Share

Fitnah Menjadi Janda
Fitnah Menjadi Janda
Penulis: Uci ekaputra

Kehilangan

Awan mendung semakin menggelap pertanda hujan akan segera turun, angin berhembus dengan kencang, cuaca semakin bertambah dingin, tapi tak juga membuatku beranjak dari area pemakaman. Sudah satu jam aku berdiam diri di sini, orang-orang pun sudah beranjak pergi dari tadi. Aku masih memandang hampa gundukan tanah di depanku, air mataku masih tetap luruh tanpa henti.

Aku Larasati, biasa dipanggil Laras. Sedang makam di depanku adalah makam dari Mas Haris--suamiku yang masih beberapa hari lalu menghalalkanku. Mas Haris meninggal karena kecelakaan saat kami akan pergi berbulan madu.

Aku masih mengingat jelas permintaanku kepada Mas Haris untuk berbulan madu di pulau Komodo, aku sangat ingin melihat pantai dengan pasir berwarna pink di sana. Impian yang akhirnya membuatku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai.

***

"Setelah kita menikah, kamu mau pergi berlibur kemana, Ras?" tanya Mas Haris padaku ketika kami sedang makan siang bersama.

Kami baru saja pulang dari butik untuk mengambil kebaya yang akan kupakai di acara pernikahan kami, kebetulan di sebelah butik tersebut ada sebuah restoran, jadi kami memutuskan untuk makan siang di sana.

"Aku ingin pergi ke Labuan bajo, Mas. Aku penasaran dengan pantai Pink di sana," jawabku dengan wajah berbinar. "Aku ingin melihat pasir di sana yang berwarna pink itu, kata Winda pemandangan di sana sangat indah," tambahku. Winda adalah teman sekaligus rekan kerjaku.

"Baiklah, apapun mau tuan putri akan aku penuhi. Aku akan membawamu melihat pantai itu," sahut Mas Haris sembari tersenyum lembut.

"Benarkah, Mas?" tanyaku dengan wajah semringah. Tak dapat kusembunyikan bagaimana bahagianya hatiku ketika Mas Haris memenuhi permintaanku.

"Tentu saja, aku akan memenuhi permintaanmu, aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia karena sudah mau menikah denganku," jawab Mas Haris.

Aku mengembangkan senyum mendengar jawaban dari Mas Haris. Pipiku merona karena ucapan Mas Haris yang sangat manis. Hatiku berbunga-bunga, aku sangat bahagia karena mempunyai calon suami seperti Mas Haris. Walaupun kami dijodohkan oleh orang tua kami, tetapi kami merasa sudah cocok satu sama lain.

Aku tidak menyangka kalau permintaanku saat itu malah membuatku kehilangan Mas Haris untuk selama-lamanya.

Tepat empat hari setelah acara pernikahan, kami pun akan berangkat berbulan madu. Aku sangat antusias menyambut keberangkatan kami, terbayang kami akan disuguhi pemandangan pantai yang sangat indah begitu sampai di sana. Aku menjadi tidak sabar menantikannya.

Aku menunggu kedatangan Mas Haris dengan tidak sabar. Mas Haris sedang pergi ke kantor karena ada keperluan yang mendesak. Padahal Mas Haris masih dalam masa cuti, tapi tetap saja ada urusan kantor yang harus dia tangani.

Aku melirik jam di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tapi Mas Haris belum juga pulang. Padahal satu jam lagi kami harus segera tiba di bandara untuk keberangkatan kami.

"Mas Haris lama sekali, apa aku telfon saja untuk mengingatkannya?" Aku pun mengambil ponsel untuk menghubungi Mas Haris.

Namun, baru saja aku akan menelfon Mas Haris, ponselku sudah berdering terlebih dahulu. Aku tersenyum melihat layar ponsel yang berkedip ketika ada telfon.

"Assalamu'alaikum, Mas," sapaku cepat menekan tombol hijau di layar ponsel.

"W*'alaikumsalam, Ras. Maaf Ras, aku baru bisa pulang sekarang, aku tidak menyangka jika pekerjaanku banyak sekali," ucap Mas Haris membuatku sedikit lega akhirnya Mas Haris akan pulang.

