~Empat tahun kemudian~
Seorang wanita cantik melangkah dengan anggun kala turun dari podium. Suara tepuk tangan memenuhi ballroom hotel yang megah itu. Dia Jasmine Stevanie Welsh—seorang wanita sukses yang berhasil menjadi Direktur Pemasaran & Penjualan di sebuah perusahaan kosmetik terbesar di Inggris.
Dalam empat tahun terakhir Jasmine sukses membawa laba perusahaan yang besar. Cantik, pintar, dan karir yang cemerlang. Akibat tingkat penjulan yang tinggi, Jasmine langsung mendapatkan posisi penting di perusahaan. Tidak tanggung-tanggung, dalam waktu hanya empat tahun, Jasmine nyatanya mampu menjadikan dirinya berada di posisi top management.
“Jasmine! Selamat kau sekarang sudah menjabat sebagai Direktur Pemasaran & Penjualan. Aku benar-benar bangga padamu,” ucap Ivy—teman dekat Jasmine di kantor. Tatapannya menatap kagum Jasmine yang sejak tadi terus berjabat tangan dengan banyak staff.
“Selamat juga untukmu. Sekarang kau sudah menjadi Manager Pemasaran & Penjualan. Aku bangga padamu,” balas Jasmine hangat. Ivy adalah teman dekat Jasmine di kantor. Mereka sama-sama menjabat di sales and marketing division. Selain menjadi teman dekat, Jasmine pun menjadi rekan kerja yang baik bagi Jasmine.
Ivy tersenyum lembut dan hangat. “Apa rencanamu hari ini? Apa kau akan langsung pulang ke rumah?”
“Sebenarnya aku ingin sekali mengajakmu keluar malam ini merayakan kenaikan jabatan kita berdua. Tapi hari ini kakakku yang tinggal di New York pulang ke London. Jadi mau tidak mau aku harus menyambut kedatangannya,” ujar Jasmine seraya menyesap orange juice yang baru saja diantarkan oleh pelayan hotel.
Ivy menganggukan kepalanya. “Baiklah kalau begitu, besok siang saja kita merayakannya. Bagaimana?”
“Alright. Aku setuju,” jawab Jasmine dengan senyuman di wajahnya.
Suara dering ponsel terdengar, membuat percakapan Jasmine dan Ivy terhenti. Jasmine mengalihkan pandangannya, melihat ponsel miliknya yang tak henti berdering itu.
Jasmine mengambil ponselnya dan melihat ke layar—wanita itu langsung mendecakkan lidahnya kesal melihat nomor Mila—ibunya yang menghubunginya. Padahal satu jam lalu ibunya itu sudah menghubungi dirinya agar pulang lebih awal, tapi tetap saja sekarang ibunya kembali menghubunginya lagi.
“Ivy, sorry. Aku harus menjawab telepon. Ibuku menghubungiku,” ucap Jasmine dengan nada sedikit tidak enak pada Ivy.
“It’s okay, Jas. Take your time. Aku juga ingin ke toilet sebentar,” balas Ivy.
Kemudian ketika Ivy sudah pergi, Jasmine segera menggeser tombol hijau di layar ponselnya untuk menerima panggilan itu. Sebelum akhirnya menempelkan ke telinganya.
“Iya, Mom?” jawab Jasmine saat panggilan terhubung.
“Sayang, kau di mana? Apa kau masih lama pulang ke rumah? Kakakmu sudah tiba di bandara. Dia datang ke sini dengan kekasihnya. Kau juga bawa Bernard, ya, jangan lupa,” ujar Mila dari seberang sana.
Jasmine mendesah pelan. “Tidak bisa, Mom. Bernard terbang ke Dubai. Tadi pagi baru aja dia berangkat.”
“Yah, kenapa kau tidak bilang pada Mommy kalau Bernard tidak ada di London?”
“Aku juga baru tahu tadi pagi. Dia pergi mendadak. Ada pekerjaan yang tidak bisa tertunda.”
