Share

Bab 7

Author: Autumn
last update Huling Na-update: 2025-03-19 07:41:55

“Mana suamimu?” tanya ibu tiriku yang tiba-tiba saja muncul dari arah dapur , membuatku sedikit terjengit, dan hampir membuat jantungku copot karena tak ada suara apapun ketika dia melangkah.

“Astagfirullah ibu, bikin kaget saja,” jawabku sembari mengusap dadaku karena reflek dan berbalik menghadap ke arahnya. 

“Tinggal jawab saja pakai sok-sokan kaget segala,” sungutnya kepadaku. Jika bukan karena Ayah, aku sudah mencakar wanita paruh baya ini. Setiap hari selalu membuat kesal dengan omongan dari mulutnya. Sejak awal dia memamg tak ernah menyukaiku. 

Sabar Kiran, sabar! Lebih baik mengalah daripada berdebat nggak jelas. Ini masih pagi aku nggak mau mengotori hati dan pikiranku. Biarkan hari ini mengalir dengan sendirinya. 

“Maaf, Bu. Tapi Kiran memang beneran kaget. Kalo Mas Dirga, tadi dia pamit mau pulang, Bu,” jelasku singkat. Sejujurnya aku malas menjelaskan apapun kepadanya. Semua hanya akan dia jadikan bahan mencecarku. Itu yang membuatku malas. Hal-hal kecil bisa dibuat berlebihan jika berhadapan dengan Ibu. Semua harus sempurna di matanya.

“Pulang? Kamu nggak di bawa? Bagaimana bisa begitu, kamu itu istrinya. Kenapa malah ditinggal. Jangan-jangan kamu ditinggal kabur lagi. Dia pasti mau lari dari tanggung jawab. Udah nikahin anak orang, nggak bawa apa-apa malah sekarang kabur. Kamu juga jam segini baru bangun? bangun kesiangan lagi? Ada saja masalah yang kamu buat,” cerocosnya yang membuat telingaku mulai panas. Aku sudah ingin pergi meninggalkannya di dapur. Tapi aku tahu apa yang akan terjadi jika aku melakukannya.

Aku memang mengurung diri sejak kepergian Dirga tadi pagi dan setelahnya bude Diyah dan pakde Sultan berpamitan untuk pulang juga. Dan memutuskan kembali ke kamar. Semua pekerjaan rumah sudah kuselesaikan semua. Tapi dia menuduhku seperti itu? 

“Astafirullah Ibu, kenapa ibu ngomong begitu sih. Nggak boleh suudzon gitu, Bu!” tegurku yang kali ini sedikit keras. Aku juga sudah lelah ditiduh dan diintimidasi olehnya setiap hari. Ada saja celahnya untuk menyakitiku. Itu sangat membuatku muak. 

“Ada apa ini?” Tiba-tiba saja Ayah muncul dari arah ruang tamu. Aku yakin Ayah mendengar sebagian percakapan kami, karena suara ibu cukul nyaring. Bahkan tetangga sebelah mungkin juga mendengar perdebatan kami ini.

Ibu memutar bola matanya sembari berkacak pinggag “Ini nih Yah, katanya si Dirga pergi. Ibu jadi curiga kalo Kirana ditinggal kabur. Emang bener lelaki nggak baik si Dirga itu. Kok Ayah mau-maunya percaya dan memberi restu buat Dirga menikahi Kirana? Mas kawin cuma 70 ribu saja kamu belain terus, sudah dapat pisang kukusnya kamu ya sampai-sampai buta sama lelaki model begitu,” ucapnya sinis.

“Astagfirullah,” lirihku.

Jujur saja kata-kata ibu saat ini terdengar menyakitkan di telingaku.

“Sudah Sukma! Kamu bisa diam tidak, jangan lagi menuduh orang sembarangan. Aku nggak serta merta memberikan izin sembarangan kepada Dirga menikahi putriku. Aku sudah lama mengenal anak itu, jadi tidak mungkin dia seperti yang kamu pikirkan itu. Buang jauh-jauh pikiran busukmu itu!” kata Ayah mencoba menengahi kami.

“Bela saja terus menantu keremu itu! Kamu ada di kasih uang hari ini?” tanyanya yang menurutku sangat sensitif. Dia menatapku seakan menunggu jawaban apa dariku. Aku menarik napas dalam dadaku terasa sesak mendengar ucapan ibu yang terkesan menyudutkanku. 

Aku menggeleng karena memang itu fakta, tapi bukan berarti aku ingin merendahkan mas Dirga di hadapan keluargaku. Kali ini Ayah juga tampak sedikit kecewa, kulihat dari raut wajahnya yang berubah.

