Share

Bab 3. Kehangatan Rumah

Nada sambung itu masih terdengar belasan kali hingga akhirnya suara seorang perempuan menjawab.

[Adam] panggilnya.

"Iya, Bu. Kata Hassan, Ibu mencariku," ujar Adam.

[Dam, ibu nggak pernah protes, ya, kalau ibu cuma dikasih satu nomor ini. Tapi pastikan nomor kamu itu selalu aktif. Masa ini harus hubungi Hassan dulu buat nyariin kamu?! Sepertinya asistenmu itu lebih berharga daripada ibumu ini] rajuk Nyonya Wursita.

"Ya, enggaklah, Bu. Nomor yang Hassan punya itu untuk pekerjaan. Justru ini yang nomor pribadi. Jadi semalam hapenya low-bat sampe mati. Pas di-charge lupa ngaktifin. Ini baru dinyalain. Maaf, ya, Ibuku sayang" ujar Adam mengiba.

[Ya, sudah. Jangan ulangi lagi! Ibu selalu was-was kalau nggak bisa ngehubungi kamu. Ibu jadi khawatir. Kamu tahu itu, kan?] resah Nyonya Wursita.

"Iya, Bu. Maaf. Kemarin seharian meeting, jadi lupa charge hape," Kembali Adam meminta pengampunan.

[Ibu maafkan kalau kamu datang ke Menteng malam ini. Kalau nggak datang, ibu marah!] ancam ibu Adam.

"Ada acara apa, Bu? Kok tumben. Jadwal makan malam kita, kan, masih pekan depan." Adam bertanya keheranan.

[Apa perlu jadwal khusus seorang ibu meminta anaknya pulang? Sebulan sekali baru bertemu, ibu kangen kamu, Nak] tandas sang ibu.

"Baik, Bu. Nanti kita malam bersama. Oke? Ibu senang, kan, sekarang?" Adam mengulas senyum mendengar ibunya yang sedang merajuk.

[Ibu tunggu. Jangan terlambat. Jakarta macet, artinya keluar kantor lebih awal. Mengerti?]

"Iya, Bu."

[Ibu nanti masak makanan kesukaanmu. Jangan buat ibu kecewa. Mengerti?]

"Iya, Bu. Iya," balas Adam menegaskan.

Adam mengakhiri sambungan itu. Pria itu merasa badannya lelah karena terjaga dari semalam. Direntangkan kedua tangan dan menggeliat melemaskan otot-otot tubuhnya. Apapun yang terjadi hari ini, Adam berharap akan berjalan dengan baik.

*****

Saat ini sepasang suami istri berada di halaman samping rumah besar Menteng milik keluarga Saguna sedang sarapan sekaligus menikmati udara pagi yang belum terbalut polusi Jakarta.

"Apa katanya?" tanya Tuan Adyaksa.

"Iya, nanti malam pulang. Sudah aku ancam, masa iya masih mangkir?" cetus Nyonya Wursita.

Pria paruh baya itu meletakkan kembali cangkir porselen yang baru saja disesap isinya ke atas meja bundar. Tuan Adyaksa memiliki paras yang sama eloknya dengan sang putra yang memiliki wajah berahang tegas khas keturunan Jawa. Darah ningrat makin melengkapi aura wibawa dalam sosok Tuan Besar Saguna.

"Kamu yakin Adam akan menuruti kata-katamu nanti?" tanya Tuan Adyaksa selanjutnya.

"Aku yakin dia pasti menuruti kehendakku. Dia ndak pernah membantah perintahku. Aku ini ibunya. Dia lebih menyayangiku daripada kamu, Mas," papar Nyonya Wursita yang memiliki wajah tipis, berhidung lancip, dan berambut cokelat dengan helai halus, serta leher jenjang yang mempertontonkan kulit putih kemerahan khas keturunan Jawa-Belanda. 

"Iya, aku percaya. Dia seperti bukan anakku," celetuk Tuan Adyaksa. Lalu dibalas senyum kemenangan oleh Nyonya Wursita.

Sebenarnya, Nyonya Wursita adalah istri kedua Tuan Adyaksa. Dia bukanlah ibu kandung Adam. Istri pertama Tuan Adyaksa telah meninggal saat melahirkan Adam. Namun, tak ada yang bisa menemukan cela dari kasih sayang Nyonya Wursita untuk sang putra. Dia menyayangi Adam seperti darah dagingnya sendiri karena Nyonya Wursita tidak lain adalah sahabat ibu kandung Adam.

Malam telah tiba. Hidangan beraneka masakan telah tersaji di meja makan rumah besar Menteng. Namun, delapan kursi meja itu masih kosong tak terpakai. Tuan dan Nyonya Saguna masih di ruang tengah menunggu sang putra datang bergabung memenuhi undangan mereka untuk makan malam bersama.

