LOGINMaaf aku terlambat update hari ini karena lagi pertemuan sesama tetangga di Yogya. Dan seperti biasa, kalau weekend aku double update. Happy reading
Laras POV Papa Johan benar-benar menepati janjinya. Hari Jumat pagi, ketika aku membuka pintu dapur, aku terpukau. Dapur lamaku yang dulu hanya ruang kecil dengan kompor dua tungku, dan meja kayu tempat meniriskan donat kini telah berubah total. Semuanya tampak baru. Modern. Rapi. Berkilau. Udara di dalamnya pun terasa berbeda. Lebih terang, lebih segar, dan entah kenapa, seperti membawa semangat baru bersamanya. Lantai keramik putih mengilap, dindingnya bersih tanpa noda minyak sedikit pun. Di sisi kanan berdiri dua meja aluminium panjang dengan permukaan mengilap, tempat aku akan mencetak , menata adonan donat juga menghiasnya sebagai sentuhan terakhir. Di sudut ruangan berdiri mesin proofing setinggi dadaku berbentuk kabinet stainless steel dengan kaca bening di pintunya. Aku bisa membayangkan aroma adonan hangat yang akan mengembang sempurna di dalamnya. Tak jauh dari situ, mixer industri besar dengan mangkuk baja berkapasitas puluhan liter berdiri gagah. Bayangan tubuhku mem
Warning Trigger : Mature content 21 ++ Saat Laras sedang mandi sepulang kami dari gereja untuk pemberkatan, aku duduk santai ngobrol bersama Mama dan Papa di meja makan. Kami menikmati seteko teh Melati. Kini wangi semerbak harum Melati yang menenangkan mengisi seluruh rumah dengan aroma khasnya. “Liyo,” kata Mama pelan, “tadi Pak Hutabarat telepon. Katanya pihak kejaksaan sudah menghubungi rumah dan kantor kita uda tidak lagi di segel . Hanya rekening yang harus tunggu beberapa saat lagi. Jadi besok Mama dan Papa mau pulang ke rumah kita. Rumah itu udah lama kosong, jadi harus dibersihin. Mama yang akan urus rumah, Papa langsung urus kantor.” Aku menaruh cangkir tehku. “Masalah dapur Labayo gimana, Pa?” “Nggak usah khawatir,” jawab Papa tenang, “itu udah hampir kelar. Nanti Papa tambah tukangnya, biar Jumat ini bisa segera selesai. Jadi Sabtu kalian bisa langsung mulai produksi.” Mama menyesap tehnya dan menatapku. “Nggak mau bikin upacara peresmian?” Aku tertawa kecil. “Lar
Senin sore itu, Jakarta terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari menggantung rendah di langit barat, menyapukan cahaya jingga ke atap-atap seng dan jendela rumah-rumah kontrakan di jalan kecil tempat Laras tinggal. Awan cumulus melayang seperti kapas besar yang sedang beristirahat membuat pemandangan sore itu tampak seperti lukisan mahakarya Sang Pencipta, seolah Tuhan ikut tersenyum, karena hari ini Laras dan Julio akan diberkati di gereja. Awalnya mereka mama Susan dan papa Johan. Riris dan Ario tentunya bersama kedua pengantin Julio dan Laras akan berangkat naik Avanza milik kantor Papa Johan. Tapi baru saja pagar rumah di buka, ternyata di luar sudah ramai. Warga tetangga berdiri di depan pagar, seperti rombongan yang menunggu pawai pengantin. Ada Bu Sri yang selalu kepo tapi baik hati, ada Bu Kus yang pemilik warung tempat Laras menitipkan donat pertamanya. Ada juga Pak RT dengan kemeja batiknya, juga Bu Pur mamanya Riris yang suka humor, cerewet tapi penyayang. “Laras!” s
Julio POV Sore itu, langit Jakarta bersih seperti baru saja dicuci hujan. Udara hangat, dan sinar matahari berwarna oranye menembus di sela-sela gedung kaca di kawasan Mega Kuningan. Laras baru pulang dari kelas baking-nya di Bogasari saat kami memutuskan berjalan kaki menuju gereja tua di belakang kawasan Mega Kuningan. Gereja tempat kami berencana mendaftar kelas pranikah. Lokasi gereja itu tak jauh dari penthouse-ku dulu. Saat melewati gedung tinggi itu, aku menoleh dan menunjuk ke atas “Ini tempat tinggalku dulu, Ra.” Laras mendongak, matanya membulat. “Gedung tinggi ini?” Aku mengangguk, tersenyum. “Mama kemarin ada nawarin, kalau semua urusan kejaksaan sudah selesai dan semua aset milik mama dan papa tidak lagi diblokir , kita boleh tinggal di sini. Tapi aku nggak mau. Kebayang kan, repotnya kalau tiap pagi buta kita harus jalan kaki untuk buat donat ke dapur Labayo?” Laras terkekeh, mengangguk paham. “Makanya aku lebih pilih kita tetap tinggal rumahmu aja. biar lebih
Julio POV Aku sedikit terkejut ketika mendengar Jaksa Guntur menyebut bahwa aset milik Arifin di Boston juga ikut dibekukan. Kata Boston langsung membuatku teringat tentang Erika, yang tiba-tiba menghilang dari Bangkok setelah membuat kekacauan di hari liburku bersama Laras. Sekarang semuanya masuk akal. Ia pasti disuruh mengamankan aset keluarganya. Tapi ternyata gagal juga. Semua harta mereka disita. Ketika Arifin dengan suara terbata-bata bertanya, “Apakah... Erika…?” Aku tahu, itu bukan sekadar kegelisahan seorang tersangka. Itu suara seorang ayah yang menanggung rasa bersalah karena membuat anaknya menderita. Aku menarik napas panjang. Entah kenapa, kali ini tidak ada lagi rasa kesal mendengar nama Erika. aku hanya merasa iba. Aku yakin, selama Erika tidak terlibat langsung dalam bisnis ayahnya, ia tidak akan sampai dijerat hukum. Hanya saja… aku tahu, wanita seperti dirinya tak bisa hidup tanpa uang.Tapi ah, apa peduliku lagi? Aku dan dia sudah selesai. Setelah semua l
Ruang tunggu Kejaksaan Negeri itu terasa lebih dingin dari pendingin udaranya sendiri. Lampu neon putih memantulkan cahaya ke lantai granit, membuat suasana seperti ruang interogasi di film kriminal. Johan duduk di kursi besi, kedua tangannya mengepal, menahan degup jantung yang rasanya berpacu dengan waktu. Di sampingnya, Julio menatap lurus ke depan, gelisah, tapi berusaha tampak tenang. Pak Hutabarat, pengacara keluarga mereka, berdiri di depan pintu kaca buram bertuliskan Bidang Tindak Pidana Khusus. Di tangannya tergenggam map biru berisi dokumen yang sudah beberapa minggu ini tidak pernah lepas dari gengamannya. “Tenang, Pak Johan,” katanya datar “Kita hanya klarifikasi dan datang sebagai saksi.” Namun kalimat itu tak mampu menghapus bayangan ketakutan Johan, takut ratusan karyawan perusahaannya tidak bisa mendapatkan gaji bulan ini. Pintu terbuka. Seorang petugas memanggil, “Pak Johan Wicaksano, silakan masuk.” Ketiganya masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam, aroma kopi







