“Yaa―ya, ter-terserah padamu saja.” Lagi, Dangmudo Basa mereguk ludah sebab merasa tenggorokannya tiba-tiba mengering.Bodoh! pikirnya. Kenapa harus menjadi gugup pula?“Asalkan,” lanjutnya. “Jangan keluar lebih jauh dari lingkungan istana.”“Hei!” Puti Champo mengernyit sembari tersenyum dan menatap wajah sang Putra Mahkota. “Kau mulai mengatur-atur diriku, Basa. Apa artinya itu?”“Ti-Tidak!” Dangmudo Basa menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa. A-Aku hanya mengkhawatirkan kesembuhanmu, itu saja.”“Ada apa dengan mereka bertiga?” Kanteh mengernyit.Sedangkan Kamba dan Kirawah di sampingnya menahan tawa mereka.“Dasar bodoh!” ujar Kirawah kemudian. “Apa kau juga belum memahami, hah?”“Memahami apa?” maka semakin mengkerutlah kening Kanteh. “Apa yang kalian bicarakan, hah?”“Oh, Dewata Agung …” Kamba geleng-geleng kepala.“Dengar, kawan,” ucap Kirawah. “Kemunculan si Saliah di istano ini, itu disebabkan keberadaan si Gadis Champa.”“Hoo…” Kanteh mengangguk-angguk.“Dengan kata lain,” lan
Di pagi yang sama, di satu jalan setapak di antara hutan rindang, sisi selatan Sungai Musi bagian tengah.Galang berada di urutan paling belakang, menunggangi kudanya dengan cukup santai.Dia tahu, perjalanan pulang yang panjang dari Air Hitam kembali ke Kotaraja Sriwijaya di hulu Sungai Musi bukanlah hal yang mudah.Selusin Prajurit Sriwijaya bersamanya memperlihatkan itu.Dia tersenyum dan menggebrak kudanya untuk melangkah lebih cepat dan memimpin di depan.“Aku tahu kalian semua lelah,” ucapnya. “Tidak sabar untuk kembali berkumpul dengan istri dan anak-anak, ayah-bunda, ataupun saudara-saudari kalian. Tapi, semua tidak akan menjadi berarti bila kita tidak langsung menuju Kotaraja untuk melaporkan sesegera mungkin pada apa yang telah kita dapatkan di hadapan Datu Sarta.”“Kami tahu, Komandan,” ucap prajurit yang tepat di samping Galang.“Jangan khawatir, Komandan,” sahut yang lainnya pula. “Rasa rindu masih bisa kami bendung meski rasa sesak begitu menggunung!”Dan ucapan itu dita
“Jangan menambah bahaya kondisi warga,” ucap sang komandan dengan sangat pelan, bahkan tanpa menggerakkan mulutnya dengan baik.Hal ini disebabkan Galang sendiri juga sedang berada di atas kemarahannya atas apa yang sedang berlaku di hadapannya kini itu.Hanya saja, dia tidak hendak gegabah sebab itu hanya akan menambah runyam kondisi yang saja. Setidaknya, akan semakin membahayakan nyawa penduduk awam di tangan keenam penjahat.“Katakan saja!” ulang Galang pada pimpinan penjahat. “Namaku, Galang. Aku pemimpin dari selusin Prajurit Sriwijaya yang ada bersamaku saat ini!”Lagi, pria misterius kembali menyeringai di balik penutup wajahnya. Seakan-akan, inilah yang dia inginkan.“Seorang komandan, hah?” ucapnya. “Ya. Kurasa, kau dapat menyampaikan keinginanku pada Dapunta Hyang di istana!”Galang mengatupkan rahang, menyisikan segala kemarahan yang menggelegak tepat pada saat itu juga. Semua demi memastikan bahwa sepuluh penduduk awam yang menjadi sandera keenam penjahat tidak dilukai.T
Semua tatapan tertuju pada si pria yang masih menyembunyikan wajahnya di balik kain bebat.Dia tertawa-tawa dengan tangan berlipat ke dada.“Keparat!” sahut pria yang memegang kantong palsu. “Kau memperdayai kami, bajingan. Di mana uang-uang emas yang kau janjikan pada kami, hah?!”“Bunuh saja dia!” hasut lainnya dengan kesal.Tanpa diduga oleh mereka, pria yang mereka anggap akan memberikan kekayaan bagi mereka itu justru telah mencengkeram leher pria terdepan.Dan kemudian …Krakk!“Ingin membunuhku, hah?” kekeh pria misterius.Dia mencampakkan tubuh rekannya yang baru saja ia bunuh dengan meremukkan tulang lehernya, jatuh bergedebukan begitu saja ke lantai hutan dalam keadaan mata membelalak lebar dan lidah terjulur.Dan dengan tangan lainnya, dia melepas kain yang menutupi wajahnya selama ini.Empat pria lainnya sama mengernyit dan semakin bertambah kesal.“Kau!Wuush!Krakk! Stab! Jlept!Berturut-turut empat tubuh lainnya bergelimpangan ke lantai hutan. Seorang mengalami nasib tr
