"Mas Ilham bilang apa, Mas?" akupun penasaran. "Dia bilang kamu meninggalkan dia dan Alta. Apa benar begitu? Atau Ilham yang sudah berani mengusir kamu?""Tidak, Mas. Nay sendiri yang memutuskan untuk pergi," aku tertunduk. "Apa Ilham bersikap kasar sama kamu, Nay?" suara Mas Rafi benar-benar terdengar cemas. Aku hanya terdiam, mataku kembali menghangat. Namun malu sekali rasanya untuk kembali menangis di hadapan Mas Rafi. "Ada apa, Nay? Bilang saja sama Mas. Apa dia bersikap atau berkata kasar seperti kemarin?" Mas Rafi kembali meminta jawaban. Aku tak dapat lagi membendung air mata ini. Aku pun kembali menangis. "Mas Ilham sudah menjatuhkan talak Untuk Nay, Mas," tangiskupun semakin pecah. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, sampai kurasakan kedua tangannya menarikku rapat menyentuh tubuhnya. Mas Rafi sedang memelukku? Kini dia benar-benar mendekapku dengan erat. Salahkah yang dia lakukan ini? Tapi kenapa rasanya begitu menenangkan? Aku seperti punya tempat untuk menumpah
"Kok begitu? Mana mungkin Nay menjauh dan melupakan semua kebaikan Mas Rafi.""Benar, ya? Janji?""Iya, Nay janji. Tapi... ""Tuh, kan. Ada tapinya.""Iya, kan Nay harus tahu diri juga. Kalau tiba-tiba Mas Rafi sudah punya calon istri, tentu Nay harus segera menjauh. Nay tidak mau menjadi wanita penggoda yang mendekati suami orang. Kalau begitu, apa bedanya Nay sama Viona?"Mas Rafi tersenyum, dia menatapku sebentar, kemudian kembali fokus ke kemudinya. "Kalau Mas sudah mulai tergoda bagaimana?"Eh? Ternyata Mas Rafi bisa bercanda juga. Aku pikir dulu dia orangnya pendiam. Tidak terlalu ramah dan jarang tersenyum. Dia juga tidak seperti Mas Ilham dan teman-teman lainnya yang suka menggoda wanita. Tapi sekarang aku baru tahu, ternyata Mas Rafi juga lelaki normal seperti mereka. Walaupun hanya sekedar untuk menghiburku saja. "Sepertinya minggu depan ruko kamu sudah rampung semua, Nay. Kapan kamu mau jemput orang tua kamu di kampung?""Begitu selesai, langsung Nay hubungi, Mas. Biar
Akhirnya ruko yang akan aku tempati rampung juga. Bahkan untuk bahan-bahan kuepun sudah lengkap semua. Juga untuk lantai dua dan tiga. Semua ruangan dan kamar sudah terisi dengan lengkap. Aku yakin Bapak dan Ibu pasti bahagia melihat semua ini. Semoga mereka bisa mengerti tentang semua keputusanku. Aku yakin kalau kujelaskan dengan sungguh-sungguh, mereka akan memaklumi tentang caraku yang sedikit licik untuk mendapatkan uang dari Mas Ilham. Sesekali Mas Rafi juga datang berkunjung walau hanya sebentar. Namun aku dengan sopan meminta pengertiannya, bahwa saat ini aku bukanlah wanita bebas yang bisa dikunjungi kapan saja. Untunglah dia sangat pengertian dan mau mendengarkanku. Dia hanya akan datang saat Ratna berada di sini bersamaku. Bahkan antusiasnya sangat besar berharap surat ceraiku cepat selesai. Bukankah seharusnya aku yang berkata seperti itu? Saat ini aku sedang sendirian berada di ruko. Ratna sedang bertugas di rumah sakit. Mas Rafi tidak berani datang meski hari ini har
Begitu sampai di depan rumah, aku kembali menghubungi nomor Bapak. 'Iya, Nay,' sahut Bapak setelah gawai terhubung. 'Nay sudah di depan, Pak. Bapak dan Ibu cepat keluar ya. Taksinya sudah menunggu,' pintaku cemas. 'Masuk dulu to Nay. Bicara baik-baik sama suamimu. Bapak dan Ibu jadi merasa tidak enak kalau begini.''Nanti saja Nay jelaskan, Pak. Pokoknya sekarang Bapak sama Ibu cepat keluar.'Belum sempat aku mengakhiri panggilan, Mas Ilham sudah berdiri di pintu pagar dan langsung menarik paksa tanganku untuk ikut masuk ke dalam. "Lepaskan!" aku berusaha memberontak. Tapi tangan besarnya menahanku lebih kuat. Dengan terpaksa aku kembali masuk ke rumah itu lagi. "Bunda." Alta berlari dan memelukku begitu aku sampai. Kubalas pelukannya dengan sangat erat. Tak dapat kupungkiri aku memang sangat merindukannya setelah beberapa hari tidak bertemu. "Bunda kemana saja? Kenapa pergi tidak mengajak Alta?" tangisnya pecah begitu aku melepaskan dekapannya. "Maafin Bunda ya, sayang. Bund