“Nah kan, apa kubilang. Dugaanku nggak pernah meleset. Dia pasti lelaki nggak bener. Udah batalin saja pernikahannya. Kedepannya kamu cari lelaki yang kaya raya biar modal nikah bisa balik! Jangan kayak si Ferdi semua seserahan diambil balik. Memang dasar lelaki sialan! Mau untung malah rugi!” umpat ibu sebelum pergi meninggalkan kami.

“Astagfirullah, Sukma!” bentak Ayah. Namun dia sudah lebih dahulu melesat meninggalkan kami berdua. 

“Maafin Kirana ya, Yah. Sudah buat Ayah malu dan kecewa,” kataku menunduk lesu. Kali ini aku benar-benar merasa sedih dan sakit hati. Semua omongan Ibu ada benarnya, tapi setidaknya dia menjaga kata-kata itu agar nggak keluar begitu saja.

“Tidak Kirana, ini semua adalah takdir. Kamu jangan sedih lagi. Jangan dengarkan perkataan ibumu ya. Ayah yakin jika Dirga bukan pria jahat. Dia ada pamit sama kamu sebelum pergi?” tanya Ayah mencoba mencairkan suasana. Tapi hatiku sudah terlanjur sakit dengan kata-kata yang dilontarkan oleh ibu kepadaku. 

Semua seserahan dari Ferdi memang diambil kembali, tapi semua dana pernikahan juga hampir 90 persen dari uang tabungan milikku selema bekerja. Lantas kenapa dia semarah ini? Apa karena aku hanya seorang anak tiri sehingga dia memerlakukanku seperti ini?

Sementara Dirga, aku masih memakluminya karena dia juga menikahiku dalam kondiri terjepit. Aku tak tahu kondiri ekonomi Dirga saat ini. Aku juga belum tahu dia bekerja di mana dan kondisinya saat ini. Tapi aku yakin dia pria yang baik. Aku percaya dia akan kembali dan membungkam omongan ibu yang tadi. 

“Ada Ayah, Mas Dirga pamit kok sama Kiran. Dia bilang ada urusan yang harus diselesaikan. Jadi dia buru-buru, mas Dirga juga nitip salam buat Ayah karena nggak sempat pamit sama Ayah langsung,” jelasku yang membuat Ayah tampak sedikit lega. 

“Waalaikumsalam ... Semoga Allah mempermudah segala urusan menantuku. Kamu jangan sedih ya, semua masalah dan badai ini pasti akan segera berakhir. Allah selalu bersama orang-orang yang sabar, Kiran. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan sesuatu. Tetapi Allah bisa saja dengan mudahnya menguji kita dengan mengubah sedikit alur kisah yang kita rencanakan, Nak. Ayah tahu semua itu berat. Kamu boleh sesekali menangis, jangan berpura-pura tertawa untuk membohongi diri maupun orang lain. Kamu juga hanya manusia biasa sama halnya seperti Ayah. Maafin Ayah ya, sudah buat banyak luka dan kecewa sama Kiran,” kata Ayah yang terlihat sedih ketika mengatakan hal itu. 

Aku mengangguk dan berlari memeluk tubuh Ayah. Tangisku pecah ketika wajahku bersandar di dada Ayah. Begitu banyak masalah yang datang dan pergi akhir-akhir ini membuat aku mengerti terkadang kita harus merasa tersakiti agar bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. 

Aku tergugu dengan tubuh yang bergetar hebat. Ayah mengusap punggungku dengan lembut dan mencoba menenangkanku. Rasanya sesakku perlahan hilang.

-- 

Aku penasaran bagaimana kabar Mas Dirga saat ini. Aku mencoba menghubungi dia namun belum tersambung, jadi aku putuskan untuk mengirim pesan singkat melalui aplikasi hijau berlogo telepon yang ada di gawaiku. 

[Mas ini nomorku. Kirana]

Hanya centang satu, aku jadi teringat omongan ibu. Jangan-jangan, ah nggak boleh suudzon Kiran!

Percaya sama Mas Dirga. Dia pasti kembali, aku mencoba menghibur diri dengan menaruh penuh harapan kepada pria itu tentunya.

Saat ini aku hanya bisa pasrah saja kepada Allah dengan semua rencana yang aku yakini akan menjadi indah jika aku bersabar.

Cahaya terang di langit berubah sedikit mendung, hari juga sudah semakin sore belum ada balasan dari mas Dirga dari pesan yang aku kirimkan tadi. Aku menyapu di halaman, ada beberapa orang dari vendor yang lalu lalang mengangkut tenda dan dekorasi yang tersisa. Sesekali aku kembali teringat hal menyakitkan yang terjadi kemarin. Semua terasa begitu segar dalam ingatanku.

