Share

2 – Memori tak terlupakan

Anna membuka matanya, ia mendengar suara seorang pria dan seorang wanita bersahut-sahutan di bawah. Matanya yang berat itu ia paksakan untuk melihat ke arah jam dinding yang ada di seberangnya. Jam itu menunjukkan pukul 12 malam.

Ia mendorong selimutnya dan berjalan keluar dari kamar. Ia maju terus untuk mencari arah sumber suara itu. Di tengah perjalanan, ia berhenti di sebuah kamar besar dengan ranjang yang cukup besar. Di sana terdapat kasur bayi dengan pagar tinggi. Di dalamnya tertidur seorang anak laki-laki tampan yang sedang lelap-lelapnya. Ia memperhatikannya sejenak, anak laki-laki ini tetap tidak terbangun meski mendengar suara berisik. Ia sangat nyenyak. Tetapi Anna tetap harus mencari asal suara itu.

Ia turun ke lantai bawah dan memeriksa semua ruangan, tetapi tidak menemukan siapa-siapa, sampai ia akhirnya melangkahkan kakinya menuju dapur. Suara berisik itu makin terdengar dan jelas.

Sampai akhirnya ia melihat sosok dua orang yang sedang bergumul. Mereka sedang berusaha merebut sesuatu.

“Ada apa ini?” Tanya Anna dalam keadaan shock.

Pria itu berhasil merebut sesuatu dari wanita itu dan mengacungkannya padanya. “Mati kau perempuan jalang!”

Benda yang terlihat berkilau itu tertancap tepat di dada wanita itu. Ia lalu terjatuh tersungkur di lantai penuh dengan darah.

Matanya terbelalak lebar saat ia melihat Anna, anak perempuan satu-satunya yang telah menyaksikan semuanya.

--------

“Anna” panggil seseorang di luar sana. “Anna!”

Anna terbangun dari tempat tidurnya dan berusaha membuka matanya. Tubuhnya berkeringat dan tangannya dingin. Jari-jarinya sedikit gemetar untuk beberapa saat. Hal itu sering menghantuinya, bahkan hingga saat ini.

“Mimpi buruk?” Tanya Gina yang tidur di sebelahnya.

Anna menjawab dengan anggukkan. Gina langsung turun dari tempat tidur dan keluar sebentar. Tak lama, ia kembali ke kamar dengan membawa segelas air putih. “Terima kasih Gina.”

“Ternyata sampai sekarang kau masih sering bermimpi buruk.”

Anna meminum air yang dibawakan oleh Gina itu tanpa menyisakannya setetes pun. “Kenangan ini terus berulang.”

“Aku sudah bilang padamu dari dulu, bahwa hal ini tidak baik jika kau pendam, Anna. Kau butuh pertolongan. Jika kau mau, aku bisa mengantarmu ke psikolog. Kau ingat Qanita kan? Dia teman kita waktu SMA, sekarang telah menjadi psikolog yang cukup sering didatangi orang-orang."

Dari dulu sampai sekarang, Anna tidak pernah mau datang ke psikolog. Pertama, dia merasa hanya buang-buang waktu dan uang. Yang kedua, ia merasa tidak akan pernah ada yang bisa menolongnya.

“Ayo kembali tidur,” ajak Anna pada Gina. Tetapi temannya itu masih duduk dan memandangnya dengan pandangan cemas. “Aku tidak apa-apa, Gina. Tenang saja.”

Gina lalu berbaring, ia langsung mematikan lampu kamarnya dan mereka pun kembali tertidur.

-----------

Pagi-pagi sekali, sudah terdengar suara gemerisik di bawah. Suara seperti orang yang sedang menggeser-geserkan sesuatu. Suara itu membuat Anna terbangun dari tidurnya. Seketika itu juga, ia melihat terik cahaya matahari telah masuk dari jendela yang telah setengah terbuka. Udara sejuk di perkebunan itu menghambur masuk ke ruangan. Anna menggosok matanya sambil meregangkan tubuhnya, matanya masih mengantuk.

Ia menoleh ke sampingnya dan mendapati Gina sudah tidak ada. Ia menoleh ke atas laci nakas, dan mendapati ponselnya, yang di layarnya telah menunjukkan pukul setengah 7 pagi.

Setelah mengenakan sendal jepit, Anna merapikan rambutnya dan segera turun ke lantai bawah. Tangga itu langsung terhubung dengan dapur sekaligus ruang makan. Di sana, Gina sedang membuat telur dadar beserta tahu goreng untuk dimakan sebagai sarapan.

“Selamat pagi!” Sapa Anna.

“Hai, ayo turun, aku sudah membuatkan kita sarapan,” ujar Gina sambil meletakkan piring yang berisi telur dan tahu itu di meja dan membuka rice cooker di ujung meja yang telah dalam posisi warm untuk menyediakan nasi bagi mereka. “Papa! Sarapan sudah siap!”

