“Mama, kenapa kau meninggalkanku dengan cara seperti ini?”
Ibunya terlihat sangat cantik dengan gaun putih itu. Ia memegangi wajah Anna-nya yang telah lama tidak ia lihat. “Kau sudah banyak menderita, Sayang.”
“Aku ingin ikut mama,” kata Anna dengan mata berkaca-kaca.
“Kau tidak marah pada mama?”
“Bagaimana aku bisa marah dengan mama?”
“Aku sangat mencintai ayah Jonas.” Kata ibunya sambil berpaling. “Hubungan kami akan menghalangi hubunganmu dengan Jonas.”
Anna menangis terisak. “Aku tidak peduli lagi tentang itu, Ma.”
“Tapi kau harus peduli. Karena semua ini salahmu,” kata ibunya yang dengan mata yang berubah menjadi kelam dan gaun putih itu berubah menjadi hitam pekat.
Seketika seluruh dunia berputar-putar dan membuat kepala Anna menjadi pusing. Ia membuka matanya hanya untuk mendapati cahaya putih berpendar yang berhamburan k
Tangan Rian sudah menjelajah ke seluruh tubuh Anna. Ia yang ketakutan bukan kepalang mencoba melepaskan diri, tetapi tangan dan kakinya diikat di ujung ranjang. Tubuhnya bagian atasnya tidak tertutup apapun, sedangkan Rian masih berpakaian lengkap, berada di sana menggenggam sebuah ikat pinggang kulit. “Aku tidak bisa menerima penolakkanmu.” Kata Rian sebelum sesuatu yang tajam dengan cepat membuat kulit perut Anna memerah dan ia berteriak kesakitan. Mata pria itu menghitam, wajahnya menjadi sangat beringas. “Pelacur!” Serunya sebelum ia mencambuk lagi. “Sakit!!! Jangan!” Teriak Anna. “Ku mohon, jangan!” Dari kantongnya, Rian lalu mengeluarkan sebuah pisau dapur yang persis seperti pisau yang ia lihat pernah tertancap di dada ibunya. “Kau sudah jadi gadis yang sangat nakal.” Desisnya sebelum menghujamkan pisau itu tepat di jantungnya. “Jangan!!!” Teriak Anna dengan histeris saat semua
Sesuatu yang salah telah terjadi saat Rian tidak melihat Anna di mana-mana. Matanya menjelajah seluruh ruang outdoor itu untuk mencari sosok wanitanya itu. Sialan, umpatnya dalam hati. Apa dia kabur? Dalam beberapa detik saja, umpatan itu berubah jadi kepanikan saat Rian menyadari sosok manusia yang sudah mencapai dasar. Dengan tergesa-gesa, ia berenang menuju dasar dan menarik tubuh Anna hingga mencapai permukaan air lalu mengangkat tubuhnya di pinggir kolam. Anna terduduk sambil terbatuk-batuk dengan keras, menyemburkan semua air yang masuk dalam rongga pernapasannya. “Keluarkan Anna…” katanya dengan napas terengah-engah sambil mengelus punggung Anna. Setelah rongga pernapasan Anna sedikit lega, Rian membantunya berdiri, menyelimutinya dengan jubah mandi lalu membawanya kembali ke kamarnya dengan langkah yang lemah. “Kau itu bodoh,” kata Rian dengan suara pelan. Akibat rencananya itu, ia bahkan tidak dapat lagi mengin
Tubuh Anna membeku saat ia mendengar kata obsesi keluar begitu saja dari mulut Rian yang terlihat tenang-tenang saja. Pikirannya mulai berkelana dan sedikit berhalusinasi kalau Rian akan melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Bahwa Rian akan membuatnya celaka. Beranikah Rian berbuat begitu padanya? Jika ia berani menculik Anna, maka yang lainnya seharusnya bukan menjadi soal yang kecil untuk Rian. Ia meletakkan sumpitnya dekat kotak makanannya dan berhenti makan. “Ada apa? Apa ini tidak enak?” Anna menggeleng dengan tatapan kosong. “Rian… apa kau akan menyakitiku?” “Menyakiti bagaimana?” “Menyakitiku… apa kau tidak tahu apa artinya? Apa kau bolos pelajaran bahasa Indonesia?” tanya Anna dengan tatapan tajam pada Rian. Rian terkekeh sambil mengambil suapan terakhir dari kotak makanannya. “Kau jangan suka membayangkan yang macam-macam tentangku. Di sini, kau adalah kekasihku dan aku akan memperlakukanmu seperti ra
Anna kembali berada di dalam rumah lamanya. Adegan itu kembali berulang dihadapannya dan berlangsung dengan sangat mengerikan. Kali ini ia berada di ambang pintu saat melihat seorang pria tinggi berkulit putih sedang menikam ibunya berkali-kali dengan kejam. Darah ibunya sudah bersimbah ke mana-mana, di lemari pendingin, meja makan, kompor, penanak nasi, bahkan hingga ke lemari piring. Ibunya berusaha melarikan diri dari pria asing itu, tetapi pria itu kuat dan jauh lebih cepat. “Anna… lari…” bisik ibunya sambil melambaikan tangannya agar Anna cepat menjauh. “Dia akan menyakitimu… Dia… Dia akan menyakitimu...” Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ibunya telah mendekati ambang pintu. Anna sendiri membeku di tempat dengan wajah sangat shock. Tetapi sebelum ibunya bisa meraih Anna, ia akhirnya tersungkur pada bacokan terakhir yang ia terima di punggungnya. Dan tepat