Tapi aku harus bangkit dan mulai menata semua perasaanku kembali. Aku juga sudah menjadi istri orang, aku juga harus move on dari semua masalah kemarin. Urusan fitnah itu, biarkan waktu yang akan menjawabnya.

Aku yakin, jika ada seorang dengan sengaja ingin menyakitiku maka Allah sendiri yang akan membalasnya kelak!

“Nyapu sendiri aja nih, Kiran?” sapa tetangga samping rumah. 

“Iya Bu Hesti. Mau ke mana?” tanyaku sedikit basa-basi. Sejujurnya aku enggan melakukannya. Tapi hidup di desa memang harus seperti ini. Harus pandai-pandai menutupi rasa sakit dengan topeng tebal.

“Mau ke depan. Oh iya mana suami kamu?” tanyanya sedikit celingukan mencari-cari sesuatu.

“Sedang ada urusan bu,” jawabku singkat.

“Oh, nggak kabur kan? Aku dengar suamimu itu pengangguran lho Kiran. Kamu kok mau-maunya nikah sama lelaki mokondo begitu. Sudah mahar kecil pengangguran. Kamu ini perempuan cantik tapi kok ya sial banget,” lirihnya yang sudah mendekat ke padaku. Aku hanya bisa menghela napas dan menyunggingkan senyumku ketika mendengar ucapan bu Hesti. 

“Ibu malah lebih tau daripada saya ya,” jawabku.

“Ya kebetulan saja aku tau, dia tetanggaan sama adik iparku di kecamatan sebelah. Semangat deh buat kamu.”

“Ahaha ... Iya bu, saya pasti semangat kok,” jawabku dengan raut yang ku bikin jenaka. Kita terkadang harus menjadi badut dengan topeng tebal menghadapi manusia seperti ibu Hesti ini.

“Wajib sih, apalagi kamu juga harus menafkahi suami pengangguranmu itu. Aku jadi kasihan deh,” sahutnya lagi yang membuat telingaku semakin panas. 

“Dengan Mbak Kirana Vinaya?” kata seorang dari dalam mobil pick up, yang penuh dan di tutupi dengan terpal berwarna biru membuat aku penasaran. Kulihat bu Hesti menoleh bingung ke arah pick up itu, sama sepertiku.

“Iya saya sendiri!” jawabku. Lalu tiba-tiba mobil itu memasuki halaman 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 53

    “Gimana Ga? Ketemu?” tanya Mayang berlari menghampiri putranya yang terlihat berjalan dengan gontai memasuki rumah. “Kalo ketemu nggak mungkin Kirana nggak di sini, ma," jawab Dirga dengan nada malas. Dia sudah sangat lelah sepanjang hari berkeliling tanpa arah dan tujuan. Tak ada tempat bertanya, tak ada tempat yang di tuju. Dia menghela napas lalu berlalu begitu saja melewati sang mama.Dia berjalan menuju kamar dengan perasaan tak karuan, rasanya dunia runtuh, ketika sehari dirinya tak melihat wanita yang dia cintai. ‘Kamu ke mana sih, sayang. Kenapa kamu setega ini ninggalin aku tanpa berpamitan. Kesalahan apa sebenarnya yang aku perbuat?' Dirga menutup pintu kamar dan mengambil laptop miliknya. Setelah menemukan yang dia cari, dia segera mengemasi barang dan kembali keluar.Mayang yang sejak tadi merasa pusing, kini dikagetkan melihat Dirga yang sudah membawajaket ransel hitam dan mengenakan tebal. “Ga, ini bukan waktunya muncak, istri kamu ilang lho. Bisa-bisanya kamu mau mu

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 52

    Kirana menunduk menahan senyum, bahkan dia juga merasa tak enak dengan sepupunya. Entah kebetulan atau bagaimana, ternyata pria yang dia sangka seorang psikopat tadi adalah sepupunya. Dia ternyata Kaivan, anak yang beberapa tahun lalu masih duduk di bangku SMP dan tak setinggi sekarang ini, siapa sangka sekarang sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa tampan dan rapi. Ingat ya, tampan dan rapi. Kirana memang belum pernah bertemu lagi semenjak pertemuannya terakhir kali beberapa tahun silam. Bahkan di hari pernikahannya dia tak sempat datang karena mempersiapkan untuk masuk perguruan tinggi. Kaivan yang dulu terlihat sangat culun dengan kacamata tebal dan rambut klimis berbau minyak rambut pria. “Sakit tau mbak,” keluh pria itu sembari menggosokkan telur bulat pada keningnya yang benjal karena tampolan reflek dari Kirana sebelumnya. Kejadian begitu cepat, jika teringat kembali Kirana merasa kesal dan tak enak telah memukul kepala Kaivan. Semua dia lakukan dalam upaya melindungi diri. “S

