Clarissa dan Adam telah duduk berdampingan pada sebuah sofa panjang. Kedua mata pria itu menatap tajam ke kedua mata cantiknya. Jika Adam tak juga kunjung bersuara, itu tandanya Clarissa harus memulai pembicaraan.
"Sayang, hanya kamu yang paling tahu betapa pentingnya tawaran pekerjaan ini bagi karirku," terang Clarissa. Melihat Adam yang masih membisu, gadis muda itu kembali melanjutkan perkataannya. "Aku tak punya banyak waktu untuk mendiskusikannya dulu denganmu," kilahnya.
"Bahkan telepon pun nggak sempat?" potong Adam.
"Email itu datang pagi ini, dan …."
"Dan kamu segera menerimanya?" desak Adam.
"Iya, tapi …."
"Itu artinya kamu yang nggak pernah ingat aku. Keputusan sebesar ini dan kamu seketika itu langsung menerimanya," tandas Adam.
Mendengar perkataan Adam, Clarissa mengernyitkan dahi dan bersiap mencurahkan isi hatinya. "Kok, kamu nuduhnya gitu? Ini seharusnya bukan hal besar. Karena kita baru sebatas bertunangan. Bukankah itu artinya kita belum benar-benar terikat satu sama lain?"
Adam mengalihkan pandangan ke arah lain. Pria itu merasa tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Belum benar-benar terikat?" Pria itu meraupkan telapak tangannya ke muka.
Mendengar respons Adam, Clarissa menjadi gugup. Pria itu mendadak lebih serius.
"Clarie, sebenarnya apa arti hubungan kita bagimu?" selidik Adam.
Clarissa bergeming. Tak kuasa menjawab pertanyaan pria itu. Jika dia nekat melakukannya, itu pertanda dirinya harus siap dengan kemungkinan terburuk bagi hubungan mereka.
Adam menghela napas panjang kemudian menatap lekat sang kekasih. "Kalau begitu kita percepat saja pernikahan kita," putus Adam. Gadis di hadapannya mendelik terkejut.
"Enggak bisa begitu, Dam!" protes Clarissa.
Tak biasanya Clarissa memanggil nama secara langsung, membuat Adam berpikir mungkin gadis itu takut menghadapi kedua keluarga karena keputusan kali ini. "Kamu jangan khawatir, biar aku yang memberi tahu keluarga kita," tukas Adam.
"Bukan itu maksudku," bantah Clarissa. "Kenapa kamu jadi pemaksa gini, sih?" gerutu gadis itu.
Kepala pria itu memiring tanpa sadar dan menunggu klarifikasi maksud perkataan Clarissa. "Lalu? Kamu tidak ingin menikah denganku?" tuduhnya.
"Aku …."
"Selama ini aku pikir hubungan kita memiliki arti penting bagi hidupmu," tutur Adam.
"Iya, tentu saja,"
"Tapi nyatanya tidak. Bagimu tali pertunangan pun tak mampu mengikat kita untuk bergantung satu sama lain. Bahkan saat aku bilang kita percepat saja pernikahan kita, kamu tidak tertarik sama sekali."
"Karena aku harus pergi dan menetap di Milan, Dam," tukas Clarissa membuyarkan konsentrasi pria itu.
Sekali lagi, gadis itu sukses memberi Adam kejutan. Sekarang dia berdiri dan menjauh dari posisi Clarissa. Dengan kedua tangan bertolak pinggang, Adam menghadap gadis itu lalu bertanya, "Kejutan apa lagi yang masih kau sembunyikan? Katakan semua saat aku masih kuat menerimanya," tantang Adam kepada Clarissa.
Dengan semua keberanian yang tersisa, Clarissa mencoba menjawab tantangan Adam. "Aku tahu kali ini aku sudah kelewatan," aku gadis itu. "Tapi aku kalah di depan impian terbesarku, Dam. Tawaran itu datang dengan tiba-tiba dan tanpa menunda aku memang langsung menerimanya," beber Clarissa.
Sementara Adam masih berdiri, tetapi kali ini kedua tangannya sudah dilipat di dada. Pria itu masih melayangkan tatapan tajam. Meskipun Clarissa merasa tak nyaman, tetapi sudah diputuskan untuk menuntaskan masalah kali ini.
"Dan aku juga hanya mengiyakan semua persyaratan yang mereka berikan," terang gadis itu.
"Apa persyaratan mereka?" tanya Adam.
"Aku harus tinggal menetap di Milan setidaknya untuk lima … tahun," jawab Clarissa disertai rasa gugup. "Dan selama itu … aku dilarang menikah," imbuhnya.
Bagai mendengar bunyi petir di siang terik. Karena persyaratan itu artinya pernikahan mereka yang akan digelar tiga bulan lagi harus ditunda. Juga tak akan ada pernikahan bagi mereka untuk lima tahun mendatang.
