Netraku terus menetes melihat Pandu mengadzani putri kecilku, hatiku terasa bagai disiram air dingin melihatnya. Aku terharu sekaligus sedih, terharu karena Pandu benar-benar menjadi sosok ayah untuk putriku. Tapi aku juga sedih karena seharusnya Mas Haris lah yang mengadzani putri kami. Dialah yang seharusnya berada di posisi itu.Takdir telah membuat putriku harus kehilangan ayah kandungnya untuk selama-lamanya. Air mataku menetes semakin deras, hingga tiba-tiba kurasakan pandangan mataku mulai mengabur. Perlahan aku pun kehilangan kesadaranku. *** Aku mengerjapkan mata pelan, hidungku mencium aroma bunga yang sangat harum. Perlahan aku mencoba kembali membuka mata.Cahaya terang menyilaukan mataku yang mulai terbuka, aku mengernyitkan kening melihat sekelilingku. Banyak bunga-bunga yang berwarna warni tumbuh dengan indahnya.Aku langsung bangun dari posisiku berbaring, aku bingung sedang ada di mana. Tempat ini terasa asing bagiku. Aku memegang kepalaku yang sedikit pening, aku m
"Jadi kamu berangkat hari ini, Mas?" Aku sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan tanpa bantuan asisten rumah tangga.Aku lebih suka mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Dari dulu aku sudah berkomitmen untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten rumah tangga. Dan sekarang aku telah mewujudkannya. Setelah melahirkan, aku fokus menjadi ibu rumah tangga, tidak lagi kembali bekerja."Jadi, Ras," jawabnya sembari menyesap secangkir kopi."Berapa hari kamu di sana?" tanyaku lagi."Ada apa? Kamu takut jauh-jauh dari aku ya?" tanyanya membuatku menghentikan aktifitasku dan menoleh ke arahnya."Mana mungkin. Putrimu itu yang akan selalu mencarimu. Dia pasti rewel mencari ayahnya," sanggahku."Ah, ternyata cuma Safira yang mencariku, bukan kamu. Istriku memang tidak pernah merindukanku, padahal aku pasti akan sangat merindukanmu," sahutnya sembari mencebikkan bibirnya.
Awan mendung semakin menggelap pertanda hujan akan segera turun, angin berhembus dengan kencang, cuaca semakin bertambah dingin, tapi tak juga membuatku beranjak dari area pemakaman. Sudah satu jam aku berdiam diri di sini, orang-orang pun sudah beranjak pergi dari tadi. Aku masih memandang hampa gundukan tanah di depanku, air mataku masih tetap luruh tanpa henti.Aku Larasati, biasa dipanggil Laras. Sedang makam di depanku adalah makam dari Mas Haris--suamiku yang masih beberapa hari lalu menghalalkanku. Mas Haris meninggal karena kecelakaan saat kami akan pergi berbulan madu.Aku masih mengingat jelas permintaanku kepada Mas Haris untuk berbulan madu di pulau Komodo, aku sangat ingin melihat pantai dengan pasir berwarna pink di sana. Impian yang akhirnya membuatku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai.*** "Setelah kita menikah, kamu mau pergi berlibur kemana, Ras?" tanya Mas Haris padaku ketika kami sedang makan siang bersama.Kami baru saja pulang dari butik untuk meng
"Mbak, ayo kita pulang. Hujan sudah mulai turun, Mbak." Kurasakan Risa menyentuh pundakku.Aku masih bergeming menatap kosong gundukan tanah yang mulai basah karena tetesan air hujan, aku tidak menjawab ajakan Risa, aku masih ingin di sini berlama-lama berada di samping Mas Haris. Aku masih ingin menemani Mas Haris, aku tidak mau Mas Haris kesepian, jika bisa aku ingin ikut Mas Haris saja."Kenapa aku tidak kau ajak, Mas? Kenapa aku kau tinggalkan begitu saja?" batinku menjerit."Mbak ...." Risa kembali memanggilku. "Ayo kita pulang dulu, Mbak. Besok Mbak Laras bisa kemari lagi," bujuk Risa kepadaku.Aku masih terdiam, air mataku tak bisa lagi menetes, tetapi sesak di dadaku masih terasa. Hatiku hampa tanpa kehadiran Mas Haris di sisiku. Aku seolah kehilangan cahaya dalam gelapnya duniaku."Mbak, Mas Haris akan sedih jika nanti Mbak Laras sampai sakit. Ayo kita pulang, Mbak," bujuk Risa lagi.Aku mengangguk menanggapi Risa, aku tidak mau membuat Mas Haris sedih. Risa membantuku bangun