“Kalian berdua terlalu sibuk dengan pekerjaan, sampai kalian lupa dengan kehidupan kalian berdua. Kalian sudah menjalin hubungan hampir satu tahun, tapi kenapa belum juga memutuskan menikah?”
“Mom, aku menjalin hubungan dengan Bernard baru enam bulan. Kenapa kau bilang sudah hampir satu tahun.”
Jasmine mendengkus kesal dengan raut wajah sangat sangat jengkel. Bernard Green—pria keturunan Inggris-Amerika itu adalah pria yang menjalin hubungan dengan Jasmine enam bulan terakhir.
Sebelumnya Jasmine tidak mau menjalin hubungan dengan siapa pun. Namun, karena paksaan keluarga dan dia pun mengingat sudah lama dirinya tak membuka hati untuk seorang pria, akhirnya Jasmine memutuskan untuk menerima Bernard—pria yang Jasmine anggap sangat cocok dengannya.
Tentu sangat cocok. Bernard Green adalah direktur utama di salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di Dubai. Mapan, tampan, baik, dan mengerti akan kesibukan Jasmine membuat Jasmine akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Bernard.
Hanya saja, sang ibu selalu saja memaksa Jasmine untuk menikah. Padahal usianya masih baru memasuki 24 tahun. Bagi Jasmine masih sangat muda untuk menikah. Wanita itu lebih tertarik menikah di usia 30 tahun. Lain halnya dengan sang ibu yang menginginkan dirinya menikah sebelum memasuki usia 30 tahun.
“Mommy tidak peduli. Mommy ingin segera mendengar kau akan menikah.”
“Nanti, Mom. Biar saja Jelena dulu yang menikah. Sudah, ya, Mom. Aku mau tutup dulu. Aku akan pulang sebentar lagi. Bye, Mom.”
Tanpa menunggu balasan, Jasmine langsung menutup panggilan itu sepihak. Telinganya panas jika mendengar ibunya itu terus-terusan memaksanya menikah. Padahal, kakaknya sendiri sudah memasuki usia 26 tahun. Harusnya ibunya itu mengejar kakaknya saja. Tidak perlu dirinya yang ikut diburu-buru dalam menikah.
Jasmine menghela napas dalam. Tiba-tiba sekelebat ingatan muncul dalam benaknya. Ingatan dirinya tentang satu orang yang tak pernah pergi dari hatinya. Hanya saja, Jasmine memilih berdamai dengan kenyataan. Dia pun terus belajar mengubur perasaannya dalam-dalam. Karena mencintainya hanya akan membuat luka yang selama ini membaik kembali merasakan perih.
“Lebih baik aku pulang.” Jasmine melangkah meninggalkan ballroom hotel. Sebelum beranjak pergi, dia pun berpamitan dengan para staff dan juga atasannya.
***
Siang itu panas begitu terik. Jasmine yang baru saja turun dari mobil langsung menyipitkan matanya. Cuasa sedang tak bersahabat. Tampak para pelayan yang menyapa Jasmine yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
“Selamat siang, Nona Jasmine,” sapa sang pelayan dengan sopan.
“Siang. Apa kakakku sudah datang?” tanya Jasmine.
“Sudah, Nona. Nona Jelena bersama kekasihnya sudah datang. Sekarang mereka ada di ruang keluarga bersama dengan kedua orang tua Nona,” ujar sang pelayan memberitahu.
Jasmine menganggukan kepalanya. “Aku akan ke sana dulu. Terima kasih.”
Sang pelayan menundukkan kepalanya kala Jasmine melangkah masuk ke dalam rumah. Tampak wajah Jasmine yang terlihat bahagia mendengar Jelena sudah tiba.
“Mom? Dad? Jelena?” Jasmine melangkah masuk ke dalam ruang keluarga. Senyuman hangat terlukis melihat kedua orang tuanya dan juga kakaknya tengah berkumpul.
“Jasmine. Kau sudah pulang?” Jelena langsung memeluk erat Jasmine, bergantian dengan ayah dan ibu mereka.
