Share

#3

Hari Sabtu yang cerah akhirnya tiba juga, hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh bu Aliyah, bukan karena apa, hanya saja beliau sudah tidak sabar menyalurkan hobinya bersama teman-temannya.

Bu Aliyah berjalan menuju ruang keluarga sembari memegang nampan yang di atasnya terletak gelas yang berisikan kopi hitam. Sesampai di ruang keluarga, bu Aliyah meletakkan gelas itu ke meja yang berada di depan suaminya.

“Hari ini bunda ke sanggar lagi?” tanya suami bu Aliyah tanpa melihat ke arah bu Aliyah, beliau tetap memfokuskan kedua matanya ke arah koran yang sedang dibacanya.

Bu Aliyah duduk di samping suaminya. “Iya, kan aku udah lama nggak kesana, ini mumpung semua bisa datang, biasanya pasti ada aja yang nggak bisa karena kesibukannya masing-masing.” Bu Aliyah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

Suami bu Aliyah meletakkan koran yang tadi dibacanya ke meja depannya, lalu beliau meraih gelas yang berisi kopi tadi, dan segera meminumnya dengan perlahan karena kopi masih mengeluarkan uap panas.

“Nanti jam 3 aku mau ketemu sama temanku di daerah Thamrin.” Ucap suami bu Aliyah setelah meminum kopinya.

Bu Aliyah sempat memandangi suaminya dengan penuh selidik, meskipun nanti dirinya juga akan pergi dan melakukan kegiatannya sendiri, tapi bu Aliyah juga sedikit merasa cemburu karena beliau tidak bisa menghabiskan waktunya bersama suaminya di hari libur. Namun, setelah menyadari sikapnya itu terlalu kekanakan di usianya yang sudah kepala 4, bu Aliyah menghilangkan kecemburuan itu dari perasaannya.

“Jangan pulang malam-malam, nanti malam kan waktunya ayah tidur bersama Dania.” Bu Aliyah mengingatkan suaminya akan tugasnya. Sejak memiliki anak pertama, bu Aliyah dan suaminya memang membuat peraturan sendiri di dalam rumah tangga mereka, yaitu pada Sabtu malam atau malam Minggu, suaminya itu harus punya waktu untuk tidur bersama anak-anaknya yang masih berumur balita. Tidak ada maksud lain dari peraturan itu, hanya saja bu Aliyah ingin anak-anaknya bisa mendapatkan waktu yang lama bersama ayahnya yang selalu sibuk pada hari kerja, dan suami bu Aliyah pun juga sudah menyetujui aturan itu.

Suami bu Aliyah terlihat seperti baru mengingat akan hal itu, tapi beliau berusaha keras menutupinya dari istrinya. “Oh tentu saja, sekarang Dania dimana?” suami bu Aliyah mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keberadaan anak ketiganya.

Bu Aliyah menoleh ke arah kamar anak ketiganya, lalu beliau berkata, “Dari tadi dia nggak mau keluar kamar, nggak tahu kenapa, katanya mau main game aja di kamar.” Kata bu Aliyah merujuk ke permainan game yang ada di ponselnya yang sedang dipegang oleh Dania.

“Kenapa nggak bunda larang, itu kan bisa bikin matanya sakit,” suami bu Aliyah terlihat tidak suka, beliau langsung beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju kamar Dania. Suami bu Aliyah langsung masuk begitu saja kesana tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Di lain tempat, bu Aliyah hanya bisa menatap punggung suaminya dengan tatapan yang susah diartikan.

***

Hari ini, bu Aliyah bertemu dengan murid baru di Sanggar Kenangan, dan sepertinya beliau juga sudah ber-rumah tangga, jadi menurut dugaan bu Aliyah, beliau sepertinya akan cocok dengan dirinya, dan teman-temannya. Calon teman baru bu Aliyah yang tadi memperkenalkan diri sebagai bu Sinta itu terlihat sangat kalem dan elegan, paras cantiknya juga terpapar jelas dengan rambut yang sengaja diurainya.

Bu Sinta tidak singgah di sanggar dengan lama, beliau berkata jika anaknya sedang menunggunya di rumah, jadi beliau tidak bisa menghabiskan waktu yang lama disini, dan kami semua juga memakluminya. Setelah melihat bu Sinta dan bu Larni berjalan menuju luar sanggar, bu Aliyah kembali menolehkan kepalanya ke arah bu Tia dan bu Niken.