"Benar itu, Nay?" Bapak mencoba bersikap tenang. "Benar, Pak," sahutku. Bapak terlihat merasa bersalah. Kulihat Mas Ilham tersenyum penuh kemenangan. Apa dia pikir aku sebodoh dulu yang selalu mengaku salah dan meminta maaf setiap ada masalah? Kamu salah, Mas. Aku bukan lagi Naya yang dulu. "Kamu tidak boleh begitu, Nay," Ibu mengusap bahuku, mencoba menasehatiku dengan tenang."Bapak dan Ibu tidak bertanya kenapa Nay bersikap seperti itu?" suaraku kini kian melantang. Sebisa mungkin tak lagi menangis sesenggukan seperti yang sudah-sudah. Ada gurat ketakutan di wajah Mas Ilham. Sungguhkah dia mengira aku tak berani mengungkap semuanya? "Apa yang terjadi, Nay?" desak Bapak. "Mas Ilham sudah berselingkuh, Pak. Dia sudah memiliki wanita lain selain Nay," ucapku tanpa ragu. Spontan Ibu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Merasa terpukul dengan semua yang dia dengar. Begitupun Bapak. Terlihat gurat kesedihan di wajah tuanya. "Bohong, Pak. Itu tidak benar," Mas Ilham mencoba ber
Dahinya berkeringat membaca isi surat tersebut, meski kini kami berada di ruangan yang ber AC. Apa dia pikir semua itu tidak akan pernah terjadi? "Nay, tega-teganya kamu melakukan semua ini sama Mas," wajahnya terlihat marah. Namun sedikitpun aku tidak gentar. Apalagi kini ada kedua orang tuaku yang dengan sigap akan menyelamatkanku jika sewaktu-waktu dia akan bertindak nekat dan berbuat kasar kepadaku. "Kamu menggugat cerai Ilham, Nak?" tanya Bapak merasa tak percaya. "Benar, Pak. Nay tidak mau lagi hidup bersama lelaki yang sudah menghianati Nay," jawabku tegas. "Itu tidak benar, Pak," bantah Mas Ilham. "Nay hanya mencari alasan. Mungkin saja sekarang dia sudah memiliki laki-laki lain, makanya mencari-cari alasan untuk berpisah dengan Ilham."Bapak menjadi semakin bingung. Terlihat dari wajahnya kalau dia tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Ibu terlihat lebih pasrah dalam menerima semua keputusan yang telah aku ambil. "Tega sekali kamu, Nay. Mau meninggalkan Alta begitu sa
Sedih sekali rasanya berpisah untuk kedua kalinya dengan anak yang sejak balita sudah kuasuh. Tapi lagi-lagi aku meyakinkan diri, bahwa semua ini bukanlah salahku. "Awas kamu ya, Nay. Sampai berlutut pun kamu tidak akan bisa kembali lagi ke rumah ini. Sana balik ke rumah kampung kamu itu," teriak Mas Ilham dengan nada kesal. Aku tertawa sinis melihat tingkahnya yang arogan itu. Apa dia pikir dia juga bisa berlama-lama tinggal di rumah itu? Rasanya aku ingin sekali melihat bagaimana dia terusir dari rumah yang dibangga-banggakannya itu. .Ibu tak henti-hentinya menangis di dalam taksi online yang kami tumpangi. Berulang-ulang kali aku mencoba menenangkan dan membuatnya mengerti kalau semua akan baik-baik saja. Untuk saat ini, biarlah kubawa dulu mereka ke rumah Ratna. Sampai di sana akan kuceritakan dengan tenang agar mereka tidak terlalu terkejut dengan apa yang telah aku miliki sekarang. Kamipun sampai di rumah Ratna yang tidak terlalu besar itu. Namun cukup untuk membuat Bapak
Bapak dan Ibu sangat senang awal aku mengajak mereka masuk. Ada binar kebahagiaan di wajah mereka melihat suasana lantai satu yang begitu elegan ku desain. Mata Ibu memancarkan kebahagiaan yang tidak biasa melihat peralatan untuk membuat kue yang begitu lengkap aku beli. Semoga dengan begini, Ibu juga bisa mewujudkan impiannya yang juga sama sepertiku, memiliki toko kue sendiri. Puas menyisiri lantai dasar, aku membawa mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Lagi-lagi aura bahagia itu terpancar. Bapak dan Ibu sampai-sampai tak tahu harus berkata apa. Mereka hanya menyentuh satu persatu barang mewah yang aku siapkan khusus untuk mereka. Ada kebahagiaan tersendiri buatku melihat wajah bahagia mereka. Akhirnya setelah sekian lama, baru kali ini aku dapat membuat mereka menikmati kebahagiaan."Benar semua ini tidak jadi masalah kan, Nay?" tanya Ibu yang juga masih terlihat khawatir. "Tenang saja, Bulek. Ini semua sudah menjadi milik Naya. Mas Ilham tidak akan bisa berbuat apa-apa kar