MasukJulio adalah pewaris muda dari keluarga kaya yang hidupnya dipenuhi pesta, kemewahan, dan kesombongan. Ia tak pernah tahu apa arti kehilangan dan perjuangan hidup, hingga hari pernikahannya berubah menjadi mimpi buruk. Sebuah kecelakaan membuatnya buta juga menewaskan seorang remaja laki-laki bernama Bayu, yang ditabraknya saat mencoba menghindari kereta bayi yang meluncur ke jalan. Bayu bukan siapa-siapa bagi Julio. Tapi bagi Laras. kakak Bayu. ia adalah segalanya. Mereka yatim piatu, dan Bayu adalah harapan terakhir Laras dalam hidup yang keras dan penuh perjuangan mereka. Ketika Julio menerima donor mata dari Bayu, penglihatannya kembali. Namun, dunia yang ia lihat kini berbeda. Bukan hanya karena mata itu milik orang lain, tapi karena hati Julio mulai berubah bersamaan dengannya. Ia melihat bayangan Bayu dalam setiap kedipan matanya seperti cermin, seperti film yang diputar ulang … bahkan Julio bisa melihat air mata Laras. Dari pria manja, kaya raya yang tak pernah tahu betapa susahnya hidup ini, Julio perlahan menjadi seseorang yang belajar mencintai hidup dengan cara yang berbeda, lewat mata Bayu. Namun saat kebenaran terungkap, bisakah Laras memaafkan? Mampukah ia mencintai laki-laki yang membawa sepasang mata adiknya… tapi juga perlahan mengisi kekosongan di hatinya? From Your Eyes Only adalah kisah tentang kehilangan, pengampunan, dan cinta yang datang dari arah yang tak terduga, dari mata, turun ke hati.
Lihat lebih banyakCahaya matahari menyelinap melalui tirai hotel , menari di atas wajah Julio Wicaksono . Ia terbangun dengan napas memburu, jantung menghentak dada seperti alarm darurat yang terus berbunyi memekakkan telinga. Jam digital di meja samping tempat tidur menyala terang: 08:03
"Sial!" pekiknya.
Kepalanya berdenyut hebat.
Detaknya menyiksa seperti palu godam menghantam pelipis. Dunia di sekelilingnya masih bergoyang, seperti sisa hentakan lantai dansa yang belum selesai semalam.
Samar-samar, kenangan itu menyelinap: tubuh-tubuh penari seksi yang meliuk dalam cahaya, tawa membahana teman-temannya, gelas-gelas yang bersulang di udara, dan musik keras yang menghantam dada .
Dentuman.
Cahaya remang.
Coktail,
Tubuh seksi yang menggeliat.
Semua kini terpampang di hadapannya.
Tapi yang paling membuatnya marah - Tak ada satu orang pun yang membangunkannya.
“ Teman- teman jahat. WO brengsek!” umpat Julio menggertakkan gigi.
Ia bangkit dengan gerakan cepat, tersangkut bed cover, dan terpeleset jatuh ke lantai.
Dengan kesal, ia menyambar ponselnya yang tergeletak di meja nakas. Layarnya hitam. Mati total.
Dipukulnya berkali-kali, seperti bisa menyalahkan benda mati itu atas kekacauan hidupnya.
“Tentu saja wedding organizer nggak bisa menghubungi aku…” gumamnya kasar.
“Mereka bahkan nggak tahu aku nginap di hotel mana!”
Dan itu kenyataannya. Kenyataan yang kini bagikan boomerang yang menghancurkan.
Semalam, pesta Julio adalah pesta kejutan, direncanakan dengan cermat oleh gengnya: sesama pewaris muda dari keluarga konglomerat, pria-pria muda yang tak pernah mengenal kata ‘cukup’. Mereka menyewa President Suite di Hotel Westin, menyuguhkan penari wanita kelas atas, menenggelamkan Julio dalam cocktail mahal dengan private bartender dari club ternama. Lengkap dengan DJ yang memutar lagu-lagu yang membuat lupa waktu.Malam itu adalah malam terakhir kebebasan, begitu kata teman-temannya. Malam terakhir sebelum hidup berubah selamanya, sebelum ada istri yang harus dipertimbangkan, sebelum tanggung jawab sebagai ayah kelak membatasi ruang gerak. Setelah ini, kata mereka , tak akan ada lagi malam seperti ini, malam yang liar, bebas, tanpa batas.