“Guru,” Daiyun sedikit membungkukkan badan ketika tatapan Guru Ma tertuju padanya.Sang guru menghela napas dalam-dalam. “Kenapa engkau akhir-akhir ini selalu gelisah, Daiyun?”“Maafkan Murid, Guru,” ucap Daiyun.Dia lantas membereskan beberapa Sutra milik sang guru, lalu dikemas ke dalam sebuah buntalan rapi berwarna merah menyala dengan sulaman benang emas.“Hanya saja,” lanjutnya sembari bekerja, “barusan, Murid melihat rombongan―”“Shan cai, shan cai …” Guru Ma mendesah halus dan panjang.Tatapannya tertuju pada bangunan istana di arah utara keramaian itu sendiri sebelum kembali pada Daiyun yang telah dengan cepat membereskan barang-barang sang guru, lalu memanggulnya di bahu kanan.Melihat sikap tubuhnya, Daiyun percaya bahwa sang Guru Besar pasti telah mengetahui kemunculan selusin Prajurit Sriwijaya yang dipimpin oleh Galang tadi itu. Daiyun hanya tak hendak lancang saja menanyakan langsung pada sang guru.“Kau tahu, Daiyun?”“Guru?”“Ada beberapa ujar-ujar tua yang aku dapatka
Hanya saja, saat hendak menutup pintu ruangan itu dari luar, Datu Arrumanda melihat sosok Galang menghampiri. Tujuannya, jelas adalah menemui Datu Panglima.“Datu,” sapa Galang dengan takzim.“Kau sudah kembali, Komandan.”“Benar, Datu,” angguk Galang. “Baru beberapa saat yang lalu. Dan saya hendak menghadap Datu Agung Sarta.”Berpikir untuk ikut mengetahui berita apa yang dibawa oleh sang Komandan Prajurit Sriwijaya, Datu Arrumanda alias si Telinga Utara justru membukakan pintu tersebut bagi orang yang posisinya adalah di bawah dirinya.Galang cukup bisa menutupi keterkejutannya dengan membukukkan badan.“Terima kasih, Datu.”Dan menjadi semakin terkejut sebab Datu Arrumanda juga ikut masuk kembali ke dalam ruangan kerja Datu Panglima.Datu Panglima mengernyit mengetahui bahwa Datu Telinga Utara tidak jadi pergi meninggalkan ruang kerjanya, dan justru masuk kembali bersama Galang.“Salam, Datu,” sapa sang komandan begitu jarak mereka kini hanya terpaut lima langkah lagi saja.“Galang
Tiba di depan rumah Datu Arrumanda, tempat di mana beberapa hari ini ia menumpang inap, senyumnya semakin lebar tatkala menjumpai istri sang datu sedang menata tanaman bunga di halaman depan tersebut.Bagaimanapun, birahinya selalu terbakar setiap kali mendapati senyuman manis di wajah istri Datu Arrumanda yang menyapanya.“Kau sudah pulang, A Niu?”Hoaren mengangguk dengan senyuman semakin lebar.Benar, pikirnya. Wanita di hadapannya yang sedang berjongkok dengan sejumput rumput liar di tangannya itu memang sudah berusia 40 tahun. Akan tetapi, keayuan wajahnya masih terjaga dengan baik, begitu pula dengan kesintalan tubuhnya.“Di mana Tuan Datu?” tanyanya sekadar berbasa-basi.“Ahh, suamiku masih berada di istana.”“Nyonya hanya bersendirian saja di rumah?”Astaga, ini kesempatan yang baik untuk menikmati wanita yang satu ini! jerit Hoaren di dalam hati.“Tidak juga,” jawab sang wanita. “Anak-anak ada di dalam, mereka sedang makan.”“Ooh…” Hoaren mengangguk-angguk.Dia masih berdiri
Sesosok pria berlari dengan sangat cepat dengan memanggul sesuatu di bahunya. Di bawah siraman cahaya sang rembulan yang lembut, dia berlari keluar dari hutan, menuju sebuah kuil. Sebuah kuil yang lama tidak digunakan.Tanpa halangan, sang pria bebas memasuki kuil sebab pintu kuil yang telah rusak.Brugh!Pria tiga puluh tahun menjatuhkan sosok di bahunya begitu saja ke lantai kuil yang kotor dan berdebu tebal, seorang gadis sepantaran 17 tahun dengan tangan terikat ke belakang. Begitu juga dengan mulut dan kakinya.Sang gadis mengerang kesakitan, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Dia hanya mampu menggumam sebab mulut yang tersumbat. Dengan wajah pucat pasi, dia mencoba untuk menjerit dan meronta.Bagaimanapun, kondisi sang gadis sangat-sangat menyedihkan dengan pakaiannya yang tak lagi utuh, dan darah yang mengalir keluar dari sela kedua pahanya, membentuk garis lebar hingga ke ujung salah satu kakinya.Meskipun malam dan kondisi di sekitar cukup gelap, namun cahaya sang