"Unbelievable!" desis Adam.
"Sayang, kita harus menunda rencana kita. Setelah lima tahun, aku janji semua akan kembali baik-baik saja. Kita bisa melanjutkan rencana yang sudah kita bangun," ujar Clarissa.
Jika pernikahan itu dipercepat, Adam merasa tidak akan ada yang keberatan. Namun, terbayangkan oleh Adam bagaimana sikap keluarganya jika mereka tahu alasan mereka untuk menunda pernikahan. Keluarga Adam, terutama nyonya Wursita tidak akan setuju, justru dia akan meminta dirinya mencari wanita lain untuk dinikahi.
"Lima tahun? Keluargaku bahkan tak bisa menunda sehari lagi dari jadwal yang sudah kita tetapkan, Clarissa. Bagaimana kita bisa meyakinkan mereka untuk menunda lima tahun?" tampik pria itu dengan tak sabar.
"Kita bisa mencobanya, kan?" usul gadis itu.
"Kalau gagal?" tanya Adam.
Clarissa terdiam.
"Apa kau akan membatalkan tawaran soal Milan?" tambah Adam.
"Ini bukan lagi tawaran, Dam. Aku sudah menyetujuinya. Kalau aku batalkan, namaku tidak akan baik lagi. Dan itu keputusan terburuk bagi karirku," protes Clarissa dengan wajah serius.
Seketika pria itu seperti kehilangan berat badan, limbung, dan berjalan gontai menuju jendela besar apartemen itu. matanya nanar memandang langit di kejauhan. Dia tahu persis apa yang akan Clarissa lakukan selanjutnya jika gadis itu sudah memutuskan sesuatu yang tak bisa lagi ditawar.
"Katakan saja apa yang ingin kau katakan. Aku sudah siap," ujar pria itu seraya memejamkan mata.
Clarissa terhenyak. Dia merutuki diri sendiri betapa pria yang bersamanya saat ini begitu mengenal dirinya. Akan tetapi, dia tak punya nyali untuk melawan keegoisan dalam dirinya. Tak mungkin dia melepaskan mimpi yang sudah digenggaman. Gadis itu berlari memeluk sang kekasih. Wajahnya bersandar lemah pada punggung pria yang dicintainya.
"Maafkan aku, Dam. Maafkan aku." Air mata gadis itu mulai berlinang membasahi pipi. Tangannya bertaut memeluk erat tubuh pria itu. "Aku mencintaimu. Sungguh!" tegas Clarissa.
"Tapi kau lebih mencintai mimpimu," timpal Adam. Wajah pria itu kini dipenuhi rasa kekecewaan. Dia tahu dirinya tak bisa memaksakan kehendak kepada Clarissa. Gadis itu memiliki kepribadian yang merdeka. Clarissa akan melakukan apa yang diinginkan dan tak bisa dibatasi oleh peraturan yang mungkin akan mengekang.
Isakan tangis Clarissa tak bisa ditahan lagi. Air matanya membanjiri kemeja biru yang Adam kenakan.
Sulit dipungkiri bahwa Adam pun jatuh hati kepada Clarissa karena pribadinya yang penuh semangat dan selalu gigih mencapai tujuan. Sayangnya, kali ini cintanya tak cukup berarti di hadapan impian terbesar gadis cantik itu.
Lamunan Adam terhenti saat dering ponsel menggema dari ruang tengah. Pria itu mengumpulkan kesadarannya dan berjalan menuju tempat ponselnya berbunyi.
Dia mengamati nama yang tertera di sana. Asisten pribadinya menelpon.
"Iya?" kata Adam.
[Bos, Nyonya Besar minta nomor yang satunya diaktifkan. Nyonya Besar marah katanya sudah berkali-kali menelepon, tetapi tidak tersambung. ] info asisten utama Adam yang bernama Hassan Pribadi.
"O, iya. Lupa. Semalam baterai habis. Ada lagi?" tanya Adam.
[Sebaiknya Bos bersiap-siap. Nyonya Besar sepertinya sedang merencanakan sesuatu] kata Hassan memperingatkan.
"Tentang apa?" selidik Adam.
[Info yang saya dapatkan, Nyonya Besar dua hari ini menemui keluarga Baskara]
"Lalu apa hubungannya dengan saya?" sahut Adam dengan malas.
[Keluarga Waskita memiliki seorang anak gadis yang baru pulang dari London. Saya berpikir mungkin Nyonya Besar ingin menjodohkan Bos dengan gadis itu] terang Hassan.
Adam melempar pandang tak suka ke arah jendela.
[Bos?] panggil Hassan.
"Ya, sudah. Biar saya yang urus. Terima kasih," pungkas pria itu.
