Share

Bayang Mas Haris

Tak terasa sudah hampir satu minggu aku lewati sejak kepergian Mas Haris, setiap hari aku selalu berdiam diri di kamar, bahkan untuk makan pun seolah aku sudah lupa waktu. Aku terlalu sibuk dengan dunia yang aku ciptakan sendiri, dunia yang hanya ada aku dan juga bayang Mas Haris.

Kini aku telah berada di balkon kamarku dengan kondisi yang mengenaskan, wajahku pucat, rambutku acak-acakan serta lingkar hitam menghiasi mataku. Tubuhku semakin kurus tak terurus, wajahku pun terlihat semakin tirus.

Aku sedang duduk memeluk lutut dan kedua tangan memegang erat potret Mas Haris. Netraku menatap kosong deretan bunga di taman belakang rumah Mas Haris. Dahulu saat aku sering datang ke rumah Mas Haris, kami sering berbincang-bincang di taman tersebut. Kami juga sering bermain dengan anak Risa di sana. Banyak sekali kenangan yang terukir di taman itu. Dulu kupikir taman itu sangat indah dengan bermacam-macam bunga yang tumbuh di sana, tapi sekarang bagiku semua terasa hampa. Tak ada keindahan lagi di sana karena kepergian Mas Haris.

"Mas ... aku rindu, aku rindu sekali padamu, Mas," lirihku.

"Aku juga rindu padamu, Ras." Suara Mas Haris terdengar di telingaku.

Seketika aku langsung menoleh, kulihat Mas Haris sedang duduk dengan posisi yang sama sepertiku. Senyum terbit di wajah Mas Haris yang bercahaya. Aku takjub melihat Mas Haris berada di sampingku. Seketika mataku mulai berkaca-kaca.

"Mas ...," panggilku dengan air mata yang mulai luruh.

"Kumohon jangan menangis lagi, Ras. Hatiku sakit melihatmu seperti ini. Aku tidak pernah meninggalkanmu, Ras. Setiap kamu memanggil namaku, aku akan selalu datang kepadamu, karena aku selalu ada di hatimu, Ras," ucap Mas Haris.

"Benarkah, Mas? Apakah kali ini kamu tidak akan mengingkari janjimu?" tanyaku memandang sendu Mas Haris.

"Aku tidak akan mengingkari janjiku, sekarang tersenyumlah. Aku rindu melihat senyummu, Ras," jawab Mas Haris.

Aku pun mulai tersenyum kepada Mas Haris, hatiku yang dingin kini mulai menghangat lagi karena melihat kehadiran Mas Haris.

Tanpa kusadari tanganku bergerak pelan ingin menyentuh wajah Mas Haris, akan tetapi aku tersentak ketika tanganku mengambang di udara dan Mas Haris pun menghilang. Dia sudah tidak ada lagi di tempatnya. Tempat di sampingku yang tadi menghangat kini kembali dingin lagi, seolah tidak pernah ada Mas Haris yang duduk di sana.

Aku segera bangkit dari duduk, aku melangkah ke sana kemari kebingungan mencari sosok Mas Haris lagi.

"Mas ... Mas Haris," teriakku memanggil nama Mas Haris dengan panik.

Semua sudut balkon sudah aku jelajahi, tapi aku tak juga menemukan sosok Mas Haris lagi.

Aku berhenti melangkah, berdiri mematung dengan putus asa sambil bergumam, "Kamu mengingkari janjimu lagi, Mas. Kamu meninggalkanku sendirian lagi." Kututup wajahku dengan kedua tangan, tangisku pun kembali pecah, aku menangis sejadi-jadinya.

Tubuhku luruh ke lantai karena tidak kuasa menahan sakit sesaknya di dadaku. Aku terduduk di lantai sambil memeluk potret Mas Haris.

***

"Ayo kita pulang ke rumah kita sendiri, Ras. Kamu akan selalu teringat Haris jika berada di sini terus menerus," ajak ibu padaku.

Ibu dan ayah kini telah berada di kamarku, mereka datang setiap hari untuk menemuiku, akan tetapi aku tidak pernah keluar dari kamarku untuk menemui mereka. Selama ini aku selalu mengunci pintu kamar dari dalam, aku tidak mau siapapun masuk ke dalam kamarku, hingga aku tidak tahu bagaimana ibu dan ayah bisa membuka pintu kamarku dengan kunci cadangan.

Aku memandang ibu sendu, teganya Ibu memintaku melupakan Mas Haris, padahal ibu sangat tahu kalau aku tidak akan bisa melakukannya.