Keesokan harinya, ketika Anna sudah bangun, ia mendapati kalau dirinya kali ini sendirian. Hari itu tidak seperti biasanya karena Rian meninggalkannya lama sekali. Tapi ia tetap menyiapkan makan pagi dan siang untuk Anna dengan meninggalkan dua makanan berbeda untuknya di atas meja itu pagi tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ia telah mandi dan mengenakan pakaian lainnya. Ia memakai sebuah kaus putih garis hitam, dan celana pendek di atas lutut. Ia menyisir rambutnya hingga rapi, tetapi ia tidak dapat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin karena benda itu tidak ada. Ia memastikan diri bahwa dirinya sekarang sangat jelek sekali. Ia terus menerus menyisir rambutnya dengan kasar hingga beberapa helai rambut yang rontok jatuh berantakkan di lantai. Anna melempar sisir itu ke ujung ruangan sambil berteriak frustasi. Ia kembali mulai menangisi nasibnya yang bertahan di sini dalam keadaan diculik. Anna tidak bisa menghubungi Paman Rudy dan juga Darryl.
Keesokan harinya, Anna bangun tidur tanpa Rian lagi di sisinya. Ia menemukan semangkuk bubur yang terletak di atas meja dengan sebuah catatan. “Aku akan pergi beberapa jam, aku akan kembali setelah makan siang. Makan siangmu ada di plastik hitam. Maaf, aku tidak membeli dari restoran. Tapi dengan kotak ini, kau bisa makan makanan panas. Aku memiliki kejutan untukmu sore nanti.” Dengan kesal, ia duduk di atas kursi itu meletakkan kedua tangannya di atas meja lalu menangis sejadi-jadinya. Ia hampir saja menepis mangkuk itu dari meja, tapi perutnya yang kelaparan itu mencegahnya. Setelah mengambil sendok, Anna lalu makan dengan air mata yang tidak berhenti mengalir hingga bubur itu terasa lebih asin. Sepanjang pagi itu, ia menangis terus-terusan hingga kepalanya sakit dan akhirnya tertidur lelap sampai siang. Saat masih dalam alam tidurnya, tubuhnya terguncang-guncang. Tidurnya mulai terganggu dan matanya pelan-pelan terbuka. Ria
Telah lebih dari 3 hari sejak Anna hilang, polsisi belum juga menemukannya. Hal itu membuat Jonas jadi tidak sabaran dan gampang emosi. Ia sempat marah-marah di kantor polisi karena kerja mereka yang terkesan lamban. Ketika mereka melihat CCTV di pub di mana Anna terakhir kali terlihat, posisi Anna benar-benar sangat di tepi video. Sayangnya pria yang membawa Anna tidak ikut terekam dalam video. Para saksi mata juga tidak memberi informasi yang membantu. Demikian CCTV di luar pub, tidak bisa memberi informasi yang berarti. Di hari yang sama Anna menghilang, terdapat demo besar-besaran yang dilakukan buruh yang terjadi tidak di waktu yang biasanya. Sehingga polisi banyak dikerahkan untuk mengamankan demo yang berujung rusuh tersebut. “Kami juga sedang menghadapi banyak kasus lainnya pak. Mohon bersabar. Kami akan tetap kabari anda jika kami punya kabar terbaru,” kata polisi yang melayani Jonas pada saat itu. Dengan kesal, Jonas menelepon Gina, dan ia m
3 minggu kemudian Di sebuah masa di siang hari, Darryl sedang duduk di kursi. Dengan kaki yang digoyang-goyangkan, ia mulai merasa agak bosan. Lalu ia mengambil ponselnya untuk melihat-lihat media sosialnya saat pintu kayu tersebut terbuka. Sosok kakak perempuannya muncul di hadapannya yang kini begitu tidak bersemangat. Di wajahnya tidak ada kebahagiaan, dan ia sudah jarang tersenyum. Tetapi kali ini, ia tersenyum saat melihat adiknya yang tampan itu dengan sabar menunggu di sana. “Kerjakanlah sesuatu yang menyibukkanmu, itu akan menolongmu agar dapat lebih produktif dan bersemangat,” kata seorang wanita paruh baya berkacamata yang menyusul Anna di belakangnya. “Terima kasih ibu Purnama,” kata Anna sambil memeluk ibu itu. Orang tua ini telah menjadi orang yang cukup dekat dengan Anna. Dia adalah seorang psikolog yang membantu Anna agar mentalnya bisa pulih. Meski belum ada perubahan berarti, Anna adalah pasien yang cukup rajin