Share

1 – Rumah Lama

Sudut tempat itu terasa sunyi dan hening, tidak banyak kendaraan umum maupun pribadi yang lewat di jalan raya.

Sebagian besar penduduk daerah itu adalah petani dan pedagang buah-buahan. Setiap hari, mereka akan pergi ke kota untuk menyuplai setiap kebutuhan di setiap pasar yang menjadi langganan mereka. Jarak tempat itu dan pusat kota tidaklah begitu jauh, hanya setengah jam jika jalanan tidak macet.

Anna mengendarai mobil sedan kecilnya menelusuri jalan raya itu. Tujuannya membuatnya membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil di sebelah kiri.

Mobil kecil berwarna putih itu terlihat berkilau dibawah terpaan sinar matahari. Bannya yang hitam membawa arahnya menuju ke sebuah perumahan yang setiap rumah memiliki tanah yang luas-luas.

Setiap rumah terdapat kebun di belakangnya, mulai dari sayuran hingga buah-buahan. Rumah-rumah itu saling berhadapan dan jaraknya juga agak berjauhan, sama sekali tidak mepet atau berdekatan walaupun tetangga. Di depannya setidaknya terdapat satu buah mobil pick up.

Namun tidak semua rumah yang punya kebun di belakangnya. Ada orang yang hanya membangun rumah saja, ada juga yang membangun kebun sekaligus rumah. Rumah yang Anna tuju sendiri memiliki kebun jeruk yang melebar di belakang 10 rumah tetangga yang berjejer dengan rumah itu.

Satu kilometer dari sana terdapat sekolah, mulai dari TK, SD, hingga SMP. Para orang tua di sini rata-rata menyekolahkan anak mereka di sekolah tersebut. Jika anak-anak itu mencapai SMA, biasanya mereka akan pindah sedikit lebih jauh, karena SMA hanya berada di kota.

Setelah perumahan yang pertama, Anna membelokkan mobilnya lagi menuju ke perumahan kedua yang jaraknya hanya 500 meter dari sekolah. Rumah-rumah itu juga memiliki jarak yang sama, bentuk yang hampir sama, dan juga terdapat kebun sayur atau buah di belakangnya.

Di sana juga terdapat taman, banyak anak-anak sedang bermain dengan riang gembira di sana. Anna tersenyum sambil tetap menderu mobilnya masuk lebih jauh.

Masuk ke area perumahan yang ketiga, tidak banyak orang yang tinggal di sini. Rumah pertama sebelah kiri adalah sebuah rumah seperti gudang buah, rumah inilah yang ia tuju.

Tepat di sebelah rumah itu terdapat rumah lain yang cukup besar. Rumah biru muda itu memiliki pagar beton berwarna biru pudar. Rumah itu jelas sudah lama tidak ditinggali.

Anna memegang liontin emas putih berbentuk hati berukuran kecil yang terpasang di lehernya itu dengan lembut, matanya masih terus memandangi rumah itu dengan pandangan yang sangat sedih, tapi dia tidak menangis.

Dia sudah lama mampu mengendalikan dirinya dari tangisan tak terkontrol setiap kali mengingat rumah ini dan semua kenangan buruk di dalamnya.

Anna memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah itu. Ia memandang sekeliling dan melihat beberapa anak yang bermain di taman tadi mengikutinya. Mereka jarang melihat orang yang datang dari pusat kota dan berpenampilan seperti Anna.

Anna mengangkat kacamatanya dan membuka bagasi mobilnya. Anak-anak itu langsung tersenyum lebar saat Anna memberikan mereka snack dan juga mainan. Mereka memborong semuanya sampai habis.

“Hai Anna,” sapa seseorang di dalam rumah sebelah.

Anna mengenali suara itu. Ia langsung mendatangi rumah itu dan mendapati seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh, penuh debu tanah, dengan sebuah gunting ranting kecil ada di saku celananya sebelah kanan.

“Paman Rudy!”

“Apa yang membawa orang kota ke sini?”

“Aku hanya merindukan paman.”

“Apa kau ke sini karena mendengar akan ada reuni SMP?”

“Bagaimana paman tahu?”

“Ini pemukiman kecil, semua orang tahu.”

“Apa Gina yang memberi tahu paman?”

“Benar.”

“Aku akan menginap jika paman tidak keberatan.”

Paman Rudy mencubit pipi Anna. “Bicara apa kau? Tentu saja kau boleh menginap di sini, ini kan rumahmu juga!”

Anna melepas tangan Paman Rudy dan mendengus dengan manja. “Gina akan datang kan?”

“Tentu saja. Tunggu saja dia keluar.”

