Suatu pagi di sebuah taman luas, terhampar kehijauan dan warna-warni bunga, serta birunya langit yang memanjakan mata, terdapat seorang pria berparas elok yang duduk di bangku panjang yang terbuat dari besi bercat putih. Dia tampak begitu larut dalam isi buku yang sedang dibaca.
Tiba-tiba sepasang tangan berkulit putih menutup kedua mata pria itu. Sontak sosok dengan buku di tangan itu terkejut, tetapi garis bibirnya melengkungkan senyuman. "Clarie!" desisnya.
Perempuan pemilik tangan itu terkekeh melihat keusilannya sendiri. Setelah melepaskan tangannya dari wajah pria itu, dia duduk di sebelah sang pria yang merupakan tunangannya. Dengan santai, dia sandarkan kepala pada pundak sang kekasih. Sementara kedua tangannya memeluk lembut lengan kiri pasangannya.
"Aku mencintaimu. Kamu tahu, kan?" bisik
pria itu seraya mengecup puncak kening sang perempuan.
Namun, perempuan berambut lurus panjang itu tak menjawab. Dia hanya tersenyum.
Menyadari tak ada jawaban yang terdengar, pria itu mengubah posisi agar dapat menatap kedua iris sang pujaan hati. Senyum manis perempuan yang disapa Clarie itu terlihat jelas penuh kebahagiaan, tetapi kalimat yang menyertainya jauh dari apa yang pria itu harapkan.
"Aku juga mencintaimu, Sayang. Tapi aku lebih mencintai mimpi-mimpiku," terangnya.
"Apa maksudmu?" tanya pria itu tak percaya.
"Aku harus pergi mengejar mimpiku. Pertunangan kita harus dibatalkan." Kata demi kata yang perempuan cantik itu ucapkan serasa mencekik leher pria bermata hitam tersebut. Seketika napasnya tercekat dan keringat dingin mulai bercucuran. Tubuhnya menggeliat tak tentu arah mencari jalan agar udara dapat masuk untuknya bernapas.
Dia memohon agar tetap hidup, lalu sesuatu menyentak jiwanya kembali pada kesadaran. Kedua mata itu kini terbelalak. Menangkap warna di sekitarnya yang temaram tanpa nyala lampu utama. Tubuhnya yang sempat menegang, kini setiap uratnya berangsur-angsur mengendur. Napas pria itu lambat laun kembali normal. Rupanya dia hanya bermimpi.
Pria yang terbangun dari tidurnya itu bernama Adam Harun Saguna. Dia adalah salah seorang pewaris dari perusahaan multinasional AS Corp milik keluarga Saguna. Salah satu keluarga terpandang di Indonesia. Meski dalam gelap, siluet wajah Adam masih dapat dikagumi. Komposisi kening, ujung hidung, lekukan bibir, hingga dagunya terlihat apik tergurat.
Jika sudah terbangun seperti ini, Adam akan sulit tertidur kembali. Terlebih setelah mengalami mimpi buruk semacam itu. Dia tak lagi berbaring, lalu menyingkap selimut tebal dari atas tubuh. Kedua kaki telah menyentuh lantai kayu, kemudian berjalan mendekati pintu kaca yang memisahkan bilik itu dari dunia luar.
Adam menggeser pintu perlahan. Tirai kain mulai menari-nari tertiup angin. Kepala menoleh ke belakang. Mengamati angka pada jam digital yang berpendar dalam gelap kamar. Malam akan berganti tanggal sepuluh menit lagi. Masih ada waktu panjang untuk istirahat, tetapi isi kepala pria yang memakai setelan piama biru tua itu tak mengizinkan dirinya untuk kembali terlelap.
'Percuma! Nggak akan bisa tidur lagi!' keluh Adam dalam batin.
Kota besar seperti Jakarta tak bisa dihentikan oleh gelap malam sekalipun. Teramati dari lantai dua puluh tempatnya berdiri, jalan raya di kejauhan selarut ini masih ramai dilintasi kendaraan. Angin kali ini tak sungkan menyerbu balkon apartemennya. Membuat kedua lengan pria dengan tinggi 175 sentimeter itu memeluk tubuh untuk menghangatkan. Dia berdiri malas bersandar pada sisi pintu.
Teringat olehnya undangan seorang kawan siang ini melalui sambungan telepon, "ada party di rumahku, Dam. Ayo, ikut! Sudah lama kamu nggak gabung sama kita-kita."
"Maaf, besok pagi ada meeting penting. Kalau ikut party bisa-bisa aku nggak pulang semalaman," ujar Adam.
"Ah, kamu mulai nggak asyik, Dam," gerutu seseorang itu.
Adam hanya menjawab dengan tawa kecil.