Di saat seperti ini Mas Haris masih saja mementingkan pekerjaannya. Padahal tinggal sebentar lagi kami berangkat, tapi Mas Haris masih disibukkan pekerjaannya.

"Iya, Mas," jawabku singkat.

"Kamu marah ya, Ras?" tanya Mas Haris dari sambungan telfon.

"Nggak, Mas. Sekarang Mas Haris sedang di mana?"

"Bersiaplah, aku sedang dalam perjalanan pulang. Setelah aku tiba, kita langsung berangkat," jawab Mas Haris.

"Jangan menelfon di jalan, Mas. Fokus saja mengemudi. Aku akan sabar menunggumu pulang, Mas," ucapku khawatir dengan Mas Haris. Sejak tadi hatiku gelisah tak menentu.

"Jangan khawatir, Ras. Aku baik—." Suara Mas Haris terputus.

"Halo ... Mas ... Mas Haris ... ada apa, Mas?" Aku memanggil-manggil Mas Haris, tapi tak berselang lama terdengar suara benturan keras. Aku semakin panik dan khawatir pada Mas Haris.

Kutatap layar ponsel yang masih menyala dengan gusar, panggilan telfon dengan Mas Haris masih tersambung, tapi Mas Haris tidak menjawab panggilanku.

"Ya Allah, Mas. Kenapa tidak menjawab panggilanku? Ada apa denganmu, Mas. Jangan membuatku khawatir." Netraku mulai berkaca-kaca. Ketakutan mulai menghampiriku.

"Halo ...." Terdengar suara dari sambungan telfonku dengan Mas Haris. Tapi bukan suara Mas Haris, aku mengernyit heran.

"I-ya ha-lo, maaf dengan siapa? Kenapa bisa ponsel suami saya ada pada anda?" tanyaku beruntun.

"Maaf, suami Ibu telah mengalami kecelakaan—."

Brak ....

Seketika ponsel dalam genggamanku jatuh ke lantai mendengar bahwa Mas Haris telah mengalami kecelakaan. Kurasakan dunia berputar, dan menggelap.

***

"Bagaimana kondisi suami saya, Dok?" tanyaku tidak sabar.

Dokter tersebut memandangku dengan tatapan sendu, "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi suami Ibu tidak bisa kami selamatkan."

Netraku membulat mendengar ucapan dokter, aku bagai mendengar petir di siang hari, tubuhku seketika luruh ke lantai. Air mataku semakin luruh, aku menangis sejadi-jadinya karena kehilangan Mas Haris.

"Tidak ... Mas Haris ...!" tangisku.

Nyawaku seolah ikut menghilang bersama kepergian Mas Haris, aku menangis meraung memanggil-manggil Mas Haris. Rasanya hatiku tidak percaya dengan kepergian Mas Haris yang begitu cepat.

Aku segera menghambur masuk ke dalam ruang UGD, setelah masuk aku langsung memeluk tubuh Mas Haris.

"Mas, bangun. Kumohon jangan tinggalkan aku, bukannya Mas berjanji untuk membawaku melihat pantai? Lalu kenapa Mas masih berbaring saja? Bangunlah, Mas, tepatilah janjimu untuk membuatku menjadi wanita yang paling bahagia," lirihku pada Mas Haris yang tidak juga merespon ucapanku.

Hatiku bagai teriris melihat Mas Haris tidak meresponku sama sekali. "Bangun, Mas! Ayo kita berangkat, Mas. Kita sudah terlambat, pesawat kita akan segera berangkat. Kamu sudah janji untuk mengajakku melihat pantai, Mas. Jangan ingkari janjimu, Mas," lirihku sembari menangis tergugu.

Mas Haris masih tidak merespon tangisanku, aku melepaskan pelukanku, tanganku mulai mengguncang keras tubuh dingin Mas Haris untuk membangunkannya.

Tangisku semakin pecah saat tidak mendapat respon dari Mas Haris, aku meraung berteriak histeris memanggil nama Mas Haris, dadaku sesak menahan perihnya kehilangan Mas Haris, hingga kurasakan pandanganku menggelap, aku tidak sadarkan diri karena tidak kuasa menahan kesedihan kehilangan Mas Haris.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status