Dan Julio , seperti biasa, terlalu larut dan Sekarang, ia terbangun dalam kekacauan yang nyata di pagi yang seharusnya menjadi pagi yang membahagiakan
Hari ini….pagi ini… Tepat jam 10, dia seharusnya melakukan pemberkatan yang indah dengan Erika, tunangannya.
Nama itu menghantam kepalanya lebih keras daripada kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata. Erika, gadis cantik yang sudah menjadi kekasihnya sejak masa kuliah di Amerika, cinta yang tumbuh dari pertemanan, lalu berubah jadi ikatan yang serius sampai kini menuju pernikahan.
Keluarga Erika adalah kolega bisnis ayahnya, jadi kisah cinta mereka direstui sejak awal. Keluarga Erika setara dengan keluarga Julio. Dia juga perempuan cerdas yang tak hanya memesona, tapi juga terlatih menghadapi dunia kaum jetset.Erika dikenal tepat waktu, disiplin, dan penuh perhitungan. Setiap rencana hidupnya harus berjalan sempurna, tanpa celah. Dan jika Julio sampai terlambat ke pemberkatan..
Erika pasti akan meledak.
Tidak. Julio bahkan tak sanggup membayangkan murkanya.Tanpa pikir panjang, Julio meraih jas yang tergantung di hanger. Ia memutuskan tidak mandi. Tidak sikat gigi. Rambut acak-acakan dan napasnya masih bau, tapi dia tak peduli, karena waktu yang terus berdetak, seperti bom yang siap meledak.
Dengan langkah terhuyung, ia keluar dari kamar hotel mewah tapi kini membuatnya merasa sesak dan sulit bernafas.Wajahnya masih setengah ngantuk, matanya merah, tapi adrenalin mulai menendang kepalanya, menghantam lebih keras dari kafein mana pun.
Ini bukan sekadar hari penting.
Ini adalah awal hidup baru.
Julio bagaikan terbang ke lobi hotel, melemparkan kartu valet ke petugas, dan suaranya meninggi saat berteriak,
“Cepat! Ambil mobilku! Aku terlambat ke pernikahanku!”
Petugas itu melongo sejenak, lalu lari. Dalam hitungan menit, Porsche merah menyala berhenti mulus di depan pintu putar.
Julio menyambar kunci mobil yang disodorkan valet boy dengan gerakan kasar, nyaris merampas. Tanpa menoleh, ia merogoh kantong celananya yang masih tampak kusut karena aktivitasnya semalam. Dia melempar dua lembar uang seratus ribuan ke tangan si petugas, seperti membuang waktu yang tak lagi dimilikinya. Ucapan terima kasih dari valet boy hanya terdengar samar di belakang, terhapus dering panik di telinganya.
Begitu tangannya menyentuh setir, mesin Porsche merah berlogo kuda jingkrak itu meraung garang, seperti ikut merasakan ketergesaan pemiliknya . Dalam sekejap, mobil melesat keluar dari pelataran Hotel The Westin, membelah udara pagi Jakarta yang masih tampak belum berkeliat seakan malas bergerak.
Untung jalan Rasuna Said di Sabtu pagi. tidak sepadat biasanya Di bawah lampu-lampu lalu lintas yang berkedip, Julio menyalip satu demi satu kendaraan seperti peluru merah di antara garis putih aspal. Wajahnya tegang, matanya liar, rambutnya kusut masai. Setiap detik terasa seperti bom waktu yang berdetak menuju ledakan dahsyat
Berbelok ke arah Kuningan, Julio sempat menarik napas lega. Untuk sesaat, dunia terasa kembali ke jalurnya. Jalanan pagi itu cukup lengang, Dalam kepalanya yang masih berat, ia mulai menyusun rencana penyelamatan, mampir sebentar ke apartemennya di Four Season Residences-Kuningan, mandi cepat, ganti baju dengan tuxedo pengantinnya, lalu meluncur ke gereja sebelum pukul sepuluh. Masih ada waktu. Masih bisa diselamatkan. Erika tidak akan meledak.