"Kalau diingat-ingat, kamu mulai menjauh sejak Clarissa pergi. Jangan begitu, Dam! Terlalu panjang antrean perempuan yang siap jadi pasanganmu. Lupakan dia! Buka hatimu untuk yang baru!" Terdengar suara di seberang menggurui.
Sudah sering Adam menerima ceramah senada. Tak pernah ada jawaban khusus darinya yang mengiakan atau menolak. Pria itu hanya memilih tersenyum dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Jika ini disebut pelarian, Adam tak punya pilihan lain.
Clarissa Johnson, perempuan keturunan Indonesia-Irlandia itu sudah Adam kenal saat kuliah S2 di Amerika. Ketertarikan di antara mereka tak dapat disembunyikan. Bahkan tanpa ada pernyataan cinta, hubungan mereka berkembang melebihi persahabatan. Saat teman-teman bertanya apakah mereka berpacaran, baik Clarissa maupun Adam hanya menjawab lugas, "Iya." Lalu jalinan kasih itu tetap bertahan hingga mereka mengambil gelar master untuk kali kedua di bidang keilmuan yang berbeda.
Saat mereka kembali ke tanah air, kedua keluarga bertemu. Tak ada pihak yang menolak hubungan itu. Sehingga dalam waktu singkat, acara pertunangan pun digelar. Mereka bahagia, bahkan semua pun bahagia. Tanggal dan bulan pernikahan sudah ditetapkan.
Meskipun masih harus menunggu dua tahun lagi, mereka tetap setia bersama hingga dipersatukan untuk selamanya. Namun, siapa yang menyangka sebuah email datang dan membuat Clarissa menjadikan rencana tinggallah rencana.
"Sayang, kamu masih ingat nggak, apa mimpiku?" goda Clarissa.
"Menikahiku?" jawab Adam ringan tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptop yang sedang menyala.
"Ih … aku serius," rajuk Clarissa. Kedua tangannya kini terlipat di dada dan menunjukkan bibir yang mengerucut.
Adam merasa geli melirik tingkah tunangannya itu. Lalu perhatiannya beralih pada wajah cantik yang tengah merajuk. Dengan tatapan lembut, pria itu menyunggingkan senyum dan berkata, "tentu saja aku ingat. Kamu mengagumi karya-karya seorang Marco de Vincenzo. Dan kamu bermimpi suatu saat bisa bekerja sama dengannya. Aku benar, kan?"
Clarissa mengubah ekspresi wajah cemberut menjadi semringah. Lalu meraih kedua tangan Adam dan mengembangkan senyuman yang jauh lebih manis dari sebelumnya.
"Mimpiku jadi kenyataan, Sayang!" Clarissa menampilkan wajah penuh semangat mendekati wajah kekasihnya.
Sebaliknya, Adam justru tidak mampu segera menangkap maksud perempuan yang berapi-api di hadapannya. Dengan gelengan kecil disertai pangkal alis yang hampir bertaut, Adam memicingkan mata ke arah Clarissa.
"Maksudnya?"
"Marco suka dengan portofolio yang kukirimkan," jawab Clarissa. "Jadi dia menawarkan pekerjaan untukku di Milan. Di Milan, Sayang. Kamu percaya itu? Wah … aku benar-benar merasa beruntung."
Selama Clarissa menerangkan situasinya, Adam mulai memahami. Akan tetapi, ada yang membuat hatinya gusar.
"Kamu menerima tawaran itu?" tanya Adam ragu-ragu.
"Tentu saja, iya," tuturnya singkat.
"Kamu memutuskan hal itu tanpa berdiskusi denganku?" Pria itu mulai berbicara dengan wajah serius.
"Hah?" Clarissa tertegun dengan pertanyaan Adam.
Kini dua insan itu saling menatap. Ada atmosfer ketegangan di udara dan terjadi keheningan untuk beberapa saat. Tak ada yang bersuara.
Clarissa mendeteksi kekecewaan Adam. Seperti seorang pencuri yang tertangkap basah, perempuan itu merapikan rambut panjangnya di sisi telinga. Dia gugup dan jadi salah tingkah.
Tanpa kata-kata, Adam berdiri dan meninggalkan sang tunangan yang tak diberi kesempatan menjelaskan. Dia berjalan menuju kamar mandi. Pintu tertutup keras.
Perempuan itu bangkit dan berjalan mendekati pintu kamar mandi. Dia berdiri dalam gelisah. Antara ingin mengetuk benda segi empat itu atau tidak.
"Sayang … kamu marah, ya?" tanya Clarissa dari balik pintu.
Sementara itu, Adam duduk terdiam di tepian bak mandi putih. Dia termenung menenangkan diri. Tak menjawab tanya Clarissa dari luar sana.
"Sayang, buka pintunya, dong," pinta sang kekasih. "Iya, aku salah. Maafin aku, ya," imbuhnya.