“Selamat atas jabatan barumu, Nak. Daddy bangga padamu.” Johan—sang ayah—menepuk pelan bahu Jasmine. Tatapannya menatap bangga putri bungsunya itu.
“Mommy juga bangga padamu. Di usia yang muda, kau berhasil menduduki jabatan direktur.” Mila mengelus pipi Jasmine.
“Jasmine, aku tidak mampu berkata-kata lagi. Kau memang luar biasa. Aku saja yakin, tidak mungkin mampu berada di posisimu,” kata Jelena dengan hangat.
Jasmine tersenyum. “Terima kasih. Ya sudah, ayo kita duduk. Kakiku lelah terlau lama berdiri.”
Semua orang mengangguk. Kemudian, mereka duduk di sofa empuk yang ada di sana. Para pelayan pun sudah menyajikan makanan di meja tepat di hadapan mereka.
“Jasmine, kakakmu akan segera bertunangan dengan kekasihnya,” ujar Mila dengan riang.
“Really?” Jasmine menoleh pada Jelena.
Jelena menganggukan kepalanya. “Iya, Jasmine. Aku dan kekasihku memutuskan untuk bertunangan tahun ini.”
Jasmine tersenyum. “Great. Aku senang mendengarnya. Sekarang di mana pacarmu? Kenapa aku tidak melihatnya?”
“Tadi dia sedang menerima telepon. Harusnya dia—”
“Maaf aku lama.”
Suara bariton memasuki ruang keluarga dan langsung memotong ucapan Jelena. Kini semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangannya ke sumber suara itu.
Seketika senyuman di wajah Jasmine memudar. Tatapannya menatap terkejut sosok pria yang melangkah mendekat. Dunia Jasmine seolah akan runtuh. Tubuhnya lemah. Dia menatap tak percaya dengan sosok pria yang di hadapannya.
Dalam diam, pria itu pun terkejut melihat Jasmine. Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Sebuah tatapan yang bagaikan tersesat di dalam hutan dan tak bisa untuk kembali. Keduanya hanyut dalam tatapan itu. Suasana ruang keluarga menjadi hening. Seolah hanya ada kedua insan yang saling bertatap dalam.
“Xavier.”
Jasmine bergumam pelan menyebut nama pria yang empat tahun ini tak lagi dia sebut. Nama yang mati-matian selalu Jasmine hindari. Mata Jasmine nyaris berembun. Jika saja, tidak ada orang di ruang keluarga itu mungkin dia akan berteriak, dan memaki pria yang ada di hadapannya ini.Tapi tidak! Jasmine memilih untuk diam seraya menatap nanar pria yang ada di hadapannya. Tatapan tersirat penuh luka yang mendalam. Bagaikan sebuah pisau yang menancap ke jantungnya. Napas Jasmine rasanya ingin berhenti. Xavier Coldwell—menatap Jasmine dengan tatapan nyaris tak percaya. Namun, terlihat jelas tatapan Xavier tersirat penuh arti yang sulit untuk diungkapkan. Pria itu menatap Jasmine seperti tersesat di tengah hutan yang luas dan gelap. Jika siang hari hutan menunjukkan keindahan, lain halnya dengan malam hari— membuat hutan itu layaknya gelap, dan kesunyian yang tak berkawan. Sejenak, Xavier dan Jasmine masih saling menatap dalam satu sama lain. Tatapan yang seakan menimbulkan sebuah percikan
Jasmine benar-benar berpikir bahwa dia sudah berhasil berdamai dengan masa lalunya, mengikhlaskan Xavier dan menjalani kehidupan tanpa pria itu. Semuanya berjalan dengan baik dan sesuai rencana, walau terkadang dia masih merindukan Xavier. Tapi hanya pada saat dan momen-momen tertentu, saat rasa kesepian mulai menggerogoti hati dan jiwanya, pria itu muncul seperti sebuah penghiburan, sebuah pengingat bahwa dulu dia pernah mencintai dengan begitu dalam, walau pada akhirnya cintanya tersebut dipatahkan.Tidak cukup sampai di sana, kini Xavier muncul kembali seperti sebuah badai yang menerpa kehidupan Jasmine yang sudah tenang dan damai. Hal yang paling mengejutkan Jasmine adalah Xavier dan kakaknya akan bertunangan.Jasmine berharap bahwa sekarang dia sedang bermimpi, dan segera terbangun dari mimpi buruknya. Sayangnya, ini semua adalah kenyataan. Xavier Coldwell—pria yang meninggalkannya begitu saja beberapa tahun silam—akan menjadi kakak iparnya.Mata Jasmine berkaca-kaca membayangkan