Julio tersenyum dengan rencana brilliantnya , ia berusaha mempercayainya, bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa keberuntungan selalu berdiri di pihaknya, seperti biasanya di 29 tahun hidupnya.
Tapi ini hidup dan hidup tidak pernah memberi peringatan. Ia tidak peduli seberapa mahal jas yang engkau pakai, seberapa mewah mobil yang engkau kendarai, atau seberapa keras engkau mencoba menyusun rencana sempurna
Dan untuk seseorang seperti Julio yang terlalu lama hidup di bawah lindungan privilege sebagai pewaris , takdir selalu punya cara untuk datang diam-diam.
Di seberang jalan, hanya beberapa meter dari jalan tempat Julio mempercepat laju Porsche-nya, seorang ibu muda baru saja menuruni tangga LRT Kuningan. Napasnya terengah, rambutnya berantakan diterpa angin pagi. Di tangan kanannya tergantung tas bayi besar yang nyaris lepas dari bahunya, dan di tangan kirinya, ia mendorong sebuah kereta bayi dengan satu tangan, tergesa-gesa.
Ia tak sadar betapa curamnya trotoar kecil di bawah tangga. Ia hanya fokus mencari taksi di sisi jalan.
Dan saat ponselnya bergetar, panggilan masuk, perhatiannya terpecah. Seketika genggamannya melemah.
Kereta bayi itu terlepas.
Roda kecilnya menyentuh aspal, memantul pelan, lalu mulai menggelinding. Perlahan. Lalu lebih cepat. Liar. Tanpa arah.
Dan tepat di saat itu Julio membelok ke jalan, masih setengah ngantuk , setengah panik, dan sepenuhnya yakin dia masih bisa mengatur waktunya. Tapi semuanya berubah saat mata dan pikirannya menangkap sesuatu yang tak seharusnya ada di tengah jalan :
Sebuah kereta bayi. Tanpa pengemudi. Meluncur ke arahnya.
“SHIT!” teriaknya.
Dengan refleks, ia membanting setir ke kiri . Ban menjerit. Mobil melintir , kereta bayi selamat tapi mobil Porche merah itu menghantam sebuah sepeda
BOOM!Tubrukan itu terdengar seperti dunia yang diremuk dalam satu hentakan. Julio yang tadi karena terburu-buru , tidak mengenakan sabuk pengaman. Tubuhnya terlempar keluar dari kaca depan, meluncur seperti peluru manusia, menghantam keras trotoar dan jatuh tak jauh dari sosok pemuda bersepeda yang kini tergeletak diam.
Darah mulai mengalir. Jeritan meledak dari para pejalan kaki. Beberapa orang berlari. Sebagian merekam.
Lalu samar-samar, suara jeritan dari abang-abang Ojol…
“Pak…! Pak, sadar, Pak…”
“Cepat telepon Ambulance ! Telepon ambulans!” “Dia masih bernapas!”Langit berubah buram. Awan menggantung seakan ikut menahan napas.
Tubuh Julio terkulai. Di sudut matanya, ia melihat pemuda bersepeda yang ditabraknya tadi. Wajah lelaki itu penuh luka, dan darah menetes dari pelipisnya ke aspal. Sepeda yang sebelumnya utuh, kini hancur seperti kaleng diremukka traktor
“Aku… akan menikah…” gumam Julio dalam kesadaran yang memudar. “…Hari ini…”
Lalu dia merasakan kepalanya sangat pusing dan pandangannya menjadi kabur lalu gelap
Beberapa saat kemudian.
Sirene ambulans meraung -raung . . Petugas medis berlarian. Jalan ditutup. Polisi mulai memasang garis kuning.
