Share

Fall For Her
Fall For Her
Author: Sastra Stone

Bab 1. Kenangan Tentangnya

Suatu pagi di sebuah taman luas, terhampar kehijauan dan warna-warni bunga, serta birunya langit yang memanjakan mata, terdapat seorang pria berparas elok yang duduk di bangku panjang yang terbuat dari besi bercat putih. Dia tampak begitu larut dalam isi buku yang sedang dibaca. 

Tiba-tiba sepasang tangan berkulit putih menutup kedua mata pria itu. Sontak sosok dengan buku di tangan itu terkejut, tetapi garis bibirnya melengkungkan senyuman. "Clarie!" desisnya.

Perempuan pemilik tangan itu terkekeh melihat keusilannya sendiri. Setelah melepaskan tangannya dari wajah pria itu, dia duduk di sebelah sang pria yang merupakan tunangannya. Dengan santai, dia sandarkan kepala pada pundak sang kekasih. Sementara kedua tangannya memeluk lembut lengan kiri pasangannya.

"Aku mencintaimu. Kamu tahu, kan?" bisik 

pria itu seraya mengecup puncak kening sang perempuan.

Namun, perempuan berambut lurus panjang itu tak menjawab. Dia hanya tersenyum. 

Menyadari tak ada jawaban yang terdengar, pria itu mengubah posisi agar dapat menatap kedua iris sang pujaan hati. Senyum manis perempuan yang disapa Clarie itu terlihat jelas penuh kebahagiaan, tetapi kalimat yang menyertainya jauh dari apa yang pria itu harapkan. 

"Aku juga mencintaimu, Sayang. Tapi aku lebih mencintai mimpi-mimpiku," terangnya.

"Apa maksudmu?" tanya pria itu tak percaya.

"Aku harus pergi mengejar mimpiku. Pertunangan kita harus dibatalkan." Kata demi kata yang perempuan cantik itu ucapkan serasa mencekik leher pria bermata hitam tersebut. Seketika napasnya tercekat dan keringat dingin mulai bercucuran. Tubuhnya menggeliat tak tentu arah mencari jalan agar udara dapat masuk untuknya bernapas.

Dia memohon agar tetap hidup, lalu sesuatu menyentak jiwanya kembali pada kesadaran. Kedua mata itu kini terbelalak. Menangkap warna di sekitarnya yang temaram tanpa nyala lampu utama. Tubuhnya yang sempat menegang, kini setiap uratnya berangsur-angsur mengendur. Napas pria itu lambat laun kembali normal. Rupanya dia hanya bermimpi.

Pria yang terbangun dari tidurnya itu bernama Adam Harun Saguna. Dia adalah salah seorang pewaris dari perusahaan multinasional AS Corp milik keluarga Saguna. Salah satu keluarga terpandang di Indonesia. Meski dalam gelap, siluet wajah Adam masih dapat dikagumi. Komposisi kening, ujung hidung, lekukan bibir, hingga dagunya terlihat apik tergurat. 

Jika sudah terbangun seperti ini, Adam akan sulit tertidur kembali. Terlebih setelah mengalami mimpi buruk semacam itu. Dia tak lagi berbaring, lalu menyingkap selimut tebal dari atas tubuh. Kedua kaki telah menyentuh lantai kayu, kemudian berjalan mendekati pintu kaca yang memisahkan bilik itu dari dunia luar.

Adam menggeser pintu perlahan. Tirai kain mulai menari-nari tertiup angin. Kepala menoleh ke belakang. Mengamati angka pada jam digital yang berpendar dalam gelap kamar. Malam akan berganti tanggal sepuluh menit lagi. Masih ada waktu panjang untuk istirahat, tetapi isi kepala pria yang memakai setelan piama biru tua itu tak mengizinkan dirinya untuk kembali terlelap. 

'Percuma! Nggak akan bisa tidur lagi!' keluh Adam dalam batin.

Kota besar seperti Jakarta tak bisa dihentikan oleh gelap malam sekalipun. Teramati dari lantai dua puluh tempatnya berdiri, jalan raya di kejauhan selarut ini masih ramai dilintasi kendaraan. Angin kali ini tak sungkan menyerbu balkon apartemennya. Membuat kedua lengan pria dengan tinggi 175 sentimeter itu memeluk tubuh untuk menghangatkan. Dia berdiri malas bersandar pada sisi pintu.

Teringat olehnya undangan seorang kawan siang ini melalui sambungan telepon, "ada party di rumahku, Dam. Ayo, ikut! Sudah lama kamu nggak gabung sama kita-kita."

"Maaf, besok pagi ada meeting penting. Kalau ikut party bisa-bisa aku nggak pulang semalaman," ujar Adam.

"Ah, kamu mulai nggak asyik, Dam," gerutu seseorang itu.

Adam hanya menjawab dengan tawa kecil.

"Kalau diingat-ingat, kamu mulai menjauh sejak Clarissa pergi. Jangan begitu, Dam! Terlalu panjang antrean perempuan yang siap jadi pasanganmu. Lupakan dia! Buka hatimu untuk yang baru!" Terdengar suara di seberang menggurui.