"Tidak, Bu. Aku akan tetap di sini, aku sedang menunggu Mas Haris datang, jadi biarkan aku tetap di sini menunggu Mas Haris," pungkasku.

Ibu seketika menangis mendengar jawabanku, hatiku sakit melihat ibu menangis, tapi aku juga tidak bisa jika harus pergi sebelum Mas Haris datang.

Ayah berjalan mendekat ke arahku setelah mendengar jawabanku, tangan Ayah terulur memegang kedua lenganku. Ayah menatapku tajam.

"Sadarlah, Ras. Haris sudah meninggal, dia tidak akan pernah kembali kepadamu lagi. Jadi sia-sia kamu berada di sini, lebih baik kamu ikut kami pulang," ucap ayah tegas.

Aku menggelengkan kepala menanggapi ucapan ayah, "Tidak, Yah. Mas Haris selalu datang setiap aku memanggilnya, dia masih belum meninggal, Mas Haris sudah berjanji akan selalu datang jika aku memanggil namanya," bantahku.

Ayah mencengkram kuat lenganku, raut wajah Ayah berubah muram. Satu tetes air mata lolos dari mata tuanya. Pandangan ayah pun berubah sendu.

"Jangan siksa kami seperti ini, Ras. Sadarlah kalau Haris tidak akan pernah kembali lagi, dia sudah tenang di sana, Ras. Perlu kamu ketahui bahwa mama mertuamu meminta kami untuk menjemputmu, agar kamu tidak terlalu bersedih dan mengingat Haris terus," lirihnya.

Aku tersentak mendengar ucapan Ayah, ternyata mama ingin aku keluar dari rumah ini dengan menghubungi orang tuaku. Mama berniat mengusirku secara halus dari rumah ini.

Aku tersenyum miris, padahal di dalam rumah ini selalu ada bayang Mas Haris, ada banyak kenangan Mas Haris, tetapi aku sudah tidak diijinkan lagi untuk tinggal di sini.

"Ras, ikutlah kami pulang. Siapa lagi yang akan melindungimu jika kamu di sini. Haris sudah tiada, kamu tidak lagi diwajibkan untuk tetap di sini. Ayah mohon ikutlah kami pulang, Ras. Kasihanilah lelaki tua ini, kasihanilah ibumu yang selalu menangis setiap malam, mengingat kesedihan putri tunggalnya," tambah Ayah sembari melepaskan lenganku untuk mengusap air matanya yang bercucuran.

Hatiku seolah tertusuk melihat ayah menangis karena aku, padahal selama ini ayah adalah sosok yang kuat. Tidak pernah sekalipun aku melihat air matanya keluar, aku merasa menjadi anak yang berdosa karena membuat orangtuaku mengeluarkan air mata.

"Baiklah, aku akan pergi, Yah. Tapi beri aku waktu di sini untuk sebentar saja. Aku masih ingin mengenang Mas Haris," jawabku membuat wajah ibu berbinar.

Aku pun memutuskan untuk pergi dari rumah Mas Haris, mengingat mama sudah tidak menginginkanku tinggal di sini lagi. Tetapi aku juga tidak mempunyai niat untuk kembali ke rumah orangtuaku. Aku ingin menghilang untuk sejenak, aku ingin menenangkan diri terlebih dahulu.

"Baiklah jika itu yang kamu inginkan. Kapan pun kamu ingin pulang, Ayah akan segera datang menjemputmu, Ras. Ketahuilah kalau kami sangat menyayangimu, jangan pernah merasa sendiri, ada kami tempatmu untuk bersandar," ucap ayah sembari memelukku.

Aku hanya diam tak membalas pelukan ayah, aku masih tidak menyangka kalau mama sudah tidak menginginkanku tinggal di sini. Mungkin benar kata ayah kalau aku sudah tidak punya kewajiban untuk tinggal di sini lagi.

Ayah pun melepaskan pelukannya, diusapnya kepalaku dengan lembut.

"Kalau begitu kami pergi dulu, Ras. Jaga kesehatanmu, hati Ayah sedih melihat kondisimu seperti ini. Hubungi Ayah jika kamu sudah ingin pulang."

Aku mengangguk menanggapi ucapan ayah, sementara ibu juga memelukku dalam diam. Aku tahu kalau ibu pasti sedih karena aku tidak langsung ikut pulang, tapi aku masih ingin sebentar saja berada di sini untuk melihat bayang Mas Haris.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status