Saluran telepon itu berakhir. Adam terdiam sesaat. Memikirkan segala kemungkinan yang akan dihadapi saat menelepon sang ibu. Dengan ragu dilihat angka jam pada ponsel. Sekarang sudah jam enam pagi.
'Ibu pasti sudah bangun,' batin Adam. Pria itu berjalan mengambil ponsel lainnya di kamar. Menyalakan benda kecil itu, menunggu beberapa saat, lalu memilih sebuah nomor untuk dihubungi. Hidungnya menghirup udara dalam-dalam dan mengembuskanya. Dia menyiapkan diri selama menunggu nada sambung itu berganti suara sang ibu.
Nada sambung itu masih terdengar belasan kali hingga akhirnya suara seorang perempuan menjawab.[Adam] panggilnya."Iya, Bu. Kata Hassan, Ibu mencariku," ujar Adam.[Dam, ibu nggak pernah protes, ya, kalau ibu cuma dikasih satu nomor ini. Tapi pastikan nomor kamu itu selalu aktif. Masa ini harus hubungi Hassan dulu buat nyariin kamu?! Sepertinya asistenmu itu lebih berharga daripada ibumu ini] rajuk Nyonya Wursita."Ya, enggaklah, Bu. Nomor yang Hassan punya itu untuk pekerjaan. Justru ini yang nomor pribadi. Jadi semalam hapenya low-bat sampe mati. Pas di-charge lupa ngaktifin. Ini baru dinyalain. Maaf, ya, Ibuku sayang" ujar Adam mengiba.[Ya, sudah. Jangan ulangi lagi! Ibu selalu was-was kalau nggak bisa ngehubungi kamu. Ibu jadi khawatir. Kamu tahu itu, kan?] resah Nyonya Wursita."Iya, Bu. Maaf. Kemarin seharian meeting, jadi lupa charge hape," Kembali Adam meminta pengampunan.[Ibu maafkan kalau kamu datang ke Menteng malam ini.
Suasana yang semula hangat terasa mengalami pergeseran. "Jadi, kapan kamu bawa calon mantu untuk ibu, Dam?" tanya Nyonya Wursita dengan wajah serius.Terpaksa Adam mengulas senyum untuk menenangkan perempuan paruh baya itu. "Pasti, Bu. Aku ini kan ganteng. Ibu mau mantu yang seperti apa? Biar aku pilihkan buat Ibu," seloroh Adam."Eh, ibu ini serius, ya." Candaan Adam menjadi tak ada artinya.Wajah Adam menunjukkan ekspresi keheranan. Sementara Tuan Adyaksa menilai suasana akan tidak terkendali jika membiarkan Nyonya Wursita meneruskan topik tentang menantu."Hei, kalian ibu dan anak, apa tidak lapar? Mari kita makan dulu!" ajak Tuan Adyaksa seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah meja makan."Baiklah kita makan dulu. Kamu pasti belum makan, Nak. Ayo!" ajak Nyonya Wursita menggandeng lengan anaknya dan bersama melangkah menuju tempat mereka akan makan bersama.Selain mereka bertiga, terdapat dua orang pelayan yang berdiri tak
Adam sudah mempersiapkan diri mendengar pertanyaan sang ibu. Dengan tenang dia menjawab, "Aku terlalu sibuk, Bu. Mana ada yang mau pacaran sama orang yang nggak punya waktu buat mesra-mesraan," terang Adam lalu memamerkan senyum manisnya."Dam, apa kamu masih memikirkan Clarissa?" tanya Nyonya Wursita dengan nada curiga.Pria itu menjadi salah tingkah dan menjawab, "Sedang mengusahakan, Bu.""Ndak bisa, Dam! Ini ndak baik bagimu. Seharusnya kamu lebih dari berusaha. Sudah tiga tahun berlalu. Mantanmu itu sudah berada entah di mana dan bahagia. Lha … kamu? Masih saja menyimpan barang-barang darinya. Kapan kamu bisa melupakan dia kalau begitu caranya?" sembur perempuan itu menceramahi sang putra.Adam teringat barang yang sang ibu maksud memang masih ada di kamar miliknya."Ibu bisa membuangnya," timpal Adam."Oh, ndak! Harus kamu yang nyingkirin semua itu. Ibu ngajarin kamu buat jadi lelaki yang tegas, bagas, tapi ndak bringas. K
Lift berhenti di lantai enam. Semua yang berada di dalam ruang kecil itu keluar bersama dengan Adam. Hanya Adam yang melangkah sendiri, sementara yang lain ada yang berpasangan atau bersama teman, mungkin juga bersama keluarga. Sebelum masuk pintu kaca, pengunjung akan disambut beberapa poster film yang tengah tayang. Dua di antaranya adalah film Hollywood, "Mission: Impossible 5" dan "Star Wars: The Force Awakens". Lalu dua lainnya film asal Indonesia, "Retroaktif: Single Part 1" dan "Bulan Terbelah di Langit Amerika." Namun, Adam memilih film dengan poster yang memakai wajah komika Raditya Dika sebagai fokus utama. Pria itu sedang tak ingin berpikir terlalu berat. Dia ingin tertawa dan terbawa oleh kekonyolan pemain karena alur ceritanya. Itulah yang Adam harapkan. Tangan Adam bebas. Tak seperti tangan pengunjung lain yang disibukkan oleh laya