"Sita, kita harus menunggu berapa lama lagi?" tanya Tuan Adyaksa tak sabar karena Adam belum juga menampakkan batang hidungnya.

Nyonya Wursita bahkan lebih dulu gelisah sebelum suaminya itu bertanya. Hampir tiap setengah jam perempuan itu tak absen menghubungi sang putra untuk memastikan bahwa putranya bisa datang ke rumah.

Sejak Adam bekerja di perusahaan sang ayah, pria itu tak lagi tinggal di kediaman Menteng. Selain alasan karena ingin mandiri, saat itu efektivitas tinggal yang lebih dekat dengan kantor menjadi alasan utama. Selain itu, karena dulu sudah bertunangan dengan Clarissa sehingga lebih memilih menghuni sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan.

Sebagai anak satu-satunya, tentu bukan hal yang mudah bagi Nyonya Wursita untuk merestui keputusan Adam. Oleh karena itu, dengan sengaja istri Tuan Adyaksa itu mengadakan jadwal rutin yang sifatnya wajib sebulan sekali untuk berkumpul makan bersama. Tak heran Adam bertanya mengapa dirinya harus datang sementara bukan jadwal yang seharusnya, tetapi tak ada satu pun yang berani membantah perintah Nyonya Wursita.

Melihat sang istri yang makin gelisah Tuan Adyaksa berencana mengajaknya makan lebih dulu. Baru saja akan angkat bicara, seseorang memasuki ruangan dengan dekorasi khas gaya Eropa itu. 

"Selamat malam, Yah, Bu," sapa Adam yang tiba masih dengan mengenakan setelan jas lengkap. "Maaf terlambat. Baru selesai menghadiri undangan dari kedutaan Austria untuk proyek kerja sama kita," ujar pria itu memberikan alasan. Dia berjalan mendekati sang ibu dan memeluknya dengan hangat.

"Itu juga yang mau ayah sampaikan ke ibumu. Tapi percuma, yang dia tahu kamu harus menjawab telpon darinya," papar Tuan Adyaksa.

"Maaf, Bu. Hapeku tertinggal di kantor. Tadi jadwal sedikit hectic." Pria itu merangkul pundak sang ibu. Alasan Adam kali ini membuat bibir Nyonya Wursita mengerucut.

"Kapan kamu mikirin dirimu sendiri, Nak? Pekerjaan terus. Kamu jadi kurus begini. Kamu juga, Mas, ini salahmu!" protes Nyonya Wursita memelotot ke arah sang suami.

"Lho, kok, jadi aku yang disalahkan?" Kali ini Tuan Adyaksa yang protes.

"Iya, kamu paksa anakku ini bekerja dua puluh empat jam. Sampai-sampai jadwal menemui ibunya pun sulit. Kamu harusnya lebih banyak lagi angkat wakil. Jangan dibebankan semua sama anakku ini," tuntut Nyonya Wursita direspons tawa dari dua pria di depannya.

"Ya, enggak gitu juga, Bu. Adam nggak masalah, kok," kilah Adam.

"Kamu endak, ibu iya!" sungut perempuan itu.

"Hahaha. Asisten Adam itu sudah lima. Mau berapa banyak lagi? Ibu ini tahu apa? Ibu itu hanya perlu sibuk arisan, acara sosial, dan belanja menghabiskan uangku saja. Nggak usah mikirin cara kami kaum pria menghasilkan uang," beber Tuan Adyaksa.

"Lihat, Dam! Ibumu ini ndak aman kalau kamu tinggalkan sendiri dengan ayahmu itu. Ibu di-bully terus," rengek Nyonya Wursita.

Lagi-lagi Tuan Adyaksa tertawa melihat tingkah manja sang istri. Tak pelak Adam pun merasa geli.

"Percuma minta pembelaan dari anakmu. Dia itu juga anakku, dia pasti setuju perkataanku. Bukan begitu, Dam?" tanya Tuan Adyaksa seraya menaikkan alisnya meminta dukungan.

Adam tak sadar mengeluarkan tawa.

"Eh, kamu kok juga tertawa?" Nyonya Wursita mendorong tubuh anaknya menjauh. "Seneng, ya, kalian ngeledekin aku?" tuding perempuan itu setengah kesal. 

"Wah, harus minta maaf, nih, Yah. Kalau Nyonya Besar kita marah, bisa seret rejeki kita," ujar Adam mengingatkan sang ayah. Dua pria itu terkekeh bersama.

"Sudah! Sudah! Lihat saja nanti kalau aku sudah punya mantu. Pasti dia mendukungku," celetuk Nyonya Wursita yang mampu memudarkan lengkungan senyum di bibir Adam.

Suasana yang semula hangat terasa mengalami pergeseran. "Jadi, kapan kamu bawa calon mantu untuk ibu, Dam?" tanya perempuan anggun itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status