“Oke,” kata Paman Rudy dari ruang sebelah yang digunakan sebagai gudang buah. Tak lama, ia datang dan mencuci tangannya di wastafel sebelum akhirnya bergabung dengan Anna dan Gina. Setelah berdoa makan, mereka masing-masing mengambil porsinya dan makan bersama.

“Jadi, kapan reuni kalian akan dilangsungkan?” Tanya Paman Rudy.

“Besok sore, papa. Hari ini aku dan Anna akan cek persiapan tempat di Aula Bunga.”

“Apakah tempatnya cukup?”

“Gedung itu kapasitasnya 200 orang, tentu cukup, paman.” Jawab Anna.

“Siapa yang menginisiasi reuni kalian?”

“Sebenarnya acara ini memang jadi sebuah tradisi. Setiap 15 tahun setelah kelulusan akan diadakan reuni alumni. Kebetulan jumlah siswa di sekolah kita juga tidak terlalu banyak. Hanya sekitar 80-an orang dari 3 kelas. Beserta guru-guru, mantan guru, pensiunan guru dan staf sekolah, kira-kira akan ada 100 sampai 120 orang yang hadir, jika ada yang membawa keluarga.”

“Apa seluruh alumni sudah dihubungi?”

“Sepertinya iya, paman. Kebetulan yang bertugas menghubungi kawan-kawan bukanlah kami, jadi kami tidak tau persis.”

“Oke. Semoga acara besok lancar ya.”

“Tentu, papa.” Jawab Gina sambil meminum air putihnya.

Paman Rudy segera menghabiskan sarapannya. Ia mengambil topi miliknya yang sudah robek-robek itu dari atas lemari pendingin dan memakainya. Anna mengingat topi itu yang telah ada sejak ia masih SD. Paman Rudy tidak pernah membeli topi baru. Ia selalu berkata bahwa ia tidak perlu topi baru, sebab topi dipakai untuk bekerja kasar.

“Oke gadis-gadis, aku akan pergi ke kota sekarang membawa jeruk-jeruk itu. Sampai jumpa nanti sore,” kata Paman Rudy sambil berlalu.

Anna memperhatikan Paman Rudy bersama para pekerjanya mendorong dan mengangkat peti-peti kayu yang berisi jeruk-jeruk segar itu satu per satu hingga bak mobil pick-up itu penuh. Setelah selesai, Paman Rudy dan dua orang karyawannya masuk ke mobil dan pergi dari sana, sementara pekerja yang lain kembali ke gudang, membereskan jeruk-jeruk yang tidak lulus kualitasnya kembali ke peti kayu yang telah tersedia. Setelah itu, semua orang pergi ke kebun di belakang rumah itu.

Matanya lalu berkeliling, ia memperhatikan rumah ini sejenak. Tidak ada yang berubah. Rumah ini masih seperti yang dulu saat ia pertama kali menginjakkan kaki di sini setelah kejadian mengerikan saat itu. Rumah ini adalah rumah tetangga sekaligus sahabatnya dari kecil. Gina dan ayahnya selalu baik padanya.

Ibunya Gina berteman baik dengan ibunya Anna juga. Jadi Anna pikir ini adalah hal yang bagus saat anak-anak mereka pun memiliki kedekatan satu sama lain. Ibunya Gina telah meninggal karena sakit saat mereka duduk di bangku kelas dua SMP, satu tahun sebelum ibunya Anna meninggal dunia. Ibunya Gina didiagnosis terkena kanker otak dan hanya 3 bulan setelah itu, ia meninggal dunia. Selama hidup, hampir setiap hari, ibunya Gina akan membawakan buah-buahan untuk mereka. Keluarga ini selalu baik pada keluarga Anna.

Setelah ibunya Gina juga tiada, buah-buahan itu tetap terus diantarkan oleh Gina untuk keluarga Anna. Gina juga jadi lebih sering berkunjung ke rumah Anna sejak saat itu. Kehilangan sosok ibu di masa puber adalah hal yang sangat berat.

Disanalah ibunya Anna menjadi sosok pengganti ibunya. Ibunya Anna akan membuatkan bekal makan siang untuk mereka berdua. Ia bahkan membeli kotak makanan yang sama persis dengan Anna. Ibunya Anna benar-benar kehilangan sosok sahabatnya pada saat itu. Tetapi ia sangat bersyukur bahwa sebagian dari sahabatnya itu masih ada dan tumbuh menjadi gadis yang cantik, sekaligus menjadi teman baik untuk anak perempuan satu-satunya.

Dan pada akhirnya, di rumah inilah, Anna bisa merasa nyaman. Meski ia hidup tanpa ada orang tua, di sinilah Anna merasa memiliki keluarga.