Malam itu, Jasmine tidak bisa tidur. Dia berguling di atas ranjangnya untuk mencari posisi yang nyaman, berharap kantuk akan segera menjemputnya, tapi tidak juga bisa. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Xavier.Pria itu seolah menghantui benaknya dengan cara yang paling mengganggu. Padahal besok, dia harus berangkat pagi sekali untuk sebuah rapat penting di perusahaannya. Dia tidak ingin datang dengan keadaan yang buruk.Tidur biasanya selalu bisa menjadi obat bagi Jasmine, namun kali ini rasanya begitu sulit. Kalau dia memberikan Xavier kesempatan untuk berbicara, akankah pria itu mau meninggalkannya sendiri? Empat tahun lalu, Xavier pergi tanpa penjelasan apa pun dan Jasmine lelah untuk memikirkan jawabannya. Namun kali ini, Xavier telah kembali dengan cara yang sangat buruk dan kembali menimbulkan pertanyaan serta badai perasaan baru dalam diri Jasmine.Jasmine bangkit dari posisi berbaringnya seraya menghela napas panjang. Dia memegangi kepalanya yang terasa berat dan kembali ber
“Shit!” umpat Jasmine berulang kali saat dia dengan susah payah mengenakan sepatunya di ruang gantinya dengan gerakan tergesa-gesa. Dia mengambil tas dengan asal, memasukkan barang-barangnya ke dalam, lalu menarik sebuah mantel berwarna cokelat dari lemari dan melangkah setengah berlari keluar dari kamarnya.Jasmine melirik arlojinya, lalu terbelalak. “Aku terlambat!” ucapnya dan kini dia benar-benar berlari. Saat turun dari tangga, Jasmine memelankan langkahnya, teringat pada kejadian semalam ketika dia hampir terjatuh. Setelah sampai di lantai bawah, Jasmine pergi ke ruang makan untuk berpamitan dengan kedua orang tuanya yang saat itu tengah sarapan.“Mom! Dad! Aku pergi dulu!” seru Jasmine, tidak perlu merasa repot-repot untuk sarapan terlebih dahulu.Mila memanggilnya, tapi Jasmine tidak berhenti dan sudah lebih dulu berada di teras. Saat di sana, langkah Jasmine sontak terhenti. Dia bisa merasakan keringat mulai terbentuk di permukaan kulitnya.“Jasmine?” Jelena berdiri di hadapa
Jasmine sontak berbalik dan menatap Xavier tajam. “Apa maksudmu?”Sebelah alis milik Xavier yang tebal dan hitam terangkat sedikit, kepuasan masih mengerling di tatapannya yang tertuju pada Jasmine.“K-kau ... kau mengatur ini?!” serunya.Xavier tidak menjawab, dia melangkah melewati Jasmine dan duduk di kursi dengan meja bundar terbuat dari marbel di depannya. Xavier menyentuh permukaan yang dingin itu sembari menjawab dengan singkat, “Ya.”Jasmine membelalakkan mata. “Berengsek!” rutuknya di antara napasnya yang menjadi tajam. “Aku tidak ingin membuang-buang waktuku untuk ini!” serunya lagi, lalu hendak melangkah pergi saat ucapan Xavier menghentikannya.“Bersikaplah profesional, Nona Welsh! Kau tidak mau jabatan yang baru kau dapatkan kembali diturunkan, bukan?” Kata-kata angkuh penuh ancaman Xavier berhasil membuat Jasmine tak berdaya.Jasmine menutup matanya, merasakan kemarahannya yang mengalir mulai surut perlahan. Xavier benar. Jasmine harusnya bisa bersikap lebih profesional.