Kepala Adam saat ini disesaki berbagai kemungkinan pasca keputusan Clarissa menerima tawaran kerja dari Marco. Setelah cukup tenang dan merasa mampu berbicara baik-baik dengan perempuan di balik pintu itu, kemudian Adam membuka pintu.
Kedua pasang mata itu kembali saling beradu. Clarissa meraih lengan Adam dan memandang sendu.
"Baiklah, apa kita bisa berbicara sekarang?" tegas perempuan itu.
Clarissa dan Adam telah duduk berdampingan pada sebuah sofa panjang. Kedua mata pria itu menatap tajam ke kedua mata cantiknya. Jika Adam tak juga kunjung bersuara, itu tandanya Clarissa harus memulai pembicaraan."Sayang, hanya kamu yang paling tahu betapa pentingnya tawaran pekerjaan ini bagi karirku," terang Clarissa. Melihat Adam yang masih membisu, gadis muda itu kembali melanjutkan perkataannya. "Aku tak punya banyak waktu untuk mendiskusikannya dulu denganmu," kilahnya."Bahkan telepon pun nggak sempat?" potong Adam."Email itu datang pagi ini, dan ….""Dan kamu segera menerimanya?" desak Adam."Iya, tapi ….""Itu artinya kamu yang nggak pernah ingat aku. Keputusan sebesar ini dan kamu seketika itu langsung menerimanya," tandas Adam.Mendengar perkataan Adam, Clarissa mengernyitkan dahi dan bersiap mencurahkan isi hatinya. "Kok, kamu nuduhnya gitu? Ini seharusnya bukan hal besar. Karena kita baru sebatas ber
Nada sambung itu masih terdengar belasan kali hingga akhirnya suara seorang perempuan menjawab.[Adam] panggilnya."Iya, Bu. Kata Hassan, Ibu mencariku," ujar Adam.[Dam, ibu nggak pernah protes, ya, kalau ibu cuma dikasih satu nomor ini. Tapi pastikan nomor kamu itu selalu aktif. Masa ini harus hubungi Hassan dulu buat nyariin kamu?! Sepertinya asistenmu itu lebih berharga daripada ibumu ini] rajuk Nyonya Wursita."Ya, enggaklah, Bu. Nomor yang Hassan punya itu untuk pekerjaan. Justru ini yang nomor pribadi. Jadi semalam hapenya low-bat sampe mati. Pas di-charge lupa ngaktifin. Ini baru dinyalain. Maaf, ya, Ibuku sayang" ujar Adam mengiba.[Ya, sudah. Jangan ulangi lagi! Ibu selalu was-was kalau nggak bisa ngehubungi kamu. Ibu jadi khawatir. Kamu tahu itu, kan?] resah Nyonya Wursita."Iya, Bu. Maaf. Kemarin seharian meeting, jadi lupa charge hape," Kembali Adam meminta pengampunan.[Ibu maafkan kalau kamu datang ke Menteng malam ini.
Suasana yang semula hangat terasa mengalami pergeseran. "Jadi, kapan kamu bawa calon mantu untuk ibu, Dam?" tanya Nyonya Wursita dengan wajah serius.Terpaksa Adam mengulas senyum untuk menenangkan perempuan paruh baya itu. "Pasti, Bu. Aku ini kan ganteng. Ibu mau mantu yang seperti apa? Biar aku pilihkan buat Ibu," seloroh Adam."Eh, ibu ini serius, ya." Candaan Adam menjadi tak ada artinya.Wajah Adam menunjukkan ekspresi keheranan. Sementara Tuan Adyaksa menilai suasana akan tidak terkendali jika membiarkan Nyonya Wursita meneruskan topik tentang menantu."Hei, kalian ibu dan anak, apa tidak lapar? Mari kita makan dulu!" ajak Tuan Adyaksa seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah meja makan."Baiklah kita makan dulu. Kamu pasti belum makan, Nak. Ayo!" ajak Nyonya Wursita menggandeng lengan anaknya dan bersama melangkah menuju tempat mereka akan makan bersama.Selain mereka bertiga, terdapat dua orang pelayan yang berdiri tak
Adam sudah mempersiapkan diri mendengar pertanyaan sang ibu. Dengan tenang dia menjawab, "Aku terlalu sibuk, Bu. Mana ada yang mau pacaran sama orang yang nggak punya waktu buat mesra-mesraan," terang Adam lalu memamerkan senyum manisnya."Dam, apa kamu masih memikirkan Clarissa?" tanya Nyonya Wursita dengan nada curiga.Pria itu menjadi salah tingkah dan menjawab, "Sedang mengusahakan, Bu.""Ndak bisa, Dam! Ini ndak baik bagimu. Seharusnya kamu lebih dari berusaha. Sudah tiga tahun berlalu. Mantanmu itu sudah berada entah di mana dan bahagia. Lha … kamu? Masih saja menyimpan barang-barang darinya. Kapan kamu bisa melupakan dia kalau begitu caranya?" sembur perempuan itu menceramahi sang putra.Adam teringat barang yang sang ibu maksud memang masih ada di kamar miliknya."Ibu bisa membuangnya," timpal Adam."Oh, ndak! Harus kamu yang nyingkirin semua itu. Ibu ngajarin kamu buat jadi lelaki yang tegas, bagas, tapi ndak bringas. K