Perempuan itu mendengar Adam berkata kecurigaannya tentang bilik elevator yang mengalami gangguan. Kemudian perempuan itu beringsut ke sudut ruangan. Dengan nada suara dan tatapan mata yang diliputi rasa takut dia bertanya, "Macet?"Sebelum sempat Adam jawab, lampu lift itu berkedip-kedip dan sempat mati bersamaan saat terjadi guncangan kembali. Kali ini kotak pengangkut manusia itu seperti jatuh tanpa kendali. Sejenak mereka merasakan seolah-olah tanpa gravitasi."Aarrgghh …!" Perempuan itu berteriak.Kemudian lift itu kembali berhenti disertai suara seperti benturan yang keras. Adam menahan emosi untuk tetap tenang dalam situasi genting itu. Angka masih menunjukkan lantai empat dan tanda panah tidak tampak. Adam menekan berkali-kali tombol yang berfungsi untuk membuka pintu, tetapi tidak terjadi perubahan.Adam segera menekan tombol darurat untuk berkomunikasi dengan petugas di luar sana. "Halo! Halo! Ada orang di sana? Ada yang mendengar suara s
Adam mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan kursi yang keras. Dia berpikir bagaimana dia nanti harus mengisi formulir data pasien atas nama perempuan yang terjebak bersamanya di dalam lift tadi. 'Ah, sudahlah. Kalau dia tak juga pulang, mungkin nanti akan ada keluarganya yang menghubungi dia,' pikirnya.Kemudian dia memasukkan lagi benda-benda yang telah dikeluarkan kembali ke dalam tas kecil itu. Setelah itu dia berjalan menuju tempat administrasi sebagaimana yang perawat tadi tunjukkan. Hanya ada seorang petugas di sana yang Adam temui."Permisi, Sus. Saya diminta untuk mengisi data pasien yang baru masuk," ucap Adam."Oh, mbak yang pingsan tadi, ya, Pak?" tanya orang itu menegaskan."Iya, betul." Segera petugas itu mengambil selembar kertas dan sebuah pena, lalu diserahkan kepada Adam untuk diisi. Setelah membaca sekilas data yang diminta, Adam memutuskan untuk tidak mengisinya karena tak mengetahui satu pun jawabannya. "Mm, Sus." Panggilan Adam mem
Adam merasa cukup lelah hari itu sehingga dia membiarkan perempuan yang semula meracau dalam tidurnya itu untuk tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Lalu kantuk mulai menyerang dan dia memejamkan mata di tepi ranjang sebelah sebuah tubuh yang terbaring.Entah berapa lama Adam terlelap. Lehernya mulai terasa lelah dan lengan yang semula digunakan untuk bantal pun terasa kebas. Dia menegakkan duduknya dan sedikit menggeliat."Sudah bangun, Bos?" tanya seseorang.Adam menoleh dan mendapati asistennya sudah berdiri mengamati dari tempat dia berdiri. Pria itu lalu mengalihkan arah mata ke pasien yang seharusnya terbaring di ranjang. Mata Adam membulat, tak ada siapa pun di sana. Dengan gagap dia menunjuk ke arah kasur beralas kain putih itu."D-dia? Dia ke mana?" tanya Adam.
Kedua mata Adam menatap tajam ke arah kerumunan penggemar yang ada di depan bioskop seraya menunjuk dia berujar, "Itu seperti perempuan kemarin."Lucky yang mendengar ucapan sang bos seketika melihat ke arah yang Adam tunjuk. "Siapa, Bos?" tanya Lucky penasaran.Adam terpaksa mengalihkan pandangan untuk menjelaskan maksudnya kepada Lucky. "Itu yang memakai kaus …." Adam kembali melihat kerumunan, tetapi orang yang dia maksud seperti menghilang atau sebenarnya sejak awal memang tak ada."Kaus? Banyak yang pakai kaus, Bos," kata Lucky ikut mengamati kumpulan orang-orang di sana.Adam menarik napas dalam dan kembali meneruskan perjalanan, "Ah, sudahlah."Seorang pria di dalam restoran melambaikan tangan menyapa dengan senyuman. "Pak Hendra sudah datang rupanya," ujar Lucky yang membalas sapaan pria tadi dengan anggukan. Adam pun melakukan hal serupa.Jarak antar meja di restoran itu sekitar lebih dari 1 meter. Adam berjalan lebih a