LOGINJulio .... Julio... Sangking cintanya, cemburu aja dia. Hahahah. Happy reading teman2
Epilog Setahun kemudian, di sore hari Minggu yang cerah, dua stroller dari merek Nuna dan empat orang tampak berjalan perlahan memasuki pemakaman di Karet Kuningan tempat Bayu dimakamkan. Laras menaruh bunga di makam kedua orang tuanya, lalu beralih ke nisan putih bertuliskan nama Bayu Prasetyo. Ia berjongkok, membelai lembut nisan itu, sementara Julio dan Ario mencabut rumput liar yang tumbuh di atas tanah makam. Di dekat mereka, Riris berdiri di samping stroller Nuna BMW X yang ditempati Raihan dan satunya seri Nuna Triv yang berisi Ayuna, kedua bayi lucu yang kini menjadi pusat dunia mereka. Suara Laras terdengar lembut saat ia mulai berbicara, “Bayu...Hari ini ulang tahunmu. Selamat ulang tahun adikku. Hari ini kakak datang bersama keponakanmu. Namanya Raihan. Entah kenapa, wajahnya mirip sekali dengan kamu, Bayu. Senyumnya, matanya, bahkan cara dia tertawa, semuanya mengingatkanku padamu. Tapi aku bahagia, Bayu. Karena lewat Raihan, rinduku padamu terasa lebih ringan.” Laras
Laras POV Aku sedang menyusui bayiku yang besok genap berusia satu bulan ketika Julio masuk ke kamar kami. Ia baru pulang dari Labayo, tempat yang kini tumbuh pesat, meskipun belum satu tahun beroperasi . Tapi karena permintaan pasar terus meningkat, maka kami uda menambah kapasitas produksi jadi dua ribu donat per hari, dan kami menambah enam orang mitra pemasaran baru juga pekerja yang membantu di dapur dari SMK Tata Boga. Melihat wajahnya yang lelah tapi berbinar, hatiku menghangat. Suamiku sudah bekerja sangat keras dan aku bangga padanya.Raihan tertidur pulas di pelukanku. Ya, Raihan Anindra Wicaksono nama yang kami pilih dengan penuh perdebatan di rumah sakit saat aku masih di rawat dan Raihan masih di inkubator. Julio mulanya ingin nama yang mengandung unsur “Bayu”, katanya sebagai bentuk terima kasih pada adikku tercinta yang sudah menuntunnya bertemu denganku. Tapi aku menolak. Aku ingin nama Bayu tetap menjadi milik Bayu bagian dari kenangan yang utuh, tak tersentuh.
Julio POV Jeritan kepanikan Laras dan Riris bersahutan. Ario pun ikut panik, suaranya meninggi, “Ayo, Ris! Kita harus ke Bidan Aini sekarang!” “Kita ke rumah sakit aja!” seruku cepat. “ Pak Narto ada di depan, biar sekalian sama Laras. Ketuban Laras pecah! Kita harus cepat ” Ario menatapku, wajahnya tegang. “Kamu aja yang ke rumah sakit bawa Laras. Aku bisa ke puskesmas aja bareng Riris!” Aku tidak mau berdebat. Aku langsung menuntun Laras keluar, memeluk bahunya agar bisa berjalan lebih cepat. Pak Narto sudah siap di depan pintu mobil untung tadi dia parkir di lapangan bola agar Laras tak perlu berjalan jauh sampai ke tempat biasa aku parkir mobilku di samping mall Ambasador. Tapi langkahku terhenti ketika suara Laras memanggil lirih, “Ris… boleh nggak kamu bareng aku ke rumah sakit? Aku takut, Ris. Ketuban pecah di usia tujuh bulan itu bahaya, kan?” Suaranya bergetar, hampir menangis. Riris menatapnya, meski wajahnya menahan sakit, bibirnya tersenyum tipis. “Iya, iya, Ra…
Laras POV Sinar matahari menembus tirai jendela, mengenai wajahku yang baru saja terbangun. Aku melirik jam di meja kecil di samping tempat tidur, Sudah jam delapan. Ya, kalian nggak salah dengar, jam delapan pagi, dan aku baru bangun. Sejak masuk trimester kedua , rasa malas datang tanpa permisi. Kalau dulu aku biasa bangun jam dua dini hari untuk mengadon donat, sekarang jangankan jam dua, jam tujuh pun rasanya seperti tengah malam. Anak dalam perutku ini benar-benar manja dan sepertinya, dia ingin aku ikut manja juga. Setelah drama flek dan bed rest total di trimester pertama, dokter Dea akhirnya menyatakan aku “bebas tahanan rumah”. Anakku sudah cukup kuat, katanya. Aku boleh beraktivitas asal tidak terlalu capek dan tidak boleh berdiri lama tentunya aku senang bukan main.Tapi di hari pertama aku niat kembali ke Labayo, rencanaku berantakan karena aku tidur lelap sekali , dan Julio suami paling lembut dan penyayang sejagat raya, tidak tega membangunkanku. “Ra, kamu tidur nyenya
Julio POV Siang itu, sekitar pukul sebelas, aku bersiap pulang ke rumah mama untuk menemani Laras makan siang. Semua pekerjaan di Labayo sudah rampung. Hanya Ario yang masih sibuk membetulkan satu motor listrik yang ngadat sejak pagi. Untungnya waktu awal membuka usaha, aku membeli tujuh unit motor listrik. setidaknya kalau satu rusak, operasional tetap bisa jalan. “Ar, aku balik dulu ya, ke rumah.” Ario mengangguk tanpa menoleh, tangannya masih memegang obeng dan kabel. “Oke. Nanti aku nyusul pas siangan, sekalian jemput Riris yang mau jenguk Laras.” Aku menatapnya sebentar. “Riris udah berangkat ke dokter?” “Udah, baru jam sembilan tadi dia jalan.” “Ke dokter Dea, kan?” “Nggak,” jawab Ario sambil nyengir. “Katanya mau ke puskesmas dulu biar dapet buku ibu hamil. Dia keukeuh pengen pakai BPJS, katanya sayang udah bayar iuran tapi nggak pernah dipakai.” Aku menghela napas, separuh gemas, separuh kagum pada kesederhanaan Riris. “Aduh… udah kubilang, biaya itu akan ditang
Riris POV Aku dan Ario berdiri di depan pintu pagar rumah, menyaksikan Julio berpamitan kepada Arumi, Wanita yang hampir jadi mertuanya, ibu dari Erika. Tadi ia datang bersama wanita ini dan mengatakan bahwa Arumi akan menyewa kamar kontrakan yang dulu ditempati Ario dan Julio . Ibuku tentu saja senang, apalagi Julio membayar sewanya langsung untuk satu tahun penuh tidak bulanan seperti penyewa lainnya. Setelah berpamitan kepada Arumi, yang kemudian menutup pintu kamarnya , Julio berjalan mendekati kami sambil berkata. “ Besok pagi ,tolong bantu tante Arumi untuk bekerja di Labayo. Saat kalian berangkat , ajak dia sekalian ya. Aku tadi udah bilang padanya, berangkat jam 1.45 pagi.” Kata Julio, kali ini kata-katanya bukan sebagai teman tapi sebagai boss kami. “ Emang dia bisa bangun Liyo?” Tanya Ario “ Bukannya katamu dia terbiasa jadi putri atau tepatnya ratu seperti anaknya, si Erika itu ” sambungnya lagi. “ Mau tidak mau, dia harus bisa bangun, sekarang dia bukan ratu lagi. Suami