Lift berhenti di lantai enam. Semua yang berada di dalam ruang kecil itu keluar bersama dengan Adam. Hanya Adam yang melangkah sendiri, sementara yang lain ada yang berpasangan atau bersama teman, mungkin juga bersama keluarga. Sebelum masuk pintu kaca, pengunjung akan disambut beberapa poster film yang tengah tayang. Dua di antaranya adalah film Hollywood, "Mission: Impossible 5" dan "Star Wars: The Force Awakens". Lalu dua lainnya film asal Indonesia, "Retroaktif: Single Part 1" dan "Bulan Terbelah di Langit Amerika." Namun, Adam memilih film dengan poster yang memakai wajah komika Raditya Dika sebagai fokus utama. Pria itu sedang tak ingin berpikir terlalu berat. Dia ingin tertawa dan terbawa oleh kekonyolan pemain karena alur ceritanya. Itulah yang Adam harapkan. Tangan Adam bebas. Tak seperti tangan pengunjung lain yang disibukkan oleh laya
Perempuan itu mendengar Adam berkata kecurigaannya tentang bilik elevator yang mengalami gangguan. Kemudian perempuan itu beringsut ke sudut ruangan. Dengan nada suara dan tatapan mata yang diliputi rasa takut dia bertanya, "Macet?"Sebelum sempat Adam jawab, lampu lift itu berkedip-kedip dan sempat mati bersamaan saat terjadi guncangan kembali. Kali ini kotak pengangkut manusia itu seperti jatuh tanpa kendali. Sejenak mereka merasakan seolah-olah tanpa gravitasi."Aarrgghh …!" Perempuan itu berteriak.Kemudian lift itu kembali berhenti disertai suara seperti benturan yang keras. Adam menahan emosi untuk tetap tenang dalam situasi genting itu. Angka masih menunjukkan lantai empat dan tanda panah tidak tampak. Adam menekan berkali-kali tombol yang berfungsi untuk membuka pintu, tetapi tidak terjadi perubahan.Adam segera menekan tombol darurat untuk berkomunikasi dengan petugas di luar sana. "Halo! Halo! Ada orang di sana? Ada yang mendengar suara s
Adam mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan kursi yang keras. Dia berpikir bagaimana dia nanti harus mengisi formulir data pasien atas nama perempuan yang terjebak bersamanya di dalam lift tadi. 'Ah, sudahlah. Kalau dia tak juga pulang, mungkin nanti akan ada keluarganya yang menghubungi dia,' pikirnya.Kemudian dia memasukkan lagi benda-benda yang telah dikeluarkan kembali ke dalam tas kecil itu. Setelah itu dia berjalan menuju tempat administrasi sebagaimana yang perawat tadi tunjukkan. Hanya ada seorang petugas di sana yang Adam temui."Permisi, Sus. Saya diminta untuk mengisi data pasien yang baru masuk," ucap Adam."Oh, mbak yang pingsan tadi, ya, Pak?" tanya orang itu menegaskan."Iya, betul." Segera petugas itu mengambil selembar kertas dan sebuah pena, lalu diserahkan kepada Adam untuk diisi. Setelah membaca sekilas data yang diminta, Adam memutuskan untuk tidak mengisinya karena tak mengetahui satu pun jawabannya. "Mm, Sus." Panggilan Adam mem
Adam merasa cukup lelah hari itu sehingga dia membiarkan perempuan yang semula meracau dalam tidurnya itu untuk tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Lalu kantuk mulai menyerang dan dia memejamkan mata di tepi ranjang sebelah sebuah tubuh yang terbaring.Entah berapa lama Adam terlelap. Lehernya mulai terasa lelah dan lengan yang semula digunakan untuk bantal pun terasa kebas. Dia menegakkan duduknya dan sedikit menggeliat."Sudah bangun, Bos?" tanya seseorang.Adam menoleh dan mendapati asistennya sudah berdiri mengamati dari tempat dia berdiri. Pria itu lalu mengalihkan arah mata ke pasien yang seharusnya terbaring di ranjang. Mata Adam membulat, tak ada siapa pun di sana. Dengan gagap dia menunjuk ke arah kasur beralas kain putih itu."D-dia? Dia ke mana?" tanya Adam.