“Oke,” Anna mengangguk-angguk. Saat menyadari perkataan Paman Rudy yang berkata kalau ia akan turun, wajahnya langsung berubah kegirangan. “Keluar? Gina di sini?”

Paman Rudy hanya tersenyum sementara Anna langsung menghambur masuk untuk menemui sahabat masa kecilnya itu.

“Anna!” teriak Gina sambil melemparkan keranjang jeruk yang dipegangnya.

Mereka langsung berpelukan erat dan histeris seperti anak-anak.

Gina dan Anna sudah beberapa bulan ini tidak bertemu karena kantornya mengharuskan Gina untuk sekolah lagi guna memperdalam ilmunya di Jakarta.

Paman Rudy tertawa melihat tingkah dua anak wanita yang sudah dewasa itu. “Aku akan tinggalkan kalian di sini. Jika kalian membutuhkanku, aku ada di belakang.”

Setelah paman Rudy berlalu, Gina lalu mengajak Anna ke lantai dua. Ia berhenti sebentar di dapur untuk mengambil jus jeruk yang ia buat tadi pagi berserta dua buah gelas kosong menuju kamarnya.

“Aku senang akhirnya kita bisa bertemu,” kata Gina sambil meletakkan jus jeruk dan gelas itu di mejanya. “Kenapa kau tidak bilang kalau mau ke sini lebih awal?”

“Aku masih ada pekerjaan. Tapi hari ini tiba-tiba saja pekerjaanku harus tertunda, makanya aku bisa ke sini,” ucap Anna. Ia duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan sambil menikmati es jeruk yang tadi dituangnya.

"Karena aku sudah di sini dan akan tetap bekerja di kota ini, aku sudah menyewa sebuah apartemen yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalmu. Aku ingin bisa ke apartemenmu setiap saat aku inginkan."

“Terserah padamu saja. Apa kau sudah berbenah di apartemen itu?"

"Tidak juga, apartemen itu sudah memiliki semua yang aku perlu. Aku hanya tinggal membawa pakaianku saja." Jawab Gina.

Mata Anna lalu terkunci pada sebuah rumah lama lain yang juga terlihat lusuh dan sudah lama tak di tempati lagi.

Rumah itu berwarna putih, berjarak sekitar enam rumah dari sini. Atapnya terlihat sudah berlubang-lubang. Rumput ilalang tumbuh mengelilingi rumah itu. Kaca jendelanya juga terlihat ada yang retak dan pecah.

‘Rumah itu sama rusaknya dengan rumahku, katanya dalam hati.

Beberapa kilasan adegan masa lalu muncul di pikirannya. Seorang anak laki-laki berdiri di depan rumah itu lengkap dengan seragam sekolah dan tas di belakangnya.

Ia tersenyum pada seorang gadis berambut pendek dan berkaca mata, yang berdiri dengan jarak lima rumah darinya. Gadis itu tersipu malu. Gadis itu menyukai anak laki-laki itu dan berharap ia memiliki perasaan yang sama juga.

Tetapi pemandangan itu segera berubah saat pemandangan itu terlihat bergoncang-goncang.

“Anna!” panggil Gina yang mengguncang tubuhnya.

Anna tersadar dari lamunannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyadari bahwa dirinya sedang melamun.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Gina sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela dan mengarahkan pandangannya pada rumah yang dipandangi Anna sedari tadi, lalu masuk ke dalam dan melipat tangannya di dadanya, “kenapa kau memandang rumah Jonas?”

“Aku penasaran, bagaimana kabarnya sekarang ini?”

Gina meneguk jus jeruknya. “Kudengar terakhir kali, dia membuka usaha biji kopi dan membuka usaha kedai kopi di kota. Apa dia tidak pernah menghubungimu? Bukankah sudah satu tahun ini kita tergabung dalam satu grup media sosial yang sama?”

“Pernah. Satu kali. Dia meneleponku, tetapi aku tidak mengangkatnya… Aku menunggunya untuk menelepon lagi, tapi dia tidak pernah melakukannya. Kira-kira, apakah dia baik-baik saja?”

“Sepertinya iya. Aku tidak begitu tahu. Dia itu seperti ditelan bumi. Tidak ada yang tahu kabarnya seperti apa. Kau tahu? Sejak dia…” kata-kata Gina terputus, ia tidak yakin kalau hal itu pantas untuk diungkit.

“Sejak…” Kata-kata Anna langsung tercekat kala memori mengerikan itu terlintas di otaknya.

“Ya,” ucap Gina dengan muram tanpa membiarkan temannya itu menyebutkan kejadian macam apa yang pernah terjadi.

