Share

#2

Karena hari ini adalah hari Sabtu, bu Niken pulang kerja pada jam 12 siang. Bu Niken tidak langsung pulang ke rumahnya begitu saja, beliau pergi ke sanggar seni kenangan seperti hari Sabtu sebelum-sebelumnya. Dalam perjalanannya menuju ke sanggar, bu Niken tadi sempat menghubungi bu Aliyah, apakah beliau juga akan pergi ke sanggar dan memintanya menanyai bu Tia juga, dan ternyata jawabannya adalah mereka berdua juga sedang dalam perjalanan menuju sanggar. Setelah mematikan teleponnya, bu Niken memasukkan kembali ponselnya ke tas selempangnya, lalu beliau mulai memanaskan kembali mesin mobilnya yang tadi sempat ia hentikan di pinggir jalan untuk menelpon bu Aliyah.

Sesampai di sanggar, bu Niken mendapati bu Aliyah dan bu Tia sudah berada disana dan sedang berbincang dengan pemilik sanggar, bu Larni. Bu Niken menghampiri mereka bertiga, lalu menyapanya begitu sampai di dekat mereka.

“Jalanan macet ya?” tanya bu Aliyah pada bu Niken.

“Iya Bu, saya tadi sempat ingin nyerah buat kesini, mau pulang aja waktu lihat macetnya.” Canda bu Niken tanpa mengurangi kesopanannya pada bu Aliyah, karena bu Aliyah berusia di atasnya.

Bu Aliyah, bu Tia, dan bu Larni tertawa mendengar jawaban bu Niken.

“Tadi lagi bahas tentang apa?” kali ini balik bu Nikenlah yang bertanya. Bu Niken duduk di bangku yang berada di pojokan dan di samping bu Tia.

“Oh, bu Larni bilang, minggu depan beliau berniat liburan ke Bali bersama dengan suaminya.” Jawab bu Aliyah. Bu Niken menoleh ke arah bu Larni dan melihat bu Larni sedang menundukkan kepalanya dengan malu.

“Bukan liburan seperti itu, kebetulan ada acara keluarga disana juga, jadi suami saya mengusulkan menambah hari disana untuk menenangkan pikiran kita setelah menghadapi padatnya ibukota.” Ucap bu Larni kemudian, beliau membenarkan ucapan bu Aliyah karena tadi bu Larni merasa bu Aliyah sedikit menggodanya.

Bu Niken, bu Aliyah, bu Tia, tersenyum tipis mendengar ucapan bu Larni. Kemudian di saat tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali, bu Niken menggumam dengan suara yang mampu didengar dengan baik oleh orang-orang sekitarnya. “Tetap saja itu bisa membuat orang-orang seperti saya iri,” meskipun apa yang digumamkannya itu adalah hasil dari perasaan yang sebenarnya, tapi tidak ada nada suara kesinisan sama sekali di dalam suara bu Niken.

Bu Larni tersenyum kecil kepada bu Niken, lalu beliau berkata, “Kapan-kapan coba ajak suami ibu liburan Bu,” usul bu Larni.

Bu Niken langsung tertawa kecil saat mendengar usulan bu Larni. “Apakah mungkin dia menerima ajakan saya, jika waktu untuk kami bertemu saja sangat jarang?” terbersit rasa sakit dalam suara bu Niken.

Terjadi keheningan seketika di antara mereka berempat. Lalu tidak lama kemudian, guru mereka datang dan membuyarkan keheningan dan kecanggungan di antara mereka, mereka berempat sama-sama bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya dan bersikap normal kembali.

Karena kelas akan segera dimulai, maka bu Larni berpamitan pada bu Niken, bu Aliyah, dan bu Tia. Setelah mendapat anggukan kepala dari mereka bertiga, bu Larni berjalan menuju tempat yang rata-rata usia muridnya adalah remaja, yaitu kelas melukis. Bu Larni memonitor keadaan disana dengan berkeliling sambil mengobrol singkat bersama sebagian muridnya.

Saat bu Larni sibuk mengusulkan sesuatu kepada Hani, salah satu muridnya yang mengambil kelas melukis, tiba-tiba ada seseorang yang memegang bahunya secara perlahan. Bu Larni menoleh untuk mencari tahu siapa pemilik tangan tersebut, dan ternyata pemilik tangan tersebut adalah bu Sinta, seseorang yang sudah ia tunggu-tunggu seminggu ini.

Dari tempat yang masih sama seperti tadi, bu Niken mengamati kedatangan bu Sinta, beliau merasa respon yang diberikan bu Larni kepada bu Sinta, berbeda dengan respon yang biasanya bu Larni berikan kepada murid-murid lainnya. Namun, respon yang bu Niken lihat tadi, juga pernah beliau saksikan sebelumnya, yaitu pada saat dirinya dan bu Tia pertama kali memasuki sanggar ini untuk mendaftar, bu Niken jadi merasa sepertinya bu Sinta juga memiliki nasib yang hampir sama seperti dirinya dan bu Tia. Karena terlalu asik mengamati bu Sinta, bu Niken jadi tidak sadar kalau bu Aliyah sedang mengajaknya bicara, bu Niken langsung meminta maaf begitu menyadarinya, dan bu Aliyah juga sepertinya tidak menganggapnya serius jadi beliau hanya tertawa ketika bu Niken meminta maaf padanya. Saat bu Niken kembali menoleh ke arah tempat bu Sinta tadi berada, bu Niken sudah tidak bisa menemukan sosok bu Sinta lagi, sepertinya bu Sinta sudah masuk ke dalam ruangan bu Larni, begitu pikir bu Niken.

***

Tidak ada suara yang keluar selain suara yang berasal dari jarum yang menembus kain wol. Bu Niken mencuri pandang ke arah bu Aliyah dan bu Tia, dan beliau mendapati kalau mereka berdua masih membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan syalnya, sedangkan dirinya sudah hampir selesai, mungkin karena ini adalah karyanya yang tidak selesai pada minggu kemarin, jadi kali ini ia hanya tinggal menyelesaikannya, karena itulah dirinya tidak membutuhkan waktu yang lama.

Saat bu Niken masih sibuk mengamati kegiatan yang dilakukan bu Aliyah dan bu Tia, tiba-tiba sosok bu Larni menghampiri mereka bersama ibu-ibu yang tadi menarik perhatian bu Niken. Bu Nikenlah yang pertama menyadari kehadiran mereka berdua, spontan bu Niken mengeluarkan senyuman tipisnya ketika melihat sosok ibu-ibu yang belum dikenalnya itu.

Sesampai bu Larni sampai di dekat bu Niken, bu Aliyah, dan bu Tia, bu Larni segera memperkenalkan mereka bertiga kepada bu Sinta. Bu Niken tidak memalingkan pandangannya dari bu Sinta sedetik pun, entah karena apa, bu Niken merasa ada getaran yang membuat dirinya ingin mengenal lebih dekat sosok bu Sinta, beliau merasa jika dirinya dan bu Sinta bersama, itu akan menambah getaran positif di dalam hidupnya.

Bu Sinta sepertinya sedang terburu-buru, karena beliau terlihat sangat gelisah ketika bu Larni mencoba mengulur waktunya untuk pulang. Dan pada akhirnya, setelah saling berbagi nomor telepon untuk saling menghubungi, bu Sinta pamit untuk pulang kepada mereka semua yang ada di tempat, tidak terkecuali pada bu Niken, bu Niken pun membalasnya dengan senyuman yang sangat ramah.

Selepas bu Larni mengantar pergi bu Sinta ke depan, bu Aliyah segera membicarakan sosok bu Sinta kepada mereka.

“Sepertinya usianya masih tidak jauh dari bu Tia ya,” memang di antara mereka bertiga, bu Tialah yang termuda, namun meskipun begitu itu tidak mengurangi kesopanan di antara mereka, karena dari awal mereka bertiga, berempat bersama bu Larni, memilih untuk bersikap sopan ke sesama tanpa melihat usia masing-masing, jadi meskipun bu Aliyah usianya hampir mendekati usia bu Larni, beliau tetap memanggil bu Tia dengan sebutan ‘Ibu’.

Bu Niken dan bu Tia secara kompak hanya menanggapinya dengan senyuman kecil dan segera melanjutkan kembali kegiatannya tadi yang sempat terhenti karena kehadiran bu Larni bersama bu Sinta.

***

Selepas menghabiskan waktu berharganya di sanggar seni kenangan, bu Niken pulang. Sebelum beliau sampai ke rumahnya, bu Niken menyempatkan dirinya ke sebuah minimarket dekat rumahnya untuk membeli minuman manis untuk persediaan di rumah, karena bu Niken dan suaminya sudah terbiasa meminum minuman manis, jadi di rumah harus selalu sedia.

Saat bu Niken kembali ke mobilnya setelah membeli kebutuhannya, bu Niken melihat mobil milik suaminya mendekat ke arahnya, bu Niken pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke mobilnya terlebih dulu, karena pikirnya suaminya akan menegurnya sejenak sebelum melanjutkan kembali perjalanannya menuju rumah. Namun, apa yang terjadi sebenarnya, sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan bu Niken, mobil milik suami bu Niken terus melaju meninggalkan bu Niken di belakang tanpa berhenti sama sekali.

Mungkin dia tidak melihatku, bu Niken berusaha berpikir positif. Lalu beliau masuk ke mobilnya dan segera melajukan mobilnya juga untuk pulang.

***

Setelah menutup pintu mobilnya, bu Niken masuk ke rumahnya sembari menggantung tasnya di pundaknya. Bu Niken membuka pintu depan rumahnya, lalu beliau segera menutupnya, dan saat beliau menoleh setelah menutup pintu, beliau melihat sosok mbak Sri, pembantu di rumahnya, menatapnya dengan raut wajah khawatir.

“Ada apa Mbak?” tanya bu Niken sambil menatap balik mbak Sri.

“Barusan pak Surya pulang, tapi wajahnya seperti sedang sakit, beliau terlihat sangat pucat.” Ucap mbak Sri. Bu Niken tahu, mbak Sri berkata seperti itu memang hanya sekedar memberitahunya tanpa ada maksud lain.

Bu Niken tesenyum tipis, lalu berkata, “Makasih Mbak sudah memberitahu saya,” ucap bu Niken tulus. Kemudian, bu Niken berjalan menuju kamar suaminya dan meninggalkan mbak Sri yang masih berdiri sambil menatapnya di tempat yang sama.

Bu Niken sudah sampai di depan kamar suaminya, tapi terbersit perasaan dan pikiran ragu untuk melanjutkan niatnya. Setelah berperang dengan pikirannya sendiri, akhirnya bu Niken mengetuk pintu kamar suaminya.

“Siapa?” terdengar suara dari seberang pintu, dan bu Niken mengenalinya sebagai suara suaminya.

“Aku,” jawab bu Niken singkat.

Pak Surya tidak langsung menjawab ucapan bu Niken, sempat terjadi keheningan sejenak, bu Niken pun juga tidak berani untuk menerobos masuk ke kamar suaminya tanpa ijin dari pak Surya.

“Masuklah,” akhirnya terdengar kembali suara pak Surya dari kamarnya, ucapannya diakhiri dengan suara batuk yang cukup berat, bu Niken semakin yakin jika suaminya sedang sakit.

Bu Niken membuka pintu kamar dengan perlahan dan penuh hati-hati. Setelah pintu terbuka, bu Niken bisa melihat sosok suaminya sedang berbaring di ranjangnya dengan kedua matanya yang terpejam dan tertutupi lengan kekarnya. Melihat sosok suaminya terlihat lemah di depannya, membuat bu Niken cemas.

“Ayah lagi sakit?” suara bu Niken sangat kentara jika beliau sedang mengkhawatirkan suaminya.

Tidak langsung terdengar jawaban dari pak Surya, tapi itu tidak membuat bu Niken tersinggung, karena itu sudah biasa terjadi di kegiatan sehari-harinya.

“Cuma lagi nggak enak badan, mungkin kecapekan.” Pak Surya mengubah posisinya dengan menyingkirkan lengannya dari kedua matanya dan membiarkan kedua matanya dapat menatap langsung istrinya yang masih berada di dekat pintu kamarnya tanpa mendekat ke arahnya.

“Apa mau aku buatin teh hangat, barangkali bisa mendingan?” usul bu Niken tanpa memaksa.

Tanpa bisa dilihat ataupun disadari oleh bu Niken, pak Surya tersenyum simpul ketika mendengar tawaran bu Niken, lalu beliau berkata, “Nggak usah, kamu juga pasti capek,” tolak pak Surya dengan masih menatap langsung ke arah bu Niken.

Cukup lama bu Niken dan pak Surya saling menatap dengan arti yang sangat bermakna, namun keduanya enggan untuk menyampaikan arti dari tatapan mata masing-masing, mereka berdua membiarkan pasangannya menebak sendiri apa arti dari tatapannya.

Jika bu Niken boleh jujur, bu Niken merasa kecewa karena pak Surya menolak tawarannya atau bahkan bisa dibilang perhatiannya, bu Niken merasa suaminya benar-benar sudah tidak membutuhkan dirinya lagi. Bu Niken menundukkan kepalanya sejenak untuk menyeimbangkan perasaannya kembali supaya perasaan sebenarnya tidak bisa diketahui oleh suaminya.

“Baiklah, kalau Ayah membutuhkan sesuatu, panggil aja, aku di kamar.” Bu Niken masih belum menyerah untuk berusaha memberikan perhatian kepada suaminya. Sejak 8 tahun yang lalu, bu Niken terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan Ayah, itu terjadi karena tepat 8 tahun yang lalu bu Niken sempat hamil, namun bu Niken tidak sempat melihat langsung buah hatinya, karena bu Niken mengalami keguguran. Namun, karena sejak awal kehamilan bu Niken sudah memanggil suaminya Ayah, jadi kebiasaannya itu tidak bisa hilang semudah itu.

Pak Surya tersenyum, kali ini senyuman itu bisa dilihat oleh bu Niken dengan baik. Pak Surya mengangguk dan berkata, “Makasih,” ucapnya dengan masih membiarkan senyumannya terlukis di wajahnya.

Bu Niken sempat merasa gugup namun juga aneh saat melihat senyuman pak Surya yang sudah lama tidak diberikannya kepada bu Niken, tapi tetap saja perasaan gugup dan bahagia lebih mendominasi perasaannya saat ini karena akhirnya beliau bisa melihat senyuman indah suaminya lagi.

Bu Niken tersenyum simpul sebelum akhirnya beliau keluar dari kamar suaminya. Walaupun tubuhnya sudah berada di luar kamar, tapi bu Niken masih enggan untuk melepas gagang pintu kamar suaminya, sempat terbersit harapan di dalam perasaannya supaya suaminya kembali memanggilnya untuk menemaninya. Namun, setelah cukup lama bu Niken menunggu harapannya terkabul, pada akhirnya harapan itu hanya bisa menghilang terbawa angin. Bu Niken tersenyum sedih ketika menyadari tingkahnya saat ini, beliau mengasihani dirinya sendiri. Bu Niken melepaskan genggaman tangannya dari gagang pintu dan segera berjalan menuju kamarnya sendiri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status