Jasmine menatap makan siangnya dengan tatapan kosong, pikirannya masih terfokus pada pembicaraan bersama Xavier. Pria yang telah mencampakannya itu berkata kalau dia masih menyukainya.Dalam kondisi sekarang, dia dan Xavier tidak akan mungkin …Jasmine mendesah, lalu berkata dalam hati, ‘Apa yang sedang aku pikirkan? Menerima Xavier kembali setelah dicampakan oleh makhluk tidak berperasaan itu?’Tidak akan pernah! Jasmine terlalu menyayangi dirinya untuk jatuh dalam pelukan pria itu kembali. Apa yang dikatakan Xavier pasti hanya karena dirinya adalah seorang bajingan.Jasmine memijat pelipis, memikirkan ini saja sudah membuat kepalanya pening.“Jasmine?”Jasmine tersadar, menatap ke arah Ivy yang duduk di hadapannya. Mereka berdua telah sepakat menjadikan makan siang sebagai hari perayaan kenaikan jabatan. Sialnya, sekarang, bisa-bisanya Jasmine malah melamunkan Xavier—pria berengsek yang sudah tak ingin lagi dia pikirkan.“Apa kau sedang dalam masalah? Kau sama sekali tidak menyentuh
Jasmine membuka lembaran demi lembaran di kepalanya sendiri, mencari-cari kisah yang cocok untuk menjelaskan soal Xavier kepada Ivy. Menjalin hubungan dengan Xavier sebagai kekasih, di masa lalu, membuat Jasmine harus menutup rapat rahasia itu. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah membiarkan orang tahu tentang kisahnya dengan Xavier.“Aku mendengarmu berteriak, jadi aku langsung melihat situasi di luar. Apa yang terjadi, Jasmine? Siapa pria tampan ini? Apa kau mengenalinya?” Rentetan pertanyaan Ivy, membuat raut wajah Jasmine memucat akibat panik.“Dia ini—” Kepala Jasmine berputar mencari jawaban yang tepat.Mantan kekasih? Orang yang pernah aku cintai? Calon kakak ipar? Atau ... investor?Tidak ada jawaban yang bisa dia pilih. Dia harus memikirkan keberlangsungan hubungannya dengan Bernard. Calon kakak ipar yang tiba-tiba datang akan lebih menimbulkan kesalahpahaman. Tidak ada alasan bagi seorang investor menyusulnya ke acara non-formal ini, Ivy akan menyangka kalau mereka memili
Kegelapan menutupi langit dengan erat, tanpa secercah cahaya bintang yang menghiasi langit. Hanya bulan yang menjulang tinggi, menyapu permukaan bumi dengan sinar lembutnya.Di arah sana, tepatnya di halaman Starlight Car Park dua insan sedang beradu pandang dalam pertentangan. Waktu seakan berhenti membawa kenangan yang telah lama tertinggal, saat di mana hanya ada mereka berdua, saat luka kembali merajut dan mengkhianati Jasmine berulang kali.Sentuhan lembut Xavier di permukaan pipinya membuat Jasmine terhanyut, segera tersadar ketika tahu maksud Xavier yang ingin menciumnya. Dia langsung memalingkan muka sehingga sebuah kecupan hanya berlabuh di pipinya.“Menjauh dariku, Sialan!” seru Jasmine dengan suara tegas, hatinya hancur oleh sikap Xavier yang seolah meremehkan soal mereka di masa lalu. “Kita sudah selesai!”Xavier menatap dalam Jasmine yang masih ada di hadapannya. “Kisah kita tidak pernah selesai, Jasmine.”Jasmine menggelengkan kepalanya dengan senyuman sinis. “Tidak pern