Share

Bab 4. Siaga Satu

Suasana yang semula hangat terasa mengalami pergeseran. "Jadi, kapan kamu bawa calon mantu untuk ibu, Dam?" tanya Nyonya Wursita dengan wajah serius.

Terpaksa Adam mengulas senyum untuk menenangkan perempuan paruh baya itu. "Pasti, Bu. Aku ini kan ganteng. Ibu mau mantu yang seperti apa? Biar aku pilihkan buat Ibu," seloroh Adam.

"Eh, ibu ini serius, ya." Candaan Adam menjadi tak ada artinya. 

Wajah Adam menunjukkan ekspresi keheranan. Sementara Tuan Adyaksa menilai suasana akan tidak terkendali jika membiarkan Nyonya Wursita meneruskan topik tentang menantu.

"Hei, kalian ibu dan anak, apa tidak lapar? Mari kita makan dulu!" ajak Tuan Adyaksa seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah meja makan.

"Baiklah kita makan dulu. Kamu pasti belum makan, Nak. Ayo!" ajak Nyonya Wursita menggandeng lengan anaknya dan bersama melangkah menuju tempat mereka akan makan bersama.

Selain mereka bertiga, terdapat dua orang pelayan yang berdiri tak jauh dari meja. Akan tetapi, seorang pelayan yang seharusnya selalu ada bersama keluarga itu tidak tampak.

"Lho, Pak Atmo ke mana, Bu?" tanya Adam penasaran.

Saat Adam bertanya, Nyonya Wursita tengah menyendokkan beberapa hidangan untuk diletakkan di piring suaminya.

"Pak Atmo sudah sepuh, Dam. Dia mengundurkan diri Minggu lalu. Diganti sama cucunya," terang Nyonya Wursita. perempuan itu melambaikan tangan pada seorang gadis muda berusia kisaran dua puluhan tahun. 

Gadis itu mendekati meja dan bersikap sopan dengan menundukkan kepala.

"Namanya Citra. Citra, ini anakku, Mas Adam," jelas Nyonya Wursita mengenalkan sang putra kepada gadis itu.

Gadis itu menangkupkan kedua tangannya untuk memberi salam. 

"Kamu sudah punya KTP, Cit?" tanya Adam tiba-tiba.

Tuan dan Nyonya Saguna bahkan terkejut tiba-tiba Adam bertanya tentang kartu identitas diri Citra.

"Sampun, Mas," jawab Citra malu-malu.

(Sudah)

"Oh, bagus. Kirain belum punya soalnya wajahmu kayak anak-anak," kelakar Adam.

"Kamu ini, Dam, ada-ada saja. Tak kira kenapa kamu tiba-tiba nanyain soal KTP," sahut Nyonya Wursita.

"Ya, jangan sampai mempekerjakan anak di bawah umur, Bu," jelas pria itu mengingatkan sang ibu.

"Gini-gini ibumu ini tahu aturan, Le," timpal Nyonya Wursita membela diri. "Meskipun wajahnya imut, umur Citra sudah dua puluh satu tahun ini," terang Nyonya Wursita.

(Le kependekan dari tole yang artinya anak lelaki)

Pipi Citra bersemu merah karena dipuji memiliki wajah imut. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Adam yang diakuinya memiliki wajah yang tampan.

"Nah, pengganti posisi Pak Atmo belum ada. Ayahmu janji mau nyariin," tandas Nyonya Wursita. Lalu dia memberikan isyarat kepada Citra untuk kembali ke tempatnya.

"Nyari pengganti buat handle rumah ini juga nggak boleh sembarang, Ta," tegas Tuan Adyaksa.

"Tapi harus secepatnya, Mas," cicit perempuan itu. "Hari jadi perusahaan sudah dekat. Pengganti Pak Atmo ndak boleh ditunda-tunda." Nyonya Wursita terdengar serius.

Adam baru akan menyuapkan sesuatu ke mulutnya ketika Nyonya Wursita memanggil namanya.

"Dam, atau kamu saja yang cari pengganti Pak Atmo?" usul Nyonya Wursita membuat Adam menunda aktivitas makannya.

"Boleh. Nanti salah satu asisten Adam bisa ambil posisi Pak Atmo," jawab Adam tanpa berpikir panjang lalu mulai mengunyah sesuatu karena sudah lapar.

"Jangan!" tolak Tuan Adyaksa. "Asistenmu bisa datang ke sini untuk sementara waktu sampai aku dapatkan orang yang sesuai untuk pengganti Pak Atmo," putus Tuan Adyaksa. 

"Kok, gitu? Lebih cepat lebih baik, Mas," desis Nyonya Wursita.

"Asisten Adam itu sudah punya kerjaan sendiri-sendiri, Sita. Sudah … soal pengganti Pak Atmo biar aku yang urus," pungkas Tuan Adyaksa.

Mendengar keputusan sang suami, Nyonya Wursita memilih pasrah. Lalu mereka melanjutkan makan malam hingga hidangan terakhir.

"Aku ke kamar dulu," pamit Adam kepada kedua orang tuanya.

"Kamu menginap malam ini, Dam?" tanya Nyonya Wursita.

"Nggak, Bu. Aku cuma mau mandi. Habis itu balik," ungkap Adam.

"Sebelum balik, kita ngobrol dulu, ya. Ibu dan ayah tunggu di depan," pinta Nyonya Wursita.

"Iya," jawab Adam dengan menganggukkan kepala menyanggupi.

Saat Adam pergi, sepasang suami istri itu saling melempar tatap. Mereka berharap rencana mereka malam ini bagai gayung bersambut.

Adam memasuki kamar yang pernah menjadi tempatnya beristirahat sedari kanak-kanak. Isi dan posisi ruangan itu tak berubah. Nyonya Wursita menjaga dan merawat tempat itu tanpa menggeser satu pun barang milik Adam. Kamar itu terakhir dihuni saat sebelum Adam terbang ke Amerika untuk S2. Itu terjadi sekitar hampir sepuluh tahun yang lalu.

Ruangan itu bersih dari debu. Membuat Adam selalu nyaman jika sesekali menginap di Menteng. Seperti kembali ke masa-masa sebelum disibukkan oleh pekerjaan. Matanya memindai seisi ruangan dari sudut ke sudut, dari satu benda ke benda yang lain. Isi kepalanya bergerak memutar ingatan-ingatan yang berhubungan dengan benda-benda itu.

Tatapan Adam berhenti pada sebuah kertas berukuran poster yang tergulung dan tersisip di antara gulungan lainnya pada sebuah tabung besar di kaki meja. Meski dalam enggan, dia tetap berjalan menuju tempat gulungan kertas itu.

Gulungan itu dibuka dan dihamparkan di atas meja. Sebuah sketsa seorang pria dan perempuan dalam kostum formal pernikahan. Di ujung kanan bawah gambar itu ada goresan paraf milik pelukisnya–Clarissa.

"Lihat, Sayang, apa yang aku buat," ujar Clarissa suatu ketika mengunjungi Adam saat awal mulai bekerja di perusahaan ayahnya. "Sketsa kita dengan pakaian pernikahan adat Jawa. Kau menyukainya? Aku sudah tak sabar," ucap Clarissa memamerkan karya goresan tangannya.

Adam selalu menyukai antusiasme yang ditunjukkan kekasihnya itu. Sangat bersemangat dan penuh hasrat. Mengingat Adam pribadi yang tak mudah jatuh hati maka sulit baginya memulai hubungan baru. Terlebih saat menjalin hubungan dengan Clarissa, dia sudah sangat serius dan merencanakan banyak hal untuk masa depan mereka bersama. Namun, takdir tak mengizinkan. 

Raut wajah Adam selalu tersirat kekecewaan setiap mengingatnya. Setelah menghela napas panjang, gambar itu kembali ditutup lalu dikembalikan ke asalnya. Tangan kanannya menyisir rambutnya yang mulai panjang dan menggaruk asal meskipun tak gatal. Mencoba menyeret kesadarannya kembali pada kenyataan. Kemudian Adam berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. 

Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh malam. Adam pergi menemui Tuan dan Nyonya Saguna sebelum kembali pulang ke apartemen. Tuan Adyaksa sedang duduk di sofa favoritnya, sedangkan Nyonya Wursita duduk tak jauh dari sang suami dan sedang membaca sebuah majalah fashion langganannya. Kemudian perhatiannya teralihkan saat melihat Adam turut bergabung untuk duduk dengan mereka.

"Kamu apa ndak menginap saja, Dam? Sudah malam," saran sang ibu.

"Jakarta jam segini masih sore, Sita," timpal Tuan Adyaksa.

"Ck … ini namanya kekhawatiran seorang ibu, Mas," decak Nyonya Wursita mengoreksi komentar sang suami.

"Nggak bisa, Bu. Aku harus balik," ujar Adam. "Jadi Ayah, Ibu mau bicara soal apa?" tanyanya. 

Sebelum menjawab pertanyaan Adam, Nyonya Wursita memandang sang suami. Begitu pula Adam sedang mempersiapkan diri karena sudah diperingatkan oleh Hassan, asisten pribadinya.

"Nak, apa kamu sudah punya pacar?" tanya perempuan itu hati-hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status