Seorang wartawan media online sudah mengunggah rekaman ke media sosial:
“PENGANTIN PRIA MENABRAK PENGGOWES : KECELAKAAN DI KUNINGAN!”
Di ruang tunggu pengantin di gereja, Erika memandangi ponselnya dengan wajah gelisah Gaun putih panjang menjuntai menyentuh lantai. Di belakangnya, ibunya menggenggam tas kecil dengan raut wajah yang sama gelisahnya.
Tiba-tiba pintu terbuka
“Erika…” ucap salah satu bridesmaid, dengan napas terengah.
“Ada kabar.”
Erika menoleh. Matanya tajam. Rahangnya mengeras.
“…Julio… kecelakaan.”
Hening. Detik berikutnya, ponsel Erika terjatuh. Layarnya retak. Sama seperti hatinya.
Warning Trigger : Mature content 21 ++ Saat Laras sedang mandi sepulang kami dari gereja untuk pemberkatan, aku duduk santai ngobrol bersama Mama dan Papa di meja makan. Kami menikmati seteko teh Melati. Kini wangi semerbak harum Melati yang menenangkan mengisi seluruh rumah dengan aroma khasnya. “Liyo,” kata Mama pelan, “tadi Pak Hutabarat telepon. Katanya pihak kejaksaan sudah menghubungi rumah dan kantor kita uda tidak lagi di segel . Hanya rekening yang harus tunggu beberapa saat lagi. Jadi besok Mama dan Papa mau pulang ke rumah kita. Rumah itu udah lama kosong, jadi harus dibersihin. Mama yang akan urus rumah, Papa langsung urus kantor.” Aku menaruh cangkir tehku. “Masalah dapur Labayo gimana, Pa?” “Nggak usah khawatir,” jawab Papa tenang, “itu udah hampir kelar. Nanti Papa tambah tukangnya, biar Jumat ini bisa segera selesai. Jadi Sabtu kalian bisa langsung mulai produksi.” Mama menyesap tehnya dan menatapku. “Nggak mau bikin upacara peresmian?” Aku tertawa kecil. “Lar
Senin sore itu, Jakarta terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari menggantung rendah di langit barat, menyapukan cahaya jingga ke atap-atap seng dan jendela rumah-rumah kontrakan di jalan kecil tempat Laras tinggal. Awan cumulus melayang seperti kapas besar yang sedang beristirahat membuat pemandangan sore itu tampak seperti lukisan mahakarya Sang Pencipta, seolah Tuhan ikut tersenyum, karena hari ini Laras dan Julio akan diberkati di gereja. Awalnya mereka mama Susan dan papa Johan. Riris dan Ario tentunya bersama kedua pengantin Julio dan Laras akan berangkat naik Avanza milik kantor Papa Johan. Tapi baru saja pagar rumah di buka, ternyata di luar sudah ramai. Warga tetangga berdiri di depan pagar, seperti rombongan yang menunggu pawai pengantin. Ada Bu Sri yang selalu kepo tapi baik hati, ada Bu Kus yang pemilik warung tempat Laras menitipkan donat pertamanya. Ada juga Pak RT dengan kemeja batiknya, juga Bu Pur mamanya Riris yang suka humor, cerewet tapi penyayang. “Laras!” s
Julio POV Sore itu, langit Jakarta bersih seperti baru saja dicuci hujan. Udara hangat, dan sinar matahari berwarna oranye menembus di sela-sela gedung kaca di kawasan Mega Kuningan. Laras baru pulang dari kelas baking-nya di Bogasari saat kami memutuskan berjalan kaki menuju gereja tua di belakang kawasan Mega Kuningan. Gereja tempat kami berencana mendaftar kelas pranikah. Lokasi gereja itu tak jauh dari penthouse-ku dulu. Saat melewati gedung tinggi itu, aku menoleh dan menunjuk ke atas “Ini tempat tinggalku dulu, Ra.” Laras mendongak, matanya membulat. “Gedung tinggi ini?” Aku mengangguk, tersenyum. “Mama kemarin ada nawarin, kalau semua urusan kejaksaan sudah selesai dan semua aset milik mama dan papa tidak lagi diblokir , kita boleh tinggal di sini. Tapi aku nggak mau. Kebayang kan, repotnya kalau tiap pagi buta kita harus jalan kaki untuk buat donat ke dapur Labayo?” Laras terkekeh, mengangguk paham. “Makanya aku lebih pilih kita tetap tinggal rumahmu aja. biar lebih