Tak terasa sudah hampir satu minggu aku lewati sejak kepergian Mas Haris, setiap hari aku selalu berdiam diri di kamar, bahkan untuk makan pun seolah aku sudah lupa waktu. Aku terlalu sibuk dengan dunia yang aku ciptakan sendiri, dunia yang hanya ada aku dan juga bayang Mas Haris.Kini aku telah berada di balkon kamarku dengan kondisi yang mengenaskan, wajahku pucat, rambutku acak-acakan serta lingkar hitam menghiasi mataku. Tubuhku semakin kurus tak terurus, wajahku pun terlihat semakin tirus.Aku sedang duduk memeluk lutut dan kedua tangan memegang erat potret Mas Haris. Netraku menatap kosong deretan bunga di taman belakang rumah Mas Haris. Dahulu saat aku sering datang ke rumah Mas Haris, kami sering berbincang-bincang di taman tersebut. Kami juga sering bermain dengan anak Risa di sana. Banyak sekali kenangan yang terukir di taman itu. Dulu kupikir taman itu sangat indah dengan bermacam-macam bunga yang tumbuh di sana, tapi sekarang bagiku semua terasa hampa. Tak ada keindahan l
[Win, tolong jemput aku.] Kukirimkan pesan melalui Whatshap kepada Winda untuk menjemputku, hari ini aku memutuskan untuk pergi dari rumah Mas Haris. Sudah berlalu tiga hari sejak kedatangan ayah dan ibu, aku sudah menghubungi Winda untuk mencarikanku tempat tinggal yang baru. Aku ingin menepi sejenak dari suasana kota, aku ingin berpindah ke tempat lain untuk mencari ketenangan. [Baiklah, aku akan datang satu jam lagi.] Aku segera bersiap setelah membaca balasan pesan dari Winda. Aku tidak membawa barang banyak, hanya potret Mas Haris yang aku bawa dari kamarku, selebihnya aku meninggalkan semuanya di sini.Setelah selesai bersiap, aku kembali duduk di ranjang. Netraku memandang setiap sudut kamar yang menjadi saksi bisu betapa terpuruknya aku setelah kepergian Mas Haris.Netraku memandang bunga-bunga di dalam vas yang sudah mulai layu, tapi aku tidak berniat untuk membersihkan atau menggantinya dengan yang baru. Bahkan bunga yang sudah mengering pun tetap pada tempatnya.Aku menu
"Dan kamu juga tidak perlu khawatir, Sa. Kamu dan suamimu akan hidup tenang di sini tanpa kehadiranku, aku akan pergi dari rumah ini. Ambillah semua milik Mas Haris, aku tidak butuh," ucapku memandang tajam Risa dan juga suaminya.Risa dan suaminya hanya menunduk mendapat amarahku. Siapa mereka berani menilaiku dengan rendah seperti itu.Mama berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan. Mama adalah wanita yang sangat aku hormati selain ibu, beliau wanita lemah lembut yang membuatku merasa beruntung mempunyai mertua sepertinya.Sifat lemah lembut Mas Haris mungkin juga menurun dari mama. Didikan mama yang seorang diri membesarkannya membuat Mas Haris sangat menyayangi mama. Bahkan aku pun sangat berterima kasih pada mama yang sudah membuat Mas Haris mempunyai sifat yang lemah lembut sepertinya."Ras, kamu tidak perlu pergi dari rumah ini. Kamu sudah Mama anggap putri Mama sendiri. Mama benar-benar menyayangimu seperti Mama menyayangi Risa dan Har
"Aku pamit ya, Ras. Kamu baik-baik di sini. Jangan terus meratapi kepergian Mas Haris, Ras. Ikhlaskan Mas Haris agar dia tenang di sana," ucap Winda.Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Winda, kami telah sampai di tempat bibi Winda. Dan sekarang Winda pamit karena hari sudah hampir sore, dia pamit setelah membantuku bersih-bersih, maklum rumah bibi Winda sudah lama kosong semenjak bibi Winda diboyong ke rumah anaknya."Terima kasih sudah mau aku repotkan, Win," ucapku memeluk Winda."Sama-sama, Ras. Aku tidak mau melihatmu terpuruk, Ras. Tolong kembalilah seperti Laras yang dulu lagi," bisik Winda membalas pelukanku.Aku diam tak menjawab ucapan Winda hingga Winda melepaskan pelukanku darinya. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa pada Winda, karena aku sendiri tidak tahu apakah aku sanggup untuk kembali seperti dulu lagi."Aku pergi, Ras." Winda pun berlalu pergi masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil yang membawa Winda pun mulai melaju meninggalkanku yang masih berdiri menatapnya s