"Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.
Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. HaCahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku
Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe
"Ma, ini di foto Papa gendong siapa, sih?" seru Cahaya, putriku. Anak enam tahun itu berlari ke arahku yang sedang memakai krim malam."Mana?" tanyaku santai tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. Paling itu foto Mas Ibram menggendong Cahaya saat masih bayi. Bukankah anak seusia Cahaya sering tak mengenali foto dirinya saat masih bayi?"Ini, loh, Ma!" Cahaya mengangsurkan selembar kertas foto kepadaku. Setelah menepuk lembut kedua pipiku, aku menerima foto yang diberikan Cahaya.Dahiku mengernyit menatap foto itu. Foto itu tampak sudah cukup lama. Warnanya juga sudah agak pudar. Mas Ibram tampak menggendong anak kisaran usia tiga tahun. Aku bisa pastikan itu bukan foto Cahaya. Juga wanita yang berdiri di samping Mas Ibram bukan aku."Siapa, Ma?" tanya Cahaya masih sambil berdiri menunggu jawabanku. Karena biasanya dengan telaten aku menjelaskan apa saja kepadanya."Emh, mungkin ini keponakan papa di kampung, Ya," jelasku pada Cahaya. Sekaligus mensugesti pikiranku sendiri agar tak b
"Mama sama papanya ada, Dek?" tanya Tania.Anak itu mengangguk. "Ayah, ada tamu!" seru anak itu."Siapa, Bi?" Jantungku seperti mau meloncat saat mendengar bariton yang menyahut anak itu."Enggak tahu, Yah," jawab anak itu.Wajahku pasti sudah berubah merah saat ini. Terlebih saat lelaki yang sangat aku kenali muncul menemui kami. Seketika mata lelaki itu melotot melihat keberadaanku."Viona?""Ya, sedang apa kamu di sini?" Aku mengangkat wajah sembari menatap tajam pada Mas Ibram."E ... itu ... anu ...." Mas Ibram gagap. Tangan kanannya mengusap-usap tengkuknya."Anu apa? Siapa dia?" tanyaku lagi sembari menunjuk anak laki-laki di samping Mas Ibram dengan daguku.Belum juga Mas Ibram menjawab, terlihat seorang wanita menuntun balita--mungkin berusia dua tahunan-- berjalan menuju pintu tempat kami berdiri."Siapa, Mas?" tanya wanita dengan riasan cukup tebal sembari mendekati Mas Ibram. Suaranya mendayu membuat telingaku gatal.Kedua alisku bertaut melihat wajah wanita itu. Satu kat
Aku menyetir ugal-ugalan saat pulang dari rumah baru Tania. Aku yakin ada yang tidak beres pada Mas Ibram. Aku tak bisa percaya begitu saja kalau mereka itu sepupunya."Aku harus mencari tahu!" tekadku.Tiba di halaman rumah, tampak mobil Mas Ibram terparkir asal. Sehingga mobilku tak bisa masuk ke garasi. Apakah dia ingin menunjukkan padaku kalau dia sedang marah?Siapa yang harusnya lebih marah di sini? Aku tentunya. Ayah dari anakku dipanggil Ayah oleh anak wanita lain. Benar-benar tak bisa dipercaya.Kuparkir asal juga mobilku di belakang Mas Ibram. Biar nanti Pak Tejo yang memasukkan ke garasi. Ubun-ubunku seperti mendidih. Aku harus melampiaskan pada Mas Ibram. Lampu-lampu taman menerangi halaman menyamarkan pekatnya malam. Lampu mobilku terpantul pada body mobil samping Mas Ibram. Kubanting pintu mobil dengan keras. Kemudian melangkah dengan menghentakkan kaki ke dalam rumah.Tiba di kamar, tampak Mas Ibram sudah berbaring dengan memejamkan mata. Lengan kirinya berada di keni
"Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?"Kuangsurkan foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Bi Lasmi menerima foto itu. Kedua alisnya bertaut memandangi foto tersebut. Cukup lama. Karena memang gambar di kertas foto tersebut sudah cukup pudar. Tinggal menyisakan warna hitam keabuan dan putih kekuningan."Ini Ibrahim," ucapnya sembari menunjuk gambar Mas Ibram. "Yang ini Rani kayanya. Dulu anak itu rambutnya ikal dan ngembang begini," jelasnya saat menunjuk gambar wanita yang berdiri di samping Mas Ibram. "Tapi anak ini, Bibi belum pernah lihat.""Oke, Bi. Makasih, ya." Kuambil kembali foto tersebut. Akan kutunjukkan ini pada Mas Ibram nanti ketika bukti yang kukumpulkan sudah cukup. Berbicara tanpa bukti akan sangat mudah membuat Mas Ibram mengelak. Tak mungkin maling akan mudah mengaku ketika masih ada celah untuk berbohong.Kutanyakan juga perihal rumah orang tua Mas Ibram. Ternyata memang benar. Rumah dan sawah peninggalan orang tuanya telah habis terjual sesaat setelah orang
Dadaku serasa terbakar memikirkan Mas Ibram ada main di belakangku. Entah Rena itu Maharani, atau Rena sebenarnya adalah selingkuhan Mas Ibram. Walaupun penampilan Rena seperti ondel-ondel begitu, tak menutup kemungkinan mereka berselingkuh. Bukankah syarat menjadi selingkuhan itu tak harus cantik? Cukup menjadi murah saja. Itu sudah cukup.Besok pagi aku akan menemui ondel-ondel itu di minimarket. Akan kubongkar topeng yang ia pasang kemarin di hadapanku. Dia bilang pindah dari Kalimantan? Lalu pindah ke sini karena mau kerja atau buka usaha? Pintar sekali ia mengarang cerita. Tak tahunya selama ini ia bekerja di mini marketku. Benar-benar pembohong besar mereka berdua."Ma!" Aku tersentak saat terdengar Mas Ibram memanggilku. Lelaki itu mengakat kepalanya sembari masih berbaring."Lagi ngapain? Kok, belum tidur?" tanyanya."Ini lagi balas pesan," dustaku."Udah malam ini, lanjut besok aja!" titahnya.Aku beranjak dari sofa, kemudian mengganti handuk kimono dengan baju tidur. Sete
Tak ingin membuang waktu, segera kuhubungi Mona. Memastikan sekali lagi kalau hari ini Mas Ibram hanya di kantor tidak ada kunjungan ke semua mini market kami. Setelah mendapat kepastian, segera kuhubungi Indra, kepala HRD.Aku meminta Indra untuk mengumpulkan semua karyawan di mini market tempatku berada secepatnya. Aku ingin mencocokkan jumlah real karyawan dengan data yang semalam Alvin kirim."Beri saya waktu satu jam, Bu!" pinta Indra.Aku menyetujuinya. Kutunggu kehadiran mereka di ruangan Riski. Pemuda itu mempersilahkan aku duduk di kursinya. Karena memang tidak ada kursi lain di ruangan ini.Setelahnya, Riski keluar untuk mempersiapkan ruangan, agar nanti bisa dipakai untuk mengumpulkan semua karyawanku kecuali yang berada di kantor Mas Ibram.Minimarket kami tutup sampai semua yang ingin kuketahui beres. Aku meminta Indra, agar Mas Ibram jangan sampai tahu soal ini.Sekitar satu jam kemudian, semua karyawan mini market seluruh cabang berkumpul. Aku lihat, rata-rata jumlah ka