“Nanti langsung masukin bu Sinta ke grup ya, biar beliau bisa tahu kapan kita bakal ambil kelas lagi,” perintah bu Aliyah, tanpa merajuk ke satu nama, karena bu Tia maupun bu Niken sama-sama bisa memasukkan orang luar ke grup.

Untuk menanggapi ucapan bu Aliyah, bu Niken menganggukkan kepalanya, sedangkan bu Tia hanya tersenyum kecil.

Tidak lama kemudian, sosok bu Larni kembali terlihat dalam pandangan bu Aliyah, bu Larni kembali berjalan menuju posisi kelas merajut. Namun, pada saat bu Larni sudah memfokuskan arah jalannya, di tengah jalan bu Larni dihentikan oleh salah satu murid yang sepertinya masih berumur 20-an, anak itu terlihat berbincang serius dengan bu Larni, dan entah kenapa bu Aliyah tidak bisa memalingkan pandangannya dari hal itu.

Bu Aliyah bangkit dari tempatnya dan berjalan menuju bu Larni. Bu Aliyah menepuk bahu bu Larni perlahan, dan bu Larni segera menoleh, pada saat melihat ternyata bu Aliyahlah yang menepuk bahunya, bu Larni memberikan kode pada bu Aliyah untuk menunggunya sebentar. Karena menurutnya bu Larni akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbincang dengan salah satu muridnya itu, bu Aliyah pun memilih menunggu bu Larni di ruangannya.

Bu Aliyah menunggu bu Larni sembari memainkan ponselnya di ruangan bu Larni. Sepertinya bu Larni membutuhkan waktu lebih lama dari dugaan bu Aliyah, karena beliau tidak kunjung datang ke ruangannya, namun itu tidak membuat bu Aliyah menyerah untuk menunggunya. Dan benar saja, tidak lama kemudian, sosok bu Larni memasuki ruangannya.

“Maaf, tadi aku ngomong ke bu Niken sama bu Tia dulu, buat menjaga bu Sinta dengan baik pada saat pertemuan selanjutnya.” Ucap bu Larni kepada bu Aliyah.

“Emang dia siapamu kok seperti ada ikatan batin di antara kalian berdua, dari tadi aku ingin menanyakan akan hal itu.” Bu Aliyah mengeluarkan rasa ingin tahunya yang sedari tadi bersarang di pikirannya.

Bu Larni tertawa mendengar ucapan temannya itu, lalu beliau berjalan menuju kursinya dan duduk disana menghadap bu Aliyah yang duduk di depannya. “Aku hanya merasa seperti melihat diriku sendiri pada saat di usia yang sama seperti bu Sinta saat ini. Kecanggungannya, kegelisahannya, namun tatapan matanya yang tajam menunjukkan jika dirinya tidak lemah seperti dugaan orang lain.” Ujar bu Larni.

Mendengar ucapan bu Larni, membuat bu Aliyah tertawa, karena beliau juga menyetujui perkataan bu Larni. “Benar juga, makanya sedari tadi aku merasa seperti pernah bertemu dengannya.” Kata bu Aliyah.

Bu Larni terlihat seperti sedang mencari-cari sesuatu, namun bu Aliyah tidak tahu apa yang sedang dicarinya. “Lagi nyariin apaan?” tanya bu Aliyah kemudian, karena beliau melihat bu Larni tidak kunjung mendapatkan apa yang sedang dicarinya.

“Nggak, nggak terlalu penting sih, cuma kata suamiku tadi sepertinya ada barangnya yang ketinggalan disini, jadi nanti aku disuruh membawanya pulang.” Jawab bu Larni.

Sesaat setelah bu Larni menjawab pertanyaan bu Aliyah, terdengar bunyi ketukan dari pintu ruangan bu Larni. Bu Larni pun mempersilahkan seseorang di luar pintu tersebut untuk masuk. Setelah pintu ruangan terbuka, sosok Hani terlihat dengan memperlihatkan gigi putihnya yang rapi.

“Maaf Bu mengganggu, saya tidak sengaja memecahkan gelas kaca yang ada di dekat pintu kamar mandi pada saat saya kesana tadi.” Hani berbicara dengan memancarkan sinar kecemasan dalam kedua matanya. “Tapi tadi pecahan itu sudah saya bersihkan, saya hanya memberitahu Ibu, barangkali saya harus menggantinya, saya siap menggantinya Bu,” lanjut Hani.

Bu Larni menghampiri Hani yang masih berdiri di dekat pintu dan tidak beranjak masuk. Sedangkan bu Aliyah juga tetap setia duduk di posisinya yang sama seperti tadi. Tatapan mata bu Larni tidak beralih sedikit pun dari sosok Hani. Namun, tatapan mata tersebut tidak berfokus pada wajah Hani, tetapi tatapan mata bu Larni lebih melihat ke arah telapak tangan Hani.