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 51

    Matahari sudah di atas kepala cuaca terasa begitu terik, hati Dirga ikut memanas karena kejadian di hari ini. Pria itu tampak mengusap wajahnya gusar, sudah beberapa tempat dia datangi, namun tetap tak membuahkan hasil juga. Dia bahkan sudah meminta bantuan Nanda untuk melacak keberadaan sang istri, namun hasilnya tetap nihil. Dia menarik napas berat, tangannya meremas kaleng minuman lalu melemparnya ke segala arah. “Aduh, catit!” teriak seorang anak kecil sembari memegangi kepalanya. Mendengar suara itu, Dirga sontak menoleh. “Astaga, maaf-maaf, kamu baik-baik saja?” tanya Dirga terlihat panik. Dia segera berlari menghampiri seorang anak lelaki berusia tiga tahunan itu. ”Hiih syebel. Om lepal kaleng cembalangan, itu pencemalan lingkungan!” teriak anak kecil itu berlari mendekati Dirga sembari memberikan kaleng yang sempat dilempar olehnya tadi. Dirga tampak termenung menatap wajah gembul menggemaskan, yang terlihat kesal itu. Dia bahkan tak tau harus bereaksi seperti apa s

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 50

    Embusan angin segar membelai kulit Kirana. Tatapannya lurus ke arah laut lepas. Pikirannya terasa lebih tenang, beberapa kali dia menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Deburan ombak putih bergulung seakan berlomba-lomba menghampirinya. Sesekali kakinya terasa basah karena belaian air laut yang menyapa. Sudut bibirnya terangkat, dia baru menyadari jika selama ini pikirannya selalu terasa penuh dengan permasalahan hidup. Orang-orang toxic yang datang dan pergi silih berganti. Memikirkan hal itu tiba-tiba dadanya terasa sesak kembali. Buru-buru dia menghalau pikiran menyiksanya. Mengalihkan dengan pemandangan indah di hadapannya. “Maafin mama ya sayang, kamu jadi merasa semua yang mama rasakan. Mama janji, kita akan selalu bahagia kedepannya. Makasih sudah hadir dan selalu temani mama di saat mama terpuruk. Kehadiranmu saat ini membuat mama sangat bersyukur dan bahagia,” gumam Kirana sembari membelai perutnya. Embusan angin semakin terasa kuat, kali ini dia kembali ber

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 49

    Dirga tak mendapatkan jawaban dari perjalanannya, hanya rasa kesal yang memenuhi kepalanya. Entah apa yang membuat istrinya sampai pergi secara tiba-tiba. Emosinya mulai memuncak, kepalanya bak mendidih memikirkan rentetan kejadian yang serba tiba-tiba. Jika ditarik, semua ini tidaklah seperti kebetulan semata.“Shit, arrrgh ... Sialan!” teriak Dirga di tengah jalan. Helm full face yang dia kenakan bahkan tak bisa meredam triakannya. Beberapa pasang mata tampak menoleh ke arahnya, di tengan kerumunan orang yang sedang menunggu lampu merah menjadi hijau. Dirga seolah tak acuh dengan kondisinya saat ini. Mengabaikan tatapan orang yang melihatnya dengan tatapan aneh. Setelah lampu berubah menjadi hijau, pria itu segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan memutar arah kembali ke rumanya.“Sialan kau Giselle, arrghh ...!” dia langsung menyadari jika wanita iru adalah sumber utama kekacauan yang sedang terjadi saat ini. Tak lama dia sampai di halaman depan, berharap jika sa

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 48

    Di kamar temaram terlihat dua insan tak mengenakan apapun Yang hanya ditutupi selimut tampak kelelahan setelah menghabiskan siang panas hingga menjelang sore.Dirga menutupi tubuh putih Kirana menggunakan selimut tebal, lalu mencium kening istrinya yang tertidur pulas setelah digempur habis-habisan olehnya. Dirga tersenyum tipis menatap istrinya dengan rasa sakit dan rasa bersalah. “Maafin mas ya, mas akan berusaha bahagiakan kamu kedepannya. Jangan pernah pergi dari mas ya,” bisik Dirga lalu mengenakan celana boxer hitam dan segera mengambil laptop silver dari meja di samping tempat tidurnya. Lalu ikut duduk di samping sang istri menemani wanita yang terlelap damai. Dia segera meminta Nanda untuk mencarikan tenpat tinggal yang cocok untuknya dan Kirana.Tak butuh waktu lama, Nanda mengirim beberapa gambar beserta harga untuk Dirga. Pria itu melihat seksama menimbang di mana dirinya akan membawa sang istri mencari kenyamanan. Pada akhirnya dia menemukan sebuah apartemen yang cukup lu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status