Malam ini bu Tia berniat memberikan kejutan kepada suami tercintanya, karena pak Andrian telah berhasil menandatangani kontrak penting bersama dengan perusahaan luar negeri. Tadi pagi bu Tia berkata kepada pak Andrian untuk langsung pergi ke Hotel Saviya sepulangnya dari kerja, dan pak Andrian mengiyakan permintaan bu Tia tersebut tanpa banyak bertanya.“Malam ini Bita tidur sama Bibi Arum dulu ya, mama sama papa lagi ada urusan.” Bu Tia mengatakan kalimat tersebut dengan selembut mungkin.“Kenapa? Mama sama papa mau meninggalkanku?” tanya Bita dengan raut wajah yang sangat polos.Bu Tia cukup terkejut mendengar ucapan polos dari anaknya itu, sehingga beliau sempat bingung untuk menjawabnya. Namun, tidak lama kemudian bu Tia akhirnya bisa menjawab perkataan anaknya itu. “Mama sama papa tidak akan bisa meninggalkan Bita. Bita sudah jadi jiwa mama sama papa, jadi kalau tidak ada Bita, mama sama papa tidak akan bisa hidup.” Bu Tia mengucapkannya sambil menatap langsung ke kedua mata cant
Setelah sekian lama tidak pernah berkumpul di Sanggar Seni Kenangan, akhirnya bu Sinta, bu Aliyah, bu Niken, dan bu Tia kembali berkumpul di tempat yang sangat berarti bagi mereka itu. Bu Sinta datang terlebih dulu dan menunggu kedatangan teman-temannya itu sambil bermain HP.“Bagaimana Bu? Rencana bu Sinta sudah berjalan dengan sesuai?” tiba-tiba muncul sosok Hani di samping bu Sinta.Bu Sinta menoleh ke arah Hani sejenak, lalu beliau kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan kehadiran Hani di sampingnya itu. Meskipun tidak dianggap oleh bu Sinta, tapi Hani tidak menyerah, dia terus mengucapkan semua yang ada di pikirannya tanpa menyaring apakah ucapannya tersebut ada yang menyinggung.Semua ucapan yang diutarakan Hani tidak digubris sedikit pun oleh bu Sinta, sehingga Hani sempat berniat untuk menyerah. Namun, ketika Hani mengucapkan kalimat terakhirnya, bu Sinta langsung menoleh dan menatap Hani dengan tajam.“Apa maksudmu?” ucap bu Sinta dengan panik dan dingin.“Bu Sinta belum
Sebuah sanggar seni dibangun di tengah-tengah kota yang ramai. Desas-desus tentang sanggar seni itu sudah menyebar di banyak telinga, bukan karena keburukannya, namun karena kehebatannya yang selalu menorehkan prestasi dari kalangan usia yang tidak menentu. Pemilik sanggar seni ini memang sengaja tidak memberikan batasan usia untuk siapapun yang ingin mendaftar disini, karena beliau merasa semua orang berhak berkreasi dengan ide-idenya yang sudah tertanam di pikirannya. Desas-desus tentang sanggar seni yang bernama ‘Sanggar Seni Kenangan’ ini juga mampir ke telinga ibu rumah tangga muda yang bernama Sinta, dan saat pertama kali mendengar tentang sanggar seni itu, bu Sinta langsung merasa seperti beliau sudah mengenal baik sanggar seni itu, beliau merasa dekat dan ingin segera mengunjunginya. Setelah beberapa kali rencananya gagal untuk mengunjungi sanggar seni yang terkenal itu, akhirnya hari ini bu Sinta bisa melowongkan
Karena hari ini adalah hari Sabtu, bu Niken pulang kerja pada jam 12 siang. Bu Niken tidak langsung pulang ke rumahnya begitu saja, beliau pergi ke sanggar seni kenangan seperti hari Sabtu sebelum-sebelumnya. Dalam perjalanannya menuju ke sanggar, bu Niken tadi sempat menghubungi bu Aliyah, apakah beliau juga akan pergi ke sanggar dan memintanya menanyai bu Tia juga, dan ternyata jawabannya adalah mereka berdua juga sedang dalam perjalanan menuju sanggar. Setelah mematikan teleponnya, bu Niken memasukkan kembali ponselnya ke tas selempangnya, lalu beliau mulai memanaskan kembali mesin mobilnya yang tadi sempat ia hentikan di pinggir jalan untuk menelpon bu Aliyah. Sesampai di sanggar, bu Niken mendapati bu Aliyah dan bu Tia sudah berada disana dan sedang berbincang dengan pemilik sanggar, bu Larni. Bu Niken menghampiri mereka bertiga, lalu menyapanya begitu sampai di dekat mereka. “Jalanan macet ya?” tanya bu Aliyah pada bu Niken.
Hari Sabtu yang cerah akhirnya tiba juga, hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh bu Aliyah, bukan karena apa, hanya saja beliau sudah tidak sabar menyalurkan hobinya bersama teman-temannya.Bu Aliyah berjalan menuju ruang keluarga sembari memegang nampan yang di atasnya terletak gelas yang berisikan kopi hitam. Sesampai di ruang keluarga, bu Aliyah meletakkan gelas itu ke meja yang berada di depan suaminya.“Hari ini bunda ke sanggar lagi?” tanya suami bu Aliyah tanpa melihat ke arah bu Aliyah, beliau tetap memfokuskan kedua matanya ke arah koran yang sedang dibacanya.Bu Aliyah duduk di samping suaminya. “Iya, kan aku udah lama nggak kesana, ini mumpung semua bisa datang, biasanya pasti ada aja yang nggak bisa karena kesibukannya masing-masing.” Bu Aliyah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.Suami bu Aliyah meletakkan koran yang tadi dibacanya ke meja depannya, lalu belia
Sinar matahari telah menembus tirai kamar bu Tia dan suaminya, sehingga bu Tia segera terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sesaat bu Tia membuka kedua matanya dan mengakhiri mimpi indahnya, sosok suaminya yang masih tertidur pulas langsung muncul di hadapannya. Sejak awal mereka menikah, hingga masuk ke tahun 4 sekarang ini, bu Tia tidak pernah bosan untuk memandangi wajah tampan suaminya tersebut.Meskipun jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi, dan hal ini berarti bu Tia telah memandangi suaminya itu selama setengah jam, bu Tia masih enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Setiap bu Tia memandangi wajah suaminya secara diam-diam seperti ini, bu Tia selalu bernostalgia ke momen dimana mereka pertama kali bertemu.Bu Tia pertama kali bertemu dengan suaminya pada saat bu Tia sedang mengerjakan kerjaannya di sebuah kafe terpencil di daerah kampung halamannya, Bandung. Awalnya, bu Tia tidak memperhatikan kehadiran laki-laki tampan ters
Di pertemuan atau kelas selanjutnya, bu Niken izin dengan alasan urusan keluarga. Bu Larni pun mengizinkan bu Niken tanpa menanyakan lebih lanjut mengenai alasannya. “Tadi bu Niken ngomong apa ke kamu?” Bu Aliyah yang sedang beristirahat di ruangan bu Larni mencoba mencari tahu mengenai alasan bu Niken tidak masuk kelas hari ini. Bu Larni yang sedang membereskan rak bukunya hanya bisa menjawabnya dengan singkat. “Katanya ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan, jadi terpaksa beliau tidak bisa masuk hari ini.” Rasa ingin tahu bu Aliyah tidak berhenti sampai disitu, meskipun bu Larni sudah menjawabnya dengan cukup jelas, bu Aliyah tetap bersikeras untuk mengorek lebih dalam mengenai kehidupan bu Niken. “Menurutmu urusan keluarga seperti apa yang sampai tidak bisa ditinggalkan? Bukannya bu Niken tidak punya anak, jadi apa yang sampai mendesaknya seperti itu.” Bu Aliyah tidak sedikit pun
“Bagaimana kalau kita liburan ke puncak sama-sama?” usul bu Aliyah pada saat pertemuan kelas selanjutnya yang telah dihadiri bu Niken dan bu Sinta juga, jadi formasi 4 sekawan dalam Sanggar Seni Kenangan sudah lengkap. “Kita berempat, Bu?” Bu Tia balik bertanya ke bu Aliyah sang pemberi usul. “Kalau saya sih sarannya mending sama keluarga masing-masing, ajak suami dan anak masing-masing, biar nanti suasana jadi lebih rame, anak-anak kita juga jadi bisa berteman.” Bu Aliyah terdengar sangat antusias. Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat bu Sinta dan bu Niken menjadi gelisah. Memang mereka berdua bisa saja menolak ajakan tersebut dengan sopan, tapi ucapan bu Aliyah selanjutnya membuat bu Sinta dan bu Niken tidak sanggup menolak. “Kita bertiga dari dulu nggak pernah liburan bareng kan, padahal udah kenal selama 1 tahun lebih, jadi ini kesempatannya buat kita lebih kenal satu sama lain. Ap