Julio POV Aku sedikit terkejut ketika mendengar Jaksa Guntur menyebut bahwa aset milik Arifin di Boston juga ikut dibekukan. Kata Boston langsung membuatku teringat tentang Erika, yang tiba-tiba menghilang dari Bangkok setelah membuat kekacauan di hari liburku bersama Laras. Sekarang semuanya masuk akal. Ia pasti disuruh mengamankan aset keluarganya. Tapi ternyata gagal juga. Semua harta mereka disita. Ketika Arifin dengan suara terbata-bata bertanya, “Apakah... Erika…?” Aku tahu, itu bukan sekadar kegelisahan seorang tersangka. Itu suara seorang ayah yang menanggung rasa bersalah karena membuat anaknya menderita. Aku menarik napas panjang. Entah kenapa, kali ini tidak ada lagi rasa kesal mendengar nama Erika. aku hanya merasa iba. Aku yakin, selama Erika tidak terlibat langsung dalam bisnis ayahnya, ia tidak akan sampai dijerat hukum. Hanya saja… aku tahu, wanita seperti dirinya tak bisa hidup tanpa uang.Tapi ah, apa peduliku lagi? Aku dan dia sudah selesai. Setelah semua l
Ruang tunggu Kejaksaan Negeri itu terasa lebih dingin dari pendingin udaranya sendiri. Lampu neon putih memantulkan cahaya ke lantai granit, membuat suasana seperti ruang interogasi di film kriminal. Johan duduk di kursi besi, kedua tangannya mengepal, menahan degup jantung yang rasanya berpacu dengan waktu. Di sampingnya, Julio menatap lurus ke depan, gelisah, tapi berusaha tampak tenang. Pak Hutabarat, pengacara keluarga mereka, berdiri di depan pintu kaca buram bertuliskan Bidang Tindak Pidana Khusus. Di tangannya tergenggam map biru berisi dokumen yang sudah beberapa minggu ini tidak pernah lepas dari gengamannya. “Tenang, Pak Johan,” katanya datar “Kita hanya klarifikasi dan datang sebagai saksi.” Namun kalimat itu tak mampu menghapus bayangan ketakutan Johan, takut ratusan karyawan perusahaannya tidak bisa mendapatkan gaji bulan ini. Pintu terbuka. Seorang petugas memanggil, “Pak Johan Wicaksano, silakan masuk.” Ketiganya masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam, aroma kopi
Pagi itu langit Jakarta berwarna kelabu, seolah ikut menanggung beban pikiran kami. Mobil melaju perlahan menuju kawasan Permata Hijau, tempat kantor hukum Pak Hutabarat berdiri megah dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya suram matahari. Aku dan Papa tiba tepat pukul sembilan. Di ruang rapat yang sejuk dan beraroma kopi robusta, Pak Hutabarat sudah menunggu, jasnya rapi, dasinya terikat sempurna, dan di meja panjang depannya tergeletak setumpuk berkas berwarna krem dengan cap “Rahasia”. “Selamat pagi, Pak Johan,” sapanya ramah tapi berintonasi serius. “Saya sudah pelajari laporan rekening yang kemarin Bapak kirim ke saya via email. Dan, sejujurnya, ini kemajuan besar. Rekening yang mencurigakan akhirnya ditemukan , kiriman tunai satu miliar rupiah itu, yang menyebabkan seluruh rekening Bapak dan perusahaan diblokir oleh PPATK dan diperiksa kejaksaan” Papa menghela napas lega. “Akhirnya ada titik terang juga, Pak.” Pak Hutabarat mengangguk kecil, lalu menyilangkan tangan. “U






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen