Share

Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga
Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga
Penulis: Minang KW

Malam Terkutuk di Kuil Tua

Sesosok pria berlari dengan sangat cepat dengan memanggul sesuatu di bahunya. Di bawah siraman cahaya sang rembulan yang lembut, dia berlari keluar dari hutan, menuju sebuah kuil. Sebuah kuil yang lama tidak digunakan.

Tanpa halangan, sang pria bebas memasuki kuil sebab pintu kuil yang telah rusak.

Brugh!

Pria tiga puluh tahun menjatuhkan sosok di bahunya begitu saja ke lantai kuil yang kotor dan berdebu tebal, seorang gadis sepantaran 17 tahun dengan tangan terikat ke belakang. Begitu juga dengan mulut dan kakinya.

Sang gadis mengerang kesakitan, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Dia hanya mampu menggumam sebab mulut yang tersumbat. Dengan wajah pucat pasi, dia mencoba untuk menjerit dan meronta.

Bagaimanapun, kondisi sang gadis sangat-sangat menyedihkan dengan pakaiannya yang tak lagi utuh, dan darah yang mengalir keluar dari sela kedua pahanya, membentuk garis lebar hingga ke ujung salah satu kakinya.

Meskipun malam dan kondisi di sekitar cukup gelap, namun cahaya sang rembulan yang masuk lewat atap kuil yang tak sempurna sedikit dapat memberikan penerangan di dalam kuil.

Pria yang bertelanjang dada menyeringai lebar. “Merontalah sesukamu, Meimei. Menjeritlah!” dan dia tertawa-tawa. “Aku belum puas menikmati tubuhmu. Kau tahu, semenjak aku memasuki Istana Terlarang, kecantikanmu sudah menggoda hasratku. Dan lihat di mana kita sekarang!”

Sang pria merentangkan tangannya lebar-lebar, memandang ke seluruh bagian kuil terbengkalai itu.

“Sebuah kuil Tao yang tak lagi terpakai. Ditinggalkan pengikutnya sebab mereka beralih ke ajaran baru yang dibawa biksu-biksu busuk itu dari Barat!”

Sang gadis tak hendak mendengar omong kosong pria tersebut. Dia tetap mencoba meronta, mengabaikan bahaya yang lebih besar meskipun, perlakuan sang pria sebelumnya kepada dirinya telah membuat dia kehilangan kesuciannya.

“Tapi itu tidak masalah, adik cantik!” sang pria terkekeh dengan mengusap dagunya. “Di sini, tidak akan ada yang menemukan kita. Oh, aku akan berpuas-puas menikmati tubuh dan kecantikanmu!”

Ketakutan semakin merajalela di dalam diri sang gadis. Dia meronta lagi dan berteriak lagi meskipun teriakannya tidak keluar dengan maksimal.

Dan pria itu, membungkuk lebih dalam. Persis seperti orang yang kesetanan, dia merobek-robek apa yang tersisa di tubuh sang gadis.

“Hei, adik manis,” sang pria tersenyum lebar dengan wajah memerah karena berahinya sendiri. “Jangan marah. Jangan membenciku. Salahkan saja kecantikanmu yang selalu menggoda nafsuku!”

Brettt! Brett!

Sang gadis menjerit lagi dengan sekeras-kerasnya. Meskipun kecil kemungkinannya seseorang akan mendengar suara tak jelasnya itu, tapi dia tetap berharap seseorang akan mendengarnya, lalu datang menyelamatkannya dari nafsu binatang pria yang menindihnya kini itu.

“Oh, Dewa Yang Agung, apa yang sedang terjadi di sini?”

Pria tiga puluh tahun terkesiap dan menemukan seorang pria tua bertubuh pendek sedang berdiri di ambang pintu kuil yang telah rusak.

Dia menyeringai. “Orang tua,” ucapnya. “Lebih baik kau tidak ikut campur urusanku dan segeralah pergi dari sini sekarang juga!”

Melihat seseorang muncul di ambang pintu, sang gadis mencoba menjerit dan meronta-ronta, berharap si pria tua akan membantunya lepas dari cengkeraman si pria berhati iblis.

Si orang tua memerhatikan kondisi si gadis di bawah tindihan si pria. Dia menghela napas dengan tenang dan sangat mengerti apa yang sudah dan sedang terjadi pada sang gadis.

“Anak Muda,” balasnya dengan suaranya yang tenang dan sangat bersahaja pada si pria yang mengangkangi sang gadis. “Tidakkah engkau takut akan karma buruk yang akan menimpamu?”

“Dan aku akan dengan senang hati menambah karma burukku dengan menebas batang lehermu, Orang Tua!”

Lagi, si orang tua menghela napas dengan tenang. Bahkan dia tersenyum ramah menanggapi ancaman pria tersebut.

“Kau berbuat dosa besar di dalam tempat yang suci ini.”

“Tempat suci?” sang pria tertawa-tawa, lalu bangkit berdiri dan menghadap ke arah pintu dengan tangan berada di pinggang. “Tempat suci macam apa yang dipenuhi oleh debu dan sarang laba-laba seperti ini, hah?”

“Meskipun tiada seorang pun yang datang berdoa ke tempat ini,” kata si orang tua, masih dengan senyuman. “Bukan berarti tempat ini kehilangan kesucian dan kesakralannya, Anak Muda.”

“Tutup mulutmu, orang tua keparat!” Si pria menunjuk kasar pada sosok di ambang pintu. “Segeralah berlalu atau aku benar-benar akan menenggelamkan tanganku dalam genangan darahmu!”

“Tuan Muda Hoaren, kau seharusnya tidak melakukan hal semacam ini.”

Pria itu terkesiap. Dia menyipitkan matanya demi melihat jelas sosok di ambang pintu. Lalu dia terkekeh.

“Benar,” ucapnya dengan mengangguk-angguk. “Ternyata kau Guru Liu. Ini sangat aneh, kenapa kau bisa datang ke kuil terbengkalai ini? Atau, kau sesungguhnya telah memata-mataiku?”

“Tidak, aku bukan orang yang seperti itu,” balas Guru Liu, 60 tahun. “Aku hanya kebetulan lewat dan ingin singgah berdoa di kuil ini.”

“Maaf-maaf saja, Guru Liu,” Hoaren menyeringai tipis. “Aku tidak percaya ucapanmu. Dan kau sudah melihat apa yang aku lakukan. Jadi, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini!”

“Apakah itu tidak berlebihan, Tuan Muda Hoaren?” ujar Guru Liu. “Kau tahu aku tidak membekal ilmu bela diri tidak pula kesaktian apa pun selain ilmu sastra. Aku hanya meminta, lepaskan gadis itu. Jangan menambah beban karma yang akan kau tanggung nanti.”

Hoaren tersenyum tipis. Lalu memerhatikan si gadis di bawah kakinya.

“Baiklah!” ucapnya dengan helaan napas yang panjang. “Jika kau dapat menjamin hal ini tidak akan tersebar, maka―” Dia menjauh dari sang gadis. “Silakan,” lanjutnya. “Silakan kau bawa dia pergi. Toh, aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan darinya!”

Guru Liu mengangguk kecil. “Terima kasih atas kebesaran hatimu, Tuan Muda Hoaren.”

Pria tua mendekati sang gadis, berjongkok di sampingnya, lalu melepaskan lapisan pertama pakaiannya dan menggunakan pakaian tersebut untuk menutupi tubuh telanjang sang gadis.

Dan sampai sejauh itu, Hoaren hanya berdiri dengan tangan berlipat ke dada sembari memerhatikan apa yang sedang dilakukan oleh Guru Liu terhadap sang gadis.

“A-Anda Guru Liu? Terima kasih,” ucap sang gadis ketika pria tua telah melepas pengikat mulutnya. “A-Aku―”

Guru Liu mengedipkan sebelah matanya. Bagaimanapun, dia tahu pasti siapa gadis malang di hadapannya itu.

“Kau pikir aku bodoh hah, Guru Liu!”

Pria tua terkesiap ketika hendak melepas ikatan di tangan sang gadis. Dan saat dia berpaling, sebuah cengkeraman kuat hinggap di lehernya, menghentikan keinginannya untuk melepas ikatan sang gadis.

“Tu-Tuan Muda Hoaren …” ucap Guru Liu dengan bersusah payah. “Ke-Kenapa? Bukankah engkau setuju aku membawa pergi gadis ini?”

Hoaren menyeringai lebar, mendekatkan wajahnya ke wajah Guru Liu sementara cengkeramannya di leher Guru Liu semakin kuat.

“Kau pikir kau akan semudah itu mengelabuiku?” Hoaren terkekeh. “Aku tidak bodoh, orang tua busuk! Jika kau mengenaliku, itu berarti, kau juga mengenali gadis ini, bukan?”

“Tu-Tuan Muda Hoaren, kumohon, jangan menambah dosa yang melumuri tanganmu!”

“Lepaskan dia!” teriak sang gadis. “Lepaskan Guru Liu. Hoaren! Kau bajingan, sang Kaisar pasti akan memenggal kepalamu, mengulitimu hidup-hidup!”

“Nona, hentikan!” Guru Liu hanya takut ucapan sang gadis justru hanya akan memprovokasi kemarahan Hoaren.

“Percuma saja!” Bahkan bola mata Hoaren seolah berkilat memantulkan cahaya sang rembulan. “Aku tidak akan melepaskan kalian berdua!”

“Tuan Muda, kau―”

Krakk!

“Guru Liu!” sang gadis menjerit histeris.

Hoaren dengan sangat kejam telah membunuh sang guru sastra dengan meremas kuat batang lehernya dan membuat tulang lehernya patah.

Dua tangan Guru Liu terkulai seiring nyawanya lepas dari raga. Dia tewas dengan mata membelalak dan lidah yang sedikit terjulur.

“Dasar orang tua keparat!” Hoaren mendengus kencang. “Kalau sudah tahu kau tidak akan bakal menang dariku, mengapa mencari penyakit? Bodoh!”

Hoaren melepaskan cengkeramannya dari leher pria tua malang itu hingga tubuh tak bernyawa tersebut ambruk ke lantai dan bergeming hening.

Sang gadis menjadi semakin ketakutan dengan mata membelalak lebar.

“Dan sekarang,” Hoaren menjulurkan lidah dan menjilat bibirnya, memandangi sang gadis dengan nafsu berahi yang meledak-ledak. “Giliranmu, Meimei!”

“Apa yang kau lakukan pada Guru Liu?!”

Satu suara lagi terdengar. Dan ketika Hoaren berbalik dia menemukan seorang gadis dengan pedang bergagang merah telah terhunus di tangan kanannya.

“Keparat!” teriak sang gadis dengan kemarahan yang begitu menggelegak.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Minang KW
Hai, genks ^^ jumpa lagi dengan saya, Minang KW. Jika kalian suka dengan cerita ini, plis beri dukungan dengan membuat ulasab dan bintang 5, makasih.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status