Nada sambung itu masih terdengar belasan kali hingga akhirnya suara seorang perempuan menjawab.
[Adam] panggilnya.
"Iya, Bu. Kata Hassan, Ibu mencariku," ujar Adam.
[Dam, ibu nggak pernah protes, ya, kalau ibu cuma dikasih satu nomor ini. Tapi pastikan nomor kamu itu selalu aktif. Masa ini harus hubungi Hassan dulu buat nyariin kamu?! Sepertinya asistenmu itu lebih berharga daripada ibumu ini] rajuk Nyonya Wursita.
"Ya, enggaklah, Bu. Nomor yang Hassan punya itu untuk pekerjaan. Justru ini yang nomor pribadi. Jadi semalam hapenya low-bat sampe mati. Pas di-charge lupa ngaktifin. Ini baru dinyalain. Maaf, ya, Ibuku sayang" ujar Adam mengiba.
[Ya, sudah. Jangan ulangi lagi! Ibu selalu was-was kalau nggak bisa ngehubungi kamu. Ibu jadi khawatir. Kamu tahu itu, kan?] resah Nyonya Wursita.
"Iya, Bu. Maaf. Kemarin seharian meeting, jadi lupa charge hape," Kembali Adam meminta pengampunan.
[Ibu maafkan kalau kamu datang ke Menteng malam ini. Kalau nggak datang, ibu marah!] ancam ibu Adam.
"Ada acara apa, Bu? Kok tumben. Jadwal makan malam kita, kan, masih pekan depan." Adam bertanya keheranan.
[Apa perlu jadwal khusus seorang ibu meminta anaknya pulang? Sebulan sekali baru bertemu, ibu kangen kamu, Nak] tandas sang ibu.
"Baik, Bu. Nanti kita malam bersama. Oke? Ibu senang, kan, sekarang?" Adam mengulas senyum mendengar ibunya yang sedang merajuk.
[Ibu tunggu. Jangan terlambat. Jakarta macet, artinya keluar kantor lebih awal. Mengerti?]
"Iya, Bu."
[Ibu nanti masak makanan kesukaanmu. Jangan buat ibu kecewa. Mengerti?]
"Iya, Bu. Iya," balas Adam menegaskan.
Adam mengakhiri sambungan itu. Pria itu merasa badannya lelah karena terjaga dari semalam. Direntangkan kedua tangan dan menggeliat melemaskan otot-otot tubuhnya. Apapun yang terjadi hari ini, Adam berharap akan berjalan dengan baik.
*****
Saat ini sepasang suami istri berada di halaman samping rumah besar Menteng milik keluarga Saguna sedang sarapan sekaligus menikmati udara pagi yang belum terbalut polusi Jakarta.
"Apa katanya?" tanya Tuan Adyaksa.
"Iya, nanti malam pulang. Sudah aku ancam, masa iya masih mangkir?" cetus Nyonya Wursita.
Pria paruh baya itu meletakkan kembali cangkir porselen yang baru saja disesap isinya ke atas meja bundar. Tuan Adyaksa memiliki paras yang sama eloknya dengan sang putra yang memiliki wajah berahang tegas khas keturunan Jawa. Darah ningrat makin melengkapi aura wibawa dalam sosok Tuan Besar Saguna.
"Kamu yakin Adam akan menuruti kata-katamu nanti?" tanya Tuan Adyaksa selanjutnya.
"Aku yakin dia pasti menuruti kehendakku. Dia ndak pernah membantah perintahku. Aku ini ibunya. Dia lebih menyayangiku daripada kamu, Mas," papar Nyonya Wursita yang memiliki wajah tipis, berhidung lancip, dan berambut cokelat dengan helai halus, serta leher jenjang yang mempertontonkan kulit putih kemerahan khas keturunan Jawa-Belanda.
"Iya, aku percaya. Dia seperti bukan anakku," celetuk Tuan Adyaksa. Lalu dibalas senyum kemenangan oleh Nyonya Wursita.
