Share

Mimpi

"Mbak, ayo kita pulang. Hujan sudah mulai turun, Mbak." Kurasakan Risa menyentuh pundakku.

Aku masih bergeming menatap kosong gundukan tanah yang mulai basah karena tetesan air hujan, aku tidak menjawab ajakan Risa, aku masih ingin di sini berlama-lama berada di samping Mas Haris. Aku masih ingin menemani Mas Haris, aku tidak mau Mas Haris kesepian, jika bisa aku ingin ikut Mas Haris saja.

"Kenapa aku tidak kau ajak, Mas? Kenapa aku kau tinggalkan begitu saja?" batinku menjerit.

"Mbak ...." Risa kembali memanggilku. "Ayo kita pulang dulu, Mbak. Besok Mbak Laras bisa kemari lagi," bujuk Risa kepadaku.

Aku masih terdiam, air mataku tak bisa lagi menetes, tetapi sesak di dadaku masih terasa. Hatiku hampa tanpa kehadiran Mas Haris di sisiku. Aku seolah kehilangan cahaya dalam gelapnya duniaku.

"Mbak, Mas Haris akan sedih jika nanti Mbak Laras sampai sakit. Ayo kita pulang, Mbak," bujuk Risa lagi.

Aku mengangguk menanggapi Risa, aku tidak mau membuat Mas Haris sedih. Risa membantuku bangun, dia menuntunku menuju mobil. Pandanganku kosong menatap tempat peristirahatan terkahir Mas Haris. Sejujurnya aku masih belum rela pergi meninggalkan Mas Haris sendirian, tapi aku tidak mau membuat Mas Haris sedih.

Aku dan Risa pun akhirnya masuk ke dalam mobil, aku masih tetap tak memalingkan wajah menatap lekat makam Mas Haris. Hatiku seolah tertinggal di makam Mas Haris. Aku belum bisa ikhlas kehilangan Mas Haris. Mobil perlahan melaju meninggalkan area pemakaman.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam menatap ke luar jendela. Risa sedari tadi mengajakku bicara, tapi aku hanya menanggapinya dengan anggukan ataupun dengan gelengan saja. Bibirku masih kelu, aku masih belum mampu berkata-kata.

Selang tiga puluh menit kami sampai di depan rumah Mas Haris, aku segera turun dari mobil tanpa menunggu Risa. Langkahku gontai memasuki halaman rumah Mas Haris yang masih tersisa dekorasi pesta pernikahan kami. Aku berhenti sejenak melihat kursi pelaminan, mataku kembali berkaca-kaca mengingat acara bahagia kami beberapa hari yang lalu.

Saat itu kami duduk di kursi tersebut sambil tersenyum bahagia menyambut para tamu yang memberikan selamat kepada kami. Tidak pernah terbayangkan jika kebahagiaan kami hanya bertahan sebentar saja. Sekarang hanya kehampaan yang aku rasakan, tanganku kosong, tidak ada tangan Mas Haris yang selalu menggenggamnya setiap saat.

"Mbak—."

Aku tersentak ketika Risa menyentuh pundakku. Aku segera meneruskan langkah kaki masuk ke dalam rumah.

Setelah masuk ke dalam rumah, aku meneruskan langkah menuju ke kamar. Sedangkan Risa pamit melihat mama yang masih terbaring di kamar karena terpukul telah kehilangan Mas Haris, putra satu-satunya yang mama miliki.

Setelah tiba di depan pintu kamar, aku berhenti kembali. Tanganku gemetar meraih gagang pintu, kubuka perlahan pintu tersebut. Kakiku melangkah masuk begitu pintu terbuka, aroma bunga segera memenuhi indera penciumanku.

Netraku memandang sendu suasana kamar yang penuh dengan bunga, teringat kembali ucapan Mas Haris saat malam pernikahan kami.

***

"Kamu suka kamarnya, Ras?" tanya Mas Haris begitu kami memasuki kamar.

Aku mengangguk memandang takjub suasana kamar kami, netraku dimanjakan dengan aneka bunga kesukaanku menghiasi kamar kami.

"Aku sendiri yang menghias kamar kita, Ras. Aku ingin kamu merasa bahagia karena telah mau menerimaku sebagai pendampingmu," ucap Mas Haris sambil memelukku dari belakang.