Otak Gina memutar kilas balik mengerikan yang terjadi pada malam itu. Saat itulah Jonas menghilang dari sahabatnya dan meninggalkan Anna dalam titik terendah yang akan ia ingat seumur hidupnya.

***

Beberapa orang-orang kampung berdatangan setelah mendengar keributan yang ada di rumah Anna, remaja yang jago bermain piano itu. Mereka dapat dengan jelas mendengar lolongan gadis yang masih duduk di bangku SMP tersebut.

Paman Rudy dan Gina, tetangga sekaligus sahabat keluarga Anna adalah orang yang pertama kali datang ke sana. Mereka terpaku saat mendengar pintu yang terbuka dengan keras, dan melihat seorang pria paruh baya keluar dari rumah Anna dengan tatapan kejam dan mata merah, dengan cipratan darah di bajunya. Ia terlihat kusut dan sangat marah.

"Wira!" Panggil Paman Rudy. “Ada apa ini? Apa yang terjadi? Mana Yuni, Anna dan Darryl?”

“Wanita jahanam itu sudah mampus,” ucapnya dingin dan tanpa emosi sedikit pun.

“Apa maksudmu?” tanya Paman Rudy lagi sambil menjaga jarak. Paman Rudy dapat mengendus aura bahaya yang ditebar oleh tetangganya itu.

Ia menggenggam tangan Gina dengan erat dan menyembunyikan anaknya itu di belakang punggungnya, sementara Gina meremas lengan baju ayahnya karena takut melihat penampilan pria itu.

Tetapi Wira itu tidak mau menjawab lagi. Ia terus berjalan menuju mobilnya. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan langsung mengendarai benda itu keluar dari garasi rumah tersebut dengan menabrak pagar kayu miliknya sendiri, yang tidak ia buka terlebih dulu sehingga benda pembatas itu jadi hancur berantakan.

Melihat mobil Wira itu sudah menjauh, Paman Rudy pelan-pelan melepas Gina. "Tinggal di sini," perintah Paman Rudy pada Gina sementara ia melangkah masuk dengan perasaan waswas.

Hati Gina sudah dipenuhi firasat tidak enak. Sesuatu yang sangat buruk pasti sudah terjadi. Tubuhnya gemetar, keringat bercucuran di wajahnya. Jantungnya berdegup cepat sekali ketika mencoba menebak apa yang telah terjadi. Gina semakin takut jika terjadi apa-apa pada Anna, namun dia tidak punya nyali untuk ikut masuk.

Saat ayahnya masuk ke dalam, betapa terkejutnya Gina saat mendengar ayahnya berteriak. "Gina, panggil polisi dan ambulance!"

***

Gina meneguk jus jeruknya sampai habis. Ia memicingkan mata sembari merasa sedikit kepahitan ada di jus itu. Namun bukan itu saja yang pahit. Ada beberapa kenangan pahit yang harus melekat di ingatannya jika menengok ke masa lalu.

Memang, hal itu tidak terjadi padanya. Tetapi semua orang di sini merasa kasihan pada kejadian yang menimpa pada Anna dan anak laki-laki itu, belasan tahun silam. Itu menjadi suatu sejarah yang kelam, yang tidak ingin orang ingat-ingat lagi.

“Ini sudah lima belas tahun kan?” tanya Anna pada Gina.

Entah kenapa, biar bagaimanapun sulitnya Anna melupakannya, gadis itu masih saja mengungkitnya. Gina tidak punya hak apa-apa melarang Anna untuk mengingat hal itu.

Dia justru kasihan pada sahabatnya karena kenangan yang terlalu buruk itu terus menghantuinya.

Tetapi di rumah ini, Gina dan paman Rudy adalah tempat perteduhan Anna. Merekalah yang menjadi keluarga bagi Anna saat ia kehilangan semuanya. Keluarga inilah yang membawa Anna masuk di saat ia telah kehilangan orang-orang yang seharusnya membuat sebuah rumah menjadi rumah yang damai.

Saat ini, Gina bekerja sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan audit ternama, sedangkan Anna bekerja sebagai bendahara di sebuah yayasan sekolah swasta yang memiliki asrama anak perempuan dan memiliki cabang di mana-mana.

Mereka telah tumbuh menjadi wanita karir yang pintar dan mandiri.

Anna bekerja sangat giat dan keras, ia tidak punya waktu untuk memiliki keluarga sendiri. Seluruh pekerjaan yang ia lakukan adalah demi Darryl, adik kecilnya yang terpaut usia 15 tahun darinya.

Kini Darryl sendiri kini telah berusia 16 tahun dan dia tidak tahu apa-apa terhadap apa yang terjadi pada keluarganya di masa yang lalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status