Sebenarnya, Nyonya Wursita adalah istri kedua Tuan Adyaksa. Dia bukanlah ibu kandung Adam. Istri pertama Tuan Adyaksa telah meninggal saat melahirkan Adam. Namun, tak ada yang bisa menemukan cela dari kasih sayang Nyonya Wursita untuk sang putra. Dia menyayangi Adam seperti darah dagingnya sendiri karena Nyonya Wursita tidak lain adalah sahabat ibu kandung Adam.
Malam telah tiba. Hidangan beraneka masakan telah tersaji di meja makan rumah besar Menteng. Namun, delapan kursi meja itu masih kosong tak terpakai. Tuan dan Nyonya Saguna masih di ruang tengah menunggu sang putra datang bergabung memenuhi undangan mereka untuk makan malam bersama.
"Sita, kita harus menunggu berapa lama lagi?" tanya Tuan Adyaksa tak sabar karena Adam belum juga menampakkan batang hidungnya.
Nyonya Wursita bahkan lebih dulu gelisah sebelum suaminya itu bertanya. Hampir tiap setengah jam perempuan itu tak absen menghubungi sang putra untuk memastikan bahwa putranya bisa datang ke rumah.
Sejak Adam bekerja di perusahaan sang ayah, pria itu tak lagi tinggal di kediaman Menteng. Selain alasan karena ingin mandiri, saat itu efektivitas tinggal yang lebih dekat dengan kantor menjadi alasan utama. Selain itu, karena dulu sudah bertunangan dengan Clarissa sehingga lebih memilih menghuni sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan.
Sebagai anak satu-satunya, tentu bukan hal yang mudah bagi Nyonya Wursita untuk merestui keputusan Adam. Oleh karena itu, dengan sengaja istri Tuan Adyaksa itu mengadakan jadwal rutin yang sifatnya wajib sebulan sekali untuk berkumpul makan bersama. Tak heran Adam bertanya mengapa dirinya harus datang sementara bukan jadwal yang seharusnya, tetapi tak ada satu pun yang berani membantah perintah Nyonya Wursita.
Melihat sang istri yang makin gelisah Tuan Adyaksa berencana mengajaknya makan lebih dulu. Baru saja akan angkat bicara, seseorang memasuki ruangan dengan dekorasi khas gaya Eropa itu.
"Selamat malam, Yah, Bu," sapa Adam yang tiba masih dengan mengenakan setelan jas lengkap. "Maaf terlambat. Baru selesai menghadiri undangan dari kedutaan Austria untuk proyek kerja sama kita," ujar pria itu memberikan alasan. Dia berjalan mendekati sang ibu dan memeluknya dengan hangat.
"Itu juga yang mau ayah sampaikan ke ibumu. Tapi percuma, yang dia tahu kamu harus menjawab telpon darinya," papar Tuan Adyaksa.
"Maaf, Bu. Hapeku tertinggal di kantor. Tadi jadwal sedikit hectic." Pria itu merangkul pundak sang ibu. Alasan Adam kali ini membuat bibir Nyonya Wursita mengerucut.
"Kapan kamu mikirin dirimu sendiri, Nak? Pekerjaan terus. Kamu jadi kurus begini. Kamu juga, Mas, ini salahmu!" protes Nyonya Wursita memelotot ke arah sang suami.
"Lho, kok, jadi aku yang disalahkan?" Kali ini Tuan Adyaksa yang protes.
"Iya, kamu paksa anakku ini bekerja dua puluh empat jam. Sampai-sampai jadwal menemui ibunya pun sulit. Kamu harusnya lebih banyak lagi angkat wakil. Jangan dibebankan semua sama anakku ini," tuntut Nyonya Wursita direspons tawa dari dua pria di depannya.
"Ya, enggak gitu juga, Bu. Adam nggak masalah, kok," kilah Adam.
"Kamu endak, ibu iya!" sungut perempuan itu.
"Hahaha. Asisten Adam itu sudah lima. Mau berapa banyak lagi? Ibu ini tahu apa? Ibu itu hanya perlu sibuk arisan, acara sosial, dan belanja menghabiskan uangku saja. Nggak usah mikirin cara kami kaum pria menghasilkan uang," beber Tuan Adyaksa.
"Lihat, Dam! Ibumu ini ndak aman kalau kamu tinggalkan sendiri dengan ayahmu itu. Ibu di-bully terus," rengek Nyonya Wursita.