Setelah makan, mandi dan berganti pakaian, Anna pergi keluar untuk berjalan-jalan sejenak sambil menikmati hangatnya matahari pagi. Rumah lamanya itu tidak ia hiraukan lagi dan ia terus berjalan ke arah berlawanan untuk keluar dari blok itu. Ia berjalan dan berjalan, menyapa setiap orang yang bertemu dengannya sambil sesekali berhenti di titik-titik tempat yang membawa kembali memori yang lama. Ia tersenyum-senyum saat melihat pohon yang ada di ujung jalan.

Pohon besar itu dimana Anna sering bermain. Di sekitar pohon itu terdapat dua mainan ayunan dan padang rumput kecil. Di seberangnya terdapat lapangan bulu tangkis yang biasa dipakai warga untuk berolah raga. Di pohon ini juga sering dijadikan tempat orang mesum dan berpacaran saat petang karena disini tidak diberikan lampu jalan. Anna tertawa terkikik saat ia mengingat warga bernama Joni dan Magda saat ketahuan pacaran disana dan mereka akhirnya langsung dinikahkan keesokan harinya. Saat itu, pasangan muda-mudi ini baru saja lulus SMA.

“Hai Anna!” Sapa seseorang dari jauh. Wanita itu menderu sepedanya mendekatinya. Di punggungnya duduk seorang bayi yang kemungkinan usia satu tahun lebih yang tertawa kegirangan. Di belakangnya, seorang anak usia 7 tahun dan 15 tahun berboncengan dengan sepeda lainnya ikut berhenti di tempat yang sama.

Panjang umur! Kata Anna dalam hati. Magda muncul dihadapannya dan juga anak-anaknya. Mereka tampak sangat mirip dengan Joni. “Hai, kak Magda! Apa kabar?” sapa Anna dengan senag. “Wah, ini anak-anak kakak ya?”

“Iya. Mirip sekali sama Joni kan?” katanya sambil membetulkan posisi gendongan bayinya itu. “Aku mau ke pasar. Aku sudah lama tidak melihatmu. Apakah kau baru saja kemari?”

“Iya, baru kemarin.”

“Mario, Ferdi, beri salam pada tante Anna,” perintahnya pada anak-anaknya.

“Hai tante Anna,” kata anak-anak itu bersamaan.

“Hai,” kata Anna dengan tersenyum. Anna teringat di hari sebelumnya, anak-anak ini juga datang dan mendapat jatah snack yang Anna berikan untuk anak-anak di sana.

“Apa kau disini untuk reuni itu?”

“Benar, acaranya akan diadakan besok malam.”

“Wah pasti seru sekali bertemu dengan teman-teman lama.”

“Aku akan sibuk nanti, karena aku ditunjuk sebagai panitia.”

“Semoga lancar ya. Aku harus pergi sekarang...” Katanya sambil bersiap mengayuh sepedanya lagi. “Sampai jumpa.”

Magda dan anak-anaknya pun berlalu. Anna tidak menyangka bahwa pernikahan mereka akan berjalan hingga sekarang mengingat usia mereka saat menikah adalah usia yang sangat muda. Nampaknya, pernikahan mereka baik-baik saja, bahkan menghasilkan 3 anak-anak yang sehat.

Lalu kemudian, Anna teringat akan sesuatu. Ia penasaran apakah sebuah inisial yang terukir dahulu di pohon ini masih ada. Ia mencari dan mencari dan… akhirnya ia mendapatkannya. Ia melihat ukiran itu berbentuk hati, didalamnya terdapat inisial J + A. Ia mengusap ukiran itu dan bertahan di sana untuk beberapa menit.

Ia memandang ukiran itu dengan mata yang penuh kenangan dan kerinduan, tetapi tidak ada senyuman di wajahnya. Kenangan yang ada jelas bukanlah kenangan yang indah.

Tetapi jika ditanya apakah ia merindukan kenangan itu, jawabannya adalah benar, ia sangat merindukan orang-orang dalam ingatannya. Ia langsung pergi sebelum air mata turun membasahi wajahnya.

Sepulang jalan-jalan pagi, dari ujung jalan, tepat saat ia akan berbelok menuju rumah Gina, ia melihat seorang pria berdiri di rumah lama berwarna putih yang sudah rusak itu.

Pria itu tinggi, berkulit putih, ia mengenakan celana jeans dan slip on warna cokelat dengan kaus warna abu-abu tua. Anna memperhatikannya dari jauh. Untuk apa pria ini berdiri didepan rumah itu? Tanyanya dalam hati. Tak lama, pria itu mengangkat kepalanya, dan mata mereka pun akhirnya bertemu.

Anna tidak mencoba mencari tahu siapa dia meski hatinya penasaran, lalu ia masuk ke dalam dan menutup pagar rumah Gina itu dengan rapat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status