Aku terharu dengan sikap manis Mas Haris, aku semakin mencintainya dengan segenap jiwaku hingga aku lupa kalau rasa itu sekarang membuat dadaku sesak, sakit perih tak terkira.

Sekarang kehadiran Mas Haris hanya tinggal kenangan. Aku sudah tidak bisa merasakan dekapan hangatnya lagi. Aku sudah tidak bisa merasakan sikap lembutnya lagi.

Hatiku patah, aku merasakan sakit hingga tidak bisa bernafas mengingat Mas Haris yang telah tiada.

Kakiku melangkah gontai menuju ranjang, kucari jejak Mas Haris yang tersisa di bantal yang dipakai olehnya. Kudekap erat bantal tersebut mencari aroma Mas Haris yang masih tertinggal.

Kubawa bantal tersebut berbaring di atas ranjang sambil terus mendekapnya, aku membayangkan mendekap tubuh Mas Haris.

Netraku perlahan terpejam memasuki alam mimpi.

"Lepaskan tanganku, Ras." Mas Haris memintaku melepaskan tangannya. Kami sedang berada di sebuah tanah lapang yang banyak ditumbuhi oleh bunga.

"Mas Haris mau kemana?" tanyaku enggan melepaskan Mas Haris. Aku masih mengenggam tangan Mas Haris erat.

"Mas tidak akan kemana-mana, Ras. Mas masih tetap di sini, di hatimu," jawab Mas Haris dengan senyum teduh. Wajah Mas Haris nampak bercahaya dan terlihat lebih tampan, hingga sangat sulit diucapkan dengan kata-kata.

"Kamu akan meninggalkanku lagi, Mas?" tanyaku lirih. Aku menunduk sedih.

Mas Haris hanya tersenyum lebar menanggapi pertanyaanku. Telapak tangan kirinya mengusap pipiku lembut. "Percayalah, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, aku akan selalu tinggal di dalam hatimu," ucap Mas Haris dengan lembut.

"Benarkah, Mas?" Aku mendongak menatap Mas Haris dengan mata berkaca-kaca.

Mas Haris mengecup keningku, "Tentu, sekarang lepaskan aku, Ras."

Perlahan aku pun melepas tangan Mas Haris. Setelah terlepas Mas Haris melangkah pergi meninggalkanku, di tempat kuberdiri. Semakin jauh Mas Haris melangkah semakin samar sosok Mas Haris terlihat di pandanganku. Aku hanya bisa mematung melihat Mas Haris pergi. Aku tersentak ketika melihat sosok Mas Haris semakin jauh dan tak terlihat. Dengan panik aku mulai mengejar Mas Haris, aku segera berlari mengejarnya.

"Mas ... Mas Haris, tunggu aku, Mas! Jangan tinggalkan aku, Mas!" teriakku sambil terus berlari terseok-seok mengejar Mas Haris.

Semakin cepat aku berlari, semakin jauh pula sosok Mas Haris meninggalkanku. Air mataku luruh tidak bisa mengejar langkah ringan Mas Haris.

Lelah berlari, aku berteriak dengan keras memanggil Mas Haris kembali, "Mas Haris—!"

Aku tersentak dan terbangun dari tidur, aku mengusap wajahku kasar, ternyata semua hanya mimpi. Aku kembali meringkuk memeluk bantal Mas Haris, tangisku kembali luruh, bahkan dalam mimpi pun Mas Haris tega meninggalkanku.

"Mas Haris ...," lirihku dalam tangis.

Aku kembali menumpahkan tangis meratapi kepergian Mas Haris. Kehilangan Mas Haris membuatku hancur, hatiku terasa disayat belati setiap mengingat tentang Mas Haris.

"Aku harus bagaimana tanpamu, Mas? Aku tidak yakin bisa menjalani hariku tanpamu di sisiku. Kenapa kamu tidak membawaku pergi bersamamu? Kenapa kamu meninggalkanku sendiri, Mas," ratapku berharap Mas Haris mau membawaku bersamanya.

Kenapa dunia tidak adil kepadaku? Baru saja aku merasa bahagia karena menjadi istri Mas Haris, kini aku sudah menyandang status janda. Status yang membuatku takut untuk menjalani hari-hariku berikutnya. Sanggupkah aku menjalani hariku setelah ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status