmu? Hey, Bro! Itu sudah cukup besar. Mungkin ada hal lain yang membuat istrimu bersikap dingin. Coba bicarakan baik-baik padanya." "Benarkah?" Arkan meletakkan sabun di tepi bak mandi. "Lunar adalah wanita yang baik, tapi kadang kala membuatku kesal dengan sikapnya. Dia sangat cerewet untuk hal-hal tertentu. Kami akan bertengkar untuk sesuatu yang keci
"Ibu, Royal Grey adalah perusahaan besar. Sudah pasti jika Arkan sangat sibuk. Lagi pula, kita mengabari secara mendadak," ucap Sora. "Apa maksudmu kita harus membuat jadwal pertemuan terlebih dahulu baru bisa bertemu? Bagaimana bisa pada keluarga sendiri begitu?" "Sudahlah, Ibu. Ayo kita rayakan saja ulang tahunku." Mereka merayakan hari ulang tahun dengan gembira. Kebersamaan itu adalah apa yang dirindukan Lunar selama berada jauh dari keluarganya. Momen ini adalah penantian panjang yang sangat berharga. Usai pesta kecil-kecilan itu semua orang tertidur kecuali Lunar. Selain itu, Nico juga masih terbuka lebar matanya. Sekarang sudah sangat malam dan sebaiknya dia mengantarkan Nico keluar sebelum waktu semakin larut. "Aku ingin bercerita banyak denganmu, tapi waktu sepertinya tidak mengizinkan. Apa kita bisa bertemu lagi setelah ini?" Lunar menganggukkan kepala. "Jika waktu mengizinkan." Nico tersenyum tipis. "Selamat malam, Lunar. Aku berharap kau memimpikanku." Lunar tidak m
Mobil hitam baru saja parkir di depan gedung apartemen. Arkan mengunjungi tempat tinggalnya itu berharap bisa bertemu dengan Lunar. Biar bagaimana pun mereka perlu bicara sebelum benar-benar berpisah. Dia memanggil dan mencari-cari keberadaan Lunar. Semua barang tertata rapi seperti biasa. Dia tidak melihat kalau ada barang yang dibawa. Apa wanita itu tidak kembali setelah dia berbicara dengan orangtuanya Lunar? Arkan duduk di tangga, lalu mengeluarkan ponsel. Dia mencoba untuk menghubungi Lunar, akan tetapi tidak terhubung sama sekali. Bisa dikatakan kalau nomor yang dia hubungi tidak terdaftar. Sepertinya Lunar mengganti nomor. Tepat pada saat itu pintu apartemen terbuka. Harapannya untuk bertemu Lunar bangkit. Dia menghamburkan diri untuk segera bertemu dengan wajah yang ada di dalam ingatan. Benar saja kalau Lunar memang ada di hadapan. Dia tidak mimpi kalau mereka akan bertemu kembali. Tadi hampir saja dia kehilangan akal bagaimana cara agar mereka bisa saling berbicara. Dia t
Arkan tersenyum. "Ceritanya sangat panjang. Ayo, turun. Aku tidak punya banyak waktu." Keluar dari gunung, mereka yang biasanya berbeda arah, kali ini Rian berniat untuk menumpang. Arkan tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka berpisah saat Rian sampai di tujuan. Di sana terdapat sebuah pasar kecil yang menjual banyak barang dan bahan makanan. Orang-orang di sana menyebutnya sebagai pasar tradisional. Rian menutup pintu kabin, lalu dia berkata, "Istriku menginginkan sesuatu dari pasar ini. Jadi, aku akan pergi membelinya." "Hari-harimu sebagai ayah pasti sangat sulit." Rian tersenyum. "Sulit dan menyenangkan. Ah! Jika kau mendaki gunung, untuk selanjutnya mungkin kau tidak akan melihatku. Aku harus menemani istriku mengurus bayi kecil kami." Arkan menganggukkan kepala. "Apa kau yakin akan pulang sendiri dari sini? Aku bisa mengantarkanmu." "Terima kasih. Tapi tidak perlu. Aku akan lama di pasar," ucap Rian sambil terus melangkah mundur. Dia melambaikan tangan sebelum membalikkan b
Pertanyaan yang begitu mendadak membuat Lunar terdiam lama. Dia jadi memikirkan apa yang terjadi padanya di luar negeri. Selama menjauh dari Arkan, dia sempat menjalin hubungan dengan beberapa orang pria. Tidak ada yang bertahan lama karena memang dia hanya menerima tanpa bisa memberikan hatinya. "Apa pernikahanmu dengan Raya berjalan lancar?" Arkan masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan tadi, tetapi dia memilih untuk tidak terburu-buru. "Kami tidak menikah. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami sebelum terlambat. Kalau kau menanyakan alasannya, karena aku menyadari perasaan yang aku miliki padamu. Memang sangat terlambat dan aku sudah bertekad untuk menyatakan perasaanku padamu suatu hari nanti." Lunar mengambil gelas dingin yang ada di atas meja, lalu menghirup isinya. Saat ini dia berpikir lama mengenai bagaimana harus menghadapi Arkan. Apalagi secara tidak langsung dia menerima pernyataan cinta dari pria yang menjadi suaminya dulu. "Bagaimana denganmu? Kau bena
Lunar menyeka keringatnya dengan tisu, sedangkan penampilannya masih berantakan akibat ulah Arkan yang tidak main-main ingin memuaskannya di dalam mobil. Bukan berarti dia tidak ingin, tetapi dia tidak habis pikir mereka akan melakukannya secepat itu sesaat dia menerima Arkan. Arkan tersenyum melihat istrinya tampak kewalahan. "Aku tidak bisa menahan diri. Selama kau pergi hanya bayanganmu saja yang menemaniku. Saat pertama kali kita bertemu lagi, aku sangat ingin mendekapmu dalam waktu lama, tapi kau pergi meninggalkanku begitu saja. Tentu ini bukan salahmu." Arkan meraih tangan istrinya, lalu mengecupnya, "Semua murni kesalahanku yang terlambat menyadari kalau aku begitu mencintaimu." "Sejak kapan kau menyadarinya?" Arkan mengusap kepalanya sendiri seolah mencoba mengingat saat-saat itu kembali. "Sejak kau mengatakan bahwa pernikahan kita tidak berlangsung lama lagi. Semua terasa janggal pada saat itu. Aku juga memiliki ketakutan bahwa kau akan hidup bersama pria lain dan melupak