Lagi-lagi Tuan Adyaksa tertawa melihat tingkah manja sang istri. Tak pelak Adam pun merasa geli.
"Percuma minta pembelaan dari anakmu. Dia itu juga anakku, dia pasti setuju perkataanku. Bukan begitu, Dam?" tanya Tuan Adyaksa seraya menaikkan alisnya meminta dukungan.
Adam tak sadar mengeluarkan tawa.
"Eh, kamu kok juga tertawa?" Nyonya Wursita mendorong tubuh anaknya menjauh. "Seneng, ya, kalian ngeledekin aku?" tuding perempuan itu setengah kesal.
"Wah, harus minta maaf, nih, Yah. Kalau Nyonya Besar kita marah, bisa seret rejeki kita," ujar Adam mengingatkan sang ayah. Dua pria itu terkekeh bersama.
"Sudah! Sudah! Lihat saja nanti kalau aku sudah punya mantu. Pasti dia mendukungku," celetuk Nyonya Wursita yang mampu memudarkan lengkungan senyum di bibir Adam.
Suasana yang semula hangat terasa mengalami pergeseran. "Jadi, kapan kamu bawa calon mantu untuk ibu, Dam?" tanya perempuan anggun itu.
Ponsel Lucky berdering. Setelah melihat nama sang bos terpampang di layar, segera diangkatnya sebelum nada dering pertama berakhir."Halo, Bos," sapa Lucky.[Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!] Lalu sambungan itu diputus."Halo, Bos? Bos?" Lucky masih mencoba memanggil, tetapi sudah tidak ada jawaban dari penelepon. Asisten Adam tersebut menatap layar ponsel dan mencari daftar nama di kontak masuk. Dia ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah membaca nama penelepon. "Benar. Tadi memang bos yang telepon." Mata Lucky bergerak seperti sedang membantu kepalanya mengingat kembali perintah Adam.'Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!' Kalimat pendek dan padat itu terngiang kembali di kepala Lucky. "Kenapa tiba-tiba begitu?" gumam Lucky yang bingung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut.Lucky segera membuka ruang obrolan dengan empat rekan lainnya.Lucky: Bos barusan telpon. Ngasih perintah singkat padat dan jelas.Adi: Apaan, Mas?Hassan is typi
Fahar menceritakan kehidupan pribadinya kepada Adam, seorang teman yang telah lama berpisah. Bagaimana dia kehilangan Diana, istrinya, dan meneruskan hidup bersama putra tunggalnya, Alex."Aku akui kamu memiliki segalanya, Bro. Wajah, otak, penampilan, gaya bicara, keramahan, tapi baru sekarang aku paham kenapa," tutur Fahar.Sedangkan Adam tersenyum mendengar pujian demi pujian yang kawan lamanya itu lontarkan. "Kenapa?" tanya Adam mengetes."Iya, kamu anak tunggal kerajaan bisnis AS Corp, Bro. Kalau aku jadi orang tuamu pasti juga nggak bisa biarin kamu main-main," terang Fahar.Adam bahagia karena sahabatnya itu paham tanpa harus dijelaskan."Kenapa senyum?" tanya Fahar penasaran."Iya, aku senang kamu bisa paham tanpa aku harus jelasin. Beberapa hubungan menuntut kejelasan. Bahkan kadang sudah dijelaskan, mereka tetap tidak menerima dan memilih pergi. Dan aku senang lu paham," tukas Adam dengan intonasi tenang.Pria di hadapan Adam menangkap maksud lainnya. Dia merasa ada hubungan
Sekembali Adam dari Bandung, dia langsung menuju gedung pusat AS Corp. Dia beristirahat sejenak di ruang pribadinya sebelum kembali memulai hari dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan.Hassan melihat jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Sesuai instruksi yang Adam berikan, dia ingin Hassan membangunkannya sebelum tepat jam sembilan. Sang asisten segera menuju ruang kerja Adam. Di sana ada pintu lain yang tersembunyi di balik rak buku. Setelah menekan tombol di balik sebuah buku tebal bersampul cokelat, rak buku itu menimbulkan sebuah bunyi yang halus lalu bergerak bergeser secara perlahan. Semua asisten Adam sudah mengetahuinya, sedangkan Vina yang baru saja dipromosikan sebagai pengganti Trias belum mengetahuinya.Saat masuk ke ruangan itu, Hassan sudah bisa melihat Adam yg duduk termenung di tepi ranjang. Pria itu terkesan aneh melihat sang bos yang berlaku di luar kebiasaan. "Sudah bangun, Bos?" tegurnya.Adam menoleh lalu mengangguk. Hassan berjalan mendekat, "Ada yang Bos pik
"Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas di pintu masuk pada seorang kurir."Saya mengantarkan kiriman bunga untuk Ibu Bianca," jawabnya.Saat percakapan itu terjadi, Fahar baru saja tiba di kantor dan mendengarnya. "Langsung masuk saja, sampaikan ke meja resepsionis," instruksi si petugas.Kurir itu masuk membawa sebuah buket Krisan kuning dan melangkah menuju dua orang wanita yang sedang duduk tak jauh dari pintu utama.Fahar yang telah menerima salam dari si petugas keamanan berjalan menuju ke dalam gedung Advance Advertising. Namun, pria itu tidak langsung menuju lift untuk mengantarkan ke lantai tempatnya bekerja dan justru menyempatkan diri mendekat ke meja resepsionis. Dia penasaran dengan bunga yang dikirim untuk Bianca. Sejauh yang pria itu ingat, beberapa hari terakhir ini dia melihat Bianca selalu membawa bunga. Pertama bunga anggrek, lalu bunga matahari, dan pagi itu bunga Krisan. 'Apakah ada seseorang yang sengaja mengirimkannya kepada Bianca?' batinnya bert
Ibu Sun melihat Adam berdiri mematung, kemudian segera pergi menghampiri sang tamu. "Ada apa, Nak Adam?" tanyanya. "Bunganya cantik, Bu," sahut Adam saat menunjuk anggrek bulan ungu yang tersimpan di rak kayu di bawah pohon mangga. Bersisian dengan pot bunga lainnya. "Oh, bunga ini. Iya, saya juga suka lihatnya. Warnanya kalem sekaligus berani.""Ibu Sun sepertinya terampil merawat bunga, ya," puji Adam."Saya memang suka berkebun sejak muda. Tapi pengalaman merawat anggrek? Ini pertama kali. Semoga saja si cantik ini berumur panjang dengan saya," tutur wanita itu dengan menyentuh ujung kelopak bunga ungu itu.Entah mengapa tiba-tiba Adam merasa ada keterkaitan antara Ibu Sun dengan Bianca. Seingat Adam, ibu Bianca bekerja di panti asuhan, tetapi dia lupa nama lengkap panti maupun nama ibu Bianca. Namun, adanya bunga anggrek ungu itu membuatnya berpikir untuk menanyakan sesuatu yang lebih spesifik."Ini beli di mana? Saya jadi ingin punya juga.""Aduh, saya kurang tahu. Soalnya saya
Diawali dengan bunga anggrek, hari berikutnya mawar, kemudian bunga matahari. Semua makhluk cantik itu membuat Bianca tak henti-hentinya berpikir apa keinginan si pengirim. Sambil menatap kertas kecil yang berisi pesan singkat dan tentu saja dari seseorang yang berinisial A.~Jadi, kita sudah berteman. Teman?~AMawar kuning di meja kerjanya belum juga layu, dan kini tiga tangkai bunga matahari sudah datang. Dengan malas, Bianca melepas ikatan pita hijau pada bunga berkelopak kuning itu. Kemudian satu per satu tangkainya diselipkan di tengah kuntum mawar.Beberapa orang sudah berdatangan dan mereka mempersiapkan diri sebelum jam kantor benar-benar dimulai. Tak terkecuali Bianca, meskipun dirinya sedang diliputi rasa penasaran, tetapi pekerjaan lebih utama baginya. Terlebih lagi, kejadian pagi itu tentang dirinya yang terkurung di dalam toilet membuat energi paginya sudah cukup terkuras.'Terserah apa maumu," batin Bianca saat melihat sekali lagi isi kertas dan melemparnya asal.Amelia