Sudah sering Adam menerima ceramah senada. Tak pernah ada jawaban khusus darinya yang mengiakan atau menolak. Pria itu hanya memilih tersenyum dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Jika ini disebut pelarian, Adam tak punya pilihan lain. 

Clarissa Johnson, perempuan keturunan Indonesia-Irlandia itu sudah Adam kenal saat kuliah S2 di Amerika. Ketertarikan di antara mereka tak dapat disembunyikan. Bahkan tanpa ada pernyataan cinta, hubungan mereka berkembang melebihi persahabatan. Saat teman-teman bertanya apakah mereka berpacaran, baik Clarissa maupun Adam hanya menjawab lugas, "Iya." Lalu jalinan kasih itu tetap bertahan hingga mereka mengambil gelar master untuk kali kedua di bidang keilmuan yang berbeda.

Saat mereka kembali ke tanah air, kedua keluarga bertemu. Tak ada pihak yang menolak hubungan itu. Sehingga dalam waktu singkat, acara pertunangan pun digelar. Mereka bahagia, bahkan semua pun bahagia. Tanggal dan bulan pernikahan sudah ditetapkan. 

Meskipun masih harus menunggu dua tahun lagi, mereka tetap setia bersama hingga dipersatukan untuk selamanya. Namun, siapa yang menyangka sebuah email datang dan membuat Clarissa menjadikan rencana tinggallah rencana.

"Sayang, kamu masih ingat nggak, apa mimpiku?" goda Clarissa.

"Menikahiku?" jawab Adam ringan tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptop yang sedang menyala.

"Ih … aku serius," rajuk Clarissa. Kedua tangannya kini terlipat di dada dan menunjukkan bibir yang mengerucut.

Adam merasa geli melirik tingkah tunangannya itu. Lalu perhatiannya beralih pada wajah cantik yang tengah merajuk. Dengan tatapan lembut, pria itu menyunggingkan senyum dan berkata, "tentu saja aku ingat. Kamu mengagumi karya-karya seorang Marco de Vincenzo. Dan kamu bermimpi suatu saat bisa bekerja sama dengannya. Aku benar, kan?"

Clarissa mengubah ekspresi wajah cemberut menjadi semringah. Lalu meraih kedua tangan Adam dan mengembangkan senyuman yang jauh lebih manis dari sebelumnya. 

"Mimpiku jadi kenyataan, Sayang!" Clarissa menampilkan wajah penuh semangat mendekati wajah kekasihnya.

Sebaliknya, Adam justru tidak mampu segera menangkap maksud perempuan yang berapi-api di hadapannya. Dengan gelengan kecil disertai pangkal alis yang hampir bertaut, Adam memicingkan mata ke arah Clarissa.

"Maksudnya?"

"Marco suka dengan portofolio yang kukirimkan," jawab Clarissa. "Jadi dia menawarkan pekerjaan untukku di Milan. Di Milan, Sayang. Kamu percaya itu? Wah … aku benar-benar merasa beruntung."

Selama Clarissa menerangkan situasinya, Adam mulai memahami. Akan tetapi, ada yang membuat hatinya gusar.

"Kamu menerima tawaran itu?" tanya Adam ragu-ragu.

"Tentu saja, iya," tuturnya singkat.

"Kamu memutuskan hal itu tanpa berdiskusi denganku?" Pria itu mulai berbicara dengan wajah serius.

"Hah?" Clarissa tertegun dengan pertanyaan Adam.

Kini dua insan itu saling menatap. Ada atmosfer ketegangan di udara dan terjadi keheningan untuk beberapa saat. Tak ada yang bersuara.

Clarissa mendeteksi kekecewaan Adam. Seperti seorang pencuri yang tertangkap basah, perempuan itu merapikan rambut panjangnya di sisi telinga. Dia gugup dan jadi salah tingkah.

Tanpa kata-kata, Adam berdiri dan meninggalkan sang tunangan yang tak diberi kesempatan menjelaskan. Dia berjalan menuju kamar mandi. Pintu tertutup keras.

Perempuan itu bangkit dan berjalan mendekati pintu kamar mandi. Dia berdiri dalam gelisah. Antara ingin mengetuk benda segi empat itu atau tidak.

"Sayang … kamu marah, ya?" tanya Clarissa dari balik pintu.

Sementara itu, Adam duduk terdiam di tepian bak mandi putih. Dia termenung menenangkan diri. Tak menjawab tanya Clarissa dari luar sana.

"Sayang, buka pintunya, dong," pinta sang kekasih. "Iya, aku salah. Maafin aku, ya," imbuhnya.

Kepala Adam saat ini disesaki berbagai kemungkinan pasca keputusan Clarissa menerima tawaran kerja dari Marco. Setelah cukup tenang dan merasa mampu berbicara baik-baik dengan perempuan di balik pintu itu, kemudian Adam membuka pintu.

Kedua pasang mata itu kembali saling beradu. Clarissa meraih lengan Adam dan memandang sendu.

"Baiklah, apa kita bisa berbicara sekarang?" tegas perempuan itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elang Wicaksono
Aku hadir di sini ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status