“Lalu ini kenapa? Apa kamu terluka pada saat membersihkan gelas itu?” Ucap bu Larni dengan nada suara yang penuh kekhawatiran. Bu Larni menggenggam pergelangan tangan Hani dan menyuruh remaja tersebut masuk ke ruangannya. “Luka seperti ini harus langsung diobati, kalau tidak itu malah akan menjadi sebuah infeksi,” lanjut bu Larni setelah berhasil membawa Hani ke dalam ruangannya.

Bu Aliyah yang sedari tadi hanya duduk dan memperhatikan mereka berdua, kali ini beliau beranjak dan mempersilakan Hani untuk duduk di kursi yang tadi beliau duduki. “Sini, Nak.” Bu Aliyah tersenyum dengan penuh keramahan ke arah Hani.

Hani memang terlihat masih seperti anak kecil, meski usia sebenarnya adalah 18 tahun. Namun, karena Hani memiliki gestur yang canggung dengan badan yang kecil, Hani jadi tidak terlihat seperti usia sebenarnya. Maka dari itu, orang-orang di sanggar yang mengenal Hani, selalu menganggap dan memperlakukan Hani seperti anak kecil.

Bu Larni selesai mencari kotak P3K yang beliau simpan dengan baik di rak bukunya. Setelah itu, beliau langsung mengobati luka Hani dengan cekatan. Selesai luka Hani diobati, bu Larni menyuruh Hani untuk langsung pulang saja, karena luka yang didapatkan Hani dari membersihkan pecahan gelas tadi cukup dalam, sehingga lebih baik Hani langsung istirahat saja.

Sepeninggal Hani, bu Aliyah yang masih berada di ruangan bu Larni berkata, “Dari dulu aku selalu berpikir dia cantik sekali, bahkan sejak awal bertemu aku berharap ketika Dania besar nanti akan memiliki paras cantik seperti dia.” Bu Aliyah mengucapkan keinginannya tersebut tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu ruangan bu Larni.

Mendengar ucapan bu Aliyah, bu Larni tertawa kecil. “Jangan pernah membanding-bandingkan atau pun berharap untuk anakmu bisa menjadi seperti orang lain.” bu Larni mengucapkan nasihat tersebut dengan sangat halus supaya bu Aliyah tidak merasa tersinggung. “Toh, aku rasa Dania sudah sangat cantik, padahal dia masih di umur segitu,” lanjut bu Larni tanpa menghilangkan senyum ramahnya dari wajahnya.

Bu Aliyah mengangguk-angguk ringan, lalu beliau berkata, “Yah, semua orang pasti memiliki impiannya masing-masing untuk anaknya, dan ketika aku melihat Hani, aku merasa dia sangat cantik dan berhati baik serta sopan, jadi tidak heran jika aku berharap Dania bisa tumbuh seperti dia.” Kali ini bu Aliyah beranjak dari tempatnya, namun raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan sifat tersinggung.

Bu Larni yang merasa sudah tidak bisa membalas ucapan bu Aliyah, karena beliau takut ucapannya malah menjadi batu sandungan dalam hubungan mereka, hanya bisa menggangguk dan mempersilakan bu Aliyah untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi.

***

Pada saat bu Aliyah berangkat untuk menghadiri kelas selanjutnya, suaminya menawarkan diri untuk mengantarnya ke Sanggar Seni Kenangan. “Hari ini Bunda ada kelas kan?” kata suami bu Aliyah pada saat keluarga kecilnya sedang sarapan bersama di ruang makan.

Bu Aliyah yang berpikir suaminya itu hanya menanyakan hal tersebut untuk sekedar basa-basi saja pun menjawab. “Iya Yah.” Sudah, bu Aliyah hanya menjawabnya dengan sangat singkat.

“Aku mau ke arah sana juga, nanti kuantar aja.” suami bu Aliyah yang bernama pak Rio itu mulai menawarkan diri untuk mengantar bu Aliyah ke Sanggar Seni Kenangan.

Bu Aliyah yang masih belum terbiasa dengan sikap ramah dari suaminya tersebut hanya bisa menganga dan tidak menjawab ucapan suaminya dengan kata-kata namun dengan anggukan kepala saja.

Selesai sarapan dan kebutuhan serta urusan anak-anak sudah selesai semua, bu Aliyah dan pak Rio mulai masuk ke mobil untuk berangkat. Sepanjang perjalanan, pak Rio tidak banyak bicara, beliau hanya menjawab ocehan istrinya dengan sekedarnya. Namun, karena suasana hati bu Aliyah sedang baik, karena akhirnya suaminya mau mengantar dirinya ke Sanggar, jadi bu Aliyah tidak terlalu memperhatikan ekspresi suaminya. Bu Aliyah tidak berhenti cerita sampai bangunan Sanggar Seni Kenangan mulai terlihat di depan mata.

Mobil yang dikendarai pak Rio mulai memasuki perkarangan sanggar. Pak Rio mencari tempat parkir yang tepat supaya nanti beliau dapat langsung menuju ke acaranya sendiri. Namun, sesaat pak Rio memarkir mobilnya, tepat di depannya ada bu Larni yang sedang membuka pintu sanggar sembari membawa sapu lidi.

Bu Larni yang melihat sosok pak Rio di dalam mobil, langsung tersenyum bahagia seperti baru saja bertemu kawan lama yang sudah tidak pernah bertemu selama sekian lama. Bu Larni memberikan isyarat untuk pak Rio supaya turun dari mobil. Bu Aliyah yang melihat isyarat dari bu Larni tersebut, tentu tidak kalah bahagia.

Bu Aliyah dan pak Rio mulai mendekat ke arah bu Larni, dan ketika bu Larni sudah berada di dekatnya, bu Aliyah berkata, “Yang lain sudah datang belum?” Tanya bu Aliyah.

Bu Larni menggelengkan kepalanya. “Tumben-tumbenan kamu jam segini udah datang, sama Rio lagi.” Bu Larni dengan sengaja menggoda kedua temannya tersebut.

Pak Rio yang mendengar candaaan bu Larni tersebut hanya bisa tertawa canggung. “Saya lagi ada urusan di dekat sini, jadi saya menawarkan diri untuk mengantarnya kemari, lumayan jadi bisa hemat bensin,” canda pak Rio. Ya, meskipun pak Rio sudah mengenal bu Larni sejak dulu, akan tetapi beliau masih menggunakan bahasa formal ketika bertemu bu Larni.

Sesaat candaan dari pak Rio itu disambut tawa dari bu Larni dan bu Aliyah, ada taksi yang masuk ke perkarangan sanggar. Kemudian, sesaat taksi tersebut berhenti, sosok Hani keluar. Melihat ada 2 seniornya sedang mengobrol di depannya, Hani pun tersenyum ramah sambil menganggukkan kepalanya ringan.

Setelah Hani menutup pintu taksi, Hani mulai mendekat ke arah bu Larni, bu Aliyah, dan satu orang lagi lainnya yang masih belum dikenal oleh Hani.

“Gimana, lukamu sudah sembuh?” mengingat hari ini adalah hari pertama bu Larni bertemu dengan Hani setelah kejadian gelas yang pecah kemarin, tentu yang ditanyakan bu Larni pertama kali adalah mengenai hal tersebut.

Namun, belum sempat Hani menjawab pertanyaan dari bu Larni, sosok bu Sinta menyapa mereka berempat yang sedang ada disana. Dengan kemunculan bu Sinta ini, membuat para wanita yang ada disana mulai mengobrol ringan seperti yang berkaitan dengan anak, suami, dan bahkan cuaca hari ini.

Ketika merasa pak Rio mulai dikucilkan, para wanita tersebut pun mulai berhenti bercerita. Kemudian bu Larni menyuruh Hani dan bu Sinta untuk masuk terlebih dahulu, karena beliau mau menemani bu Aliyah untuk mengantar kepergian pak Rio. Setelah itu Hani dan bu Sinta pun langsung masuk.

Di situasi saat ini, mungkin banyak orang akan mengira tidak ada suatu hal besar yang terjadi. Kendati demikian, tatapan mata pak Rio tidak beralih sama sekali dari sosok kedua wanita yang baru saja meninggalkan mereka bertiga tersebut. Bu Aliyah menyadari tatapan tajam suaminya tersebut dan bertanya, “Ayah kenal mereka, atau salah satunya?” bu Aliyah bertanya tanpa menaruh kecurigaan sedikit pun.

Dan jawaban dari suaminya adalah hanya gelengan kepala tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Meskipun mungkin ada sebagian orang yang akan menaruh kecurigaan ketika suaminya bersikap seperti itu kepada wanita lain, namun bu Aliyah tidak melakukan hal ini sama sekali, karena beliau sudah ditutupi oleh rasa bahagia yang sejak pagi ini beliau rasakan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status